• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Menurut sistematika secara taksonomi udang ini dibagi dalam :

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superord : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

(2)

Dalam dunia perdagangan internasioanal Udang Vannamei memiliki beberapa nama, seperti whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis), dan

camaron patiblanco (Spanyol). Ada sekitar 343 spesies udang yang potensial untuk dikembangkan secara komersil. Dari jumlah itu , setidaknya ada 110 spesies yang termasuk ke dalam genus penaeid. Salah satu spesies dari genus litopenaeus

tersebut yaitu litopenaeus vannamei.

Pada tahun 1993, Udang Windu mulai terserang penyakit bintik putih (white spot) atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). “White spot” (bintik putih) menjadi momok yang sangat menakutkan. Namun momok ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kematian udang ditambak yang ditemukan di Thailand lebih banyak disebabkan serangan virus ini. Menurut Jory (1997) dalam Kordi (2010) menyatakan bahwa penyakit “white spot” dapat menjalar baik secara vertikal dari induk maupun secara horizontal dari petak ke petak sebelahnya dan dapat mematikan udang di seluruh kawasan (Kordi, 2010).

beberapa petambak di Indonesia mulai mencoba membudidayakan Udang Vannamei. Produksi yang dicapai saat itu sungguh luar biasa. Apalagi, produksi Udang Windu yang saat itu sedang berkembang mengalami penurunan karena serangan penyakit, terutama bercak putih (white spot syndrome virus).

Kehadiran Udang Vannamei di akui sebagai penyelamat dunia pertambakan udang Indonesia. Petambak mulai bergairah kembali, begitu juga dengan para operator pembenihan udang. Operator mulai membenihkan Udang Vannamei untuk memenuhi kebutuhan petambak. (Haliman dan Dian Adijaya S, 2008).

(3)

Ada beberapa keunggulan budidaya Udang Vannamei dibandingkan dengan Udang Windu yang membuat masyakarat cepat menerima dan membudidayakan Udang Vannamei, yaitu a) Tumbuh cepat, toleran terhadap suhu air, oksigen terlarut dan salinitas yang relatif rendah; b) Mampu memanfaatkan seluruh kolam air; c) Tahan terhadap penyakit dan tingkat produktivitas yang tinggi; d) Kebutuhan kandungan protein pakan yang relative rendah; e) Tersedia teknologi produksi induk atau benih bebas penyakit (specific pathogen free = SPF) dan tahan penyakit (specific pathogen resistant = SPR) (Sudradjat dan Wedjatmiko, 2010).

Siklus hidup Udang Vannamei bersifat nocturnal, yaitu melakukan aktivitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat yang bersamaan udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung sekitar 1 menit. Sepasang Udang Vannamei berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan 100.000-250.000 sel telur yang berukuran 0,22 mm. Siklus hidup Udang Vannamei sebelum di tebar ditambak yaitu :

1. Stadia Nauplii

Pada stadia ini larva berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih Udang Vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.

(4)

Stadia Zoea terjadi setelah nauplii ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15 -24 jam. Larva berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini benih udang mengalami moultin sebanyak 3 kali, yaitu : stadia zoea 1, stadia zoea 2, dan stadia zoea 3. Lama waktu proses penggantikan kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4-5 hari. Pada stadia ini benih sudah dapat diberi pakan alami seperti artemia.

3. Stadia Mysis

Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropods) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva berkisar 3.50-4,80 mm. stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu : mysis 1, mysis 2, dan mysis 3 yang berlangsung selama 3-4 hari sebelum masuk pada stadia post larva (PL).

4. Stadia Postlarva (PL)

Pada stadia ini, benih Udang Vannamei sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti postlarva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang sudah mulai aktif bergerak lurus kedepan.

Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain, udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta,

larve keran dan lumut.

Udang Vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu

(5)

halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan.

Bila pakan mengandung senyawa organik, seperti : protein, asam amino, dan asam lemak maka udang akan merespon dengan cara mendekati sumber pakan tersebut.

Pigmentasi atau perubahan warna kulit berhubungan dengan kesehatan udang. Warna kulit juga bisa digunakan sebagai acuan kualitas udang yang akan dipanen, seperti nilai gizi, kesegaran, dan rasa. Pigmen utama pada Udang Vannamei yaitu karotenoid yang dominan terdapat pada dieksoskleton. Karotenoid pada udang menimbulkan warna merah, kehijauan, kecoklatan, dan kebiruan. Warna -warna tersebut dipengaruhi lingkungan budidaya. Kekurangan karotenoid pada Udang Vannamei bisa menyebabkaan warna eksoskleton tampak dan pudar. Beberapa penelitian menunjukan bahwa karotenoid merupakan provitamin A yang berfungsi membentuk jaringan epidermis dan mukosa sehingga udang lebih tahan terhadap serangan bakteri dan jamur. Selain itu, karotenoid berfungsi untuk menjaga permeabilitas membran sel dan meningkatkan daya tahan tubuh (imunologi) (Haliman dan Dian Adijaya S, 2008).

Benih udang yang siap ditebar di tambak haruslah benih yang berkualitas. Benur yang berkualitas tumbuh pesat, sehat, dan setiap hari ganti kulit (moulting). Benih-benih atau benur dari hasil penangkapan di alam maupun di hatchri yang akan ditebar di tambak harus dipilih yang benar-benar berkualitas. Maka perlu dicari hatchri yang mempunyai reputasi baik dalam menghasilkan benih. Indikator yang dapat dijadikan acuan untuk menilai hatchri berkualitas atau tidak sebagai

(6)

berikut : sarana dan produksi hachri, sumber daya manusia pengelola hachri, metode produksi benih.

Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan udang akan menimbulkan masalah karena sisa-sisa pakan yang tidak habis dimakan udang akan menjadi limbah dan menurunkan kualitas air. Pakan powder (serbuk) untuk ukuran udang stadium larve, flake (serpihan) ukuran udang PL1 – PL15, crumble (remahan) untuk ukuran udang PL 20 - 1 g. Dan pellet untuk udang ukuran 1-10 g. Pakan umumnya dilihat dari komposisi zat gizinya. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan tersedia dalam pakan udang antara lain: protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Kordi, 2010).

Kualitas air dalam tambak petak pembesaran harus tetap terjaga. Adapun kualitas air yang optimum untuk hidup udang adalah sebagai berikut a) salinitas : <10ppt ; b) suhu air : 27-31°C ; c) pH : 7,0-8,5 ; d) oksigen terlarut : 3-8 mg/L ; e) alkalinitas : 150 mg/L ; f) kecerahan : 20-40 cm ( Sudrajat dan Wedjamiko, 2010).

Usaha budidaya perairan, termasuk udang akan berhasil baik dalam air dengan pH 6.5-9.0, dan kisaran optimal untuk udang adalah pH 7.5-8.7. Untuk udang ukuran 0.02-15 g/ekor, pH yang cocok antara 7.9-8.3; untuk udang ukuran 16-30 g/ekor, nilai pH yang sesuai 7.7-8.2 dan ukuran lebih dari 30 g/ekor nilai pH yang cocok adalah 7.7-8.0.

Menurut Kholik (1998) dalam Kordi (2010) pertumbuhan dan kehidupan udang sangat dipengaruhi suhu air. Umumnya dalam batas-batas tertentu kecepatan pertumbuhan udang meningkat sejalan dengan naiknya suhu air, sedangkan derajat kelangsungan hidupnya bereaksi sebaliknya terhadap kenaikan suhu.

(7)

Artinya, derajat kelangsungan hidup udang menurut pada kenaikan suhu. Kisaran suhu terbaik bagi pertumbuhan dan kehidupan udang antara 28°-30°C, walaupun Udang Windu masih dapat hidup dalam suhu 18°C dan 36°C. Namun dalam tingkat suhu tersebut udang sudah tidak aktif (Kordi, 2010).

Induk betina siap pijah umumnya berukuran 35-40 gram/ekor, sedangkan ukuran siap panen di tambak umur 100 hari (3,5 bulan) adalah 60-80 ( 60-80 ekor/kg) atau rata-rata ukuran 70 untuk kepadatan tebar 80 ekor PL (post larva)/m2 dengan SR (survival rate/derajat kelangsungan hidup) sekitar 80% dan FCR (Feed Conversion Rate) pakan 1,2. Hidup dalam tambak dengan salinitas (kadar garam) air tambak pemeliharaan berkisar 5-35 permil (Amri dan Iskandar Kanna, 2008).

Jenis hama yang potensial menggangu usaha budidaya udang dalam budidaya ini predator atau pemangsa adalah ikan,ular air,burung,serangga,cacing dan siput. Sedangkan jenis penyakit yang menyerang udang adalah virus,bakteri,parasit dan jamur. Virus dan baktri merupakan jenis penyakit yang sangat berbahaya bagi udang (Kordi, 2010).

Usaha budidaya udang di Indonesia memiliki tiga pola yaitu berpola tradisional, semi intensif, maupun intensif. Akan tetapi di Indonesia memakai budidaya secara intensif tersebut untuk meningkatkan produksi dan memperoleh hasil panen yang dapat di petik setiap bulan dengan pola pemeliharaan bergiliran pada petakanpetakan tambak sehingga dapat memenuhi kebutuhan permintaan udang sewaktu -waktu. (Buwono, 1993).

Indonesia merupakan daerah tropis dimana pola tanam pemeliharaan udang dapat dilakukan sepanjang tahun. Prasarana maupun saran dan fasilitas dalam industry

(8)

boleh dikatakan cukup memadai dan menunjang pertambakan udang tersebut, sehingga mendorong kalangan untuk mengubah pola budidaya udang menjadi lebih intensif. Pengubahan pola ini dimaksud sebagai salah satu upaya meningkatkan produksi dan untuk memperoleh hasil panen yang dapat dipetik setiap bulan dengan pola pemeliharaan bergiliran pada petakan-petakan tambak sehingga dapat memenuhui kebutuhan permintaan udang sewaktu-waktu.

Dalam pola budidaya secara intensif ini memerlukan manajemen usaha secara professional dan ketelitian. Pemeliharaan udang secara intensif berarti menggunakan padat penebaran tinggi, pola tanam yang terus-menerus, dan pemberian pakan bergizi tinggi. Keseimbangan ekosistem lingkungan, terutama kualitas air, harus dijaga dengan baik agar tidak mendorong tersebarnya organism-organisme asing yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan udang. air adalah media hidup utama udang, maka keseimbangan ekosistemnya harus dijaga. Apabila air tersebut terus menerus dipakai tanpa ada sedikit perbaikan pada sifat biologis, kimiawi, dan physic, air tersebut tentunya kurang layak bagi kehidupan udang (Buwono, 1993).

Pola budidaya secara semi intensif ini sama dengan sistem intensif, akan tetapi yang membedakanya pada perlakuan budidaya udang seperti pemeliharaan,peralatan,obat-obatan dan penganggulangan hama pada budidaya udang tersebut.

Sistem pengelolaan semi intensif merupakan teknologi budidaya yang dianggap cocok untuk budidaya udang di tambak di Indonesia karena dampaknya terhadap lingkungan relative lebih kecil. Selain kebutuhan sarana dan prasarana produksi

(9)

yang jauh lebih murah dibandingkan tambak intensif, yang lebih pokok dari sistem semi intensif ini, yaitu memberikan kelangsungan produksi dan usaha dalam jangka waktu yang lebih lama (Anonimous, 2008).

Pola budidaya secara tradisional ini menggunakan lahan alam yang berada di pinggir laut. Membudidayakan udang sistem tradisional hanya membuat bedengan berbentuk kolam, untuk pengisian air dan bibit berharap pada saat air pasang dan tidak memerlukan pemeliharaan. sistem tradisional memperoleh produksi udang tidak bisa ditentukan, karena sistem ini hanya berharap terhadap alam.

Sistem budidaya udang di Desa Sei Meran, Kec. Pangkalan Susu, Kab. Langkat semuanya menggunakan sistem semi intensif.

2.2. Landasan Teori

2.2.1.Biaya dan Pendapatan

Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani.Biaya dalam usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1) Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang relative tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Sehingga biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan yang tidak habis terpakai dalam satu kali periodea produksi.

2) Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah

(10)

tergantung dari besar kecilnya produksi yang diinginkan. Biaya yang dikeluarkan yang habis terpakai dalam satu kali periode produksi.

Untuk mendapatkan biaya total dalam usahatani dengan cara keseluruhan jumlah dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost), sehingga mendapatkan hasil dari seluruh biaya dalam usahatani yang harus dikeluarkan.

Pendapatan usahatani terbagi atas dua, yaitu pendapatan bersih usahatani diperoleh dari hasil pengurangan seluruh biaya secara riil dikeluarkan oleh petani terhadap pendapatan kotornya, sedangkan pendapatan kotor usahatani diperoleh melalui hasil kali antara total volume produksi dengan rata-rata harga produk ditingkat petani. (Wahyudi dkk, 2008).

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya usahatani, dimana penerimaan diperoleh dari perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual dipetani. (Soekartawi, 1995).

2.2.2.Teori Kelayakan

Teori kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha/proyek yang direncanakan. Pengertian layak dalam penelitian ini adalah kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), dalam arti financial benefit maupun dalam arti social benefit. Layaknya suatu gagasan usaha/proyek dalam arti social benefit tidak selalu menggambarkan layak dalam arti financial benefit , hal ini tergantung dari segi penilaian yang dilakukan (Ibrahim, 2009).

(11)

Setiap sektor usaha yang akan didirikan, dikembangkan, dan di perluas ataupun dilikuidasi selalu didahului dengan satu kegiatan yang disebut studi kelayakan. Metode penyusunan studi kelayakan tidak ada yang baku, namun pada umumnya terdiri atas beberapa aspek, yaitu: (1) aspek pasar dan pemasaran; (2) aspek teknis produksi dan teknologis; (3) aspek manajemen; (4) aspek legal dan perizinan, dan (5) aspek keuangan (Subagyo, 2007).

Suatu kriteria investasi merupakan suatu alat apakah suatu usaha yang dilaksanakan layak atau tidak layak. kriteria tersebut adalah sebagai berikut :

1. Break Event Point (BEP)

Secara umum BEP adalah suatu keadaan dimana produksi dalam suatu perusahaan tidak ada untung tidak ada rugi, impas antara biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan pendapatan yang diterima.

Manfaat Break Event Point (BEP)

1) Jumlah penjualan minimal yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian.

2) Jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh keuntungan tertentu. 3) Seberapa jauhkah berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak menderita

rugi.

4) Untuk mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya dan volume penjualan terhadap keuntungan yang diperoleh.

Keterbatasan Break Even Point (BEP)

1) Biaya Tetap (Fixed cost) haruslah konstan selama periode atau range of output tertentu

(12)

2) Biaya Variable (Variable cost) dalam hubungannya dengan sales haruslah konstan

3) Sales price per unit tidak berubah dalam periode tertentu 4) Sales mix adalah konstan

2. R/C Ratio

R/C adalah perbandingan antara penerimaan penjualan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi hingga menghasilkan produk (Soekartawi, 2000).

2.3 Kerangka Pemikiran

Udang merupakan komoditas primadona di sub sektor perikanan yang dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor perikanan. Permintaan akan udang sangat tinggi di masyarakat Indonesia karena udang memiliki banyak mengandung protein dan vitamin yang bagus untuk kesehatan tubuh. Permintaan akan udang bukan hanya dari dalam negeri melainkan dari luar negeri sehingga Indonesia menjadi pengirim udang terbesar di dunia karena terdapat banyak usaha budidaya udang di Indonesia.

Sistem budidaya udang di Indonesia memiliki tiga sistem yaitu sistem tradisional, semi intensif dan intensif, dari ketiga sistem itu petani di Desa Sei Meran lebih memilih sistem semi intensif dikarena kan sarana dan prasarana produksi yang lebih murah.

Jumlah produksi yang dihasilkan mempengaruhi penerimaan petani, dimana besarnya produksi tersebut ditentukan oleh produktivitas usaha budidaya tambak tersebut. Penerimaan juga dipengaruhi oleh harga jual udang

(13)

Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya usaha budidaya udang maka dapat memberikan informasi tentang proporsi keuntungan yang diperoleh oleh petani tambak. Jika R/C > 1 maka usaha budidaya udang layak untuk diusahakan. Namnu jika R/C < 1 maka usaha budidaya udang tidak layak untuk diusahakan.

Penerimaan adalah jumlah produksi dikalikan dengan harga jual udang kepasaran. Pendapatan yang diterima petani dari usaha tambak udang merupakan jumlah penerimaan dari usaha tambak udang yang dikurangi oleh total biaya produksi.

Break event point (BEP) merupakan suatu kondisi yang menggambarkan bahwa usahatani yang diperoleh sama dengan modal yang dikeluarkan atau impas. Usahatani yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian:

- BEP Volume Produksi : Total Biaya Produksi Harga di Tingkat Petani

- BEP Harga Produksi : Total Biaya Produksi Total Produksi - BEP Penerimaan : Fixed cost

1-Variabel Cost S

Nilai kelayakan usahatani (R/C ratio atau return/cost ratio). R/C ratio merupakan perbandingan antara penerimaan atau biaya produksi, sekaligus menunjukan tingkat efisiensi pendapatan suatu usahatani. Semakin besar R/C ratio (>1) maka semakin menguntungkan usahatani.

(14)

Secara singkat dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 1.Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Pengaruh : Hubungan

2.4 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah usaha tambak udang di daerah penelitian layak untuk diusahakan.

Gambar

Gambar 2. Udang Vannamei
Gambar 1.Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan uji t (t-test) yaitu jika signifikan t hitung lebih besar dari pada t tabel, maka dapat dinyatakan signifikan dan berarti secara parsial variabel

Untuk produk ini, penilaian keselamatan kimia sesuai dengan peraturan EU REACH No 1907/2006 tidak dilakukan. Informasi lain

Untuk mencapai indikator kinerja sasaran yang telah ditetapkan dalam Penetapan Kinerja Dinas Kehutanan Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2015,

Penutup Sebagai penutup, bahwa alur makalah ini lebih menekankan tentang pentingnya: Seorang guru (pendidik) sebaiknya memahami prinsip – prinsip dasar pengajaran bahasa

Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang,

(3) Komponen tarif rawat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk obat-obatan, tindakan medik, tindakan medik gigi, penunjang medik, keperawatan,

Pada makalah ini dipaparkan metode yang digunakan dalam menentukan nilai kemampuan ukur terbaik untuk pengukuran aktivitas sumber berbentuk titik menggunakan perangkat

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang mengenai Teknik Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dengan Metode Keramba Jaring Apung di Balai