• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadirannya telah diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Karya sastra tidak saja dinilai sebagai karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi emosional (Semi, 1993:1).

Kesusastraan dikenal berbagai macam jenis sastra (genre). Sejak Plato dan Aristoteles membagi karya sastra menjadi tiga kategori menurut Wellek dan Warren (1984:300) yakni: puisi, prosa dan drama, kini ketiga genre sastra tersebut

merupakan genre sastra secara garis besar. Menurut Nurgiyantoro (1995:1),

dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di

samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga

disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative

discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat:

cerkan) atau cerita khayalan. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen.

Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan nama tokoh yang memiliki karakter, sehingga karya sastra juga menggambarkan tentang kejiwaan manusia walaupun pengarang hanyalah menampilkan tokoh itu secara fiktif. Melihat

(2)

commit to user

kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam aspek kehidupan yang tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan manusia terdiri atas jiwa dan raga. Oleh sebab itu peneliti yang menggunakan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi yang lain. “orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pertolongan psikologi” (Harjana, 1994:66). Seseorang dapat memahami dan mengamati karakter tokoh-tokoh melalui cerita dalam bentuk novel dengan memanfaatkan kajian psikologi. Seperti halnya dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n

‘Abdul Quddu>s yang dapat di analisis dengan kajian psikologi sosial Erich Fromm.

Karakterisasi atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti pemeranan,

pelukisan watak, metode karaterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara menentukan karakter (tokoh)-dalam hal ini tokoh imajinatif-dan menentukan watak tokoh atau karakter sangat berbeda. Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk memberikan ide atau menumpukkan gagasan. Memperjelas serta mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang melukiskan kualitas karakteristik yang membedakannya dengan tokoh lain. Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh (Minderop, 2005:5).

Novel Dua Wajah Luciana atau La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> merupakan karya

ketiga puluh lima dari seorang sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di

(3)

commit to user

sebagai wartawan telah menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La>

Tatruku>ni Huna> Wachdi> ini pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung

di sebuah surat kabar terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981

(Atho‟illah, 2008:59).

La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> mengisahkan kehidupan seorang wanita Yahudi

Munikuris bernama Lucianna Hannedey. Suaminya bernama Zaki Raul dan mereka

telah dikaruniai dua orang anak bernama Yasmin dan Yitzhak. Pernikahan ini dianggap Lucianna sebagai pernikahan yang merugikan, dimana Lucianna merasa mampu mendapatkan suami yang kaya raya tidak seperti suaminya yang pengangguran. Lucianna merasa dirinya cantik dan pintar, namun hal yang paling

bodoh adalah menikah dengan Zaki Raul (Quddu>s, 2004:4).

Lucianna memutuskan untuk bekerja di salon “Strafto” karena ketidakpuasannya terhadap suami. Lucianna yang cantik membuat pengunjungnya

para pasha (para beek dan bangsawan) dan pangeran meliriknya. Karakter Lucianna

yang begitu pintar merayu para lelaki membuat pelanggannya betah berlama-lama

dengannya (Quddu>s, 2004:13).

Kemelut terjadi dalam hati Lucianna Hanedey. Ia tertarik dengan salah satu pelanggannya bernama Shaukat Beek. Lucianna pun berani mempertaruhkan agama dan berpindah ke agama Islam, nama Lucianna berpindah menjadi Zaenab Hanedey kemudian menikah dengan Shaukat Beek. Mereka dikaruniai seorang anak bernama Hagar. Namun pada akhirnya kelicikan membuat Lucianna jauh dari anak-anak dan

(4)

commit to user

Istilah “psikologi sastra” menurut Wellek dan Warren dalam Endraswara (2008:65) diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang. Dapat dipahami betapa pentingnya psikologi sastra untuk menangkap sisi lain dari karya sastra. Pada

prinsipnya, psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama

adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; kedua adalah studi

proses kreatif; ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada

karya sastra; keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi

pembaca). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s ini merujuk kepada kedua konteks tersebut, sebuah percampuran dari berbagai keinginan yang ingin dicapai dari tokoh Lucianna.

Penelitian ini menarik untuk diteliti dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> ialah dikarenakan novel ini memaparkan dan mendeskripsikan karakter tokoh yang dipengaruhi dengan keadaan sosial dan memunculkan dua karakter yang berbeda dalam satu diri. Novel ini megambarkan saat menjadi Lucianna Hanedey seorang wanita Yahudi Munikuris yang bekerja di sebuah salon. Karakter Lucianna kental sekali dengan keyahudiannya, namun tak jarang ia memberontak dengan adat-adat kaum Yahudi. Ketika menjadi Zaenab Hanedey ia merubah gaya hidupnya dengan bergaul bersama para muslimah lainnya dan menjadi istri yang taat. Kisah perjalanan tersebut mendapat kecaman dan hinaan dari kalangan elit Yahudi. Tetap saja

Lucianna dianggap sebagai Yahudi Munikuris yang hanya bekerja di salon.

Skripsi ini menggunakan teori psikologi sosial Erich Fromm sebagai alat bantu untuk menemukan representasi pemikiran, hasrat, karakter dan jiwa Lucianna

(5)

commit to user

atau Zaenab Hanedey dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi>. Psikologi sosial Erich Fromm ini adalah teori yang mana manusia merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Penelitian ini sangat tepat dengan teori psikologi sosial Erich Fromm.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul

Quddu>s?

2. Bagaimana karakter tokoh Lucianna ditinjau dari dualisme tokoh dalam pendekatan

teori psikologi Erich Fromm?

3. Bagaimana eksistensi manusia yang dialami tokoh Luciana dalam pendekatan teori

psikologi Erich Fromm?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengungkapkan bagaimana struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan biografi

pengarang) dalam novel La> Tatruku>>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.

2) Mendeskripsikan karakter tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi dualisme

tokoh menurut psikologi Erich Fromm.

3) Mendeskripsikan tokoh Lucianna Hanedey dengan meninjau sisi eksistensi diri

(6)

commit to user C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yakni:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan teori struktural dan mengungkapkan

bagaimana karakter tokoh Luciana dalam novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> dengan

pendekatan analisis psikologi sastra.

b. Secara Praktis

Hasil dari penelitian ini secara praktis dapat menambah dan memperkaya khasanah penelitian sastra, khususnya psikologi sastra yang terkait dengan karakter tokoh Lucianna dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi>.

D. Tinjauan Pustaka

Novel ini pernah diteliti dengan menggunakan salah satu pendekatan “feminis” yang ditinjau dari tiga permasalahan pokok yang meliputi nilai moral dalam kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh perempuan. Novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> pernah diteliti oleh Nasihin (2008) dengan judul Riwayat La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> Li> Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s Dirasah

Naqdiyah Adabiyah Nisa’iyah. Nasihin menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa

novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s memiliki tiga permasalahan pokok utama tentang feminis yang meliputi nilai moral dalam

(7)

commit to user

kepribadian tokoh perempuan, persamaan hak dan kesempatan antara tokoh perempuan dan laki-laki, dan tujuan hidup tokoh perempuan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, penelitian dengan pendekatan psikologi sastra, sejauh pengamatan belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan psikologi sastra khususnya teori psikologi sastra Erich Fromm.

E. Pembatasan Masalah

Penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah, agar masalah yang akan dikaji oleh peneliti tidak melebar. Pembatasan masalah sangat penting karena penulis dapat memutuskan pada masalah tertentu supaya mendapatkan pembahasan yang sistematis, dan data yang diperoleh lebih akurat. Sejalan dengan judul yang diangkat, penulis membatasi pada lingkup pendekatan struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan biografi pengarang), karakter tokoh Lucianna dengan pendekatan teori psikologi Erich Fromm dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n

‘Abdul Quddu>s. Peneliti akan membatasi pembahasannya dengan hanya membahas

dua dari tiga teori yang dikemukakan oleh Erich Fromm yaitu dualisme manusia dan eksistensi manusia. Sebagai teori penyempurna, peneliti akan membahas sedikit teori Karl Marx berupa Ambivalensi, Alienasi dan Resistensi.

F. Teori

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti

(8)

commit to user

hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori tertentu dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat lain, tujuan akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Kutha Ratna, 2012:1). Meskipun demikian, sebuah teori, dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk memahami pendekatan-pendekatan teori. Pada penelitian kali ini akan menggunakan teori struktural dan psikologi sastra Erich Fromm.

1. Pendekatan Struktural

Sebuah penelitian sastra tidak terlepas dari pemahaman struktural. Pemahaman secara struktural merupakan sebuah model pendekatan atau teori yang menjadi pijakan awal untuk meneliti sebuah teks sastra. Pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang memiliki relasi kekhasan dalam menggali cermat, detai, teliti, serta dalam mengenai keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1988:135).

Pendekatan struktural mengasumsikan karya sastra sebagai sebuah fenomea yang memiliki struktur dan saling terkait satu sama lain. Relasi antarstruktur dalam sebuah karya sastra membentuk sebuah system yang baku dan bersifat otonom. Hal ini memiliki arti bahwa pemahaman karya sastra dapat dilihat dan diteliti dari teks sastra itu sendiri dengan merealisasikan unsure pembangun karya sastra yang membentuk sebuah makna secara utuh. Nurgiyantoro (2005:37) menambahkan bahwa analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan

(9)

masing-commit to user

masing unsure tersebut sehingga secara bersama membentuk totalitas kemaknaan yang padu.

Novel sebagai karya sastra memiliki unsur internal dan eksternal pembangunnya. Keduanya saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Unsur-unsur internal pembangun tersebut adalah alur, tokoh, latar, tema dan amanat. Sedangkan unsur eksternal pembangun karya tersebut adalah biografi pengarang.

Keterangan detail mengenai struktur novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s berdasarkan teori struktur Burhan Nurgiyantoro adalah

sebagai berikut:

a. Unsur Intrinsik

1) Alur

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Alur mengatur tindakan-tindakan yang bertalian satu sam lain, cara tokoh-tokoh yang digambarkan dan berperan dalam peristiwa ini semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Semi, 1993:43).

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa didalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Plot merupakan urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lainnya (Nurgiyantoro, 2005:119).

(10)

commit to user

Muchtar Lubis dalam Nurgiyantoro (2005:149) membedakan cara-cara menganalisis dan membaginya menjadi lima tahapan sebagai berikut:

a) Tahapan Situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita,

pemberi informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahapan berikutnya (Nurgiyantoro, 2005:149).

b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik) merupakan

tahap awal muculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan akan dikembangkan menjadi konflik-komflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2005:149).

c) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) merupakan tahap dimana

konflik yang muncul mulai berkembang, konflik-konflik yang terjadi baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan. Masalah tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindarkan (Nurgiyantoro, 2005:149).

d) Tahap Climax (Tahap Klimaks) konflik atau pertentangan yang terjadi yang

dilakukan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks (Nurgiyantoro, 2005:150).

e) Tahap Denounment (Tahap Penyelesaian) konflik yang telah mencapai

klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 2005:150).

(11)

commit to user

2) Tokoh

Suatu karya sastra, masalah tokoh merupakan suatu hal yang kehadirannya amat sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada sesuatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993:36).

Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu:

1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan),

jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badan yang lain (Satoto, 1998:44).

2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status

sosial, pekerja, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan (Satoto, 1998:45).

3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran

moral, tempramen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan keahlian khusus (Satoto, 1998:45).

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dimensi fisiologis. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh dan ciri fisik yang khas yang menguatkan

(12)

commit to user

karakter tokoh. Dimensi sosiologis meliputi cirri atau pola kehidupan sosial yang digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta tingkat pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, agama dan ciri sosial yang mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi psikologis meliputi latar belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral yang membedakan mana yang baik dan buruk, tempramen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian khusus dalam satu bidang dalam dan ciri psikologis yang lain (Waluyo, 1994:171).

Dilihat dari segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua jenis yaitu tokoh

sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complexs/round character).

Tokoh sederhana atau tokoh datar adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi saja. Bagian yang termasuk kategori tokoh sederhana atau datar adalah tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah familiar atau yang stercotip dalam fiksi. Tokoh kompleks atau bulat adalah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh

bulat memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan

sikap dan obsesi yang tunggal (Sayuti, 2000:78).

Semi (1993:40) berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dalam fiksi. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak dan karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Kedua secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh,penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya.

(13)

commit to user

Selain itu dapat dilihat melalui dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh lain.

3) Latar / setting

Latar atau setting segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan

dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suati karya sastra. Latar yang dikerjakan dengan teliti dan hati-hati oleh pengarang dimaksudkan untuk mengesani pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari larat faktual, disebut latar tipikal. Latar tipikal yang digunakan dalam novel memberikan kesan mendalam dan imajinasi konkret terhadap unsur latar seperti tempat, waktu, serta luang lingkup kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:222).

Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator, Abrams dalam Fanani

(2002:99) berpendapat, latar dibedakan dalam tiga indikator yaitu, general locate

(tempat secara umum), historical time (waktu historis), dan social circumstance

(lingkungan sosial).

Senada dengan Abrams, dalam Nurgiyantoro (2005:227) juga membedakan latar menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah

karya fiksi.

2. Latar waktu, yaitu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

3. Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

(14)

commit to user

Latar tidak hanya menunjukkan dimana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari

itu juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau tingkah laku cerita. Hal

ini diungkapkan oleh Fananie (2002:99) bahwa dalam telaah setting atau latar sebuah

karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya, melainkan juga

konteks diagesis-nya, kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak tokohnya

sesuai dengan situasi pada saat karya itu diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika peristiwa, perkembangan karakter sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.

4) Tema

Seorang pengarang pasti mempunyai ide dasar dalam karya yang ditulisnya. Ide dasar cerita juga disebut sebagai tema. Definisi tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak (Sudjiman, 1988:74).

Tema adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007:67). Adapun menurut Brooks, Purser, Warren dalam Tarigan (1999:125) mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membangun dasar dan gagasan utama dari suatu karya sastra.

5) Amanat

Amanat merupakan pesan atau sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007:322). Suatu cerita dapat diambil suatu pesan

(15)

commit to user

atau kesan yang disebut amanat. Amanat dapat dilihat dari pandangan pengarang mengenai kehidupan yang terdapat dalam karya sastra.

Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembaca. Melalui sudut sastrawan, nilai itu biasa disebut amanat. Oleh karenanya amanat dapat dapat juga diartikan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra, pesan, perintah, keterangan, wejangan dan kepercayaan yang disampaikan pengarang

kepada pembaca (Siswanto, 2008:162). Novel La> Tatruku>ni Huna> Wachdi> juga

memiliki amanat tentang karakter kaum Yahudi, nilai keagamaan, kesetiaan, dan nasionalisme.

b. Unsur Ekstrinsik

1) Biografi Pengarang

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s adalah seorang novelis, cerpenis, dan juga seorang

jurnalis. Dia lahir pada tanggal 1 januari 1919. Sejak kecil kegemarannya adalah

membaca. Ayahnya sangat mendukung studinya dan meraih gelar licence di bidang

hukum Universitas Kairo pada tahun 1942.

Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menggoreskan pena sastranya sejak dini atas

pengaruh ibunya yang telah mendirikan majalah Ruz Al-Yusuf. Usai menyelesaikan

studinya dia menyibukkan diri di majalah tersebut dengan posisinya sebagai dewan pimpinan redaktur hingga tahun1966. Ketika masih aktif sebagai jurnalis dimajalah

tersebut, dirinya mengikuti training dikantor seorang pengacara terkenal, Edward

(16)

commit to user

Pada tahun 1944 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s mulai menulis naskah film, setelah itu

cerpen. Bagi ihsan sastra dan jurnalistik harus ada dalam kehidupannya. Karena kedua bidang itu, dia dapat mencapai keseimbangan diri serta dapat merealisasikan apresiasinya. Akhirnya, dia berhenti dari profesi pengacara dan mengabdi penuh untuk sastra dan jurnalistik. Pada tahun 1971 sampai 1974, dia bekerja sebagai

pimpinan redaks surat kabar Akhbar Al-Yaum. Tahun 1974, dia terpilih menjadi

pimpinan dewan direksi Al-Ahram. Sejak tahun 1975, dia menjadi anggota dewan

tinggi urusan jurnalistik.

Selama hidupnya, Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s telah menghasilkan banyak karya,

yaitu 49 novel yang kemudia dibuat film, 5 novel dibuat drama, 9 novel dijadikan program serial di radio, 10 novel dijadikan program serial di televisi, dan 56 buku. Diantara karya-karyanya yang berupa buku adalah sebagai berikut:

(1949)

(17)

commit to user

An-nadza>ratus Sauda> (1949), Ana>sharah (1952), Al-wisa>datul Kha>liyah,

At-thari>qul Masdud, La> Ana>m, Al-baituna> Rajul, Syaiun Fi> Shadri>, Aina ‘aqli>, La> Tathghaus Syamsi.

Novel Dua Wajah Luciana merupakan karya ketiga puluh lima dari seorang sastrawan besar yang dilahirkan saat revolusi 1919 di Mesir. Sebelum meninggal

pada tahun 1990 Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s yang dikenal juga sebagai wartawan telah

menghasilkan 600 karya. Karya yang berjudul asli La> Tatruku>ni Huna> Wahdi> ini pernah dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung di sebuah surat kabar

terkemuka Al Ahram kemudian dibukukan pada tahun 1981.

Beberapa karyanya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Prancis, Cina, dan Jerman. Sebagian naskah film atau novelnya pernah mendapatkan beberapa penghargaan. Beliau meninggal pada tahun 1990 (Atho‟illah, 2008:59).

2. Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara, 2008:16). Mempelajari psikologi sastra sama halnya mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi ke dalam jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Edraswara, 2008:14). Seperti dikatakan bahwa psikologi sastra adalah disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis (Sangidu, 2005:30).

(18)

commit to user

Menurut Semi (1993:76), psikologi sastra adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada didalamnya atau mungkin juga bukan tokoh imajiner. Hal ini memicu untuk mengadakan penjelajahan kedalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk manusia yang beraneka ragam. Psikologi sastra juga didefinisikan sebagai suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis (Wright, 1998:9). Secara umum psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan (Sangidu, 2005:30). Psikologi sastra sebagaimana yang dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menempatkan teori, bukan sebaliknya. Mengambil analogi hubungan antara psikologi dengan pasien diatas pada dasarnya sudah terjadi keseimbangan antara karya sastra dengan teori. Artinya, dalam hubungan ini sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkapkan berbagai problematika. Tidak ada dominasi dalam pengertian saling menolak diantaranya, melainkan akan menghasilkan interaksi yang dinamis yang memungkinkan untuk mengungkapkan berbagai gejala dibalik gejala yang lain (Kutha Ratna, 2012:344).

Peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian psikologi sastra dengan menekankan pada kajian teks, yaitu dengan melihat cerminan unsur-unsur psikologis pada setiap tokoh yang ditampilkan dalam cerita. Hal ini selaras pula dengan pendapat Endraswara (2003:89) bahwa teks yang ditampilkan melalui suatu teknik dalam teori sastra ternyata dapat mencerminkan suatu konsep dari psikologi yang

(19)

commit to user

diusung oleh tokoh fiksional. Penelitian pada novel La> Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi ini mengarah pada pengertian yang ketiga, pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik analisis yang akan dilakukan diarahkan karakter tokoh Lucianna Hanedey atau Zaenab Hanedey dan tokoh-tokoh lain yang mendukung.

a. Teori Psikologi Erich Fromm

Erich Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama

oleh karyanya yang pertama, The Economic Philosophical Manuscrips yang ditulis

pada tahun 1944. Tema dasar tulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan dari alam oleh orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Fromm menyebutkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kondisi eksistensi diri. Kondisi tersebut sangat berhubungan erat dengan dualisme yang dimiliki manusia (Hall dan Lindzey, 1993:256). Novel ini menarik untuk diteliti dengan kondisi yang terisolasi, teori ini menyebutkan bahwasannya manusia tidak dapat lepas dari kondisi eksistensi diri.

Mengikuti filsafat dualisme yang dialami oleh tokoh Lucianna dalam novel La>

Ta>tru>ku>u>ni Hu>na> Wa>chdi karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s, semua gerak di dunia

dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai tesa baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak

(20)

commit to user

pernah berhenti bergerak. Menurut Formm dalam Suryabrata (2002) menyatakan bahwa ada 4 macam dualisme:

a) Empat dualisme yang terdapat dalam diri manusia:

1) Manusia sebagai binatang dan manusia sebagai manusia

Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologis yang harus dipuaskan, sperti kebutuhan makanan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berpikir, dan berimajinasi, kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma (Suryabrata, 2002:25).

2) Kesadaran manusia tentang adanya kehidupan setelah kematian

Kesadaran diri dan pikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian (Suryabrata, 2002:26).

3) Konsep tentang ketidaksempurnaan dan kesempurnaan

Manusia mampu mengkonsepkan realisasi diri yang sempurna, tetapi karena hidup ini pendek kesempurnaan tidak dapat tercapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati (Suryabrata, 2002:27).

(21)

commit to user

Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan denga orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualisme ini, agar tidak menjadi gila.

Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian.

Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia (Suryabrata, 2002:28).

Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa dan antitesa eksistensi manusia, disebut diema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakikat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakkat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan (Suryabrata, 2002:29).

Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan justru menjadi beban.

(22)

commit to user

Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu (1) Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan atau rasa aman, (2) Bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik (Suryabrata, 2002:32).

b) Kebutuhan Eksistensi Manusia

Fromm dalam Murtianto (1995:35) Pada umumnya “kebutuhan” manusia diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensi

dirinya, menurut Fromm terdiri dari kebutuhan keterhubungan (relatedness),

kebutuhan transendensi (transcendence), kebutuhan keberakaran (rootedness),

kebutuhan identitas (identity), dan kebutuhan kerangka orientasi dan pengabdian

(frame of orientation).

1. Kebutuhan Keterhubungan (Relatedness)

Kebutuan keterhubungan adalah kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu atau saudara, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan didasarkan pada cinta, perhatian,

(23)

commit to user

tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain, bisa negarif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan (Murtianto, 1995:36).

2. Kebutuhan Transendensi (rootedness)

Karena individu irinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya merasa tak berdaya. Orang ingin mengatasi peranan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketidakmenentuan semesta. Menurut kebutuhan ini, orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk megatasi sifat pasif yang dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dari bebas, berubah dari mahluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti pada kebutuhan keterhubungan, transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu) (Murtianto, 1995:37).

3. Kebutuhan Keberakaran (Rootredness)

Kebutuhan kebekaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti dirumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu: (1) Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya); (2) Pikiran dan kebebasan yang dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi atau tidak berdaya (Murtianto, 1995:48).

Keberakaran juga merupaka kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan. Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap aktif dan kreatif megembangkan perasaan menjadi bagian yang intregasi dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas berada di tengah-tengah

(24)

commit to user

dunia yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksional yang tidak sehat, yakni mengidentifikasi diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikatan baru dengan dunia baru (Murtianto, 1995:55).

4. Kebutuhan Identitas (sense of identity)

Kebutuhan identitas adalah kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan diriinya sendiri sebagai suatu yang terpisah. Manusia harus dapat merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan

merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Orang primitif

mengidentifikasi diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya. Rakyat mengidentifikasikan diri kepada rajanya, orang modern mengidentifikasikan dirinya pada negara, agama, pekerjaan atau kelompok polotik atau sosial. Itu semua ilusi identitas. Orang yang sehat, tidak banyak membutuhkan menyesuaikan diri dengan kelompok, tidak mudah menyerah, tidak mau mengorbankan kebebasan dan individualitasnya untuk bisa diterima lingkungan. Orang sehat memiliki perasaan identitas yang otentik (Murianto, 1995:63).

5. Kebutuhan Kerangka Orientasi dan Pengabdian

Kebutuhan akan kerangka orientasi ada pada dua tigkat, yang pertama dan kebutuhan yang lebih mendasar adalah milik beberapa kerangka orientasi, terlepas dari apakah itu benar atau salah. Kecuali manusia memiliki semacam kerangka subjektif merasakan orientasi, ia tidak bisa hidup secara masuk akal. Pada tingkat kedua, kebutuhan adalah kebutuhan dan ketenangan, serta ketidakwarasannya. Ini menjadi sangat jelas jika kita mempelajari fungsi rasionalisasi. Namun tidak masuk

(25)

commit to user

akal atau tidak bermoral tindakan mungkin, manusia memiliki dorongan yang tak dapat diatasi berdalih, yaitu untuk membuktikan kepada dirinya sendiri dan orang lain bahwa tindakannya ditentukan oleh akal, akal sehat, atau setidaknya moralitan konvensional. Dia memiliki sedikit kesulitan dalam bertindak irasional, tetapi hampir tidak mungkin baginya untuk tidak memberikan tindakannya munculnya motivasi yang wajar (Murtianto, 1995:64).

Jika seorang pria hanya kecerdasan yang tanpa tubuh, tujuannya akan dicapai oleh sistem pemikiran yang komprehensif. Tapi karena ia adalah sebuah entitas diberkahi dengan tubuh serta pemikiran, ia harus beraksi terhadap dikotomi keberadaannya tidak hanya dalam pemikiran tetapi dalam proses total jika hidup, dalam perasaan dan tindakannya. Oleh karena itu setiap sistem memuaskan orientasi tidak hanya berisi elemen intelektual perasaan dan pengindraan yang dinyatakan dalam hubungan ke objek pengabdian (Murianto, 1995:65).

c) Mekanisme Pelarian Diri dalam Teori Erich Fromm

Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri. Konflik antara kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta (Kamdani, 1997:143).

Menurut Fromm dalam Kamdani (1997), normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Pada

(26)

commit to user

dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:

1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa

mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Fromm menyebut hal itu dengan pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.

2. Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan

bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Mekanisme pelarian diri muncul sebagai akibat dari ketidakamanan individu yang terisolasi (Kamdani, 1997:144). Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni

otoritarianisme (authoritarianism), kedestruktifan (destruktiveness), dan

(27)

commit to user

a. Otoritarianisme (authoritarianism)

Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk menggabungkan dengan individu atau institusi yang memiliki kekuatan. Penggabungan itu sering mengarah pada bentuk sadisme. Paham sadisme dipakai untuk merendahkan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang parah dan berbahaya karena mengancam orang lain (Kamdani, 1997:147).

Ada tiga jenis kecenderungan sadisme yang kurang lebih saling berkaitan.

Pertama, kecenderungan untuk membuat orang lain tergantung pada dirinya sendiri

dan menanamkan kekuasaan mutlak dan tidak terbatas terhadap orang lain sehingga

mereka menjadi sekedar sebagai alat. Kedua, kecenderungan untuk memeras orang

lain, dan memanfaatkan mereka. Terakhir, kecenderungan atau keinginan untuk

membuat orang lain menderita atau melihat mereka sengsara. Penderitaan ini bisa secara fisik, namun yang lebih sering adalah penderitaan mental. Tujuannya adalah untuk melukai, menghina, mempermalukan orang lain (Kamdani, 1997:148).

Hobbes menganggap sadisme sebagai „kecenderungan umum umat manusia‟, eksistensi dari hasrat abadi dan gelisah untuk berkuasa setelah kekuasaan akhirnya berhenti pada kematian. Bagi Hobbes, hasrat untuk berkuasa bukan merupakan kualitas kejam, melainkan merupakan akibat paling rasional dari hasrat manusia untuk kenikmatan dan keamanan. Dari Hobbes sampai Hitler, orang menjelaskan hasrat untuk mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan untuk tetap hidup

(28)

commit to user

bagi yang paling kuat yang mendominasi merupakan akibat logis dari perjuangan untuk tetap hidup bagi yang paling yang dikondisikan secara biologis, keinginan untuk kekuasaan dijelaskan sebagai bagian dari watak manusia yang tidak perlu dijelaskan lebih jauh (Kamdani, 1997:151).

Semua bentuk sadisme yang berbeda yang diteliti dapat dikembalikan pada satu dorongan esensial, yaitu meningkatkan penguasaannya terhadap orang lain, untuk membuat orang lain menjadi objek tidak berdaya terhadap keamanan kita, untuk menjadi penguasa mutlak terhadap orang lain, untuk menjadi Tuhan bagi orang lain, untuk bekerja dengan orang lain itu karena orang merasa senang. Untuk menghina dia, untuk memperbudak dia, merupakan sarana bagi tujuan ini, dan tujuannya yang paling radikal adalah membuat dia menderita karena tidak ada kekuasaan yang lebih besar pada orang lain daripada menimpakan derita kepada dia, memaksa dia mengalami penderitaan tanpa dia dapat mempertahankan diri (Kamdani, 1997:161).

b. Kedestruktifan (destruktiveness)

Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strategi destruktif , merusak orang atau objek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang (Kamdani, 1997:184).

Ancaman terhadap sesuatu yang penting (material dan emosional) akan menciptakan kecemasan, dan kecenderungan destruktif bisa juga menjadi, walaupun tidak disadari, kecemasan yang terus menerus yang memancar dari perasaan terus

(29)

commit to user

terancam oleh dunia luar, jenis kecemasan yang terus-menerus ini merupakan akibat dari keadaan individu yang terasing dan tidak berdaya, dan merupakan salah satu sumber kedestruktifan yang berkembang dalam dirinya (Kamdani, 1997:185).

Destruktif berakar pada perasaan kesepian, keterasingan, dan

ketidakberdayaan individu. Dengan demikian, destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas atau merusak kekuatan orang lain, individu bahkan negara dapat memakai strategi destruktif, merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.

c. Penyesuaian Diri (conformity)

Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain (Kamdani, 1997:186).

d) Objek Penelitian

Sangidu (2007:61) menyatakan bahwa objek penelitian sastra adalah pokok topik penelitian sastra. Objek dari penelitian ini mengungkapkan karakter dari tokoh Lucianna dengan pendekatan struktural intrinsik dan ekstrinsik (alur, tokoh, latar, tema, amanat, dan biografi pengarang), selain itu juga menggunakan teori psikologi Erich Fromm.

(30)

commit to user

a. Data

1. Data Primer

Data adalah lingual khusus yang terkandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:5). Data penelitian ini berupa teks,

kata-kata, frasa, kalimat maupun wacana yang terkandung dalam novel La>

Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s.

2. Data Sekunder

Data sekunder berupa referensi, sumber tertulis lain, buku-buku, E-Book,

internet, dan sebagainya.

b. Sumber Data

Kutha Ratna (2012:47) menyatakan bahwa sumber data berupa novel. Sumber data yang digunakan dala kepustakaan ini adalah data kepustakaan yang berupa buku,

transkip, E-Book, hasil penelitian, dan yang lain sbagainya yang diuraikan dengan

perincian sebagai berikut:

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung yaitu berupa novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul Quddu>s setebal 199 halaman. Data yang diambil oleh peneliti adalah karakter tokoh Lucianna atau Zenab Hanedey.

(31)

commit to user

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada misal buku-buku, karya tulis, penelitian, resensi, referensi, kajian ilmiah dan yang berhubungan dengan pembahasan novel atau objek penelitiannya.

e) Teknik Pengumpulan Data

Teknik dalam pengumpulan data adalah teknik pustaka. Teknik pustaka adalah pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis umtuk memperoleh data. Sumber tertulis itu berwujud buku, majalah, surat kabar, karya sastra, buku bacaan ilmiah (Satoto, 1995:42). Teknik pengumpulan data lainnya dengan cara membaca, memahami, menyimak, mencatat dan mengutip data-data yang terdapat di dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> karya Ichsa>n ‘Abdul

Quddu>s.

f) Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus menerus, sejak pengupulan data di lapangan sampai penulisan laporan penelitian (Aminudin, 1990:18). Data yang telah diolah kemudian dianalisis melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut merupakan rangkaian suatu proses yang berurutan dan berkesinambungan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap deskripsi, yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan

persoalan, setelah itu dideskripsikan.

2. Tahap klasifikasi, yaitu data-data yang telah dideskripsikan kemudian

dikelompokkan menurut kelompoknya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang ada.

(32)

commit to user

3. Tahap analisis, yaitu semua data-data yang telah diklasifikasikan menurut

kelompoknya masing-masing dianalisis menggunakan pendekatan struktural kemudian dilanjutkan dengan menggunakan psikologi sastra.

4. Tahap interpretasi data, yaitu upaya penafsiran dan pemahaman terhadap

analisis data sehingga mendapatkan pemahaman secara menyeluruh dan utuh.

5. Tahap evaluasi, yaitu suluruh data-data yang sudah dianalisis dan

diinterpretasikan kemudian ditarik kesimpulan, namun sebelum ditarik kesimpulan data itu diteliti kembali supaya dapat dipertanggungjawabkan.

g) Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau

jalan. Menurut Ruslan (2003:24) metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Metode yang digunakan dalam penelitian novel La> Tatruku>ni> Huna> Wachdi> ini berkaitan erat dengan Psikologi sastra yang mengacu pada karakteristik tokoh utama.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Data-data tulisan dalam novel La> Tatruku>ni> Huna> Wa>chdi> yang berupa kata-kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf akan menjadi data-data yang dianalisis. Dengan menggunakan metode yang tepat, diharapkan penelitian terhadap suatu karya dapat menjadi lebih maksimal sehingga hasilnya pun lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

(33)

commit to user h) Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Teori, menjelaskan tentang definisi Struktural (alur, tokoh, latar, tema dan amanat), Teori Psikologi dan Pendekatan Teori Psikologi Sastra Erich Fromm, Objek Penelitian, Sumber Data dan Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Metode Penelitian, Sistematika Penyajian.

Bab II Isi, Analisis Struktural (alur, tokoh, latar, tema, amanat dan Biografi Pengarang) dan analisis psikologi sastra Erich Fromm, teori pasca-kolonial Karl Marx.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kesempatan kali ini, variasi sulaman karawo menggunakan teknik tusuk ikat dan tusuk loncat isi benang menisik. Untuk lebih jelasnya, proses pembuatan sulaman

Arnond Vongvanij ingin menjauhkan ‘Kesalahan Kecil’ dari kartu skornya saat dirinya berjuang pada laga ke dua Asian Tour di CIMB Niaga Indonesian Masters yang akan dimulai pada

Dengan penuh kerendahan hati, penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena dengan rahmat-Nya penulis akhirnya dapat

Dan pada pasien psikotik gelandang dapat dipengaruhi karena perilaku kekerasan dan dapat Dan pada pasien psikotik gelandang dapat dipengaruhi karena perilaku kekerasan dan

Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pengujian hipotesis, ditemukan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Pengaruh kepemimpinan

Kerja sama antara anda dan guru BK dalam menangangani kenakalan remaja di MTsN 2 Banda Aceh dan bentuk kerja sama yang dilakukan adalah: Bentuk kerja sama sebatas

Objek wisata di Kota Bengkulu tersebut sangat diminati oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Bengkulu, saat ini masih banyak wisatawan yang berkunjung ke Kota