Bagi banyak orang, darah hanyalah cairan merah. Tapi bagi seorang analis laboratorium, setetes darah adalah dunia. Dunia yang dipenuhi misteri: sel-sel putih yang melawan, trombosit yang mengering, dan bakteri yang menari di balik lensa.
Ferizal baru benar-benar mengenal dunia ini ketika ia harus menemani pasien anak-anak dengan demam berdarah. Mereka menunggu hasil trombosit yang ditentukan bukan oleh dokter, tapi oleh seseorang di ruangan kecil berbau reagen:
laboratorium.
Di sanalah ia bertemu Arman, seorang analis laboratorium medik muda yang selalu memakai masker bahkan di luar jam kerja. Tangannya cekatan, matanya tajam, dan ucapannya singkat.
92
“Kenapa selalu kelihatan serius, Mas Arman?” tanya Ferizal suatu sore.
“Saya terlalu sering melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain,” jawabnya sambil memeriksa slide apusan darah.
“Mikroorganisme itu seperti puisi... sunyi, tapi bisa mengubah hidup.”
Jawaban itu membuat Ferizal terdiam. Malamnya, ia menulis:
"Di balik kaca pembesar, kutemukan pertempuran tanpa senjata.
Tak terdengar, tak terlihat, tapi itulah perang yang menentukan hidup."
Ferizal mulai sering menghabiskan waktu di ruang lab setelah jam pelayanan. Ia memperhatikan bagaimana Arman menyapa setiap sampel seperti sahabat. Bagaimana ia mencatat hasil dengan cermat. Dan bagaimana ia tersenyum ketika menemukan bahwa hasil darah pasien membaik.
“Tak ada yang ingat nama analis lab saat pasien sembuh,” kata Arman. “Tapi kami tahu, di balik diagnosa tepat, ada kerja senyap kami.”
Ferizal mengusulkan ide menulis kumpulan cerita pendek:
"Virus dalam Puisi", kisah-kisah di balik lensa mikroskop.
Arman sempat ragu, tapi akhirnya mengirimkan naskah pertama: "Dengue dan Detak Jantung Cinta", kisah tentang seorang ayah yang darahnya diuji berkali-kali untuk putranya yang sekarat.
Mereka menulis bersama. Cerita demi cerita lahir dari dunia kecil laboratorium yang ternyata penuh drama besar:
93
Seorang ibu yang marah karena hasil HIV-nya positif, tapi akhirnya berterima kasih karena diselamatkan lebih awal.
Kisah pengujian urin yang mengungkap anak gadis mengidap diabetes sejak dini.
Cerita sedih tentang analisa darah terakhir dari pasien yang tak sempat sembuh.
Ferizal menulis prosa pendek yang menjadi pembuka buku:
“Lab bukan sekadar tempat pengujian. Ia adalah medan tempat ilmu bertarung dengan harapan. Dan para analis, adalah pahlawan dalam sunyi yang memutuskan arah kehidupan.”
Buku ini diluncurkan dalam peringatan Hari Laboratorium Nasional. Untuk pertama kalinya, para ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) berdiri di atas panggung bukan untuk hasil uji kompetensi, tapi untuk membacakan puisi.
Salah satu puisi berjudul “Slide yang Menangis” menjadi viral:
“Setiap tetes darah membawa rahasia dan kami hanya bisa melihat, tanpa boleh berharap, kecuali hasilnya membawa pulang senyum.”
Dari situ, ATLM di berbagai daerah mulai menulis kisahnya.
Mereka membentuk komunitas kecil bernama
“Laborapoetika”—gerakan literasi mikroskopik untuk kesehatan bangsa.
Ferizal tersenyum menyaksikan perubahan itu. Di sebuah forum, ia berkata:
94
“Kita sering bicara soal diagnosis cepat dan akurat. Tapi lupa bahwa di balik itu ada manusia yang bekerja dalam keheningan.
Sastra memberi mereka suara—dan suara itu menyembuhkan kita semua.”
Di dinding luar ruang laboratorium Puskesmas, tertulis kutipan yang kini jadi semboyan para ATLM:
“Kami melihat yang tak terlihat, dan itulah cara kami menjaga kehidupan.”
Setelah buku Virus dalam Puisi menyebar luas, ruang laboratorium di Puskesmas Harapan Bangsa tak lagi menjadi tempat yang hanya dikunjungi oleh petugas dan pasien rujukan.
Para pelajar datang berkunjung, ingin melihat langsung dunia mikroskopik yang mereka baca dalam cerita. Beberapa membawa buku, beberapa membawa pertanyaan, dan beberapa membawa rasa hormat yang baru.
Arman, yang biasanya lebih nyaman dengan tabung reaksi dan pipet otomatis, kini mulai membuka diri. Ia bahkan bersedia mengisi workshop kecil bertema “Puisi Mikroskopik dan Literasi Diagnostik”.
“Awalnya saya pikir, saya terlalu kaku untuk menulis,” kata Arman dalam sesi itu. “Tapi ternyata, kami—para ATLM—punya lensa yang bisa melihat lebih dalam. Termasuk ke dalam diri sendiri.”
Dalam workshop itu, seorang siswa SMA menulis puisi sederhana yang membuat Arman diam cukup lama setelah membacanya:
95
“Aku tak tahu bentuk leukosit, Tapi aku tahu mereka berjuang.
Seperti Ayah yang diam-diam berdarah agar aku tetap sekolah.”
Ferizal dan Arman kemudian mencetuskan program baru:
“Cerita dari Balik Mikroskop”. Isinya berupa catatan harian laboratorium, dengan format bebas—puisi, esai, memoar, atau bahkan surat untuk pasien. Program ini diperluas ke berbagai puskesmas dan laboratorium rumah sakit di kabupaten.
Salah satu cerita paling menyayat hati datang dari seorang ATLM di daerah terpencil, berjudul "Surat untuk Pasien yang Tak Kembali". Ia bercerita tentang bagaimana ia masih menyimpan satu slide apusan darah milik pasien anak yang akhirnya meninggal sebelum hasil selesai dianalisis.
“Maafkan aku, Nak. Hasilku terlambat, bukan karena malas, tapi karena listrik padam dan genset tak bekerja. Tapi aku simpan slide-mu, agar suatu hari nanti, kau tetap menjadi alasan kami terus berjuang.”
Cerita itu dibacakan dalam Konferensi Nasional ATLM, dan seluruh hadirin berdiri dalam hening panjang—hening yang tak lagi kosong, tapi penuh makna.
Tak lama, Ferizal diundang untuk berbicara di Universitas Kesehatan dalam acara bertajuk “Sastra Klinis dan Etika Humanistik Profesi Medis”. Di depan ratusan mahasiswa, ia berkata:
96
“Kita mengenal ATLM dari hasil laboratorium. Tapi kita lupa bahwa mereka juga mengukur denyut kemanusiaan. Mereka melihat luka yang belum terasa, dan mengabarkan ancaman yang belum tampak. Puisi hanyalah alat bantu—yang sesungguhnya menyembuhkan adalah perhatian.”
Di akhir acara, salah satu mahasiswa berkata pada Arman, “Saya tadinya mau ambil jurusan ATLM hanya karena peluang kerja.
Tapi setelah baca buku Bapak dan Pak Ferizal... saya tahu ini juga jalan untuk mencintai kehidupan dalam bentuk paling kecil.”
Kini, setiap hasil laboratorium di Puskesmas Harapan Bangsa disertai satu lembar kecil puisi pilihan. Bukan sebagai pengganti hasil medis, tapi sebagai pengingat bahwa di balik angka, ada nyawa. Di balik data, ada doa.
Di dinding ruang laboratorium, tepat di samping mikroskop utama, tertulis kutipan baru karya bersama Arman dan Ferizal:
“Kami tak bisa menyembuhkan langsung, Tapi kami bisa memperlihatkan arah. Dalam setetes darah yang kau anggap biasa, Kami membaca perjalanan tubuhmu dan menyampaikan pesan sunyinya dengan hati-hati.”
Malam itu, saat Ferizal berjalan melewati lorong laboratorium yang sepi, ia menulis satu catatan pendek:
“Di ruang ini, tak ada tepuk tangan, hanya bunyi centrifuge dan printer hasil. Tapi dari sinilah, banyak hidup diselamatkan.
97 Dan dalam sunyi mereka, aku menemukan gema paling jujur dari dunia kesehatan.”
Petugas Laboratorium dan Darah yang Berkisah
Di ruang paling sunyi di Puskesmas Harapan Bangsa, berdiri satu ruangan kecil berbau alkohol dan antiseptik. Di sinilah Mbak Dwi, analis laboratorium senior, menjalani tugasnya—
mengambil darah, memeriksa urin, membaca hasil sampel, dan mencatat angka-angka yang bisa menentukan hidup seseorang.
Ferizal awalnya tidak terlalu akrab dengan dunia laboratorium.
Baginya, darah hanyalah darah. Tapi semuanya berubah saat ia menemani seorang pasien TBC yang menunggu hasil sputum dengan gemetar.
“Kadang yang menakutkan bukan penyakitnya,” kata Mbak Dwi dengan pelan, “tapi angka di kertas. Karena satu hasil positif bisa mengubah seluruh hidup.”
Ferizal mendengarkan. Lalu melihat cara Mbak Dwi memperlakukan tiap sampel seperti bagian dari cerita, bukan sekadar objek.
Ia menulis dalam buku catatannya:
“Darah bukan cuma cairan merah. Ia adalah surat rahasia dari tubuh— dan Mbak Dwi adalah penerjemahnya.”
Mereka mulai membuat proyek kecil: “Kisah dari Balik Mikroskop”, kumpulan puisi dan narasi pendek dari ruang lab.
Isinya adalah potongan-potongan harapan, ketakutan, dan keberanian yang tak terlihat oleh mata telanjang.
98 Salah satu cerita paling menyentuh berjudul “Golongan Darah O dan Ayah yang Pergi”—tentang anak kecil yang tes golongan darah untuk donor ibunya, lalu bertanya, “Kenapa Ayahku tak pernah periksa darah juga? Apa dia takut tahu bahwa dia tak sama seperti kami?”
Puisi yang menjadi pembuka buku ditulis oleh Ferizal, terinspirasi dari Mbak Dwi:
“Dari setetes darah kau baca rahasia, bukan untuk menghukum, tapi untuk memberi kesempatan. Karena tubuh bicara dengan cara yang jujur—meski kita sering tak siap mendengarnya.”
Buku ini membuat banyak petugas laboratorium merasa dilihat.
Selama ini, mereka berada di balik tirai pelayanan, namun tak pernah muncul dalam cerita utama. Kali ini, mereka diberi panggung.
Dalam satu pelatihan tenaga laboratorium se-Indonesia, Mbak Dwi menyampaikan:
“Kami bukan dokter, tapi kami bisa melihat pertempuran yang tak kasat mata. Kami bukan perawat, tapi kami tahu kapan tubuh sedang berteriak lewat angka-angka.”
Ferizal menambahkan:
“Laboratorium bukan hanya ruang uji. Ia adalah ruang kontemplasi.Tempat di mana tubuh menulis puisinya sendiri—
dan petugas lab adalah pembacanya yang paling setia.”
Kini, di ruang tunggu laboratorium Puskesmas Harapan Bangsa, tertempel kutipan singkat dari buku mereka:
99
“Hasil laboratorium bisa menakutkan. Tapi di baliknya, ada manusia yang peduli agar kamu tidak sendirian membacanya.”
Analis Kesehatan dan Darah yang Menyimpan Cerita
Ferizal tidak pernah benar-benar paham dunia laboratorium sampai suatu hari ia diminta menunggu hasil pemeriksaan darah pasien di ruang lab Puskesmas Harapan Bangsa. Di sana, ia melihat seseorang bekerja di balik mikroskop, mengenakan jas putih, sarung tangan, dan senyum yang tersembunyi di balik masker.
Namanya Pak Wawan, analis kesehatan yang sudah dua puluh tahun bekerja. Ia jarang muncul di rapat besar, tak pernah tampil di layar seminar, tapi tangannya merekam kehidupan lewat sampel—dari darah, urin, hingga dahak.
“Kami tak bertemu pasien seperti dokter,” katanya sambil menandai tabung. “Tapi kami melihat yang tak bisa dilihat orang lain. Kadang, satu tetes darah bisa bicara lebih jujur daripada seluruh pengakuan pasien.”
Ferizal tercenung. Di balik hasil laboratorium yang tampak dingin dan teknis, ternyata ada dunia yang sangat manusiawi. Ia mulai menuliskan puisi:
“Di bawah mikroskop, bukan hanya sel yang terlihat. Tapi harapan, ketakutan,dan doa yang tak bersuara.”
Bersama Pak Wawan, ia mulai mengumpulkan cerita: hasil lab yang menyelamatkan, tapi juga kadang memecah. Mereka menulis buku: “Cerita dari Tabung Reaksi”—catatan kemanusiaan di balik angka hemoglobin dan leukosit.
100 Salah satu kisah berjudul “Trombosit yang Membuat Ibu Menangis”, tentang seorang anak demam berdarah yang nyaris tak tertolong karena terlambat datang ke Puskesmas. Tapi hasil pemeriksaan cepat dari Pak Wawan-lah yang menyelamatkan waktu.
Ada pula kisah “Darah Seorang Guru”, tentang seorang guru yang datang diam-diam untuk memeriksa status HIV-nya. Ia takut, bukan karena hasilnya, tapi karena stigma. Setelah hasil keluar dan ternyata negatif, ia berkata, “Terima kasih karena tak menghakimi saya, bahkan sebelum saya bicara.”
Ferizal menyadari: laboratorium bukan tempat sunyi. Ia adalah ruang paling jujur dalam sistem kesehatan.
Dalam peluncuran buku, Pak Wawan berbicara untuk pertama kalinya di depan umum:
“Kami bukan pemberi diagnosis. Tapi kami menjaga agar keputusan yang diambil dokter benar. Dan bagi kami, setiap angka itu mewakili nyawa.”
Kini, di pintu ruang laboratorium, tertempel puisi Ferizal:
“Tak semua darah mengalir karena luka, sebagian mengalir karena harapan. Dan di balik tabung bening itu, ada tangan yang menjaga kita tetap hidup.”