• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fisioterapis dan Gerak yang Membebaskan Kata

131 Ferizal menutup acara dengan kalimat yang kini tercetak di spanduk ruang gizi puskesmas-puskesmas seluruh Indonesia:

“Isi piringmu adalah puisi kehidupan. Rawatlah ia, agar masa depan bisa tumbuh, setegap tubuh anak-anak yang tidak lagi lapar.”

Beberapa tahun kemudian, gerakan literasi gizi berbasis sastra masuk dalam kurikulum pelatihan nutrisionis dan kader. Rika mendapat penghargaan nasional atas inovasi pendekatannya yang humanis dan menyentuh nurani.

Namun di atas segalanya, yang paling membahagiakan bagi Ferizal dan Rika adalah ketika seorang anak SD menulis:

“Dulu aku benci sayur, tapi sekarang aku tahu: sayur itu sabar menunggu aku sehat.”

Dan Ferizal tahu, sastra promosi kesehatan bukan lagi mimpi. Ia telah menjadi kenyataan—dari gusi berdarah hingga isi piring makan. Dari sunyi ruang konseling hingga bisingnya posyandu.

Semuanya satu simfoni: demi manusia yang utuh.

Fisioterapis dan Gerak yang Membebaskan

132 Ruang itu tidak ramai, tetapi selalu penuh harapan. Di sinilah fisioterapis bekerja—dalam diam, dalam peluh, dalam gerakan yang menyembuhkan.

Ferizal tertarik mendalami dunia ini saat menyaksikan seorang bocah lumpuh otak (cerebral palsy) bernama Nara perlahan belajar menggenggam bola. Di sampingnya, sabar membimbing, adalah Mbak Novi, fisioterapis berhati besar, yang tak pernah memaksa tapi juga tak pernah menyerah.

“Gerakan itu bahasa,” ujar Novi suatu pagi. “Pasien yang tidak bisa bicara, tetap bisa menyampaikan rasa lewat jari yang menggenggam, kaki yang bergerak, atau sekadar anggukan kecil.”

Ferizal tertegun. Dunia ini bukan sekadar terapi motorik—ini adalah puisi tubuh.

Ia mulai duduk di ruang fisioterapi, mencatat, mendengarkan, dan memahami bahwa setiap gerakan adalah perjuangan.

Seorang lansia pasca-stroke mencoba mengangkat tangannya satu sentimeter saja—dan itu bisa membuatnya menangis karena berhasil. Seorang ibu pasca melahirkan belajar menegakkan punggungnya kembali sambil membawa bayinya.

Lalu Ferizal menulis puisi:

“Mereka tidak menari di panggung, Tapi langkahnya adalah kemenangan. Satu lutut yang bangkit, Satu punggung yang tegak, Adalah puisi yang ditulis otot dan harapan.”

Bersama Novi, ia menggagas buku: “Gerak yang Tak Terucapkan”, kumpulan kisah-kisah pasien fisioterapi, dari

133 anak-anak hingga lansia, dari patah semangat hingga berdiri kembali.

Salah satu cerita paling menyentuh adalah “Ibu dan Kursi Roda”, tentang seorang ibu yang mencoba berjalan lagi agar bisa menggendong cucunya. Di akhir cerita, sang ibu berkata:

“Kalau aku bisa berjalan satu langkah, itu bukan untukku—tapi untuk cucuku yang ingin kugendong seperti dulu.”

Ada pula kisah Luki, remaja dengan cedera tulang belakang karena kecelakaan motor. Awalnya penuh marah, tapi melalui terapi, ia tak hanya bangkit secara fisik—ia juga mulai menulis.

Ia membuat puisi untuk kakinya sendiri:

“Maaf karena dulu aku abaikan kau. Kini aku rindu berjalan, bukan untuk pergi, tapi untuk kembali jadi manusia utuh.”

Ferizal tersadar, fisioterapi bukan soal pulihnya otot semata—

tapi kembalinya makna hidup. Maka buku mereka pun digunakan oleh banyak institusi pendidikan fisioterapi sebagai bahan pembelajaran empati.

Novi berkata dalam peluncuran buku:

“Kami tidak hanya menyentuh tubuh pasien. Kami menyentuh jiwanya yang ingin merdeka dari keterbatasan.”

Dan Ferizal, dalam pidatonya, menutup dengan kalimat yang menggugah:

“Di ruang ini, gerak bukan sekadar fungsi.Ia adalah harapan yang diberi bentuk. Dan fisioterapis adalah penyair tubuh—

134 yang menulis bukan dengan pena, tapi dengan tangan yang membimbing.”

Kini, di ruang fisioterapi Puskesmas Harapan Bangsa, terdapat sebuah mural besar bergambar langkah kaki pertama seorang anak. Di bawahnya tertulis puisi karya Ferizal:

“Jika kata tak bisa keluar dari mulut, maka biarlah gerak yang bicara. Karena dalam satu sentimeter perbaikan, ada seluruh dunia yang kembali hidup.”

Beberapa bulan setelah peluncuran Gerak yang Tak Terucapkan, ruang fisioterapi Puskesmas Harapan Bangsa tidak lagi sekadar tempat terapi—ia telah menjadi ruang cerita. Di pojok ruangan, pasien dan keluarga kini bisa menulis kisahnya di sebuah buku besar bertajuk “Langkah yang Tak Terlihat”, tempat semua orang boleh menuliskan harapan, rasa syukur, bahkan tangisan.

Seorang anak laki-laki, yang baru bisa berdiri setelah lima bulan terapi, menulis dengan huruf kecil dan belum rapi:

“Hari ini aku berdiri. Tapi rasanya seperti terbang.”

Ferizal membaca tulisan itu dengan dada menghangat. Ia tahu, kalimat itu lebih kuat dari teori apa pun tentang neuromuskular.

Bersama Novi, ia mengembangkan program baru bernama

“Sastra Gerak”, sebuah pendekatan terapi berbasis ekspresi.

Dalam program ini, pasien diajak tidak hanya bergerak, tapi juga menuliskan atau menggambarkan perasaan mereka sebelum dan sesudah terapi. Anak-anak diajak menggambar apa yang mereka rasakan saat berhasil duduk, merangkak, atau berjalan kembali.

Lansia diajak menulis kenangan tentang masa muda mereka—

135 kenangan yang menjadi bahan motivasi saat terapi terasa menyakitkan.

Salah satu kisah yang paling menyentuh datang dari Pak Darto, mantan tukang becak yang stroke separuh badan. Ia menolak terapi selama berbulan-bulan karena merasa hidupnya telah berakhir. Tapi suatu hari, Novi memberinya lembaran puisi pendek dari Ferizal yang tertempel di dinding:

“Kau pernah mengayuh dunia, jangan biarkan dunia berhenti hanya karena satu tanganmu diam.”

Puisi itu mengubah segalanya.

Pak Darto pun datang ke ruang terapi esoknya, menggenggam walker dengan tangan yang masih gemetar. Ia berkata, “Aku belum selesai.” Beberapa bulan kemudian, ia bisa berjalan dengan tongkat. Tak cepat, tapi pasti. Dan saat ia meninggalkan ruang terapi untuk terakhir kalinya, ia menulis di Langkah yang Tak Terlihat:

“Tubuhku separuh rusak, tapi harapanku utuh kembali.”

Ferizal dan Novi lalu menyusun buku kedua: Langkah Puisi, Napas Harapan. Isinya adalah gabungan antara refleksi pasien, kutipan penyemangat dari fisioterapis, dan puisi pendek yang menggambarkan perjuangan dalam diam.

Salah satu puisi yang paling terkenal di dalamnya berjudul

“Tangan yang Belajar Menulis Ulang Dunia”:

136

“Tangan ini tak lagi kuat, tapi ia mengerti arah.

Ia tak lagi meninju dinding, tapi menyentuh harapan—

satu sentimeter demi satu cinta.”

Buku ini menjadi materi wajib di pelatihan nasional fisioterapi empatik. Di banyak institusi pendidikan kesehatan, mahasiswa kini diajak tidak hanya mempelajari anatomi, tetapi juga mendengarkan puisi. Karena seperti yang dikatakan Ferizal di salah satu seminar:

“Tubuh tak hanya butuh obat, tapi juga cerita yang membuatnya ingin sembuh.”

Ruang fisioterapi kini punya sesi mingguan bernama “Gerak Bercerita”. Pasien diberi waktu 15 menit setelah sesi terapi untuk menulis atau menceritakan apa yang mereka rasakan hari itu. Terapi kini bukan hanya aktivitas fisik, tapi juga spiritual dan emosional. Bahkan, pasien yang tidak bisa bicara karena afasia diajak membuat puisi hanya dengan memilih kartu kata.

Hasilnya sering membuat air mata jatuh tanpa suara.

Seorang pasien pasca stroke berat, yang hanya bisa menunjuk, menyusun kalimat dari kartu:

“Aku—masih—di sini. Sakit—tapi—hidup. Terima kasih—Mbak Novi.”

137 Di lorong menuju ruang fisioterapi, kini terpampang plakat besar bertuliskan kata-kata Ferizal:

“Gerakan bukan sekadar fungsi motorik.Ia adalah cara jiwa berkata, ‘Aku belum selesai.’

Dan di tangan fisioterapis, setiap gerak jadi puisi yang menyelamatkan makna hidup.”

Di akhir setiap sesi terapi, Novi selalu mengucapkan kalimat yang dulu dianggap biasa, tapi kini terasa sakral:

“Hari ini, kita tidak hanya bergerak. Kita baru saja menulis ulang harapan.”

Dan Ferizal, dalam diamnya, tahu bahwa itulah inti dari sastra promosi kesehatan: bukan untuk menjelaskan penyakit, tapi untuk menghidupkan kembali manusia yang ingin sembuh.

Perekam Medis dan Cerita yang Disimpan di