• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN I PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN I

PRINSIP-PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI YURISDIKSI NEGARA

Yurisdiksi negara tidak dapat dipisahkan dari Azas Kedaulatan Negara (State Souvereignty) yang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Yurisdiksi Negara merupakan konsekuensi logis dari adanya azas kedaulatan ataupun hak-hak tertentu yang dapat dimiliki negara. Negara memiliki yurisdiksi dalam batas-batas teritorialnya karena negara memiliki kedaulatan yang menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dalam bidang apapun di dalam batas-batas teritorial dari negara yang bersangkutan (Mochtar Kusumaatmadja, 1972:15). Inilah yang disebut Kedaulatan Teritorial (Territorial Souvereignty) yang dengan sendirinya menimbulkan apa yang disebut Yurisdiksi Teritorial (Territorial Jurisdiction).

Menurut Malcolm N. Shaw (1986:342), yurisdiksi itu menyangkut kewenangan negara untuk mempengaruhi orang-orang, harta benda dan keadaan serta merefleksikan adanya prinsip dasar mengenai Kedaulatan Negara (State Souvereig-nty), persamaan negara-negara (equality of states) dan tidak campur tangan dalam urusan domestik (non-interference in domestic affairs). Sesungguhnya yurisdiksi adalah suatu ciri hakiki dan vital dari kedaulatan negara karena yurisdiksi adalah suatu pelaksanaan kekuasaan yang dapat mengganti

(2)

atau menciptakan atau mengakhiri hubungan dan kewajiban hukum.

Yurisdiksi itu dapat dicapai atau diwujudkan dengan mempergunakan (by means of) tindakan legislatif atau tin-dakan eksekutif atau tintin-dakan pengadilan sehingga keadaan seperti ini menimbulkan dua macam kategori yurisdiksi, yaitu: 1) Yurisdiksi Preskriptif (Prescriptive Jurisdiction), yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau menciptakan aturan-aturan hukum, dan 2) Yurisdiksi Pelaksanaan (Enforcement Jurisdiction), yaitu kekuasaan un-tuk menerapkan aturan-aturan tersebut melalui tindakan peradilan atau eksekutif (judicial or executive action).

Parlemen yang meloloskan undang-undang yang sifat-nya mengikat, pengadilan yang membuat putusan yang mengikat dan aparat pemerintah memiliki kekuasaan dan yurisdiksi atau kewenangan hukum untuk memaksakan aturan-aturan hukum (legal authority to enforce the rules of law). Perbedaan antara kemampuan atau kewenangan untuk membuat peraturan hukum (the prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menjamin pentaatan terhadap peraturan-peraturan hukum tersebut (the enforcement jurisdiction) menjadi dasar untuk memahami yurisdiksi negara.

Sesungguhnya pengertian yurisdiksi itu sendiri jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, karena pengertian yurisdiksi tidak hanya mencakup pengertian yurisdiksi teritorial, tetapi juga dapat mencakup pengertian

(3)

yurisdiksi yang menjangkau seseorang atau beberapa orang, hal-hal atau masaalah-masalah yang berada atau terjadi di luar batas-batas teritorial suatu negara.

Apabila yurisdiksi teritorial adalah merupakan konse-kuensi logis dari adanya azas kedaulatan teritorial serta hanya dapat menjangkau siapa atau apa saja yang berada atau terjadi dalam batas-batas teritorial negara tersebut (wilayah daratan, perairan pedalaman, laut wilayah dan perairan kepulauan), maka pengertian yurisdiksi dalam arti yang luas keberadaannya bersumber bukan hanya dari azas kedaulatan negara melainkan juga bersumber atau didasar-kan atas hak atau kewenangan dalam bidang-bidang tertentu yang diberikan oleh hukum internasional kepada suatu nega-ra, karena pengertian yurisdiksi negara bukan saja meliputi pengertian yurisdiksi teritorial, maka dalam hukum interna-sional dikenal dan diakui adanya berbagai bentuk atau variasi dari (pengertian) yurisdiksi negara.

Ada yang disebut yurisdiksi negara dalam bidang legislatif atau yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, yuris-diksi administratif dan yurisyuris-diksi yudikatif. Ada juga yang dinamakan yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yuris-diksi kriminal, yurisyuris-diksi sipil atau yurisyuris-diksi dalam perkara perdata dan yurisdiksi ekstra territorial (extra territorial juris-diction), seperti misalnya yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zona ekonomi eksklusif, di landas kontinen, yurisdiksi di laut bebas, yurisdiksi di ruang udara dan ruang angkasa,

(4)

yurisdiksi universal dan pelbagai macam yurisdiksi yang bisa timbul sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masya-rakat internasional di masa mendatang.

Namun demikian di antara segala macam bentuk atau variasi pengertian yurisdiksi negara, maka yang paling me-nonjol dan signifikan adalah pengertian yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial itu paling menonjol dan signifikan karena yurisdiksi semacam inilah sepanjang terpenuhi persyara-tannya, maka paling efektif untuk diterapkan atau dilaksa-nakan oleh Negara setempat. Yurisdiksi teritorial adalah hak, kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum nasionalnya ( prescript-tive jurisdiction), menerapkan atau melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut terhadap siapapun yang melanggarnya (enforcement juris-diction).

Yurisdiksi teritorial sebagaimana dikemukakan pengertiannya oleh J. G. Starke (1984:194) adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang terdapat dan atau terjadi di dalam batas-batas teritorialnya. Siapapun orangnya baik warganegara maupun orang asing yang berada di dalam wilayah suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi atau kekuasaan hukum dari negara yang bersangkutan.

Setiap benda apapun bentuknya baik bergerak maupun tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah suatu

(5)

negara harus tunduk pada kekuasaan hukum negara terse-but. Demikian pula peristiwa atau masalah apapun yang berlangsung atau terjadi di dalam batas-batas teritorial suatu negara dapat diselesaikan menurut peraturan-peraturan hukum dari negara yang bersangkutan.

Apapun yang terjadi di negara tersebut harus tunduk pada yurisdiksi teritorialnya. Negara tersebut mempunyai hak atau kewenangan untuk menciptakan peraturan-peraturan hukumnya sendiri, menerapkan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam kaitan dengan siapapun atau apapun yang berada atau terjadi di dalam batas-batas teritorial dari negara tersebut. Dengan kemajuan ilmu penge-tahuan serta teknologi terutama teknologi transportasi dan komunikasi maupun informasi mengakibatkan timbulnya perluasan yurisdiksi teritorial mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasilnya bagaimana-pun harus dapat ditambagaimana-pung dan diakomodasi oleh masyara-kat dan hukum internasional.

Hal ini disebabkan karena kemajuan dan kecanggihan teknologi tersebut tidak jarang dapat dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh mereka yang berniat melakukan pelang-garan atas peraturan-peraturan hukum nasional suatu negara dan mereka itu dapat meloloskan diri dari kekuasaan hukum negara tersebut dengan menggunakan fasilitas tekno-logi yang semakin lama semakin canggih. Dengan latar belakang seperti ini hukum internasional memperkenankan

(6)

suatu negara untuk memperluas yurisdiksi teritorialnya dan perluasan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan.

Kedua pendekatan ini adalah pendekatan berdasar-kan prinsip Teritorial Subyektif (the Subjective Territorial Principle) dan pendekatan yang didasarkan atas prinsip Territorial Obyektif (the Objective Territorial Principle). Kedua macam prinsip tersebut dengan demikian mengandung semacam muatan yang disebut Persaingan Yurisdiksi ( Concu-rrent Jurisdiction), yakni persaingan yurisdiksi di antara negara tempat terjadinya pelanggaran atau tindak pidana dengan negara tempat pelakunya berada. Persaingan yurisdiksi sering tidak terhindarkan dalam hubungan antarnegara, namun tidak perlu selalu dipersoalkan sebab hal ini terkait dengan azas kedaulatan dan yurisdiksi teritorial dari masing-masing negara yang berkepentingan atas suatu kasus.

Apabila salah satu negara yang merasa berkepen-tingan dan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menjalankan yurisdiksinya dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana atau terhadap mereka yang terlibat karena mereka ini berada di wilayah negara tersebut, maka negara lain yang juga memiliki kepentingan sama harus dapat menerima pelaksanaan kekuasaan hukum dari negara yang disebut terlebih dahulu karena negara inilah yang paling efektif untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya, kendati pelanggaran atau tindak pidana tadi tidak dilakukan di

(7)

negara yang disebut terlebih dahulu, tetapi dilakukan di negara lain.

Hal ini menunjukkan bahwa setelah melakukan suatu tindak pidana di suatu negara, dia mungkin melarikan diri ke negara lain dengan memanfaatkan produk teknologi maju, dan apabila negara ini merasa memiliki kepentingan serta memiliki kemauan dan kemampuan, maka sesungguhnya negara ini harus diakui paling efektif untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya, karena pelakunya sudah berada di dalam genggaman kekuasaan hukumnya, sehingga negara tempat terjadinya tindak pidana tidak boleh mempermasalahkan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara tempat pelakunya berada.

Ada juga kemungkinan sebagian pelakunya dikenai tindakan hukum di negara tempat kejahatan itu terjadi sebab mereka kebetulan berada di sana, tetapi sebagian lainnya harus menjalani proses hukum di negara lain sebab masing-masing negara mempunyai kepentingan yang sama dan secara efektif dapat menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap mereka yang tersangkut tindak pidana tersebut.

Prinsip teritorial subyektif menunjukkan pengertian bahwa suatu negara diperkenankan untuk mengklaim dan menjalankan yurisdiksi teritorialnya atas suatu tindak pidana yang mulai terjadi atau mulai dilakukan di dalam wilayahnya sendiri, tetapi tindak pidana itu berakhir dan diselesaikan di negara lain. Prinsip ini tidak lazim diterapkan oleh

(8)

negara-negara sehingga prinsip ini tidak menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional.

Namun demikian prinsip teritorial subyektif yang mungkin pada awalnya adalah suatu teori atau doktrin, ternyata diterapkan dalam beberapa perjanjian internasional, seperti misalnya Konvensi Geneva mengenai Pemberantasan Mata Uang Palsu pada tahun 1929 (Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency 1929), dan Konvensi mengenai Pemberantasan Obat-Obat Terlarang tahun 1936 (Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936).

Berdasarkan prinsip teritorial subyektif, negara tem-pat dimulainya kejahatan pemalsuan mata uang, ataupun kejahatan memproduksi obat-obat terlarang, mempunyai kewenangan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdik-sinya atas kejahatan tersebut, maupun pelakunya, sekalipun kejahatan tersebut berakhir dan mendatangkan bahaya bagi negara lain. Dalam keadaan demikian tentu sering tidak dapat dihindari terjadinya persaingan yurisdiksi antarnegara peser-ta, ataupun persaingan yurisdiksi dengan negara bukan peserta perjanjian itu sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Dalam hal ini persaingan yurisdiksi antara negara tempat mulai dilakukannya kejahatan tersebut (kegiatan produksi obat-obat terlarang ataupun pemalsuan mata uang) di satu pihak, dengan negara tempat kejahatan itu berakhir dan membahayakan negara tersebut (negara tempat

(9)

pereda-ran atau pemasapereda-ran obat terlapereda-rang ataupun peredapereda-ran mata uang palsu) di lain pihak.

Dalam praktek perlu dilakukan kerjasama interna-sional, termasuk pula kerjasama regional dan bilateral guna mengatasi timbulnya persaingan yurisdiksi, sehingga negara manapun yang merasa mempunyai kepentingan, serta ke-mauan dan kemampuan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya terkait kasus pemalsuan mata uang maupun obat-obat terlarang, sehingga diakui paling efektif untuk melaku-kan tindamelaku-kan hukum atas pelakunya, atau mereka yang terlibat tidak perlu dipermasalahkan oleh negara lain yang juga mempunyai kepentingan yang sama atas kasus tersebut.

Negara lain mempunyai kewajiban untuk menghor-mati tindakan hukum, dan pelaksanaan yurisdiksi teritorial oleh negara yang secara efektif dapat menjalankannya, sebab hal ini bersangkut paut dengan prinsip kedaulatan negara yang tidak dapat diintervensi oleh negara lain.

Berbeda dengan prinsip teritorial subyektif, maka prinsip Teritorial Obyektif (the Objective Territorial Principle) memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, namun tindak pidana ini diselesaikan serta mendatangkan bahaya terhadap wilayah, masyarakat, bangsa dan negaranya. Prinsip teritorial obyektif sudah lazim digunakan dalam praktik negara-negara, sehingga prinsip ini telah berkembang menjadi kaidah hukum kebiasaan

(10)

interna-sional, malahan prinsip ini juga telah diterima melalui pelbagai instrumen perjanjian internasional.

Kedua konvensi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu the Geneva Convention on the Suppression of Counter-feiting Currency 1929, dan the Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic 1936, serta pelbagai perjanjian internasional lainnya, seperti Konvensi PBB mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption), Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Terorisme (UN Convention on the Suppression of Terrorism), ternyata sudah menerapkan prinsip tersebut di mana negara-negara peserta-nya, diperkenankan untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak pidana pemalsuan mata uang dan obat-obat terlarang, maupun peredaran dan pemasarannya, terutama apabila tindak pidana seperti itu yang mulai dilakukan di luar negeri, tetapi berakhir di negaranya serta membahayakan negaranya sendiri.

Perjanjian-perjanjian tersebut bertujuan untuk me-ngatasi kemungkinan timbulnya persaingan yurisdiksi di antara beberapa negara, khususnya di antara negara tempat dimulainya kejahatan, misalnya, pemalsuan mata uang atau-pun obat-obat terlarang di satu pihak, dengan negara tempat diselesaikannya kejahatan tersebut dan membahayakan nega-ra tersebut, dan juga neganega-ra tempat panega-ra pelakunya benega-rada maupun melarikan diri di lain pihak.

(11)

Dalam praktik perlu dijalin kerjasama internasional, regional ataupun bilateral untuk mengatasi persaingan yurisdiksi terkait dengan kasus pemalsuan mata uang atau-pun obat-obat terlarang, dan tentu saja pelbagai kejahatan lain yang bersifat transnasional, sehingga negara manapun yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksi territorial-nya, entah negara tempat mulainya tindak pidana tersebut dilakukan (negara produsen), atau negara korban tempat tindak pidana tersebut berakhir (negara tempat pemasaran hasil-hasil kejahatan itu), ataukah negara tempat para pelakunya berada atau melarikan diri, sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, sebab yang paling utama adalah bahwa kasus kejahatan tadi tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa proses hukum dari negara setempat, tetapi negara setempat di mana para pelakunya berada seharusnya melakukan tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penyidi-kan, penuntutan, peradilan hingga dilaksanakannya keputu-san pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undang-an dari negara yperundang-undang-ang bersperundang-undang-angkutperundang-undang-an.

Bilamana hal ini dapat dijalankan secara efektif oleh negara tempat para pelakunya berada, sesuai dengan kepenti-ngannya, maka negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan yang sama harus menghormati proses hukum, atau pelaksanaan yurisdiksi territorial terkait dengan kasus tersebut, sebab apa yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan adalah bagian dari kedaulatannya yang tidak

(12)

dapat dicampuri oleh negara manapun (I Wayan Parthiana, 1990:301).

Prinsip teritorial obyektif yang menurut Starke selain telah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional, serta diterima dan diterapkan di dalam pelbagai macam perjanjian internasional, juga penerapannya dapat ditemukan di dalam sebuah putusan yang sangat terkenal dari Mahkamah Inter-nasional Permanen (the Permanent Court of International Justice) dalam hubungan dengan timbulnya kasus Lotus (the Lotus Case) pada tahun 1927 (L.C. Green, 1978:211). Kasus ini melibatkan dua negara, yakni Perancis dan Turki. Perkara ini timbul karena adanya tubrukan kapal yang terjadi di laut bebas di luar perairan teritorial Turki.

Peristiwa ini mengakibatkan tenggelamnya kapal Turki, sebagian awak dan penumpangnya tewas ataupun hilang. Kapal Perancis yang bernama MV Lotus berhasil menyelamatkan sebagian orang yang berasal dari kapal pengangkut batu bara atau kapal Turki. Kemudian kapal Lotus meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan Turki. Setibanya di tempat tujuan, maka mereka yang dianggap bertanggungjawab atas timbulnya musibah tersebut, khususnya nahkoda kapal Perancis dikenai tindakan penahanan oleh aparat hukum negeri Turki. Dia diseret ke depan pengadilan Turki, dengan tuduhan bahwa dia telah melakukan tindak pidana pembunuhan (manslaughter),

(13)

disebabkan kelalaiannya sehingga kedua kapal bertubrukan dan menewaskan banyak orang berkewarganegaraan Turki.

Hukum pidana Turki menyatakan bahwa barang siapa melakukan tindak pidana di luar negeri dan menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegara Turki, diancam dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun. Peraturan hukum pidana negeri tersebut memuat semacam azas per-lindungan warganegara atas kejahatan di luar wilayah nasionalnya, tetapi menimbulkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya. Dengan menerapkan ketentuan pasal hukum pidana Turki, pengadilan menjatuhkan putusan yang mempersalahkan dan menghukum kapten kapal Lotus.

Pemerintah Perancis mengajukan protes terhadap Pemerintah Turki akibat putusan tersebut. Pemerintah Peran-cis beranggapan bahwa tindakan Turki yang menjalan-kan kekuasaan hukum atau yurisdiksi teritorialnya atas tindak pidana (criminal jurisdiction) yang terjadi di luar batas-batas teritorialnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum internasional umum.

Sebaliknya pihak Turki berpendapat bahwa peristiwa tubrukan yang menewaskan banyak warganegaranya itu harus tunduk di bawah yurisdiksi (yurisdiksi teritorial) Turki. Karena kedua negara tidak dapat menyelesaikannya secara bilateral, maka dengan menggunakan dan menerapkan suatu perjanjian yang disebut perjanjian Laussanne yang telah mengikat banyak negara pada waktu itu, termasuk kedua

(14)

negara yang bersangkutan, maka Pemerintah Perancis yang merasa dirugikan kemudian mengajukan gugatan melawan Pemerintah Turki di depan Mahkamah Internasional Perma-nen.

Tuntutan Perancis antara lain adalah agar Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yurisdiksi teritorial dalam perkara kriminal (criminal jurisdiction) yang dijalankan pengadilan Turki adalah tidak sah serta bertentangan dengan kaidah hukum kebiasaan internasional.

Di samping itu Perancis juga menuntut kompensasi atau sejumlah uang gantirugi atas kerugian yang dideritanya akibat tindakan pengadilan Turki yang menghukum warga Perancis. Masalah yang dipersengketakan di depan Mahka-mah Internasional adalah apakah yurisdiksi yang dijalankan pengadilan Turki terhadap kapten kapal Lotus dalam kasus tubrukan kapal di laut bebas adalah bertentangan dengan hukum internasional umum? Pemerintah Perancis berpen-dapat bahwa hanya Negara Bendera (Flag State) yang dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap setiap peristiwa yang terjadi di atas kapal yang sedang berlayar di perairan laut bebas.

Pemerintah Perancis berpegang pada apa yang disebut doktrin laut bebas sebagai prinsip yang berlaku umum. Menurut doktrin ini Laut bebas (High Seas) memiliki status sebagai bagian laut yang terlepas dari kedaulatan negara manapun, dan dengan demikian laut lepas tidak tunduk di

(15)

bawah yurisdiksi, atau kekuasaan hukum dari negara mana-pun, terkecuali kekuasaan hukum dari negara bendera (Flag State), yaitu kekuasaan hukum atau yurisdiksi dari negara yang benderanya dipergunakan dan dikibarkan oleh kapal yang bersangkutan.

Karena kapal yang melakukan tubrukan dan menim-bulkan korban jiwa di laut bebas adalah kapal yang berbendera Perancis, maka negeri Perancis selaku negara bendera yang mempunyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksi, atau kekuasaan hukumnya terhadap peristiwa tubrukan di laut bebas di luar wilayah laut teritorial Turki.

Turki mengemukakan pendapat bahwa suatu kapal di manapun berlayar atau berada, baik di laut teritorial maupun di laut bebas adalah merupakan bagian dari wilayah negara bendera. Pandangan Turki ini didasarkan atas doktrin mengenai Pulau Terapung (Floating Island). Dengan pende-katan demikian, kapal Turki yang berada di laut bebas di luar laut teritorialnya, adalah bagian integral dari wilayah teritorial Turki. Peristiwa apapun yang dialami kapal tersebut, khusus-nya peristiwa tubrukan kapal, harus tunduk pada kekuasaan hukum dan yurisdiksi teritorial Turki, yang berarti peristiwa tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum Turki.

Hukum Pidana Turki harus diterapkan dalam kasus tubrukan yang menyebabkan kapal Turki tenggelam, dan sebagian awaknya tewas. Ketentuan hukum pidana negeri itu (Turki) antara lain menyatakan bahwa siapapun yang

(16)

melaku-kan tindak pidana di luar negeri, atau di luar wilayah nasional Turki, dan menyebabkan kerugian terhadap bangsa dan warganegaranya, diancam dengan sanksi pidana paling lama 5 tahun. Ketentuan hukum negeri itu memuat suatu Azas Perlindungan (Protective Principle), atau memuat yurisdiksi negara menurut azas perlindungan (jurisdiction according to the protective principle), yang memperkenankan Turki untuk menangani kasus tubrukan yang membawa korban jiwa terhadap warganegaranya.

Mahkamah Internasional Permanen tidak memper-masalahkan sah tidaknya penerapan hukum pidana negeri itu di dalam hukum internasional umum, sebab hukum pidana Turki memang memuat suatu azas hukum internasional yang disebut yurisdiksi negara menurut azas perlindungan. Mahkamah hanya menyatakan bahwa tidak terdapat larangan di dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa yang terjadi di luar wilayahnya, namun merugikan negara tersebut ataupun warganya.

Dengan demikian berdasarkan hukum kebiasaan internasional, Turki tidak dilarang untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, dan menerapkan ketentuan hukum pidananya, terhadap kasus tubrukan kapal yang terjadi di perairan laut lepas di luar perairan teritorialnya.

Hukum Pidana Turki memberikan kewenangan kepada aparat hukumnya untuk bertindak dalam kasus

(17)

terse-but guna memberikan perlindungan bagi warganegaranya (jurisdiction according to the protective principle). Di samping azas perlindungan yang melandasi kekuasaan hukum dan yurisdiksi territorial Turki, Mahkamah Internasional juga ternyata menggunakan dan menerapkan prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle), sebagai landasan kekuasaan hukum, dan yurisdiksi teritorialnya dalam mena-ngani kasus tubrukan kapal di laut bebas.

Diterapkannya prinsip teritorial obyektif oleh Mahka-mah Internasional, karena menurutnya, kapal Turki yang mengalami musibah akibat bertubrukan dengan kapal Perancis, dipersamakan dengan wilayah teritorial atau wila-yah nasional Turki. Turki mempunyai kewenangan untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap peristiwa tub-rukan yang membawa korban jiwa, karena peristiwa ini mulai terjadi di atas kapal Perancis di laut bebas, tetapi berakhir di atas kapal Turki, dan menimbulkan kerugian bagi negara tersebut sehingga tindakan aparat hukum Turki adalah sah atau tidak bertentangan dengan hukum internasional umum.

(18)
(19)

BAGIAN II

PELBAGAI MACAM YURISDIKSI DAPAT DI KLAIM SELAIN DARIPADA YURISDIKSI TERITORIAL

Hukum Internasional mengakomodasi dan mengakui hak suatu negara untuk mengklaim apa yang dinamakan yurisdiksi perseorangan atau Yurisdiksi Personal (Personal Jurisdiction), atau yurisdiksi negara menurut azas persona-litas, yaitu yurisdiksi terhadap seseorang, baik dia adalah warganegaranya sendiri ataupun orang asing, yang melaku-kan kesalahan atau pelanggaran atas peraturan hukum nasionalnya. Hanya saja, orang yang bersangkutan tidak berada di dalam batas-batas teritorial, atau tidak berada di dalam wilayah kedaulatan, ataupun wilayah yurisdiksi dari negara yang bersangkutan, tetapi berada di dalam wilayah dari negara lain (J. G. Starke, 1984:224).

Negara tersebut baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya, dan melakukan proses hukum terhadap orang itu, hanya apabila dia sudah berada di dalam wilayah dari negara tersebut (yurisdiksi territorial). Pertanya-annya adalah bagaimana dia bisa berada di dalam wilayah kekuasaan dari negara tersebut? Ada beberapa kemungkinan jawabannya. Kemungkinan pertama dia berada kembali dalam wilayah kekuasaannya, karena orang tersebut datang sendiri secara sukarela, atau tanpa tekanan maupun paksaan. Kemungkinan kedua dia berada kembali dalam wilayah

(20)

ke-daulatannya, karena dia didatangkan dengan cara paksaan, misalnya melalui proses ekstradisi.

Proses ekstradisi dapat dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi, ataupun berdasarkan azas saling meng-hormati dalam hubungan antarnegara, khususnya di antara negara-negara yang berkepentingan atas pelaku pelanggaran atau tindak pidana tersebut.

Hukum Internasional memperkenankan suatu negara, untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi atau kewena-ngannya, atas suatu kasus tindak pidana yang terjadi di luar negeri, karena pelaku dan atau korbannya adalah warga-negara dari warga-negara yang bersangkutan. Negara tersebut berkepentingan untuk menyatakan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya berdasarkan azas personalitas. Penggunaan azas personalitas untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksi-nya, atas kasus yang terjadi di luar wilayah dari negara yang bersangkutan didasarkan atas dua macam prinsip, yaitu Prin-sip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle) serta Prinsip Nasionalitas Pasif (Passive Nationality Principle).

Prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu ne-gara untuk mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya, terhadap seseorang yang bersalah dalam pengertian melaku-kan pelanggaran terhadap peraturan hukum nasionalnya. Klaim dan pernyataan yurisdiksi seperti ini, dapat dilakukan oleh negara tersebut apabila pelakunya adalah warganegara-nya sendiri. Seorang warganegara di manapun dia berada,

(21)

serta ke manapun dia pergi, akan selalu diikuti dengan hukum nasional dari negerinya sendiri.

Dia berada di luar negeri dan melakukan suatu tindak pidana, seperti pembunuhan, penganiayaan atau kejahatan-kejahatan lain yang semuanya ini diatur dalam hukum nasional dari negara-negara pada umumnya, termasuk pula hukum nasional dari negara asal pelakunya. Apabila Negara asalnya merasa berkepentingan atas kasus yang melibatkan warganya di luar negeri, maka negara itu dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip nasiona-litas aktif.

Untuk dapat melaksanakan yurisdiksinya dan mela-kukan tindakan hukum secara nyata dan efektif terhadap warganegaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri, maka tidak ada jalan kecuali orang yang bersangkutan harus kembali atau dikembalikan oleh negara setempat kepada negara asalnya.

Sejauh mana negara setempat akan mengembalikan orang tersebut kepada negeri asalnya, sehingga negeri ini benar-benar dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, hal ini adalah merupakan urusan domestik dari negara setempat. Kalau negara setempat mengembalikan atau me-nyerahkan si pelaku kepada negara asalnya, maka sudah barang tentu negara asalnya yang mengklaim yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas, dapat melakukan tindakan hukum secara efektif terhadap warganya, sesuai dengan

(22)

peraturan hukum nasionalnya, asal saja yang bersangkutan sudah berada di dalam wilayah teritorial negara asalnya.

Hal ini berarti negara asalnya telah dapat menjalan-kan yurisdiksi teritorialnya secara nyata dan efektif, terhadap warganya yang sudah berada di wilayah kekuasaan hukum negara asalnya. Sebaliknya, kalau negara setempat berkepen-tingan untuk tidak mengembalikan, karena negara tersebut mampu dan mau menjalankan proses hukum, terhadap orang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan hukum nasional-nya sendiri, maka dalam hal ini kita melihat timbulnasional-nya Persaingan Yurisdiksi (Concurrent Jurisdiction) antara kedua negara, yaitu antara negara asal dari warganya yang kebetulan tidak berada di negaranya sendiri, di satu pihak dengan negara tempat kejahatan itu terjadi, dan atau negara tempat pelakunya berada pada lain pihak.

Namun demikian, dengan dilaksanakannya yurisdiksi teritorial dan tindakan hukum oleh negara setempat, maka negara asalnya harus menerima dan menghormati yurisdiksi, dan proses hukum yang dijalankan oleh negara setempat, karena apa yang dijalankannya adalah merupakan pelaksa-naan dari kedaulatan, dan yurisdiksi teritorialnya yang tidak dapat dicampuri oleh negara manapun, termasuk negara asal dari pelaku kejahatan tersebut.

Kasus pembunuhan dua warganegara Indonesia, dan seorang warganegara India, serta pelaku kejahatan ini adalah seorang warganegara Indonesia yang terjadi di Los Angeles

(23)

(Amerika Serikat/AS) belasan tahun lalu, sesungguhnya telah menimbulkan persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya, berdasarkan azas yurisdiksi territorial terkait dengan tempat kejadian, korban kejahatan, alat bukti dan barang bukti semuanya ter-dapat di dalam wilayah teritorial AS. Sebaliknya, negeri kita (Indonesia) mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya juga berdasarkan atas azas yurisdiksi teritorial dan azas yurisdiksi personal.

Yurisdiksi atau kewenangan Indonesia, berdasarkan azas yurisdiksi teritorial itu dikaitkan dengan fakta, di mana pelaku kejahatan dengan nama Harmoko Dewantono alias Oki, telah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia, kendati yang bersangkutan memakai paspor palsu. Klaim yurisdiksi Indonesia menurut azas yurisdiksi personal, harus dikaitkan dengan kenyataan di mana pelaku peristiwa pembu-nuhan di AS adalah seorang warganegara Indonesia, demikian pula korban kejahatan yaitu Gina Sutan Aswar, serta adik kandung dari si pelaku sendiri yang bernama Erik, adalah juga warganegara Indonesia, sehingga Indonesia mempunyai kepentingan untuk menangani kasus tersebut.

Walaupun aparat hukum AS telah berkali-kali menga-jukan permintaan ekstradisi, namun hal ini ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Indonesia ini didasar-kan atas alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara. Seandainya juga terdapat perjanjian ekstradisi,

(24)

pelaksanaan ekstradisi dalam kasus seperti itu mungkin sulit dijalankan, sebab berdasarkan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam pelbagai perjanjian ekstradisi, pada umumnya suatu negara yang dimintai ekstradisi tidak terikat untuk menyerahkan warganegaranya sendiri guna menjalani proses hukum di negara yang meminta ekstradisi.

Demikian pula dengan Indonesia, tidak berkewajiban untuk menyerahkan warganegaranya sendiri (Oki) kepada aparat hukum AS, kendati misalnya ada perjanjian ekstradisi yang berlaku di antara kedua negara, apalagi kalau kedua negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Karena negeri kita (Indonesia), berkepentingan dengan kasus kejahatan yang terjadi di Los Angeles, terkait dengan fakta-fakta tersebut di atas, mempunyai kemauan serta kemampuan untuk melaksanakan tindakan hukum, apalagi pelakunya telah berada di dalam wilayah kedaulatan dan kekuasaan hukum Indonesia, maka negeri kita (Indonesia) harus diakui paling efektif untuk menjalankan yurisdiksi teritorialnya, terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar negeri.

Pihak AS ternyata menghormati tindakan dan proses hukum yang dilakukan oleh aparat hukum Indonesia, serta menyerahkan seluruh alat bukti dan barang bukti kepada aparat hukum kita (Indonesia) dalam usaha menyelesaikan kasus tersebut sesuai dengan hukum Indonesia.

(25)

Di samping prinsip yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi personal, menurut azas nasionalitas aktif yang melandasi klaim kewenangan Indonesia, klaim kewenangan ini juga didasarkan atas prinsip nasionalitas pasif, mengingat para korban kejahatan lebih banyak yang berasal dari Indonesia.

Para korban, termasuk pihak keluarga korban adalah warganegara Indonesia, yang menuntut perlindungan hukum dan keadilan dari Pemerintah Republik Indonesia. Klaim yurisdiksi personal telah berkembang dan beralih menjadi klaim yurisdiksi territorial, dan yurisdiksi territorial ini ternyata dapat dilaksanakan secara efektif, karena pelaku kejahatan yang terjadi di AS, sudah berada dalam wilayah kedaulatan dan yurisdiksi teritorial Indonesia.

Prinsip Nasionalitas Pasif (the Passive Nationality Principle atau the passive Personality principle), memung-kinkan dan memperkenankan suatu negara, untuk meng-klaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, di mana pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar negeri, serta menimbulkan kerugian terhadap warganegara-nya sendiri, maka negara yang wargawarganegara-nya menjadi korban dapat mengklaim, dan menyatakan yurisdiksinya guna mela-kukan proses hukum, baik dari segi pidana maupun perdata.

Proses hukum ini dapat dijalankan secara nyata dan efektif, sepanjang pelakunya sudah berada di dalam wilayah

(26)

kedaulatan dan yurisdiksi territorial dari negara korban, yaitu di negara yang warganya dirugikan, misalnya akibat peng-hinaan atau pencemaran nama baik. Kasus terkenal (the leading case), mengenai azas ini adalah the Cutting Case pada tahun 1886, yang menyangkut sebuah pemberitaan di Texas yang berisi pernyataan fitnah yang dilakukan oleh warga Amerika terhadap seorang warganegara Meksiko (Malcolm N. Shaw, 1986:357).

Cutting ditahan sementara di Meksiko, serta dihukum atas kejahatan memfitnah (kejahatan di bawah hukum Meksiko), serta Meksiko mempertahankan hak yurisdiksinya berdasarkan Azas Personalitas Pasif (the Passive Personality Principle). AS mengecam keras tindakan Meksiko, tetapi karena hal ini tidak meyakinkan, maka pihak yang dirugikan terpaksa menanggung akibatnya.

Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Republik Indonesia (Soeharto dan keluarganya) pernah terjadi beberapa tahun lalu, ketika Majalah Time yang kantor pusatnya berkedudukan di AS, memberitakan tentang harta kekayaannya dalam jumlah spektakuler, yang berbentuk valuta asing dan tersimpan di perbankan luar negeri.

Bagi mantan Presiden RI dan keluarganya, berita majalah mingguan itu adalah sesuatu yang tidak benar sehingga dianggap fitnah dan merupakan pencemaran nama baik. Kuasa hukum mantan Presiden ini melaporkan dan mengadukan masalah tersebut kepada Kepolisian RI agar

(27)

melakukan proses hukum terhadap Kantor Perwakilan Majalah Time yang ada di Jakarta.

Pengacaranya juga mengajukan gugatan gantirugi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua belah pihak sudah sempat melakukan perdebatan, baik di depan aparat penyidik maupun terutama di pengadilan. Bagaimana kelan-jutan proses hukumnya dalam sidang perkara pencemaran nama baik mantan Presiden RI tersebut, baik dari aspek pidana maupun perdata, masih belum jelas sampai saat ini. Mungkin kasusnya sudah dihentikan penyidikannya atau di SP3 kan. Mungkin pula telah diselesaikan secara damai antara keluarga Pak Harto dengan pihak majalah Time tanpa suatu publikasi sehingga tidak diketahui masyarakat luas.

Terlepas dari hal ini, maka sebenarnya kasus pence-maran nama baik tersebut mengandung unsur persaingan yurisdiksi antara AS dan Indonesia, yang masing-masing memiliki kepentingan. AS berkepentingan untuk menyatakan ataupun tidak menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas yurisdiksi territorial, mengingat pelakunya yaitu pihak Majalah Time (pemilik, pengelola dan lain-lainnya termasuk asset-asetnya) berada di dalam wilayah kedaulatan atau wilayah hukum AS. Sedangkan Indonesia berkepentingan untuk mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya berdasar-kan azas personalitas pasif, mengingat korban pencemaran nama baik adalah warganegara Indonesia.

(28)

Sesuai dengan kepentingannya AS tidak berbuat apa-apa, atau tidak menyatakan yurisdiksinya dalam kaitan dengan kasus pencemaran tersebut, tetapi sesuai pula dengan kepentingannya, pihak Indonesia menyatakan yurisdiksinya dan berupaya untuk menjalankan proses hukum kendati upaya ini tidak dapat berjalan secara efektif mengingat pelaku utamanya berada di dalam wilayah hukum AS.

Selain azas yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi perso-nal, maupun bermacam-macam azas yurisdiksi lainnya yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya atas suatu kasus, maka di dalam hukum internasional, diakui juga apa yang dinamakan azas yurisdiksi universal, atau yurisdiksi negara menurut azas universal (jurisdiction according to the universal principle atau the principle of universal jurisdiction).

Terdapat berbagai macam tindak pidana yang me-mungkinkan semua negara tanpa terkecuali, untuk meng-klaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap beberapa tindak pidana tertentu maupun pelakunya. Karakteristik dari pelbagai tindak pidana seperti pembajakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan terorisme (terrorism crimes) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya, memungkinkan dan memperkenankan semua negara tanpa terkecuali, untuk

(29)

mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya guna melakukan proses hukum, mengadili dan menghukum siapapun pelakunya, tanpa memperhatikan kebangsaan dari pelakunya, atau mereka yang terlibat tindak pidana tersebut, tanpa memperhatikan siapa yang menjadi korban tindak pidana tersebut, apakah korbannya adalah warganegara dari negara-nya sendiri, ataukah dari negara lain, juga tanpa memper-hatikan kapan terjadinya maupun tempat terjadinya tindak pidana tersebut.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa hukum internasional memperkenankan semua negara, untuk meng-klaim dan menyatakan kekuasaan hukumnya, dalam hal terjadi kejahatan-kejahatan yang dapat menggerogoti kepenti-ngan semua negara, atau seluruh umat manusia, karena kejahatan-kejahatan seperti itu bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan, serta keadilan bagi seluruh umat manusia, tanpa melihat nasionalitas dari pelaku dan korban-nya, maupun tanpa memperhatikan waktu dan tempat terjadinya kejahatan tersebut.

Namun untuk dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, maka pertama-tama masing-masing negara yang merasa berkepentingan, seharusnya mengatur melalui hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya terkait dengan pelbagai jenis kejahatan yang bertentangan dengan perasaan kemanusiaan dan keadilan dalam rangka

(30)

mengan-tisipasi, mencegah serta menanggulangi timbulnya kejahatan-kejahatan seperti itu.

Misalnya saja Indonesia yang telah berhasil mengun-dangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Terorisme, karena kejahatan terorisme (sebagaimana halnya dengan pelbagai macam kejahatan melawan kemanusiaan), memberikan yurisdiksi atau kekuasaan hukum kepada masing-masing negara tanpa terkecuali, untuk melakukan tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Para pelakunya ataupun mereka yang terlibat dalam aksi terorisme, sudah banyak yang dinyatakan terbukti bersalah, serta dijatuhi hukuman berat berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Sejauh mana suatu negara entah negara tempat terjadinya kejahatan, negara asal dari pelakunya, negara asal dari korban, negara tempat pelaku berada, atau negara tempat pelarian, ataukah negara lain yang juga merasa berkepentingan telah mengimplementasikan yurisdiksi negara menurut azas universal atau azas yurisdiksi universal? maka jawabannya sangat bergantung pada kepentingan dan kemauan politik dari negara yang bersangkutan, sehingga dalam konteks ini, suatu negara dapat memiliki kepentingan, baik untuk menyatakan yurisdiksinya, maupun untuk tidak menyatakannya terkait dengan suatu kasus tindak pidana

(31)

yang sesungguhnya tunduk di bawah azas yurisdiksi univer-sal.

Preseden (Precedent) yang menjadi tonggak awal timbulnya pengakuan masyarakat internasional, atas yuris-diksi negara menurut azas universal adalah ketika terbentuk Mahkamah Pengadilan Kriminal Internasional di Nuremberg dan Tokyo berdasarkan perjanjian London (the London Agreement tahun 1942I, yaitu suatu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sekutu yang menjadi pemenang perang dalam Perang Dunia II.

Sejak terbentuknya, maka banyak pelaku kejahatan yang berhasil diseret ke depan pengadilan nasional di pelbagai negara, khususnya pengadilan nasional di negara-negara yang menjadi korban dalam Perang Dunia II atau negara-negara yang warganya banyak dibunuh oleh para pejabat Nazi (Hitler).

Salah satu negara yang dianggap paling menderita selama Perang Dunia II, akibat kekejaman rezim Nazi terha-dap jutaan warganya adalah Negara Yahudi atau Negara Israel yang baru eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat beberapa tahun usai Perang Dunia II. Ketika bangsa Yahudi yang selama berabad-abad warganya kebanyakan hidup tersebar di benua Eropa (diaspora), katanya mengalami perlakuan yang sangat kejam dari para pejabat Nazi, maka pada waktu itu bangsa Yahudi atau Israel belum eksis sebagai satu negara merdeka dan berdaulat.

(32)

Kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat terkenal setelah Perang Dunia II, adalah kasus Rudolph Eichmann (Eichmann Case). Kasus ini diadili dan diputuskan melalui Pengadilan Nasional Israel, dan merupakan kasus kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sangat tersohor, dan sekaligus kontro-versial. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang dituduh-kan atas diri Eichmann, yaitu melakudituduh-kan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan khususnya, terhadap bang-sa Yahudi yang dituduhkan terhadapnya berlangsung selama Perang Dunia II, yang pada waktu itu bangsa Yahudi belum eksis sebagai negara berdaulat.

Dengan demikian belum memiliki sebuah sistem hukum, termasuk dan terutama peraturan hukum pidana, yang dapat digunakan dalam melakukan proses hukum, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan tersebut.

Setelah merdeka karena diberi kemerdekaan oleh Inggeris yang merupakan tindak lanjut dari Balfour Decla-ration (sebuah deklarasi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Inggeris pada waktu itu), maka Pemerintah Negara Yahudi membuat pelbagai macam peraturan hukum, termasuk pera-turan hukum pidana yang dapat menjerat mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang katanya menyebab-kan jutaan orang Yahudi tewas dan hilang.

(33)

Salah seorang penjahat perang yang bernama Rudolph Eichmann, yang sejak lama menjadi buronan pihak intelijen Israel (mossad), telah berhasil diculik dari Argentina, dan kemudian diterbangkan ke Israel untuk menjalani proses hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di negeri tersebut.

Pengadilan Nasional Israel berhasil membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu terbukti melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, serta kejaha-tan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap bangsa Yahudi, sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichmann, yang pelaksanaan atau eksekusi ini dijalankan di atas kursi beraliran listrik.

Pelbagai kalangan, terutama kalangan ahli hukum melontarkan kecaman atas tindakan pengadilan Israel yang menjatuhkan putusan hukuman mati atas terdakwa Eichmann. Protes yang dilontarkan itu pada prinsipnya didasarkan atas terjadinya penyimpangan dari azas hukum yang pada waktu itu dianggap berlaku secara universal, yaitu azas legalitas atau azas Nullum Delictum. Azas ini menegaskan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum apabila tidak ada peraturan hukum yang telah dibuat sebe-lum terjadinya perbuatan itu.

Berdasarkan azas ini, Negara Israel atau pengadilan distrik dari negara Yahudi, sesungguhnya tidak boleh menerapkan peraturan hukum pidananya atas perbuatan

(34)

yang dituduhkan telah dilakukan oleh Eichmann, karena perbuatan yang dituduhkan berupa kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan mela-wan kemanusiaan, khususnya kejahatan terhadap bangsa Yahudi itu terjadi sebelum dibuatnya hukum pidana negara itu, bahkan negara itu sendiri belum eksis.

Pada waktu itu, Perbuatan yang dituduhkan atas diri Eichmann, dilakukan sebelum bangsa Yahudi mendapat kemerdekaan dari Inggeris, sehingga banyak yang berang-gapan bahwa tindakan pengadilan Israel dengan menjatuhkan hukuman mati atas diri Eichmann merupakan suatu peng-gerogotan, atau penyimpangan terhadap azas legalitas yang ketika itu masih dianut secara universal, yakni azas yang melarang suatu negara untuk menerapkan atau memberla-kukan secara retroaktif (surut) peraturan hukum nasionalnya, pada perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan hukum itu sendiri dibuat.

Kasus kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan umumnya diadili melalui Mahkamah Pengadilan Internasional di Nuremberg (The Nuremberg Tribunal atau the Nuremberg Trial) dan di Tokyo (the Tokyo Tribunal atau the Tokyo Trial), yang terbentuk berdasarkan Perjanjian London. Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus kejahatan seperti itu yang diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan nasional dari pelbagai negara, terutama negara-negara yang menjadi korban kejahatan tersebut.

(35)

Mereka yang terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan, baik pejabat tinggi negara atau pejabat pemerintah, pejabat tinggi militer dan lain-lainnya, dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual (individual responsibility), sehingga mereka tidak boleh berlindung di belakang kepentingan dan tanggungjawab dari negaranya sendiri (State Responsibility).

Para pelakunya, terutama para pejabat dari rezim Hitler dan pejabat negeri Sakura, dan negara-negara lain yang dikategorikan sebagai negara-negara poros yang diadili, baik di depan pengadilan internasional maupun pengadilan nasional dari beberapa negara, sekalipun mereka senantiasa membela diri, dengan menyatakan bahwa tindakan mereka dilakukan atas kebijakan, instruksi maupun perintah dari negara atau pemerintahnya sendiri, namun pihak pengadilan pada umumnya menolak alasan dan dalih seperti itu, karena kejahatan-kejahatan yang tunduk di bawah yurisdiksi universal harus dipertanggungjawabkan secara individual.

Pada tahun 1998 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum, mensahkan atau mengadopsi sebuah perjanjian internasional yang disepakati di Roma, yaitu perjanjian mengenai pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (The International Criminal Court), yang berkedu-dukan di Den Haag.

Perjanjian internasional yang berhasil dirumuskan dan disepakati dalam bentuk Statuta Roma (The Rome

(36)

Statute), dimaksudkan untuk membawa siapapun yang tersangkut atau terbukti terlibat dalam pelbagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kejahatan etnis (Genocide), entah mereka itu pejabat tinggi sipil ataupun militer, dapat diajukan ke depan Mahkamah Kriminal Internasional guna mempertanggungjawabkan per-buatannya.

Pembentukan Mahkamah ini, dilatarbelakangi dengan pelbagai kejadian yang menimpa rakyat dari berbagai negara, seperti peristiwa pembantaian etnis yang disebut Ethnic Cleansing terhadap rakyat Bosnia, yang mayoritas penduduk-nya adalah muslim atau beragama Islam, pembantaian etnis Albania di Kosovo. Bosnia dan Kosovo, selain Herzegovina, Kroasia dan Slovenia maupun Serbia adalah merupakan negara-negara bagian yang tergabung di dalam Negara Federal Yugoslavia.

Kini negara-negara bagian tersebut, umumnya telah berstatus sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat, teta-pi ditinjau dari beberapa aspek, negara-negara ini sangat kecil dan lemah ketimbang ketika negara-negara bagian tersebut masih berada di bawah naungan Negara Federal Yugoslavia.

Sebagian besar dari negara-negara bagian tersebut telah merdeka, setelah meletusnya perang saudara antara pasukan pemerintah negara federal yang dikuasai oleh etnis Serbia, berhadapan dengan pasukan dari masing-masing

(37)

megara bagiannya, khususnya dari negara bagian Kroatia serta Bosnia.

Selama perang saudara yang sebenarnya adalah urusan domestik dari Negara Federal Yugoslavia, dan tidak dapat diintervensi oleh negara manapun, bahklan oleh PBB sekalipun, terkecuali untuk tujuan kemanusian (humanitarian intervention), maka kelompok negara-negara tertentu dengan motif yang sangat primitif dan tidak terkait dengan tujuan kemanusiaan, dan dengan mengatasnamakan masyarakat internasional, melontarkan tudingan bahwa pemerintah Yugoslavia yang dikuasai oleh etnis Serbia, melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan, serta kejahatan genocide

khususnya terhadap komunitas muslim di negara bagian Bosnia, maupun terhadap etnis Albania di negara bagian Kosovo.

Seusai Perang saudara yang menelan banyak korban jiwa, dengan dukungan negara-negara tertentu yang mengatasnamakan masyarakat internasional, dan memberi-kan bantuan kemanusiaan kepada pemerintah negara-negara bagian tersebut, pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan negara-negara bagian tersebut. Timbulnya pelbagai kejahatan kemanusiaan dan genosida (genocide) di bekas negara-negara bagian Yugoslavia, berkontribusi bagi terbentuknya Mahka-mah Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc untuk menangani kasus pembantaian etnis di Yugoslavia, di mana

(38)

pembentukannya didasarkan atas Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB.

Mereka yang dianggap terlibat dalam kejahatan tersebut, harus diserahkan kepada pengadilan kriminal internasional ad hoc di Den Haag untuk menjalani proses peradilan. Kendati demikian diserahkan tidaknya mereka itu sangat tergantung pada kebijakan negara setempat. Apabila negara atau pemerintah negara setempat tidak berkeinginan menyerahkan pelakunya, hal ini tidak menjadi permasalahan, selama pemerintah negara setempat masih mempunyai komitmen untuk melakukan proses hukum berdasarkan peraturan hukum nasional yang mengacu pada standar internasional.

Berdasarkan standar internasional, mereka yang tersangkut kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, tidak boleh dibatasi hanya pada tingkatan tertentu saja, tetapi peradilannya seharusnya dapat menjangkau siapapun, termasuk pejabat tinggi bahkan pejabat tertinggi sekalipun, baik dari kalangan sipil maupun militer sehingga mereka yang diadili bukan hanya terdiri dari para pelaku operasional, melainkan juga dan terutama mereka yang mempunyai kebijakan dan memberikan perintah ataupun membiarkan terjadinya tindak kejahatan tersebut.

Melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 yang sesungguhnya bersumber dari ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB, disepakati pembentukan Mahkamah

(39)

Kriminal Internasional yang bersifat ad hoc, yang secara khusus bertugas untuk mengusut kasus pembantaian etnis yang terjadi di daerah Balkan atau di bekas negara bagian Yugoslavia, atau yang dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Yugoslav Case tahun 1993.

Demikian pula dengan kejadian di salah satu Negara Afrika yang dilanda perang saudara, sehingga menimbulkan pembantaian etnis atas salah satu suku di Negara Rwanda, Dewan Keamanan PBB juga berhasil menyepakati pemben-tukan peradilan internasional, guna melakukan pengusutan atas kejahatan kemanusiaan, berupa pembantaian etnis Tutsi yang merupakan etnis minoritas di negeri tersebut. Peradilan internasional yang juga sifatnya ad hoc dikenal dengan The International Criminal Tribunal for Rwanda Case yang diben-tuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994 yang berlandaskan Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB.

Pemerintah Yugoslavia, yang sebelum dan selama berkecamuknya perang saudara di wilayah Balkan, dianggap bertanggungjawab atas apa yang dinamakan kejahatan pem-bersihan etnis atas penduduk Bosnia yang sebagian besar beragama Islam, juga dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas penduduk Kroatia, yang mayoritasnya beragama Katolik maupun bertanggung-jawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan atas pendu-duk Kosovo yang kebanyakan berasal dari etnis Albania.

(40)

Para pejabat Serbia yang pada waktu itu menguasai dan mengendalikan pemerintahan Yugoslavia, baik sipil mau-pun militer yang menjadi sasaran untuk diserahkan dan diajukan di depan The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY), antara lain adalah mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia di negara bagian Bosnia, Radovan Karadzik dan lain-lainnya, yang semuanya harus mempertanggungjawabkan tindakan-tinda-kan yang telah dilakutindakan-tinda-kannya.

Mantan Presiden Yugoslavia telah berhasil diekstradisi kepada ICTY di Den Haag, atas kerjasama antara PBB dengan pemerintah baru Yugoslavia, yang menggantikan Slobodan Milosevic. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mantan Presiden itu sebenarnya dapat saja diadili di negeri Yugoslavia, tetapi karena pemerintah baru negeri itu dianggap tidak mampu untuk membentuk pengadilan nasional yang khusus menangani kasus kejahatan itu, maka atas Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1993 dibentuk peradilan khusus yang disebut The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY).

Demikian pula mereka yang terlibat kasus kejahatan kemanusiaan di negeri Rwanda, tempat terjadinya pemban-taian etnis Tutsi yang dilakukan orang-orang dari suku Hutu, dapat saja ditangani melalui pengadilan nasionalnya. Namun Pemerintah Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan tersebut, atau paling tidak pemerintahnya sendiri

(41)

membiar-kan terjadinya tindak kekejaman itu, dianggap tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk membentuk pengadilan di tingkat nasionalnya, sehingga PBB dalam rangka memulihkan situasi yang terjadi di negeri Rwanda, dan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, terpaksa memben-tuk peradilan internasional yang bersifat ad hoc pada tahun 1994 yang dinamakan The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).

Apakah mereka yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan selama Perang Saudara di negeri Rwanda telah diserahkan kepada pengadilan internasional di Den Haag? Jawabannya tergantung pada siapa yang meme-gang kekuasaan pemerintahan di negeri tersebut. Sampai saat ini belum ada orang dari kalangan pemerintah dan militer Rwanda yang diduga tersangkut dalam kejahatan etnis yang berhasil diserahkan kepada ICTR yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1994. Hal ini menun-jukkan bahwa negeri Afrika tersebut, tidak mempunyai ke-mampuan dan kemauan untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang terlibat, padahal para pelakunya sebe-narnya berada di negeri tersebut.

Pemerintah Rwanda mungkin sekali tidak berkepen-tingan dengan kasus kejahatan etnis, sebab ada kemungki-nan mereka sendiri secara langsung atau tidak langsung adalah bagian dari kasus kejahatan itu sendiri, sehingga hal ini membuka peluang bagi masyarakat internasional guna

(42)

melakukan tekanan terhadap Pemerintah Rwanda, guna membentuk pengadilan nasional ataupun menyerahkan para pelakunya kepada ICTR di Den Haag.

Kasus kejahatan kemanusiaan atas jutaan orang di Kamboja yang terkenal dengan istilah The Killing Fields, yang terjadi selama masa pemerintahan Khmer Merah, telah mendesak masyarakat internasional untuk membentuk pengadilan internasional yang khusus menangani musibah kemanusiaan di negeri itu. Masyarakat internasional melalui PBB bersuara agar dibentuk Mahkamah Internasional bagi kasus kejahatan kemanusiaan di Kamboja (The International Criminal Tribunal for Campuchea), dalam usaha mengadili para mantan petinggi Khmer Merah, baik sipil maupun militer yang diduga bertanggungjawab atas tewas dan hilangnya kurang lebih dua juta warga Kamboja selama masa pemerintahan Khmer Merah, pimpinan Perdana Menteri Pol Pot yang terkenal sangat kejam terhadap rakyat tidak berdosa.

Hingga kini, desakan dan wacana pembentukan pera-dilan internasional untuk mengusut kasus kejahatan kema-nusiaan di negeri itu belum dapat diwujudkan, karena Perdana Menteri Hun Sen selaku kepala pemerintahan Kamboja, menolak dibentuknya peradilan internasional seperti itu, karena pemerintahnya masih memiliki kemam-puan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut, dan

(43)

mengadili para mantan pejabat Khmer Merah di depan pengadilan nasionalnya.

Rencana pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus the Killing Fields (1975 – 1979) mengalami penangguhan untuk sementara, hal ini dimaksud-kan untuk memberidimaksud-kan kesempatan bagi aparat hukum negeri tersebut, untuk mengadili mantan pejabat Khmer Merah yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi kemanu-siaan.

Pengadilan Kamboja sudah menggelar peradilan atas beberapa orang mantan pejabat tinggi Khmer Merah, seperti Noan Chea, Khieu Samphan, Dukh yang masing-masing didakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama dituduh beranggungjawab atas tewas dan atau hilangnya 1,7 (satu koma tujuh) juta rakyat Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Merah di bawah pimpinan bekas PM Pol Pot yang terkenal sangat kejam, suatu pertanda bahwa Pemerintahan Kamboja yang dipimpin Perdana Menteri Hun Sen tidak menyia-nyia kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat initernasional, sekaligus membuktikan martabat, harga diri dan kedaulatannya yang tidak perlu diintervensi oleh siapapun, termasuk PBB sekalipun.

Dugaan masyarakat internasional atas kemungkinan terjadinya kejahatan kemanusiaan di bekas Propinsi Republik Indonesia ke-27, Timor Timur (East Timor), sebelum dan

(44)

terutama setelah pelaksanaan referendum atau jajak pendapat juga turut menggugah sebagian masyarakat interna-sional untuk memikirkan dan merencanakan kemungkinan pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus kejahatan internasional yang terjadi di wilayah itu (The International Criminal Tribunal for East Timor).

PBB telah membentuk apa yang dinamakan Komisi Penyelidik Internasional (The International Inquiry Commis-sion), guna menyelidiki pelbagai bentuk kejahatan yang terjadi di Timor Timur, dan terutama menyelidiki orang-orang, baik dari kalangan Pemerintah Pusat dan daerah, kalangan militer, kalangan milisi pro integrasi maupun dari kalangan masyara-kat luas yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, seperti pembunuhan, penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi atas warga sipil yang tidak bersenjata ataupun atas warga sipil yang terlibat secara aktif dalam konflik bersenjata di wilayah itu.

Aksi pembantaian terhadap warga Timor Timur yang tidak bersenjata, terutama dari kelompok pro kemerdekaan, aksi perkosaan, pembumihangusan infrastruktur di Timor Timur serta pelbagai tindak kekejaman, khususnya setelah jajak pendapat yang menghasilkan opsi kemerdekaan dan menolak integrasi, serta mereka yang diduga terlibat dalam pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan itu, menjadi obyek penyelidikan komisi tersebut, yang hasilnya akan digunakan

(45)

sebagai masukan bagi kemungkinan pembentukan Mahka-mah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur.

Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu di bawah pimpinan Presiden Gus Dur (Kiai Haji Abdurrachman Wahid), secara tegas menyatakan penolakan-nya terhadap rencana dan pemikiran bagi kemungkinan pembentukan pengadilan internasional yang bersifat ad hoc. Hal ini disebabkan karena kita sendiri sebagai negara berdaulat, masih mampu untuk melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga tersangkut dalam kejahatan perang dan kemanusiaan, yang di negeri ini (Indonesia) dinamakan pelanggaran HAM berat.

Kita tidak menghendaki adanya intervensi dari mereka yang menamakan diri sebagai masyarakat internasional, ter-masuk intervensi dari PBB yang berupaya mendesak segera dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk kasus Timor Timur, sebab kita sendiri masih mempunyai kehendak dan kemampuan untuk membentuk peradilan khusus, guna mengadili mereka yang terlibat.

Peradilan HAM ad hoc yang terbentuk beberapa tahun lalu adalah bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia benar-benar mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjalankan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bekas propinsi Republik Indonesia yang ke-27 tersebut. Proses peradilan melalui pengadilan HAM ad hoc terhadap mereka yang diduga terlibat sudah berjalan,

(46)

dan beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman karena terbukti bersalah.

Namun mereka yang terbukti tidak bersalah, dibebas-kan dari segala tuduhan dan dakwaan. Para terpidana dipersilahkan menempuh upaya-upaya hukum, seperti upaya hukum banding dan kasasi maupun upaya-upaya hukum lain berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pembentukan pengadilan internasional ad hoc seperti ICTY tahun 1993 dan ICTR tahun 1994, didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB No.808 dan 827 pada tahun 1993 (ICTY), serta Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 935 dan 955 pada tahun 1994 (ICTR), di mana kedua resolusi tersebut dihasilkan sesuai dengan kewenangan Dewan Keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Piagam PBB.

Dengan demikian, yurisdiksi atau kewenangan dari kedua pengadilan internasional yang sifatnya ad hoc (ICTY dan ICTR), berlandaskan pada masing-masing resolusi terse-but, di mana Dewan Keamanan PBB membuat kedua resolusi terkait pembentukan ICTY dan ICTR (dan tidak tertutup kemungkinan pembentukan tribunal-tribunal lainnya), wewe-nangnya bersumber dari Pasal 24 dan Pasal 25 dari United Nations Charter.

Sedangkan apa yang dinamakan International Criminal Court (ICC) yang juga berkedudukan di Den Haag dibentuk berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, yang telah berlaku

(47)

secara efektif sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksi Mahkamah ICC didasarkan atas Statuta Roma dan bukan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Yurisdiksi ICC menjangkau pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) seperti kejahatan genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (crimes of aggression), dan pelbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya.

ICC berwenang untuk menangani dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh siapapun, entah mereka itu pejabat tinggi negara atau bahkan pejabat tertinggi negara sekalipun, pejabat pemerintah, pejabat militer, namun mereka berkewajiban untuk bertanggungjawab secara individual, sehingga mereka tidak dapat lagi berlin-dung di belakang tanggungjawab negara (State Responsibility).

ICC bukanlah pengadilan pada Instansi Pertama (the First Resort), melainkan pengadilan terakhir dari Instansi Terakhir (the Last of the Last Resort), sehingga dengan demi-kian, sistem peradilannya tidak akan menggerogoti kedaulat-an negara peserta ICC atau negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan domestik. Sebab ICC, mengutamakan penerapan Upaya-Upaya Hukum Setempat (Exhaustion of Local Reme-dies).

(48)

Selama negara peserta ICC masih mau dan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk menangani dan mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di negara peserta tersebut. Selain daripada itu, ICC juga hanya memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tanggal 1 Juli tahun 2002 dan bukan sebelumnya.

(49)

BAGIAN III

PENGECUALIAN DARI AZAS YURISDIKSI TERITORIAL Hukum Internasional dan hukum nasional, mengenal apa yang disebut dengan pengecualian dan pembebasan dari yurisdiksi territorial yang dinamakan dengan Azas Kekebalan (Immunity), yaitu suatu azas yang dapat mengecualikan dan membebaskan mereka yang tersangkut dalam suatu pelang-garan hukum di suatu negara, dari pelaksanaan kekuasaan hukum negara setempat.

Dalam hukum internasional diakui adanya lembaga-lembaga, jabatan-jabatan, orang-orang, benda-benda, baik bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki kekebalan dari penerapan peraturan-peraturan hukum nasional yang berlaku di negara setempat. Mereka dikecualikan dan dibe-baskan dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi teritorial, dan negara setempat berkewajiban untuk menghormati keke-balan yang melekat pada mereka.

Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain adalah, siapa-siapa serta apa saja yang berdasarkan hukum interna-sional umum dapat menikmati kekebalan (immunity)? Hukum Internasional mengakui adanya kekebalan yang melekat pada negara, Kepala Negara (Head of State), Kepala Pemerintahan (Head of Government), para pembantu dan para pejabatnya yang kebetulan berada di suatu negara, dibebaskan dan

(50)

dikecualikan dari pelaksanaan kekuasaan hukum di negara itu.

Mereka senantiasa menikmati kekebalan dari penera-pan yurisdiksi territorial negara setempat. Meskipun mereka tersangkut dalam suatu pelanggaran hukum di negara lain, mereka tidak dapat dikenai proses hukum di negara tersebut, karena mereka menikmati dan memiliki kekebalan, baik berdasarkan hukum internasional maupun hukum nasional.

Kekebalan negara dan Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan didasarkan pada azas yang dinamakan Par In Parem Non Habet Imperium yang menyatakan bahwa, suatu negara berdaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi terito-rialnya terhadap negara berdaulat lainnya, termasuk terhadap Kepala Negaranya ataupun para pejabatnya, terkecuali terhadap warganegara asing yang berada di wilayah negara setempat.

Warganegara asing, yang tersangkut pelanggaran hu-kum di negara setempat, tidak dibebaskan dari penerapan yurisdiksi territorial negara setempat, sehingga ketika ter-sangkut dalam suatu pelanggaran hukum, dia dapat menja-lani proses hukum di negara setempat karena kekebalan hanya diberikan kepada negaranya, terutama kepala negara serta para pejabatnya dan bukan kepada orang yang bersang-kutan.

Ada juga prinsip yang dinamakan Azas Resiprositas atau Azas Komitas (Reciprocity or Comity Principle), yang

Referensi

Dokumen terkait