90
Yayan Sunarya1), Cynthia Linaya Radiman2), Sadijah Achmad2), dan Bunbun Bundjali2)
1)Program StudiKimia, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
2)Program StudiKimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung
e-mail: yayan_sunarya@upi.edu
Diterima 20 Agustus 2008, disetujui untuk dipublikasikan 3 September 2008
Abstrak
Pengaruh temperatur terhadap mekanisme inhibisi oleh sistein pada korosi baja karbon jenis API 5L X65 dalam larutan
NaCl jenuh CO2 dipelajari menggunakan metoda polarisasi potensiodinamik (Tafel) dan metoda electrochemical
impedance spectroscopy (EIS), yang didukung dengan simulasi program Zview. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mekanisme inhibisi berlangsung melalui pembentukan lapisan pelindung yang menutupi permukaan baja karbon dengan efisiensi inhibisi hingga 85%. Pada temperatur rendah pembentukan lapisan pelindung diperankan
oleh gugus –SH dan pada temperatur tinggi diperankan oleh gugus –NH3+. Peningkatan temperatur juga mengubah
proses korosi/inhibisi baja karbon dari kinetika transfer muatan menjadi proses difusi. Kata kunci: Sistein, Inhibitor korosi, Baja karbon, Polarisasi, EIS
Abstract
The inhibition mechanism of cysteine on API 5L X65 carbon steel corrosion in CO2-saturated NaCl solution at 300K –
360K was studied. The investigations involved potentiodynamic polarization, electrochemical impedance spectroscopy (EIS) methods and computer simulation of Zview program. The results showed that the inhibition mechanism takes place through formation of passive layers that covers carbon steel surface with inhibition efficiency up to 85%. Functional
group dominantly involved in the formation process of the passive layers is –SH at low temperature, and –NH3+ at
high temperature. The increasing temperature alters the carbon steel corrosion/inhibition process from kinetics of charge transfer to diffusion process.
Keywords: Cysteine, Corrosion inhibitor, Carbon steel, Polarization, EIS
1. Pendahuluan
Korosi yang disebabkan oleh garam klorida, asam organik, dan gas CO2 pada temperatur tinggi merupakan masalah utama pada pertambangan minyak bumi dan gas alam. Material tersebut dapat menyebabkan korosi merata dan/atau setempat (Schimtt dkk., 1999; Aagotness dkk., 2000). Dalam sumur produksi minyak bumi, korosi pada permukaan bagian luar pipa dapat ditanggulangi dengan pelapisan atau proteksi katodik, tetapi pada permukaan bagian dalam pipa hanya dapat dikendalikan dengan cara menambahkan inhibitor korosi.
Salah satu mekanisme kerja inhibitor korosi adalah melalui pembentukan lapisan molekul-molekul tunggal dari inhibitor yang teradsorpsi pada permukaan logam. Inhibitor korosi yang mampu membentuk lapisan seperti itu antara lain adalah senyawa karbon yang mengandung gugus merkapto, amina, dan/atau tiokarbamida (Şahin dan Bilgiç, 1992). Kemampuan inhibisi senyawa karbon didasarkan pada kekuatan adsorpsi terhadap permukaan logam.
Sistein adalah salah satu asam amino yang berpotensi sebagai inhibitor korosi logam. Beberapa
asam amino telah dilaporkan memiliki efisiensi inhibisi tinggi pada korosi besi (Moretti dkk, 2004), tembaga (Zhang dkk., 2005; Ismail, 2007), paduan Cu-Ni (Badawy dkk., 2006), dan paduan Pb-Ca-Sn (Kiani dkk., 2008). Mekanisme inhibisi yang terjadi umumnya melalui pembentukan lapisan tipis yang teradsorpsi pada permukaan logam secara fisiosorpsi atau kemisorpsi. Akan tetapi, mekanisme yang diajukan tidak membahas secara faktual tentang peran dari masing-masing gugus fungsi yang terkandung dalam sistein.
Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh temperatur terhadap proses inhibisi sistein pada korosi baja karbon dalam larutan NaCl jenuh CO2 menggunakan metoda polarisasi potensiodinamik dan metoda electrochemical impedance spectroscopy(EIS), didukung simulasi program Zview. Untuk mempelajari peran gugus fungsi dalam molekul sistein digunakan alanin dan asam merkaptopropanoat (disingkat 3-AMP) sebagai pembanding (Gambar 1). Alanin diasumsikan sebagai sistein tanpa gugus merkapto sedangkan 3-AMP diasumsikan sebagai sistein tanpa gugus amina.
NH2 SH O HO NH2 O HO SH O HO a b c
Gambar 1. Struktur molekul sistein (a), alanin (b), dan
3-AMP (c).
2. Metode
2.1 Persiapan alat dan bahan
Elektroda kerja dibuat dari baja karbon API 5L X65 dengan komposisi seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi baja karbon API 5L X65
Bahan Jumlah (%) C 0,074 Si 0,288 S 0,007 P 0,015 Mn 1,535 Ni 0,013 Cr 0,022 Cu 0,005 W 0,003 Al 0,028 Fe 97,933
Sampel baja karbon dibubut, disolder pada kawat tembaga, dan dilapisi resin epoksi untuk memperoleh luas permukaan papar 1,5 cm2. Sebelum digunakan, permukaan elektroda diampelas, dicuci dengan air destilat dan aseton, kemudian dikeringkan.
Larutan uji dibuat dengan cara melarutkan sejumlah tertentu zat kimia produksi Merck kualitas p.a. ke dalam air destilat, sebagai berikut: sebanyak 11,7 g NaCl dilarutkan dalam 1 L larutan air distilat untuk membuat NaCl 0,20 M; 0,3025 g sistein dilarutkan dalam 100 mL air distilat untuk membuat sistein 0,025 M; 0,2225 g alanin dilarutkan dalam 100 mL air distilat untuk membuat alanin 0,025 M; dan sebanyak 0,22 mL 3-AMP dalam 100 mL air distilat untuk membuat 3-AMP 0,025 M.
2.2 Prosedur pengujian
Sebanyak 250 mL NaCl 0,2 M dituangkan ke dalam sel elektroda kimia sistem tiga. Gas CO2 dialirkan pada tekanan 0,4+0,5 atm.g dan diaduk pada 400 rpm. Elektroda kerja (baja karbon), elektroda
rujukan (kalomel jenuh), dan elektroda bantu (platina) direndam dalam larutan uji dan dihubungkan dengan potensiostat buatan Radiometer® (Voltalab PGZ 3O1).
Dalam metoda polarisasi, potensial DC yang diterapkan adalah ±50 mV relatif terhadap potensial korosi dengan laju sapuan konstan pada 0,5 mV.s-1. Nilai tahanan polarisasi, Rp, potensial korosi, Ekor,
tetapan Tafel anodik, βa dan Tafel katodik, βc
ditentukan melalui ekstrapolasi kurva polarisasi dengan metoda Tafel (ASTM, 1987). Berdasarkan data tersebut kerapatan arus korosi ditentukan melalui persamaan Stern-Geary:
(
)
1 2,303 a c kor a c p I R β β β β = + (1)Laju korosi baja karbon ditentukan dari kerapatan arus korosi melalui persamaan:
3 3, 27 10 kor kor A V x ε I ρ = (2)
dengan Ae adalah massa ekivalen logam dan ρ massa
jenis logam. Nilai efisiensi inhibisi ditentukan berdasarkan kerapatan arus korosi melalui persamaan:
( )
% 1 0 100 inh kor kor I EI x I ⎛ ⎞ = −⎜ ⎟ ⎝ ⎠ (3) dengan 0 kor I dan inh korI berturut-turut adalah kerapatan arus korosi tanpa inhibitor dan berisi inhibitor.
Dalam metoda EIS, sinyal gelombang sinus untuk mengganggu sistem dibangkitkan dari potensial AC dengan amplitudo 10 mV dan rentang frekuensi 100 kHz sampai 10 mHz (ASTM, 1989). Spektra impedansi hasil EIS disajikan dalam aluran Nyquist. Nilai efisiensi inhibisi korosi ditentukan melalui persamaan:
( )
% 1 ct0 100 inh ct R EI x R ⎛ ⎞ = −⎜ ⎟ ⎝ ⎠ (4)dengan EI adalah efisiensi inhibisi (%), 0
ct
R dan inh ct
R berturut-turut adalah tahanan transfer muatan tanpa sistein dan mengandung sistein.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hubungan temperatur dan laju korosi baja karbon Laju korosi baja karbon ditentukan dari hasil pengukuran polarisasi pada 300K – 360K dengan selang 10 derajat dan paparan 1 jam. Luaran yang dihasilkan berupa kurva polarisasi anodik dan katodik (Gambar 2), selanjutnya diekstrapolasi dengan metoda Tafel untuk memperoleh parameter korosi baja karbon (Tabel 2).
Gambar 2. Kurva polarisasi anodik/katodik baja
karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 tanpa inhibitor pada 300K–360K.
Peningkatan temperatur hingga 340K menggeser potensial korosi baja karbon ke arah lebih positif, menunjukkan bahwa permukaan baja karbon terpolarisasi secara anodik yang dapat memicu reaksi reduksi ion-ion H+. Di atas 340K terjadi polarisasi katodik yang dapat menurunkan arus reduksi ion-ion H+ pada proses katodik (Sato, 1987).
Peningkatan temperatur menurunkan tahanan polarisasi pada antarmuka elektroda dan media, akibatnya zona serangan pada permukaan baja karbon makin luas (Brossia dan Cragnolino, 2000). Hal ini berdampak pada laju korosi baja karbon yang meningkat dari 1,321 mm.th-1 (300K) menjadi 2,213 mm.th-1 (340K), seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Penurunan laju korosi di atas 340K berhubungan dengan pelarutan CO2 dalam media yang makin rendah pada temperatur tinggi (David dkk.,
2007). Penurunan kelarutan CO2 menggeser posisi kesetimbangan ionisasi asam karbonat ke arah pembentukan H2CO3, sehingga konsentrasi ion-ion H+ dalam media uji berkurang. Akibatnya, potensial korosi bergeser ke arah lebih negatif sehingga arus korosi menjadi berkurang.
Gambar 3. Laju korosi baja karbon dalam NaCl 0,20
M jenuh CO2 tanpa inhibitor.
3.2 Hubungan temperatur dan kinerja sistein
Penambahan sistein 0,10 mM ke dalam media menurunkan laju korosi baja karbon (Gambar 4) dengan cara menggeser potensial korosi baja karbon ke arah lebih negatif (Tabel 3), menunjukkan bahwa proses inhibisi korosi dengan cara menghambat reaksi evolusi hidrogen. Dengan kata lain, sistein berperan sebagai inhibitor katodik pada temperatur tinggi.
Gambar 4. Laju korosi baja karbon dalam NaCl 0,20
M jenuh CO2 yang mengandung sistein 0,10 mM.
Tabel 2. Parameter korosi baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 tanpa inhibitor
Temperatur/K Ekor/mV Rp/ohm.cm2 βa/mV βc/mV Ikor/µA.cm-2
300 -708.5 148.40 56.0 -127.6 113.878 310 -703.3 117.16 54.7 -124.5 140.846 320 -699.5 98.62 53.2 -122.0 163.109 330 -695.0 83.84 53.7 -107.7 185.584 340 -692.7 77.50 52.0 -98.6 190.748 350 -700.7 85.12 51.7 -95.6 171.167 360 -719.1 94.12 51.4 -90.2 151.053 Temperatur (K) L aju k oro si ( m m .th -1 ) 360K 300K 320K 310K 330K 340K Potensial korosi (mV) Log 1 ( µ A.cm -2 ) Temperatur (K) Laju korosi ( m m.th -1 )
Tabel 3. Parameter korosi baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 mengandung sistein 0,10 mM
Temperatur/K Ekor/mV Rp/ohm.cm2 βa/mV βc/mV Ikor/µA.cm-2
300 -667,5 564,22 53,6 -75,4 24,110 310 -665,2 429,67 54,8 -85,5 33,749 320 -663,5 300,65 49,2 -85,0 45,007 330 -668,4 288,91 53,7 -87,8 50,079 340 -679,7 291,24 51,3 -89,2 48,558 350 -689,0 296,02 51,5 -51,8 37,881 360 -700,5 337,73 49,5 -49,1 31,692
Peningkatan temperatur sampai 330K meningkatkan laju korosi baja karbon akibat kemampuan inhibisi sistein menurun, sedangkan di atas 330K laju korosi menurun akibat konsentrasi ion-ion H+ hasil disosiasi H2CO3 berkurang, yang berdampak pada penurunan arus reduksi pada proses katodik (Ramachandran dkk., 1999). Penurunan arus reduksi disebabkan oleh kinerja inhibisi dari sistein yang meningkat melalui penutupan permukaan baja karbon dari sisi katodik.
3.3 Peran gugus fungsi dalam proses inhibisi korosi Hasil pengukuran polarisasi terhadap media mengandung 3-AMP 0,10 mM menunjukkan bahwa peningkatan temperatur menggeser potensial korosi baja karbon ke arah lebih negatif atau terjadi polarisasi katodik, sedangkan dalam media yang mengandung alanin 0,10 mM terjadi pergeseran ke arah lebih positif, kemudian ke arah lebih negatif (Gambar 5).
Gambar 5. Pengaruh temperatur terhadap potensial
korosi baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 yang mengandung alanin (); 3-AMP (●); dan sistein (c).
Jika dibandingkan dengan sistein, pola pergeseran potensial korosi baja karbon serupa dengan alanin. Oleh karena itu gugus fungsi dalam sistein yang berperan menggeser potensial korosi ke arah positif adalah gugus –NH3+, sedangkan di atas 330K, pergeseran ke arah lebih negatif diperankan baik oleh gugus –NH3+ maupun gugus –SH secara simultan, seperti tampak pada Gambar 5.
Kemampuan inhibisi 3-AMP 0,10 mM relatif sangat tinggi dan cenderung stabil, sedangkan kemampuan inhibisi dari alanin 0,10 mM tidak stabil. Jika dibandingkan dengan sistein (Gambar 6), kemampuan inhibisi sistein tidak berbeda dengan 3-AMP. Adanya penurunan dan peningkatan kemampuan inhibisi korosi dari sistein disebabkan oleh gugus – NH3+ yang turut dalam proses inhibisi.
Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa proses inhibisi korosi baja karbon oleh sistein diperankan oleh gugus fungsi –SH yang berantaraksi dengan permukaan baja karbon dan kemampuannya cenderung menurun pada temperatur tinggi. Gugus fungsi –NH3+ turut berperan dalam proses inhibisi dan peranannya makin efektif pada temperatur tinggi.
Gambar 6. Pengaruh temperatur terhadap laju korosi
baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 yang mengandung alanin (); 3-AMP (●); dan sistein (c). 3.4 Spektra impedansi dan sifat-sifat listrik pada antarmuka
Hasil pengukuran EIS terhadap baja karbon dalam media uji diungkapkan dalam aluran Nyquist yang menyatakan aluran impedansi imajiner, -Zi(ω)
sebagai fungsi impedansi real, Zr(ω) (Gambar 7).
Pengolahan kurva spektra impedansi dengan regresi lingkar (circular regression) diperoleh data tahanan larutan, Rs, tahanan transfer muatan, Rct, dan
kapasitansi lapis rangkap, Cdl, disajikan pada Tabel 4. Temperatur (K) Laju korosi ( m m.th -1 ) Temperatur (K) Potensial korosi (mV)
Gambar 7. Spektra impedansi baja karbon dalam
Zr/kohm.cm2 NaCl 0,20 M jenuh CO2 yang mengandung sistein 0,10 mM pada 300K (a), 320K (b), 340K (c), dan 360K (d).
Berdasarkan data pada Tabel 4, peningkatan temperatur menurunkan tahanan larutan adalah akibat meningkatnya ion-ion Fe2+, sehingga konduktifitas larutan meningkat. Peningkatan temperatur sampai 330K menurunkan tahanan transfer muatan akibat molekul-molekul sistein yang menutupi permukaan baja karbon berkurang, ditunjukkan oleh nilai kapasitansi lapis rangkap meningkat akibat meningkatnya tetapan dielektrik setempat (Mitton dkk., 2002).
Sifat-sifat listrik pada antarmuka baja karbon/media dapat dianalisis melalui simulasi program
Zview dengan cara pengepasan (fitting) kurva spektra
impedansi hasil EIS dengan kurva spektra impedansi hasil simulasi model rangkaian listrik ekivalen (http://www.gamry.com, 2005; Gabrielli, 1980). Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa gejala antarmuka baja karbon dan media mengandung sistein 0,10 mM pada 300K – 360K sesuai dengan model rangkaian listrik ekivalen pada Gambar 8 dan nilai komponen hasil simulasi disajikan pada Tabel 5. (a)
(b)
(c)
Gambar 8. Model rangkaian listrik ekivalen untuk baja
karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 dengan sistein 0,10 mM pada 300K-320K (a), 330K-340K (b), dan 350K-360K (c).
Model rangkaian listrik ekivalen pada Gambar (8.a) menunjukkan bahwa proses korosi baja karbon dikendalikan oleh kinetika transfer muatan, dinyatakan oleh nilai Rct dan CFEdl. Mekanisme inhibisi sistein
melalui pembentukan lapisan pelindung teradsorpsi pada permukaan baja karbon dengan nilai tahanan sebesar Rf dan kapasitansi lapis rangkap sebesar CPEf.
Lapisan pelindung yang terbentuk tidak merata (http://www.gamry.com, 2005). Model rangkaian listrik ekivalen pada Gambar (8.b) menunjukkan bahwa proses korosi dikendalikan oleh kinetika dan difusi secara simultan dengan lapisan pelindung yang tidak merata dan berpori. Model rangkaian listrik ekivalen pada Gambar (8.c) menunjukkan bahwa proses korosi dikendalikan oleh difusi ion-ion H+ yang menuju permukaan baja karbon akibat porositas pada lapisan pelindung cenderung meningkat.
Tabel 4. Besaran listrik pada antarmuka baja karbon
dan larutan NaCl 0,20 M jenuh CO2 hasil pengukuran EIS T/K Rs/ohm.cm2 Rct/ohm.cm2 Cdl/µF.cm-2 300 18,55 435,80 162,5 310 16,11 299,90 177,6 320 16,34 233,20 196,4 330 13,08 209,90 239,4 340 12,62 277,50 249,3 350 11,54 348,70 600,3 360 11,12 356,70 810,0
Berdasarkan data simulasi pada Tabel 5, peningkatan temperatur dari 300K-320K meningkatkan laju korosi baja karbon. Hal ini disebabkan oleh energi kinetik spesi-spesi dalam media meningkat sehingga transfer muatan pada antarmuka makin tinggi yang ditunjukkan oleh nilai kapasitansi lapis rangkap, CPEdl,
yang makin besar. Peningkatan nilai CPEdl akibat
tahanan transfer muatan menurun, disebabkan oleh keterlibatan gugus fungsi –NH3+ dalam pembentukan lapisan pelindung, yang berpotensi meningkatkan porositas pada lapisan pelindung.
Peningkatan temperatur hingga 340K meningkatkan porositas pada lapisan pelindung yang ditunjukkan oleh nilai kapasitansi lapis rangkap yang makin tinggi, menyerupai kapasitor (αdl = 1). Selain itu
ketebalan lapisan pelindung menurun, ditunjukkan oleh nilai tahanan lapisan pelindung, Rf yang makin kecil,
yang berdampak pada peningkatan laju korosi baja karbon. Adanya pori pada lapisan pelindung mengakibatkan ion-ion H+ dapat berdifusi menembus lapisan pelindung melalui pori, sehingga proses korosi baja karbon ditentukan juga oleh proses difusi.
(a) (b) (c) (d) Zr/kohm.cm2 -Zi/kohm.cm 2
Tabel 5. Parameter listrik hasil simulasi rangkaian listrik ekivalen untuk baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 mengandung sistein 0,10 mM Komponen 300 310 320 330 340 350 360 Temperatur/K Rs/ohm.cm2 24,13 19,66 17,77 13,82 12,76 9,45 10,13 Rf/ohm.cm2 170,5 151,4 147,4 138,7 129,2 89,5 109,55 CPEf/µF.cm-2 117,50 123,84 171,43 198,82 237,14 141,94 84,05 αf 0,88 0,92 0,87 0,84 0,85 0,90 0,93 Rct/ohm.cm2 260,6 145,4 82,97 40,57 33,68 - - CPEdl/mF.cm-2 2,14 2,369 2,805 3,100 4,231 - - αdl 0,55 0,65 0,70 1,0 1,0 - - Rw/ohm.cm2 - - - 29,07 77,31 217,3 186,7 CPEw/mF.cm-2 - - - 1,897 1,471 13,60 9,965
Pada temperatur 350 – 360K, proses korosi baja karbon tidak lagi dikendalikan oleh kinetika transfer muatan melainkan oleh difusi ion-ion H+ melalui lapisan pelindung dengan porositas tinggi. Namun demikian, difusi ion-ion H+ yang menuju permukaan baja karbon terhambat oleh molekul-molekul sistein akibat peningkatan kekuatan antaraksi dari gugus –NH3+. Di samping itu, ada kemungkinan terbentuk lapisan pasif dari FeCO3 pada permukaan baja karbon pada temperatur tinggi. Hambatan difusi ion-ion H+ dinyatakan oleh nilai tahanan Warburg yang relatif tinggi.
3.5 Efisiensi inhibisi
Efektifitas inhibisi sistein pada korosi baja karbon dinyatakan dalam persen efisiensi inhibisi (%EI), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil pengukuran polarisasi dan EIS, efisiensi inhibisi berkisar antara 73-85%.
Gambar 9. Efisiensi inhibisi sistein pada korosi baja
karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 dengan konsentrasi sistein 0,10 mM Tafel (●) dan EIS (▲).
4. Kesimpulan
Laju korosi baja karbon dalam NaCl 0,20 M jenuh CO2 meningkat sejalan dengan meningkatnya temperatur dan mencapai maksimum pada 340K. Penambahan sistein 0,10 mM ke dalam larutan uji
dapat menurunkan laju korosi baja karbon dengan efisiensi inhibisi hingga 85% pada 360K. Proses/mekanisme inhibisi terjadi melalui pembentukan lapisan pelindung yang tidak sempurna pada permukaan baja karbon, yang diperankan oleh gugus fungsi –SH pada temperatur rendah dan gugus fungsi – NH3+ serta –SH pada temperatur tinggi. Peningkatan temperatur mengubah proses korosi baja karbon dari kinetika transfer muatan menjadi proses difusi, akibat meningkatnya porositas pada lapisan pelindung.
Daftar Pustaka
Aagotnes, N. O., T. Hemmingsen, C. Haarseth, and I. Midttveit, 1999, Comparison of Corrosion Measurement by Use of AC-impedance, LPR, and Polarization Methods on Carbon Steel in CO2 Purged NaCl Electrolytes, Corrosion 2000, Paper 27, (Houston, TX, NACE). ASTM G-3, 1989, Standard Practice for Conventions
Applicable to Electrochemical Impedance Measurement in Corrosion Testing, Annual Book of ASTM Standard, Metal Test Methods
and Analytical Procedures, American Society
for Testing and Materials.
ASTM G-5, 1987, Standard Practice for Making Potentiodynamic Anodic Polarization Measurements Convention Applicable to Electrochemical Measurement in Corrosion Testing, Annual Book of ASTM Standard, Metal Test Methods and Analytical
Procedures, American Society for Testing and
Materials.
Badawy, W. A., K. M. Ismail, and A. M. Fathi, 2006, Corrosion Control of Cu–Ni Alloys in Neutral Chloride Solutions by Amino Acids,
Electrochim. Acta, 51, 4182-4189.
Brossia, C. S. and G. A. Cragnolino, 2000, Effect of Environmental Variables on Localized Corrosion of Carbon Steel, Corros. Sci., 56,
505-514.
Temperatur (K)
Efisiensi inhib
David, R. L. (Ed.), 2007, CRC Handbook of Chemistry
and Physics, Taylor and Francis, 87th ed.,
Boca Raton, FL.
Gabrielli, C., 1980, Identification of Electrochemical
Processes by Frequency Response Analysis,
Center Nation de la Rercherche Scientifique Physique des Liquides et Electrochimie, France.
Gamry Instruments, 2005, Electrochemical Impedance
Spectroscopy Primer, http://www.gamry.com.,
diunduh pada tanggal 10 Pebruari 2006. Ismail, K. M., 2007, Evaluation of Cysteine as
Environmentally Friendly Corrosion Inhibitor for Copper in Neutral and Acidic Chloride Solutions, Electrochim. Acta, 52, 7811-7819.
Kiani, M. A., M. F. Mousavi, S. Ghasemi, M. Shamsipur, and S. H. Kazemi, 2008, Inhibitory Effect of Some Amino Acids on Corrosion of Pb-Ca-Sn Alloy in Sulfuric acid Solution, Corros.Sci., 50, 1035-1045.
Mitton, D. B., S. L. Wallace, N. J. Cantini, F. Belluci, G. E. Thompson, N. Eliaz, and R. M. Latanision, 2002, The Correlation Between Substrate Mass Loss and Electrochemical Impedance Spectroscopy Data for a Polymer-Coated Metal, J. Electrochem. Soc. 149:6,
B265-B271.
Moretti, G., F. Guidi, and G. Grion, 2004, Tryptamine As a Green Iron Corrosion Inhibitor in 0.5 M Deaerated Sulphuric Acid, Corros. Sci. 46,
387-403.
Ramachandran, S., V. Jovancicevic, and M. B. Ward, 1999, Understanding Interactions Between Corrosion Inhibitors and Iron Carbonate Films Using Molecular Modeling, Corrosion 1999, Paper 7, (Houston, TX, NACE).
Şahin, M. and S. Bilgiç, 2003, The Inhibition Effects of Some Heterocyclic Nitrogenous Compounds on the Corrosion of the Steel in CO2-saturated NaCl solutions, J. Anti-Corros. Method M.,
50:1, 34-39.
Sato, N., 1987, Some Concepts of Corrosion Fundamentals, Corros.Sci.,27:5, 421 – 433.
Schimtt, G., M. Mueller, M. Papenfuss, and E. Strobel, 1999, Understanding Localized CO2 Corrosion of Carbon Steel from Physical Properties of Iron Carbonate Scales, Corrosion 1999, Paper 38, (Houston, TX, NACE).
Zhang, D-Q, L-X, Gao, and G-D. Zhou, 2005, Inhibition of Copper Corrosion in Aerated Hydrochloric Acid Solution by Amino-acid Compounds, J. Appl. Electrochem., 35,