• Tidak ada hasil yang ditemukan

46

“Bidan adalah pintu, bukan penentu takdir.

Tapi dari tangannya,

dunia dimulai dengan cinta.”

47 Ferizal membacanya dengan khusyuk. Lalu mengangguk pelan.

“Ini... luar biasa. Kamu baru saja memberi suara pada sesuatu yang bisu: obat.”

Hari itu mereka berbincang panjang. Tentang pasien yang meminta antibiotik tanpa resep, tentang keluarga yang membagi-bagi obat warisan, tentang remaja yang menyalahgunakan obat flu demi efek mengantuk. Dina bercerita dengan semangat, dengan sedikit kesal, dan sesekali dengan tawa getir.

“Kita harus menulis semua ini, Din. Dalam bentuk cerita. Biar masyarakat nggak cuma lihat obat sebagai pil pahit, tapi sebagai sahabat yang tak boleh disia-siakan.”

Lahirlah ide buku bersama mereka: “Puisi untuk Tablet yang Terluka.”

Setiap bab mengangkat kisah nyata:

 Seorang kakek yang menyimpan obat jantung dalam botol permen karena tak ingin cucunya takut.

 Seorang remaja yang kecanduan obat batuk cair demi melupakan kegelisahan.

 Seorang ibu rumah tangga yang mencampur antibiotik ke dalam susu bayinya, mengira itu akan mempercepat kesembuhan.

Ferizal menuliskan kisah itu seperti cerpen. Dina menambahkan penjelasan farmakologi di akhir cerita. Maka jadilah buku yang memadukan edukasi rasionalisasi obat dengan keindahan narasi.

48 Salah satu cerita favorit pembaca berjudul “Si Kuning yang Dibuang”, tentang vitamin B kompleks yang selalu dibuang pasien karena membuat air seni berwarna kuning. Cerita itu diakhiri dengan puisi:

“Jangan nilai dari warna Jangan buang karena tak biasa Aku bekerja dalam sunyi Seperti cinta yang tak dipuji.”

Buku ini dicetak oleh dukungan Dinkes dan dibagikan ke apotek, rumah sakit, dan sekolah farmasi. Tak lama, muncul gerakan literasi baru dari Himpunan Apoteker: “Farmasi Menulis untuk Indonesia Sehat”.

Dalam sebuah seminar farmasi nasional, Ferizal dan Dina diminta tampil sebagai pembicara. Dina membuka dengan sebuah kutipan yang membuat seluruh ruangan hening:

“Obat bukan sekadar zat aktif. Ia adalah jembatan antara rasa sakit dan harapan. Tapi tanpa pengetahuan dan cinta, ia bisa jadi jembatan yang runtuh.”

Di akhir sesi, Ferizal membacakan puisi yang kini sering ditempel di dinding apotek-apotek komunitas:

“Aku adalah kapsul yang kau benci Tapi aku juga harapan yang kau titipkan Bacalah aku sebelum menelan

Karena aku ingin dikenal, Bukan hanya dikonsumsi.”

49 Sejak itu, staf Apotik tak lagi dipandang sekadar “tukang ambil obat”. Mereka adalah penjaga narasi kesehatan, penghubung antara ilmu dan sikap, antara resep dan kesadaran.

Dan bagi Ferizal, mereka adalah pahlawan sunyi yang akhirnya punya panggung dalam sastra kesehatan.

Beberapa minggu setelah seminar nasional itu, sebuah kabar tak terduga datang ke Puskesmas Harapan Bangsa. Salah satu cerita dalam buku Puisi untuk Tablet yang Terluka—tentang remaja yang menyalahgunakan obat batuk cair—menjadi perbincangan hangat di media sosial. Bukan karena sensasi, tapi karena akhirnya ada kisah yang menjelaskan mengapa hal itu terjadi:

kesepian, tekanan belajar, dan kurangnya ruang aman untuk berbicara.

Komentar-komentar berdatangan:

“Saya pernah di posisi itu. Tapi dulu nggak ada yang peduli.”

“Terima kasih sudah menulis dari sisi kemanusiaan, bukan sekadar menghakimi.”

“Obat seharusnya menyembuhkan, bukan jadi pelarian. Buku ini menyentuh sekali.”

Dina terharu. Tapi juga gelisah.

“Ferizal, aku senang karena kisah ini dibaca banyak orang. Tapi aku juga sedih... ternyata masalah ini lebih luas dari yang kukira.”

Ferizal menatapnya dalam. “Itu artinya kita harus terus menulis, Din. Kita belum selesai.”

50 Dari buku pertama, lahirlah rencana untuk edisi kedua. Kali ini, Dina mengajak rekan-rekan sejawat: apoteker dari Puskesmas lain, rumah sakit, dan apotek swasta. Mereka mengirimkan catatan lapangan, kejadian sehari-hari, bahkan puisi pendek yang mereka tulis saat lelah jaga malam.

Salah satu puisi datang dari apoteker senior bernama Pak Sugeng:

“Aku duduk di balik kaca,

Dibilang penjual, dibilang pengemas.

Padahal aku penjaga batas

Antara dosis yang menyembuhkan dan yang bisa merenggut nyawa.”

Kumpulan baru itu diberi judul "Farmakope Rasa: Cerita dari Balik Etalase".

Buku ini lebih kompleks. Ia berbicara tentang etika, kesenjangan pemahaman masyarakat, hingga dilema ketika apoteker dipaksa memilih antara omset dan keselamatan pasien. Tapi semua dibungkus dalam cerita pendek, puisi, dan esai ringan yang tetap mudah dicerna.

Salah satu bab yang paling menyentuh berjudul “Obat Penunda yang Tak Pernah Diminum”. Bercerita tentang seorang istri yang rutin membeli pil KB, tapi diam-diam tak pernah meminumnya—

karena ingin segera punya anak, tapi tak berani menyampaikan keinginan itu pada suaminya.

51 Puisi penutupnya seperti bisikan hati:

“Setiap aku menyimpanmu dalam laci, Aku menyimpan mimpiku di bawahnya.

Maaf, tablet kecil,

Aku tidak menelammu bukan karena benci—

Tapi karena ingin dipercaya sebagai ibu.”

Cerita itu membuat para pembaca melihat obat dari sudut yang benar-benar berbeda. Obat bukan hanya benda kimiawi. Ia adalah simbol keputusan, konflik batin, bahkan pergulatan keluarga.

Buku kedua itu kemudian diluncurkan bersamaan dengan Hari Kesehatan Nasional. Dalam acara tersebut, Dina berdiri di panggung mengenakan jas putih sederhana, tangannya gemetar saat membuka sesi.

“Selama ini,” katanya lirih, “kami bekerja dalam diam. Tapi buku ini adalah suara kami. Obat bukan cuma produk industri. Ia adalah bagian dari budaya, dari narasi hidup manusia. Mari rawat cara kita memperlakukan obat—dengan tahu, dengan hati, dengan hormat.”

Ferizal menambahkan di akhir acara:

“Kalau puisi bisa menyentuh luka,

Maka apoteker bisa menjadi penulis harapan—

dalam dosis yang tepat.”

52 Sejak hari itu, ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa tak lagi sekadar tempat menunggu obat. Di dinding-dindingnya terpajang kutipan sastra farmasi, dan di setiap amplop obat, tertera satu baris kecil:

“Obat adalah janji, bukan sulap. Hormatilah ia seperti engkau menghormati hidupmu sendiri.”

Dan bagi Ferizal, Dina bukan sekadar apoteker. Ia adalah penjaga sunyi yang tahu, bahwa dalam tiap strip obat, terselip pertanyaan yang lebih besar: Apakah kita benar-benar ingin sembuh, atau sekadar ingin lupa?

Apoteker dan Puisi di Balik Etiket Obat

Di balik jendela kaca ruang farmasi, apoteker tak hanya meracik obat—mereka menyusun harapan dalam botol, menyelipkan ketenangan dalam etiket, dan sering kali menjadi akhir dari perjalanan panjang pasien menuju pemulihan. Ferizal menyadari hal ini saat duduk di ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa bersama Bu Reni, apoteker kepala yang dikenal tegas, rapi, dan penuh kehangatan tersembunyi.

“Saya sering iri pada dokter,” kata Bu Reni sambil menyiapkan obat racikan. “Mereka disapa pasien dengan ucapan terima kasih.

Kami? Paling sering ditanya, ‘Lama banget ya, Bu?’”

Ferizal tersenyum simpul. Ia tahu, dunia farmasi seperti ruang sunyi setelah badai konsultasi. Namun diam-diam, di balik etiket putih dan tulisan takaran, tersembunyi upaya merawat manusia dengan penuh presisi.

“Setiap etiket itu seperti haiku,” ujar Ferizal, “singkat, padat, tapi menentukan hidup seseorang.”

53 Malam itu, ia menulis puisi:

“Minum tiga kali sehari, bukan sekadar petunjuk—

tapi doa sunyi agar kau sembuh tepat waktu.”

Bersama Bu Reni, ia mulai mengumpulkan cerita-cerita di balik jendela farmasi. Mereka menyusun buku “Etiket yang Membisikkan Harapan”—berisi kisah pasien, kesalahpahaman, harapan yang disampaikan lewat kertas kecil bernama resep.

Salah satu kisah yang ditulis Ferizal berjudul “Obat Sirup dan Ayah yang Tak Bisa Membaca”—tentang seorang ayah muda yang kembali ke puskesmas karena anaknya tidak kunjung sembuh. Setelah ditanya, ternyata ia tidak memahami etiket karena tak bisa membaca. Kisah itu membuat banyak apoteker menangis saat dibacakan dalam pelatihan kefarmasian.

Ada juga kisah “Puisi di Balik Etiket No. 6”—tentang seorang pasien lansia yang menyimpan etiket obat di dompetnya karena tulisan tangan Bu Reni dianggap “menenangkan”. Ia bilang,

“Tulisannya seperti ditulis orang yang peduli apakah saya hidup atau tidak.”

Bu Reni kemudian menggagas gerakan “Farmasi Puitis”, program kecil untuk menyisipkan kutipan puisi pendek di balik label obat non-resep, seperti:

“Ini bukan hanya obat,

tapi pengingat bahwa tubuhmu masih layak diperjuangkan.”

54 Program ini viral. Banyak apotek di berbagai daerah mulai meniru. Bahkan beberapa pasien mulai mengoleksi etiket berpuisi seperti kenangan kecil akan kesembuhan.

Ferizal menulis pada pengantar buku:

“Farmasi adalah akhir dari proses medis, tapi awal dari proses pulang.

Dan pulang yang paling indah adalah saat kita membawa harapan, meski hanya lewat sebotol obat kecil.”

Dalam satu sesi pelatihan lintas profesi, Bu Reni menyampaikan dengan penuh ketenangan:

“Kami bukan pencipta obat. Kami hanya jembatan.

Tapi lewat jembatan itu, banyak orang menemukan arah pulang.”

Kini, di ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa, tertempel puisi karya Ferizal di atas meja penyerahan obat:

“Kami tidak memegang stetoskop,

tapi kami tahu kapan pasien butuh bicara.

Kami tak menulis diagnosis,

tapi kami menjaga obatmu seperti menjaga kisahmu.”

Dan di dinding belakang tempat apoteker biasa berdiri, tertulis semboyan baru:

“Obat bukan hanya zat kimia, tapi perhatian yang dibungkus etiket.”

Ferizal selalu melewati ruang farmasi puskesmas tanpa banyak menoleh. Baginya, apotek adalah tempat obat diambil, bukan

55 tempat cerita dilahirkan. Hingga suatu siang, saat hujan turun dan antrean pasien menipis, ia berbincang dengan Mbak Diah, apoteker kepala yang terkenal teliti tapi sabar menjelaskan berulang-ulang kepada pasien lanjut usia.

“Mbak Diah, kenapa kamu selalu menulis tangan di etiket, padahal sudah ada stiker cetak otomatis?” tanya Ferizal.

Mbak Diah tersenyum kecil. “Karena tulisan tangan lebih pelan.

Saat aku menulis, aku merenung—apakah pasien ini akan sembuh? Apakah mereka tahu cara minum obat ini? Apakah mereka punya cukup uang untuk makan sebelum menelan pilnya?”

Ferizal terdiam. Dunia apoteker tak sekaku yang ia kira. Di balik rak sirup, blister tablet, dan kode-kode generik, ada getar cinta yang tak kasatmata.

Ia mulai mencatat interaksi di ruang farmasi. Seorang bapak tua yang kebingungan membedakan obat pagi dan malam. Seorang ibu muda yang malu bertanya efek samping karena tak tamat sekolah. Seorang pasien hipertensi yang bertanya, “Bu, obat ini bisa saya bawa salat?”

Lalu Ferizal menulis puisi:

“Bukan hanya pil dan serbuk, tapi juga penjelasan yang sabar, adalah bagian dari penyembuhan.

Karena tak semua bisa dibaca dari etiket, tapi bisa dirasakan lewat empati.”

Bersama Mbak Diah, ia menyusun buku “Farmasi Empati:

Cerita dari Balik Etiket Obat”. Isinya bukan resep, tapi kisah:

56 tentang pasien yang hanya minum setengah dosis agar obatnya awet, tentang anak kecil yang takut minum sirup karena pernah trauma tertelan koin, tentang seorang apoteker yang diam-diam mengingat alergi semua pasien tetapnya.

Ada juga puisi dari Mbak Diah:

“Obat tak selalu pahit.

Yang pahit adalah pasien yang tak didengar.

Dan kami, apoteker, adalah penerjemah antara tubuh yang sakit dan hati yang mencari penjelasan.”

Buku itu menjadi bacaan wajib dalam pelatihan pelayanan farmasi pasien berbasis komunikasi efektif. Banyak apoteker menulis ulang pengalaman mereka dan mengirimkannya ke Ferizal. Mereka merasa diakui—bahwa profesi mereka bukan hanya “tukang serah obat”, tapi juga pendidik kesehatan jiwa.

Dalam sebuah konferensi farmasi nasional, Ferizal berkata:

“Obat adalah zat kimia. Tapi di tangan seorang apoteker yang mengerti manusia,

obat bisa jadi surat cinta yang membawa kesembuhan.”

Dan Mbak Diah menutup dengan kata-kata lembut:

“Kami tidak membuat pasien sembuh.

Tapi kami menjaga agar mereka tak salah jalan dalam prosesnya.

Karena satu pil yang salah,

bisa jadi satu hidup yang berubah.”

Kini, di ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa, di samping lemari obat dan daftar stok generik, terpajang sebuah papan tulis kecil bertuliskan puisi Ferizal:

57

“Obat tak hanya untuk tubuh, tapi juga untuk rasa takut, rasa bingung,

dan rasa sendiri.”

Bagi Ferizal, apotek dulu hanya tempat mengambil resep.

Tempat dengan antrean, rak botol berlabel latin, dan suara pelan seorang petugas yang menyebutkan aturan minum obat. Tapi pandangannya berubah sejak mengenal Mbak Sari, apoteker Puskesmas Harapan Bangsa, perempuan muda yang berbicara seperti seorang guru sekaligus teman.

“Kamu tahu,” kata Sari sambil menyusun blister tablet, “obat bukan cuma zat aktif. Ia juga harapan yang dibungkus plastik kecil. Kalau kami salah memberi, harapan bisa runtuh.”

Ferizal terdiam. Kata-kata itu menampar kesadarannya.

Ia mulai sering duduk di balik konter apotek, mengamati bagaimana Sari tidak hanya menyerahkan obat, tapi juga menjelaskan dengan sabar: “Ini diminum sebelum makan ya, Pak.

Kalau mual, hubungi kami. Kalau lupa minum, jangan langsung dobel dosis.”

Lalu Sari berkata pelan, “Kadang saya ingin menuliskan puisi di etiket obat. Agar pasien tahu bahwa yang mereka bawa pulang bukan hanya zat kimia, tapi perhatian.”

Ferizal tersenyum, lalu menulis puisi malam itu juga:

“Obat bukan mantra,

tapi ia datang dengan keyakinan.

Di balik huruf kecil ‘3x1’,

58 ada harapan yang ingin pulih,

dan petugas yang percaya pada kesembuhan.”

Bersama Sari, Ferizal menyusun buku “Resep yang Menyebut Nama-Nama Harapan”. Isinya bukan jurnal farmasi, tapi kisah- kisah nyata di balik etiket, vial, dan sirup.

Salah satu cerita berjudul “Etiket untuk Pak Hasan”, tentang pasien lansia dengan kebutaan sebagian, yang tetap ingin mandiri meminum obatnya. Maka Sari membuat label dengan huruf braille dan warna berbeda untuk membedakan waktu minum obat.

Cerita lainnya, “Sirup untuk Rani”, tentang anak kecil yang takut minum obat pahit, tapi akhirnya berani karena diberi stiker bergambar pelangi setiap kali berhasil.

Dalam peluncuran bukunya, Sari membaca puisinya sendiri:

“Kami bukan pencipta obat, tapi kami menjaga artinya.

Agar tak jadi racun, agar tak sia-sia.

Kami bukan dokter,

tapi kami bagian dari kesembuhan.”

Ferizal menambahkan dalam sambutannya:

“Apoteker adalah penjaga kepercayaan.

Mereka membaca nama obat seperti membaca puisi:

dengan cermat, dengan hati-hati,

karena satu huruf salah, bisa mengubah takdir.”

59 Setelah itu, lahirlah gerakan baru: “Farmapoetika”—gerakan sastra di kalangan apoteker, untuk mengembalikan ruh humanistik dalam pelayanan farmasi. Buku mereka masuk dalam kurikulum pelatihan komunikasi farmasi di beberapa fakultas.

Kini, di ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa, terdapat papan kecil di atas meja penyerahan obat yang berbunyi:

“Kami tak hanya membagikan obat, tapi juga semangat untuk sembuh.”

Dan di balik etiket obat cair anak-anak, sering terselip potongan kalimat sederhana:

“Ayo sembuh, supaya bisa tertawa lagi.”

Farmasis dan Resep yang Tak Tertulis

Di belakang meja kaca tempat obat-obatan tersusun rapi, ada dunia yang jarang dilihat pasien. Dunia perhitungan dosis, interaksi obat, dan antrian yang tak kunjung habis. Tapi bagi Mbak Yunita, farmasis di Puskesmas Harapan Bangsa, pekerjaan itu bukan sekadar mencocokkan resep dengan stok—melainkan meracik kepercayaan antara pasien dan penyembuhan.

“Orang pikir kami cuma tukang ambil obat,” katanya sambil mengecek label. “Padahal kami adalah penjaga terakhir sebelum obat itu masuk ke tubuh seseorang.”

Ferizal sering duduk di ruang farmasi sepulang kerja, mencatat cerita-cerita kecil yang tak pernah masuk jurnal ilmiah. Ia melihat pasien yang bingung cara minum obat, ibu yang takut efek samping, dan lansia yang pura-pura mengerti karena malu bertanya.

60 Mbak Yunita selalu sabar menjelaskan. Ia menyiapkan kartu warna-warni agar pasien buta huruf tahu cara minum. Ia bahkan menulis catatan kecil di bungkus obat:

“Ini diminum pagi, sambil tersenyum, ya.”

Ferizal terkesiap. “Kamu bukan cuma memberikan obat. Kamu memberikan harapan.”

Yunita tersenyum. “Obat bisa menyehatkan, tapi perhatian bisa menyembuhkan.”

Lalu lahirlah buku bersama mereka: “Resep yang Tak Tertulis”.

Isinya kisah-kisah humanis dari balik meja farmasi:

– Seorang anak kecil yang memeluk farmasis karena diberi sirup dengan rasa stroberi.

– Seorang bapak tua yang hanya mau minum obat jika diberi oleh petugas farmasi yang sama.

– Seorang istri yang menanyakan obat hipertensi suaminya dengan suara gemetar, karena takut salah berikan.

Di dalam buku itu, Ferizal menulis puisi:

“Obat bukan sekadar tablet, tapi juga ketulusan yang diselipkan diam-diam. Dalam tangan yang memberi, terkandung rasa tenang bahwa ada yang peduli bahkan setelah diagnosis ditegakkan.”

Puisi Mbak Yunita menjadi penutup buku:

“Kami tak mengenal semua pasien, tapi kami belajar mencintai mereka

61 lewat angka-angka di label, lewat racikan yang kami jaga, agar sakit tak lebih lama dari yang semestinya.”

Buku ini dibacakan dalam pelatihan farmasi komunitas, digunakan sebagai materi empati dalam pendidikan tenaga teknis kefarmasian, dan menjadi inspirasi di berbagai apotek desa yang mulai mengubah cara mereka melayani.

Kini, di ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa, tergantung papan kayu bertuliskan kutipan dari Ferizal:

“Obat yang manjur bukan hanya yang dicetak pabrik, tapi yang dibagikan dengan hati penuh kasih.”

Dan di sudut rak, di antara botol obat dan formulir stok, ada satu rak kecil berisi kumpulan puisi berjudul:

“Farmasi Kata: Dari Resep Menuju Rasa.”

Di balik meja kaca yang rapi, di antara botol-botol sirup dan tablet berwarna, berdirilah Mas Arif, apoteker yang tak banyak bicara, tapi selalu memberi senyum saat menyerahkan obat.

Ferizal mengenalnya dari catatan-catatan kecil yang sering ditempel di kemasan obat: “Minum sebelum makan, jangan lupa bahagia.” Atau, “Obat ini pahit, tapi hidupmu bisa jadi manis jika patuh.”

Suatu hari, Ferizal bertanya, “Mas, kenapa kamu suka menulis kalimat seperti itu di etiket?”

Mas Arif tersenyum tipis. “Karena saya tahu, sebagian pasien tak mengerti isi brosur. Tapi mereka paham harapan. Obat bisa menyembuhkan badan, tapi kata-kata bisa menyembuhkan semangat.”

62 Ferizal terpaku. Ia merasa bertemu penyair lain di tempat tak terduga.

Sejak itu, mereka duduk bersama di sore hari, menulis buku kecil yang diberi judul: "Dari Balik Etiket: Cerita Obat dan Harapan." Isinya adalah puisi, catatan singkat, dan cerita-cerita pendek tentang pengalaman Mas Arif menghadapi pasien—dari anak-anak yang takut obat, hingga lansia yang bingung dengan dosis.

Salah satu puisi dalam buku itu berbunyi:

“Kutelan pil kecil ini,

bukan hanya untuk sembuh,

tapi karena ada tangan yang memberikannya dengan kasih yang tak tertulis.”

Ada juga kisah tentang:

 Seorang bapak penderita TB yang awalnya menolak minum obat karena takut efek samping, tapi berubah setelah Mas Arif membacakan cerita tentang pasien yang sembuh dan bisa kembali naik sepeda bersama cucunya.

 Seorang ibu yang nyaris overdosis karena salah paham tentang takaran sirup anak. Dari situ, Mas Arif mulai mengganti bahasa ilmiah dengan kalimat sederhana seperti: “Satu tutup botol, bukan satu gelas.”

Ferizal pun menulis sebuah cerpen pendek berjudul “Tablet Kecil, Luka Besar”, tentang seorang remaja yang meminum obat depresi secara sembunyi-sembunyi karena takut keluarganya tahu. Cerita itu dibacakan dalam seminar farmasi klinis dan membuat ruangan hening lama.

63 Buku “Dari Balik Etiket” menjadi perbincangan hangat di kalangan apoteker. Banyak yang mengaku selama ini merasa hanya jadi ‘pelengkap dokter’. Tapi buku itu menyadarkan mereka bahwa kehadiran apoteker adalah penghubung terakhir antara ilmu dan kepercayaan.

Dalam peluncuran buku, Mas Arif berkata pelan namun penuh makna:

“Kami tak membuat obat. Tapi kami membuat obat itu dimengerti. Dan kadang, yang paling dibutuhkan pasien bukan hanya dosis, tapi kalimat kecil yang menenangkan.”

Ferizal menambahkan dalam penutup buku:

“Apoteker adalah penyair yang menulis dalam miligram. Mereka meracik bukan hanya kandungan obat, tapi juga keyakinan bahwa esok bisa lebih baik.”

Kini, setiap kemasan obat di Puskesmas Harapan Bangsa memiliki “Kalimat Harapan”—hasil kolaborasi tim farmasi dan sastra promosi kesehatan. Di rak utama apotek, tertulis:

“Obat adalah bahasa antara sakit dan sembuh. Jika tak sempat membaca brosur, bacalah harapan.”

Apoteker dan Resep yang Tak Ditelan Kata

Di balik kaca jendela ruang farmasi Puskesmas Harapan Bangsa, deretan obat tersusun rapi seperti baris-baris puisi yang belum dibaca. Di sinilah Ferizal bertemu dengan Mbak Shinta, apoteker kepala yang dikenal tegas tapi berhati sangat lembut.

64

“Orang sering mengira pekerjaan kami hanya membungkus obat,” katanya sambil menimbang tablet. “Padahal kami bertugas menjaga keselamatan setiap tubuh yang menelan pil itu.”

Ferizal memperhatikannya—gerakannya penuh perhitungan, setiap label ditempel dengan hati-hati, setiap pasien dijelaskan aturan pakai dengan nada sabar. Tapi ia juga melihat sisi lain:

kelelahan yang disembunyikan, kesedihan saat pasien tak kembali, dan kebingungan saat resep tak sesuai.

Malam itu, Ferizal menulis puisi:

“Bukan hanya racikan senyawa, di balik tablet dan kapsul ada kecemasan seorang ibu, ada harapan pasien untuk sembuh,

dan ada doa diam-diam dari apoteker yang tak dikenal.”

Bersama Shinta, ia menggagas buku: “Di Balik Etiket Obat:

Cerita dari Balik Meja Farmasi”. Isinya adalah kisah-kisah pendek dari ruang apotek: pasien yang tak paham beda antara antibiotik dan parasetamol, keluarga yang datang hanya untuk menanyakan apakah vitamin bisa menggantikan makan, hingga kisah seorang lansia buta huruf yang selalu menelan semua obat sekaligus karena tak mengerti aturan pakainya.

Salah satu cerita berjudul “Resep untuk Suamiku yang Sudah Tiada”, tentang seorang janda yang terus datang meminta obat untuk suaminya, karena belum bisa menerima kepergian.

Cerita itu dibacakan dalam forum apoteker nasional. Banyak yang menangis. Karena ternyata, dunia farmasi juga menyimpan duka dan cinta.