• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah norma hukum. Perbedaan norma hukum dari norma yang lain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah norma hukum. Perbedaan norma hukum dari norma yang lain"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Terdapat berbagai alat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah norma hukum. Perbedaan norma hukum dari norma yang lain adalah bahwa hukum memiliki alat perlengkapan dan kewenangan agar hukum dapat berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bambang Poernomo sebagai berikut:

Hukum adalah alat untuk mengatur manusia, meskipun hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur manusia dalam masyarakat. Sebagai salah satu alat untuk mengatur masyarakat, di belakang hukum terdapat alat perlengkapan yang diberi wewenang oleh masyarakat agar supaya hukum dapat berlaku dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Hal ini membedakan ciri norma hukum dibandingkan dengan norma yang lain.1

Norma hukum memberikan batasan-batasan mengenai suatu perbuatan adalah tindak pidana atau bukan. Tindak pidana adalah suatu kejahatan yang semuanya itu telah diatur dalam undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu bentuk tindak pidana adalah tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan sudah lama dikenal oleh Hukum Nasional melalui KUHP. Bab XX KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh manusia yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan, yaitu apabila dilihat dari segi perbuatan dan akibatnya, meliputi:

1

Bambang Poernomo. 1988. Pola Dasar dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Liberty. Yogyakarta. hal. 9.

(2)

1. Penganiayaan biasa 2. Penganiayaan ringan 3. Penganiayaan berencana 4. Penganiayaan berat2

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh manusia dalam KUHP disebut “penganiayaan”. Makmum Anshory berpendapat bahwa:

Mengenai arti dan makna kata penganiayaan banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.3

Dari segi tata bahasa pengertian penganiayaan, dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah:

Penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ""aniaya" yang mendapat awalan "pe" dan akhiran "an", sedangkan penganiaya itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu. Penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang (penyiksaa, penindasan, dan sebagainya).4

KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah penganiayaan (mishandelling) selain hanya menyebut penganiayaan saja. Menurut R. Soesilo:

Undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan ”penganiayaan” (mishandelling) itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan ”penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak

2

R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 245-246

3

Makmum Anshory. 2008. Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://makmum-anshory.blogspot.com/2008/06/pidana-penganiayaan.html. pada tanggal 5 September 2011

4

W.J.S Poerwadarminta. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta. hal. 48

(3)

enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Masuk pula dalam pengertian penganiayaan adalah sengaja merusak kesehatan orang. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke sungai sehingga basah, atau menyuruh orang berdiri di terik matahari. Rasa sakit misalnya menendang, memukul dsb. Menyebabkan luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dll. Merusak kesehatan misalnya orang yang sedang tidur, dibuka jendelanya, sehingga orang itu masuk angin. Semuanya itu dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.5

Syahruddin memberikan pendapatnya mengenai pengertian penganiayaan yang terdapat dalam beberapa yurisprudensi, yaitu:

1. Arrest Hoge Raad tanggal 10 desember 1902 merumuskan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai cara untuk mencapai suatu maksud yang diperbolehkan, seperti memukul anak dalam batas-batas yang dianggap perlu yang dilakukan oleh orang tua anak itu sendiri atau gurunya.

2. Arrest Hoge Raad tanggal 20 April 1925 menyatakan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak dianggap penganiayaan jika maksudnya hendak mencapai justru tujuan lain dan dalam menggunakan akal ia tak sadar bahwa ia telah melewati batas-batas yang tidak wajar.

3. Arrest Hoge Raad tanggal Februari 1929 menyatakan bahwa penganiayaan bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga menimbulkan penderitaan lain pada tubuh.

Jadi beberapa pengertian dan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan (Opzetelijk) untuk:

1. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain 2. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain 3. Merugikan kesehatan orang lain

Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang itu harus mempunyai kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain. Jadi unsur delik penganiayaan adalah kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain dan melawan hukum.6

5

R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 245.

6

Syahruddin. 2009. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://balance04.blogspot.com/2011/01/pengertian-tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal. 20 September 2011

(4)

Kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh manusia dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian, bila dilihat dari unsur kesalahannya dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, Pasal 351 s/d Pasal 358.

Penganiayaan seringkali terjadi dengan korban anak-anak, merupakan salah satu tindak pidana yang menempati urutan teratas dalam kasus kekerasan terhadap anak di seluruh dunia, termasuk juga Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kebumen adalah tindak pidana penganiayaan yang dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2010, oleh DA (18 tahun/lahir 19 Juli 1992), CMS (19 tahun/lahir 26 Maret 1991), dan JR (16 tahun/lahir 27 Septermber 1994) yang mengakibatkan korban mati, yaitu NANANG SUBEKTI (16 tahun). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan berjudul: ”TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Studi Penerapan Pasal 80 Ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Pengadilan Negeri Kebumen).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm ?

2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan memutus perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm ?

(5)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Penerapan unsur-unsur Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.

2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memeriksa dan memutus perkara Nomor 369/Pid. B/2010/PN. Kbm.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori ilmu hukum, khususnya Hukum Pidana Materiil, yaitu dapat dijadikan sebagai bahan pembanding terhadap kajian-kajian di bidang Hukum Pidana Materiil.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum yaitu Penyidik, Penuntut Umum dan juga Hakim.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian dan istilah tindak pidana

Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit”

yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Di mana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan.7

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno:

Untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah “perbuatan pidana”, dan istilah ini mempunyai pengertian yang abstrak dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.8

7

Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta hal. 54.

8

(7)

Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa:

Apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan perkataan tindak adalah menunjukan kepada kelakuan atau sikap jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.9

Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit

adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.10

Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok mengenai pengertian tindak pidana, yaitu:

a. Bahwa feit dalam strafbaar feit bearti handeling (kelakuan atau tingkah laku);

b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.11

Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melainkan itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa pidana sebagai suatu peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum12.

9

Ibid . hal. 55

10

Sudarto. 2001. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto. hal..5.

11

Moeljatno. 1987. Op. Cit, hal..56.

12

(8)

Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak pidana, alasanya pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.13

2. Unsur-unsur tindak pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:

Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.14

Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagai berikut:

Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.15

Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan sebagai berikut:

13

Sudarto. 2001. Op. Cit, hal..35.

14

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 193.

15

(9)

a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).16

Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut:

Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).

Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana

E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan), b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif), c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang,

d. Diancam dengan pidana.

J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan

Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara

criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility

(pertanggungjawaban pidana).17

16

Sudarto. Op. Cit, 1991,hal..24.

17

(10)

Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut: Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu:

a. Kelakuan manusia, dan

b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan

b. Bersifat melawan hukum

c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana.

Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).18

Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat-syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.19

Dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

a. Memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)

18

Ibid hal.. 25-26.

19

(11)

Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan, pembentuk undang-undang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.20

Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu).

Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.21

20

Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya.

Aksara Baru. Jakarta hal. 1.

21

(12)

Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Menurut Roeslan Saleh mengenai unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian22

Menurut Pompe, melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.23

Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto sendiri bahwa, untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian dari Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.24

Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

22 Ibid hal. 1. 23 Ibid hal. 5. 24

(13)

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

a. Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum;

b. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.25 Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan unsur atau bersifat melawan hukum, meskipun perbuatanya telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dibenarkan namun hal tersebut memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan26

Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.27 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu:

a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.

b. Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: 1) Kesengajaan (dolus).

2) Kealpaan (culpa).

c. Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 28

25 Ibid hal.39. 26 Ibid hal.39. 27 Ibid hal..41. 28 Ibid hal..45.

(14)

Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan undang-undang, sifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan.

3. Tindak pidana secara bersama-sama

Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat unsur ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut serta melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama melaksanakannya (kerjasama). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

(2) Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya .

Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1. mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;

2. mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

(15)

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHP tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa sebagai pembantu melakukan tindan pidana:

a. Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan.

b. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.29

4. Pidana dan pemidanaan a. Pidana

1) Pengertian pidana

Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence. Digunakan istilah pidana disini (bukan digunakan istilah “hukuman”) adalah ditujukan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Sudarto mengemukakan ketidaksetujuannya dalam penggunaan kata hukuman untuk kata straf, karena:

Kata strafrecht bila menggunakan hukuman sebagai terjemahan dari

straf maka akan terjadi kerancuan dimana strafrecht akan diterjemahkan menjadi hukum hukuman. Pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.30

Selain pendapat yang dikemukakan diatas ada beberapa pendapat yang diberikan oleh para pemikir hukum lain tentang pengertian dari pidana itu sendiri, antara lain dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang berpendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa atau penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik tersebut.31

29

Pembunuhan Berencana. diakses melalui

http://id.wikipedia.org/wiki/Pembunuhan_berencana pada tanggal 10 Januari 2012

30

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. hal. 7.

31

(16)

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang memiliki kekuasaan (oleh yang berwenang);

c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana menurut Undang-undang.

2) Jenis-jenis pidana

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana positif di Indonesia, jenis-jenis pidana yang berlaku di Indonesia sesuai dengan rumusan Pasal 10 KUHP adalah:

Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3 pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan; b. pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3 pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Dijelaskan lebih lanjut oleh P.A.F. Lamintang sebagai berikut:

Hukuman pidana mati selalu dicantumkan secara alternatif dengan pidana-pidana pokok lain, yakni pada umumnya dengan pidana-pidana seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Urutan kedua dari pidana pokok adalah pidana penjara. Pengertian pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.

(17)

Sama halnya dengan penjara pidana kurungan juga berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana. Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa yang telah melakukan pelanggaran. Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok atau juga sebagai ganti pidana denda. Pidana denda telah diatur dalam KUHP sebagai pidana pokok maupun alternatif baik dengan pidana penjara atau kurungan atau keduanya secara bersama-sama. Pidana tutupan merupakan jenis pidana pokok baru yang dimasukan kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanggal 31 Oktober 1964 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II nomor 24 halaman 287 dan 288. Pidana tutupan dijatuhkan untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. KUHP tidak mengenal adanya komulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, khususnya pidana penjara dengan pidana denda, atau pidana kurungan dengan pidana denda. Ada beberapa ketentuan pidana yang mengandung ancaman pidana yang terdiri dari lebih satu pidana pokok. Dimana dalam ketentuan tersebut hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan bersama-sama pidana denda atau ia dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan tanpa menjatuhkan pidana denda. Pidana tambahan selalu dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Menurut hukum pemidanaan kita, penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Artinya, hakim tidak selalu menjatuhkan suatu pidana tambahan, yaitu pada waktu ia menjatuhkan suatu pidana pokok bagi seorang terdakwa. Dapat disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan pidana tambahan diserahkan sepenuhnya pada pertimbangan hakim apakah dirasa perlu atau tidak.32

b. Pemidanaan

1) Pengertian pemidanaan

Awalnya istilah pidana dan pemidanaan merupakan dua istilah yang mempunyai arti sama, namun sekarang para ahli hukum sepakat memisahkan arti pidana dan pemidanaan. Permasalahan tentang pengertian pemidanaan di kalangan para sarjana hukum Indonesia masih ada beberapa kesalahpahaman. Untuk pengertian pemidanaan itu sendiri menurut pendapat Lamintang adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.33

32

P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 69.

33

(18)

Berdasarkan pengertian bahwa pemidanaan merupakan sinonim dari kata penghukuman, maka Lamintang lebih lanjut mengemukakan pendapatnya bahwa:

Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya

(berechsten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.34

Roeslan Saleh, berkaitan dengan pengertian pemidanaan, berpendapat bahwa: Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan merupakan alat pertahanan terakhir. Dia merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat.35

Menurut Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dan Siti Rahayu: Hak memidana merupakan atribut pemerintah, hanya yang mempunyai hak memerintah yang dapat memaksakan atau memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak memidana. Pemidanaan merupakan pemberian suatu nestapa bagi yang melanggar hukum. 36

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para sarjana hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa pemidanaan itu merupakan sinonim dari penghukuman atau penjatuhan pidana, dan mempunyai suatu pengertian yaitu penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana. Selain itu pemidanaan juga dapat diartikan sebagai akhir atau puncak dari keseluruhan sistem upaya-upaya agar manusia melakukan tingkah laku seperti yang diharapkan masyarakat.

34

Ibid. hal. 49.

35

Roeslan Saleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. hal. 1.

36

Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta. hal.22.

(19)

Alasan dijatuhkannya pidana terhadap orang yang melanggar hukum sangat bermacam-macam, oleh karena itu muncul teori-teori yang menyatakan alasan memidana seseorang, yaitu:

a) Teori Absolut (Mutlak)

Menurut teori ini, seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Merupakan pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang telah dilakukan. Pembalasan merupakan alasan memidana suatu kejahatan.

b) Teori Relatif (Nisbi)

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidaklah harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat dari pemidanaan baik bagi penjahat itu sendiri maupun masyarakat. Teori ini disebut juga sebagai teori tujuan, karena dalam penjatuhan pidana diperlukan adanya suatu tujuan. Tujuan adanya pemidanaan menurut teori tujuan adalah sebagai prevensi yaitu pencegahan agar kejahatan yang telah dilakukan tidak terulang kembali dan mempunyai tujuan agar si penjahat dapat menjadi orang yang baik sehingga tidak melakukan kejahatan lagi.

c) Teori Gabungan

Penjatuhan pidana menurut teori gabungan adalah merupakan suatu pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang melanggar hukum. Akan tetapi dalam memidana harus diperhatikan unsur kemanfaatannya.37

2) Tujuan pemidanaan

Terhadap permasalahan tentang apa yang menjadi tujuan dari pemidanaan, telah banyak pendapat yang dikemukakan dan dari para pendapat tersebut ternyata tidak terdapat satu kesamaan pendapat diantara para pemikir dan ahli hukum. Roeslan Saleh membedakan tujuan pemidanaan menjadi tiga tipe tujuan pemidanaan, yaitu tujuan instrumental, tujuan intrinsik, dan tujuan menurut organisasi.38 Berdasarkan tiga tipe tersebut, Roeslan Saleh memberikan pengertian sebagai berikut:

a) Tujuan instrumental

Yang dimaksud dengan perkataan instrumental disini adalah bahwa tujuan ini bagi hukum pidana merupakan instrumen (alat) untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu pengaturan kehidupan bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi kriminalitas.

37

Ibid., hal. 25-28.

38

(20)

b) Tujuan intrinsik

Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat dihindarkan pada waktu atau dalam mencapai tujuan-tujuan instrumentalnya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang tersangka dan terdakwa tidak boleh dipidana bilamana belum ditetapkan dengan teliti sekali mengenai kesalahan terdakwa sendiri (intrinsik). Dengan kata lain tujuan intrinsik bisa juga dikatakan perlindungan atas justisiabel.

c) Tujuan menurut organisasi

Tujuan-tujuan instrumental dan intrinsik yang telah ditetapkan terwujud dalam suatu konteks organisasi, yang mendapat bentuk nyata didalam dan dengan organisasi. 39

P.A.F. Lamintang memberikan pendapatnya tentang tujuan pemidanaan, adalah sebagai berikut:

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tetang tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, yaitu:

a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;

b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan; c) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mempu untuk

melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.”40

Selain pendapat tersebut, ada beberapa pandangan tentang tujuan pemidanaan yang disampaikan oleh beberapa pemikir atau ahli hukum, yaitu: a) Stahl

Ia berpendapat bahwa dengan suatu pemidanaan itu orang dapat mencapai tiga tujuan, yakni untuk melindungi tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan, dan untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.

b) Simons

Hingga abad ke 18 (delapan belas), praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.41

39

Ibid., hal. 39.

40

P.A.F Lamintang. 1994. Op. Cit., hal. 23.

41

(21)

B. Kejahatan Terhadap Tubuh Manusia

1. Pengertian kejahatan terhadap tubuh manusia

Tindak pidana kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP disebut dengan “penganiayaan”, namun secara definitif dalam KUHP tidak disebutkan arti dari penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam kamus umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-wenang, penyikasaan dan lain-lain. Sedangkan menurut yurisprudensi, arti penganiyaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Selanjutnya dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP masuk dalam pengertian penganiayaan adalah perbuatan sengaja merusak kesehatan orang.42

Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun dapat dilihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman. Mudhofar dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut:

Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.” Berdasarkan doktrin tersebut bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana.

42

Syifaul Qulub 2008 Kejahatan Terhadap Tubuh. Fakultas Syari’ah. Institut Agama

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Diakses melalui

(22)

Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain: Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain.

Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi Pasal 451 dimuat antara lain sebagai berikut: “Perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan sosiologi”. Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian penganiayaan, menyangkutkan pada perkembangan dunia kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia, bukan dikaitkan dengan penganiayaan.43

Berdasarkan pengertian penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan.

c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu: 1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) Luka tubuh

3) Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.44

Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana disebutkan di atas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut, yaitu sebagai berikut:45

a. Unsur kesengajaan

Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur

43

Mudhofar. 2011. Tindak Pidana Penganiayaan. Diakses melalui http://ofanklahut.blogspot.com/2011/04/tindak-pidana-penganiayaan.html pada tanggal 5 Mei 2012.

44

Ibid

45

(23)

kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seorang baru dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.

Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku.

b. Unsur perbuatan

Perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagaian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.

(24)

c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh

Unsur ”rasa sakit” dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan ”luka” adalah adanya perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya.

Unsur akibat, baik berupa rasa sakit atau luka, dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan.

Sedangkan unsur ”akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya” mengandung pengertian bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya memang pelaku menghendaki timbulya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.

(25)

2. Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh manusia dilihat dari segi perbuatan dan akibatnya

Kejahatan terhadap tubuh manusia atau penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia. Jenis-jenis kejahatan terhadap tubuh manusia atau penganiayaan berdasarkan KUHP dimuat dalam BAB XX II, Pasal 351 s/d Pasal 355 yaitu sebagai beriku:

a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP) b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) c. Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP) d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)

e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP)

f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu (Pasal 356 KUHP)

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana tersebut, dibawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut sebagai berikut: a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP)

Tindak pidana penganiayaan biasa ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Pasal 351 KUHP yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

(26)

Berdasarkan rumusan ketentuan pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak pidana dalam 351 KUHP dikualifikasikan sebagai penganiayaan.

Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan menteri kehakiman diatas sebenarnya cukup memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksud penganiayaan oleh karena dalam rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur perbuatan maupun akibat. Namun oleh karena sebagaian parlemen menganggap istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian yang sangat bias atau kabur, maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut. Sehingga perumusan Pasal 351 ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu penganiayaan didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah mengerti apa yang dimaksud dengan penganiayaan. Adapun unsur-unsur dari penganiayaaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya yaitu:

1) Unsur kesengajaan 2) Unsur perbuatan

3) Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka tubuh, namun dalam pasal 351 ayat (1) KUHP tidak mempersyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan tersebut.

4) Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.46

Pasal 351 ayat (2) mengatur tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Merujuk pada pengertian penganiayaan diatas, maka apabila dirinci maka unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) adalah:

46

(27)

1) Unsur kesengajaan 2) Unsur Perbuatan

3) Unsur akibat, yang berupa rasa sakit atau luka berat.47

Apabila dilihat unsur-unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) di atas maka terlihat unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan pasal 351 ayat (1) KUHP. Perbedaan penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya. Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) KUHP bukanlah merupaka tujuan dari pelaku. Tujuan yang dituju oleh pelaku adalah rasa sakit atau luka tubuh saja. Jadi, dalam konteks penganiayaan biasa yang menimbulkan luka berat harus dibuktikan bahwa luka berat tersebut bukanlah menjadi tujuan dari pelaku. Sebab apabila luka berat itu menjadi tujuan dari pelaku atau merupakan akibat yang dimaksud oleh pelaku, maka yang terjadi bukan lagi penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, tetapi yang terjadi adalah penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 353 KUHP.

Pasal 351 ayat (4) mengatur tentang penganiayaan yang berupa perbuatan sengaja merusak kesehatan. Penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP merupakan penganiayaan yang mana akibat dari penganiayaan tersebut berupa rusaknya kesehatan dari korban merupakan akibat yang dikehendaki dari pelakunya. Apabila dikaitkan dengan teori kehendak dan teori pengetahuan, maka penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) mempersyaratkan, bahwa pada saat melakukan perbuatannya (penganiayaan) pelaku memang menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut serta ia mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu akan menimbulkan rusaknya kesehatan. Unsur rusaknya kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP berbeda dengan unsur rasa sakit

47

(28)

dan luka tubuh yang menjadi penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sekalipun secara logika sangat mungkin terjadinya rasa sakit atau luka tubuh itu sekaligus merupakan perbuatan yang merusak kesehatan, namun merusak kesehatan yang dimaksud dalam pasal 351 ayat (4) mempunyai makna lain dari makna dua unsur tersebut yang bersifat memperluas unsur rasa sakit atau luka tubuh.48

b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)

Penganiayaan ringan diatur pada Pasal 352 KHUP. Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Pasal 352 KHUP yang menentukan sebagai berikut:

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam karena penganiayaan ringan,dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Berbeda dengan penganiayaan lain yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordasi. Jenis tindak pidana ini dalam Wetboek van Straftrecht (WvS) tidak dikenal. Dibuatnya ketentuan tentang penganiayaan ringan pada umumnya didalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah atas dasar adanya perbedaan kewenangan mengadili dari polisi dan Pengadilan Negeri yang sengaja dibentuk oleh pemerintah Kolonial di Indonesia. Pengadilan polisi berwenang mengadili perkara-perkara ringan sedangkan Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara yang lain.

48

(29)

Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP di atas, tersimpul bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam: 1) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP

2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap:Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya. Pegawai Negeri yang sedang atau karena menjalankan tuganya yang sah.

3) Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan atau dimakan atau diminum.

4) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.49

Secara implisit ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung pemahaman, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang-orang yang tidak mempunyai kualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1), tetapi termasuk penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP.

c. Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP)

Penganiyaan berencana diatur pada Pasal 353 KUHP yang merumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90.)

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

M.H. Tiirtamidjaja menyatakan arti direncanakan lebih dahulu adalah bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.50

49

Ibid.

50

(30)

Apabila dipahami tentang arti dari direncanakan di atas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah direncanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berpikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak dikuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan di atas dan telah diatur dalam Pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang dikehendaki sesuai dengan ayat 2 bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu:

(31)

1) Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan akibat-akibat luka berat atau kematian yaitu, diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan pasal sebelumnya khususnya Pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur penganiayaan biasa, maka penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan luka berat atau kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang direncanakan terlebih dahulu. Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP berupa penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan adalah penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh yang dilakukan secara berencana. Luka tubuh dalam konteks Pasal 353 ayat (1) adalah luka tubuh yang tidak termasuk Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam pengertian menurut ketentuan Pasal 352 ayat (2) KUHP. 2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal

353 ayat (2) KUHP.

3) Penganiayaan berencana yang menge\akibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP.51

Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana adalah sama-sama tidak mengakibatkan luka berat atau kematian. Memiliki kesengajaan yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya. Bila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus luka yang tidak termasuk luka berat sebagaimana diatur dalam pasal 90 KUHP. Adapun perbedaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana, dapat dilihat pada tabel berikut ini: 52

Penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) Penganiayaan biasa pasal 353 ayat (1) PERBEDAAN

1. Tidak ada unsur lebih dahulu 1. Ada unsur lebih dahulu 2. Dapat terjadi pada penganiayaan

ringan, yaitu dalam hal tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, sebab pasal 353 disebut sebagai pengecualian dari penganiayaan ringan.

3. Merupakan penganiayaan dalam bentuk pokok

3. Merupakan penganiayaan yang di kualifikasi

4. Percobaannya tidak dipidana 4. Percobaannya dipidana

51

Mudhofar. 2011. Ibid.

52

(32)

d. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)

Penganiayaan berat diatur pada Pasal 354 KUHP. Penganiayaan berat yang dirumuskan dalam Pasal 354 sebgai berikut:

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 354 KUHP tersebut, maka tindak pidana penganiayaan berat ini terdiri dari dua macam yaitu:

1) Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) diatur dalam pasal 354 ayat (1).

2) Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam pasal 354 ayat (2).53

Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1) Unsur kesalahan, berupa kesengajaan. 2) Unsur melukai berat (perbuatan). 3) Unsur tubuh orang lain.

4) Unsur akibat yang berupa luka berat.54

Dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari si pelaku yaitu bahwa si pelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Berbeda dengan penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang dimasuk oleh sipelaku.

53

Ibid.

54

(33)

Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian bukanlah merupakan akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak pidana ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan menimbulkan kematian, baik kesengajaan sebagai maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai kepastian.

Perbuatan penganiayaan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak, bagaimana bentuknya luka berat, hanya dapat dirumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:

Luka berat berarti:

- jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara sempuma, atau yang menimbulkan bahaya maut;

- untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian;

- kehilangan salah satu pancaindera; - mendapat cacat berat;

- menderita sakit lumpuh;

- terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu; - gugumya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.

(34)

Berdasarkan Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP)

Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam pasal 355 KUHP. Penganiayaan ini pada dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana. Jenis penganiayaan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana, dalam Pasal 355 KUHP, maka niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan terhadap perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan itu harus ditujukan terhadap unsur berencananya. Rumusan Pasal 355 KUHP adalah sebagai berikut: (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 355 KUHP diatas terlihat bahwa penganiayaan berat berencana terdiri atas dua macam, yaitu:

1) Penganiayaan berat berencana yang tidak menimbulakan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juga harus dibuktikan, bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku sekaligus direncanakan.

2) Penganiayaan berat berencana mengakibatkan kematian. Namun matinya korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh sipelaku. Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan. Sebab apabila kematian merupakan akibat yang dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP).55

55

(35)

f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu (Pasal 356 KUHP) Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan dalam Pasal 356 KUHP yang menyatakan:

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:

1. bila kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, ayahnya yang sah, istrinya atau anaknya.

2. bila kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

3. bila kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Apabila dicermati, maka Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat berbagai penganiayaan. Berdasarkan pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang memberatkan berbagai penganiayaan yaitu:

1) Kulitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkualitas sebagai ibu, bapak, istri anak serta Pegawai Negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

2) Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukannya dengan cara member bahan untuk dimakan atau untuk diminum.56

g. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan si pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam beberapa pasal dalam KUHP yaitu:

1) Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian

Apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dalam penganiayaan dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 351 (1) KUHP.

56

(36)

Secara substansial, perbedaan antara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dengan penganiayaan biasa yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) adalah terletak pada akibat yang terjadi. Pada penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) akibat yang timbul hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh. Sementara penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP akibat yang timbul adalah kematian. Namun akibat yang berupa kematian itu bukanlah merupakan akibat yang dituju oleh pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja.

2) Pasal 353 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian

Apabila diperhatikan maka penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian seperti yang dimaksud dalam Pasal 353 ayat (3) KUHP tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP.

Jadi penganiayaan berencana yang mengakibatkan kematian sebagaiman diatur Pasal 353 ayat (3) merupakan tindak pidana penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian seperti yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.

3) Pasal 354 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian

Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 354 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan berat dalam bentuk pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP. Namun dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian akibat yang ditimbulkan adalah matinya orang, akan tetapi kematian bukanlah akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat.

4) Pasal 355 ayat (2) KUHP yaitu penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian.

Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 355 ayat (2) KUHP sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana yang diperberat. Faktor pemberatnya adalah timbulnya kematian. Namun kematian bukanlah akibat yang dikendaki pelaku. Kematian dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak dituju sekaligus tidak direncanakan.57

57

(37)

C. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak 1. Pengertian anak

Pembahasan terhadap anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk mengenai batasan umur. Sampai saat ini ternyata masih terdapat perbedaan dan pendapat mengenai pengertian anak. Di Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut bidang hukum masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan kebutuhan. Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolok ukur. Batasan usia dewasa merupakan hal penting untuk menentukan ada tidaknya tanggung jawab seseorang. Dalam melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya, dewasa ini batasan usia masih merupakan permasalahan yang belum mendapat pemecahan final.

Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I Bab Kelima Belas Bagaian Ke Satu yang terdapat dalam Pasal 330 yang menyatakan bahwa:

Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan bahwa anak menurut KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum mencapai dua pulu satu tahun atau belum pernah kawin sebelum mencapai usia dua puluh satu tahun. Dengan demikian dapat dikatakan

(38)

bahwa seseorang yang telah kawin meskipun belum berusia dua puluh satu tahun dan kemudian perkawinannya itu bubar sebelum usianya mencapai satu tahun pula, maka ia tidak dapat kembali pada satu “anak”. b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Berdasarkan KUHP, batasan usia anak adalah sebelum berumur enam belas tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang berbunyi:

Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 519, 526, 531, 532,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu.

Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45 pokok isinya adalah sebagai berikut:

1) Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.

2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.

3) Menghukum si pelaku pidana.

Sedangkan di dalam pasal-pasal lain diterangkan sebagai berikut: 1) Pasal 283 angka 1 KUHP

Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar

(39)

kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya.

2) Pasal 287 angka 1 KUHP

Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan tahun.

3) Pasal 290 angka 2 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia belum berumur enam belas tahun, atau seseorang dikatakan melakukan tindak pidana anak apabila saat melakukan tindak pidana ia belum berumur enam belas tahun.

c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua pasal yang dapat dianalisis untuk mencari batasan mengenai anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan:

Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

(40)

Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal 6 ayat 2). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak antara pria dan wanita, yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita batasan anak adalah seseorang yang belum kurang dari enam belas tahun (Pasal 7 ayat (1)).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu seseorang yang berumur kurang dari enam belas tahun.

d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, merumuskan batasan usia anak sebagai berikut:

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa batasan usia untuk anak adalah belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah menikah.

Referensi

Dokumen terkait

Sanksi-sanksi pada norma hukum bisa berupa: hukuman mati, hukuman seumur hidup, hukuman penjara, hukuman denda, hukuman kurungan1. atau diberikan oleh negara melalui lembaga

dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00

(4) Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama- lamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang luka atau

Apabila anak tersebut melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama

Peraturan perundang-undangan mengatur hak terpidana mati pidana, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun untuk dapat mengajukan

(4) Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama- lamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang luka atau

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat