112
Dokter Umum dan Diagnosis Sastra
113 – Seorang kakek dengan sakit kepala menahun, yang ternyata kehilangan semua anaknya dalam kecelakaan.
“Kalau aku boleh mendiagnosis,” kata Ferizal dalam hati, “maka sebagian besar sakit itu bernama: kesepian, luka batin, kehilangan. Dan hanya sedikit yang bisa disembuhkan dengan resep.”
Dari pengalaman itu, lahirlah buku kolaborasi mereka:
“Diagnosis Kemanusiaan: Cerita dari Meja Konsultasi.” Buku itu tidak memuat ICD-10 atau penatalaksanaan medis, tapi justru menuliskan fragmen jiwa pasien—apa yang tak sempat dituliskan dalam rekam medis.
Salah satu cerita paling menggugah adalah “Nomor Antrian 112”—kisah tentang seorang ayah yang pura-pura sakit agar bisa bertemu anaknya yang bekerja sebagai perawat di puskesmas.
Cerita lain berjudul “Anamnesis yang Tak Pernah Ditanya”—
tentang seorang pasien perempuan yang ingin bercerai, tapi tidak tahu kepada siapa harus bicara kecuali kepada dokter yang mendengarkannya setiap bulan.
Ferizal juga menulis puisi pendek yang jadi pembuka buku:
“Apa arti dokter jika tak bisa mendengar? Apa gunanya stetoskop, jika lupa detak hati? Di balik gejala ada manusia, Dan di balik manusia, ada cerita yang perlu diakui.”
Buku ini menjadi inspirasi nasional. Dalam seminar kedokteran, Farhan diundang berbicara.
Ia membuka pidatonya dengan lembut:
114
“Saya dokter. Tapi saya juga manusia. Dan kadang, yang menyembuhkan bukan ilmu saya—tapi kehadiran saya.”
Sejak itu, banyak dokter umum di seluruh Indonesia mulai menulis refleksi kemanusiaan. Lahirlah gerakan literasi baru bernama “Anamnesis Sastra”—mendorong dokter tidak hanya mendengar keluhan fisik, tapi juga merekam makna batin pasien.
Ferizal menyadari, sastra tidak bisa menggantikan ilmu kedokteran. Tapi sastra bisa membuat ilmu itu lebih manusiawi. Dan Farhan, dengan segala kepenatannya, adalah buktinya.
Kini, di depan ruang konsultasi dokter umum Puskesmas Harapan Bangsa, tertempel kutipan yang ditulis Ferizal:
“Di ruang ini, diagnosis terbaik adalah mendengarkan.
Karena sebagian sakit, bukan pada tubuh—
melainkan pada hidup yang tak pernah dimengerti.”
Di hari-hari berikutnya, ruang staf tempat dr. Farhan dan Ferizal biasa berbincang menjadi semacam ruang refleksi. Di sana, mereka tidak hanya membahas kasus, tetapi juga membicarakan kehidupan. Setiap pasien yang mereka temui seperti membawa potongan novel manusia yang belum rampung ditulis. Dan Ferizal, sebagai sastrawan promosi kesehatan, mulai menyusun cerita-cerita baru dari sudut yang tak pernah disentuh buku teks kedokteran.
Suatu siang yang panas, seorang pasien datang dengan keluhan nyeri lambung. Tapi setelah diperiksa dan diberi terapi, pasien itu tak kunjung pergi. Ia duduk diam di kursi tunggu, memandangi pintu ruang konsultasi yang sudah tertutup.
115 Farhan memanggilnya kembali.
“Ada yang masih mengganjal, Pak?” tanya Farhan lembut.
Pasien itu menunduk. “Saya sebenarnya ingin minta saran, Dok.
Anak saya sejak ibunya meninggal, berubah. Menutup diri, tak mau bicara. Saya bingung harus bagaimana.”
Mata Farhan dan Ferizal saling bertemu. Ini bukan hanya soal gastritis. Ini soal peran ayah yang tak tahu bagaimana menjangkau anaknya. Setelah sesi konsultasi singkat yang lebih menyerupai konseling hati, pasien itu pulang. Tapi sebelum keluar, ia berkata, “Terima kasih, Dok. Baru kali ini saya merasa benar-benar didengarkan.”
Malamnya, Ferizal menulis satu cerita baru berjudul “Gastritis dan Keheningan Anak Lelaki”. Ia menulis dengan kalimat yang pelan, seolah sedang merawat luka. Dan saat Farhan membacanya, ia meneteskan air mata. Bukan karena sedih, tapi karena merasa ditolong—dirinya sebagai dokter akhirnya juga punya ruang untuk bernapas.
Di balik keberhasilan buku pertama mereka, muncullah permintaan dari berbagai pihak: komunitas kesehatan, fakultas kedokteran, bahkan kementerian. Semua ingin agar “Diagnosis Kemanusiaan” bukan hanya dibaca, tapi juga diajarkan. Maka bersama beberapa relawan, Ferizal dan Farhan menginisiasi sebuah pelatihan: “Klinik Sastra Kemanusiaan”.
Di sinilah para dokter diajak menulis, bukan dengan tujuan menjadi penulis, tapi agar bisa membaca ulang pasien mereka sebagai manusia utuh. Dalam satu sesi, seorang dokter muda menulis tentang pasien lansia yang selalu kembali ke Puskesmas
116 hanya untuk menanyakan jadwal imunisasi cucunya. Bukan karena lupa—tapi karena ia butuh ditemui.
Dalam catatan itu tertulis : “Kadang, pasien datang bukan untuk sembuh. Tapi agar tetap dikenang.”
Ferizal menyadari bahwa ia tak hanya menulis sastra promosi kesehatan—ia sedang menghidupkan genre baru: sastra empati klinis. Dan Farhan, dengan diamnya yang bijak, menjadi pionir yang diam-diam membuka pintu perubahan.
Kini, beberapa tahun setelah buku pertama mereka terbit, Ferizal dan Farhan sedang menyusun naskah kedua, yang diberi judul
“Resep yang Tak Dicetak”. Isinya lebih dalam, lebih gelap, dan lebih jujur—tentang pengalaman kegagalan, kematian pasien, dan rasa bersalah yang tak bisa ditebus.
Di halaman pembuka, mereka menulis bersama:
“Ini bukan buku tentang cara mengobati. Ini tentang bagaimana tidak kehilangan hati saat terus mencoba menyembuhkan.”
Puskesmas Harapan Bangsa kini punya tradisi baru: setiap Jumat, staf berkumpul bukan hanya untuk evaluasi kinerja, tapi juga berbagi kisah. Kadang dibacakan puisi. Kadang hanya sepenggal catatan harian seorang dokter yang tak sempat menangis setelah pasiennya meninggal.
Di papan pengumuman terpajang kalimat sederhana dari Ferizal:
“Semua dokter butuh tempat untuk bercerita. Karena yang tak dibicarakan, bisa ikut sakit.”
117 Dan di sudut ruang konsultasi, stetoskop Farhan tergantung bersama selembar kertas yang mulai menguning—salinan puisi Ferizal yang pertama:
“Apa arti dokter jika tak bisa mendengar ? Apa gunanya stetoskop, jika lupa detak hati?”
Musim berganti, tapi luka batin tetap datang silih berganti ke ruang praktik. Kadang berwujud pilek, kadang batuk yang tak kunjung reda, kadang tekanan darah yang naik turun tanpa sebab pasti. Ferizal dan Farhan semakin menyadari: mereka bukan hanya bekerja dengan tubuh pasien, tapi juga dengan jiwa yang nyaris tak pernah disentuh.
Suatu sore, saat gerimis turun tipis seperti napas yang tertahan, datang seorang pemuda dengan keluhan dada sesak. Usianya dua puluh lima tahun, rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat.
Setelah diperiksa, semua hasilnya normal. Tidak ada gangguan paru atau jantung. Tapi ketika ditanya lebih dalam, matanya berkaca-kaca.
“Dok… saya… saya cuma lelah hidup.”
Tak ada obat untuk itu. Tak ada injeksi atau tablet. Hanya ruang yang sunyi dan kata-kata yang tidak menghakimi. Farhan tak banyak berkata. Ia hanya duduk. Mendengar. Sesekali mengangguk. Di luar ruang praktik, Ferizal menunggu. Dan ketika pemuda itu keluar, senyumnya masih tipis, tapi langkahnya sudah tak setertekan sebelumnya.
Malam itu, Ferizal menulis cerpen berjudul “Dada yang Tak Diukur dengan Stetoskop”. Ia mengirimkannya ke Farhan lewat pesan singkat. Dan seperti biasa, Farhan hanya membalas satu kata: Terima.
118 Bulan berikutnya, mereka membuka program kecil bernama
“Anamnesis Hati”—sesi khusus untuk pasien yang datang berulang tanpa sebab klinis jelas. Di sana, mereka tak langsung menulis resep, tapi membuka buku catatan. Bertanya hal-hal sederhana:
“Bagaimana tidurmu minggu ini?”
“Apa yang paling kau takutkan hari ini?” “Kapan terakhir kamu tertawa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi jembatan. Di tengah kesibukan dan target pelayanan, mereka berusaha menyelipkan kemanusiaan.
Suatu hari, Ferizal bertanya kepada Farhan, “Apa yang paling kamu takutkan dalam profesimu?”
Farhan terdiam cukup lama. Lalu ia berkata lirih, “Takut jadi mesin.”
Ferizal mengerti. Banyak dokter lambat laun kehilangan sisi manusianya—tergerus protokol, terbenam dalam diagnosis, dan terasing dari rasa. Tapi Farhan tetap setia menjaga bara empati di dalam dirinya, dan Ferizal menjaganya lewat kata.
Mereka kembali menulis bersama, menyelesaikan buku kedua
“Resep yang Tak Dicetak”, sebuah karya yang lebih kontemplatif. Di dalamnya ada bab berjudul “Pasien yang Tak Pernah Pulang”, tentang seorang ibu dengan skizofrenia yang
119 datang setiap bulan hanya untuk bercerita kepada dokter umum, karena tak ada lagi keluarga yang mengakuinya.
Ada pula puisi yang ditulis Farhan sendiri—untuk pertama kalinya:
“Aku bukan penyelamat, hanya seseorang yang berusaha tidak menambah luka. Jika kamu datang padaku, bukan untuk sembuh, tapi untuk merasa tidak sendirian—maka tugasku sudah selesai.”
Puisi itu menjadi viral di kalangan tenaga kesehatan. Banyak dokter umum mengaku, untuk pertama kalinya, mereka merasa
“diizinkan” untuk mengakui kelelahannya sendiri.
Kini, Klinik Sastra Kemanusiaan berkembang menjadi jejaring nasional. Modulnya digunakan oleh kampus-kampus kedokteran sebagai bahan refleksi etika dan empati. Bahkan beberapa puskesmas mulai menyediakan “Pojok Cerita Pasien”—tempat di mana orang bisa menulis dan dibacakan kisahnya oleh tenaga medis.
Ferizal menulis di bagian akhir buku kedua mereka:
“Kami tidak bisa menyembuhkan semua orang. Tapi kami bisa hadir. Dan kadang, kehadiran itu lebih menyembuhkan daripada semua terapi di dunia.”
Pada ulang tahun Puskesmas Harapan Bangsa yang ke-15, seluruh dinding lorong dipenuhi kutipan dari buku Diagnosis
120 Kemanusiaan dan Resep yang Tak Dicetak. Di ruang tunggu, anak- anak muda membaca cerpen sambil menanti giliran. Di ruang perawat, poster puisi ditempel di dekat tempat cuci tangan. Dan di ruang dokter umum, selembar surat terbuka dari pasien tergantung dalam pigura:
“Dokter Farhan,Terima kasih telah mendengar saya ketika saya sudah lelah bicara.Terima kasih telah memperlakukan saya bukan sebagai gejala, Tapi sebagai manusia.”
Dan Ferizal, di sudut ruang kerjanya, menuliskan sebuah kalimat untuk pembuka naskah buku ketiga:
“Sastra promosi kesehatan bukan tentang membuat kata-kata indah. Tapi tentang membuat manusia terlihat utuh—di mata sesamanya.”