• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kader Posyandu dan Puisi Timbangan Ibu Desa

Ferizal selalu percaya bahwa perubahan besar dimulai dari hal paling kecil. Tapi hari itu, ia menyaksikan langsung bahwa perubahan juga dimulai dari orang-orang yang tidak digaji, tidak dikenal, namun tetap bekerja setiap bulan.

Namanya Bu Sarmi, kader posyandu sejak tahun 1995.

Tubuhnya mungil, jalannya sudah mulai pelan, tapi semangatnya menyala saat posyandu balita digelar. Ia bisa menyebut nama semua anak di dusunnya, termasuk nama panggilan dan berat badan terakhir mereka.

“Bu, kenapa Ibu masih mau jadi kader sampai sekarang?” tanya Ferizal sambil ikut membagikan biskuit tambahan gizi.

Bu Sarmi tertawa. “Karena saya tidak tahan melihat anak-anak tumbuh tanpa dipantau. Karena timbangan ini—” ia menunjuk dacin tua yang digantung dari kayu—“telah menjadi tempat saya menitipkan harapan.”

190 Ferizal tak sanggup membalas. Ia melihat sendiri bagaimana Ibu Sarmi menenangkan balita yang menangis, menyemangati ibu muda yang cemas karena anaknya kurang berat, bahkan memberi nasi bungkus pada ibu hamil yang belum sarapan.

Dari pengalaman itu, Ferizal menulis puisi:

“Timbangan tua di bawah pohon manga menjadi penentu nasib generasi Bukan hanya berat badan Tapi juga berat beban ibu yang datang dengan diam.”

Ia lalu mengusulkan proyek baru: “Sastra dari Balai Desa”

kumpulan cerita dan puisi dari pengalaman kader-kader posyandu seluruh negeri.

Mereka mengumpulkan kisah:

 Seorang ibu muda yang terus datang meski anaknya stunting, karena hanya di posyandu ia merasa didengar.

 Kader yang setiap bulan keliling rumah, memanggil balita satu per satu dengan sepeda ontelnya.

 Cerita seorang anak yang kini menjadi dokter, karena dulu ibunya selalu hadir di posyandu bersama Bu Sarmi.

Dalam peluncuran buku “Bayi, Biskuit, dan Buku Catatan”, Bu Sarmi diminta naik ke panggung. Dengan suara gemetar, ia membaca puisinya sendiri:

“Kami tak pakai jas putih Tapi kami tahu suara batuk anak dari jarak tiga rumah. Kami tak sekolah tinggi Tapi kami hafal siapa yang belum imunisasi.”

Ferizal menutup acara dengan pidato:

191

“Kader adalah puisi hidup tentang kepedulian. Mereka tak menulis di kertas, tapi di tubuh anak-anak yang tumbuh sehat karena perhatian mereka.”

Sejak itu, posyandu di Puskesmas Harapan Bangsa memiliki satu sudut kecil yang dinamai “Pojok Sastra Kader”, tempat para ibu dan kader menempelkan puisi, harapan, dan catatan mereka sendiri.

Di dinding belakang balai posyandu, terukir kutipan Ferizal:

“Mereka tidak digaji, tapi memberi gizi. Mereka tidak naik pangkat, tapi menaikkan berat badan anak bangsa.”

Kader Kesehatan dan Puisi dari Pintu ke Pintu

Jika dokter adalah panggilan ilmu, maka kader kesehatan adalah panggilan jiwa. Mereka bukan sarjana, bukan pula ASN, tapi langkah-langkah kaki mereka menghidupi detak pelayanan kesehatan di tingkat paling bawah.

Ferizal mengenal lebih dekat sosok ini lewat Bu Minah, kader senior di wilayah kerja Puskesmas Harapan Bangsa. Sehari-hari ia membawa timbangan balita, mencatat ibu hamil, dan mengetuk pintu demi pintu demi mengajak warga datang ke posyandu.

“Mbak, apa yang membuat Ibu terus berjalan meski tak digaji?”

tanya Ferizal suatu siang saat mereka berdua duduk di teras posyandu.

Bu Minah menjawab ringan, “Karena saya tak ingin anak tetangga meninggal karena diare. Karena saya tak mau ibu muda

192 melahirkan sendirian. Karena saya tak bisa duduk diam ketika tahu ada yang tak tahu caranya hidup sehat.”

Ferizal menunduk. Kata-kata itu lebih dalam dari semua teori kesehatan masyarakat yang pernah ia pelajari. Maka lahirlah buku bersama mereka: “Langkah Kecil, Nyawa Besar”—cerita- cerita nyata para kader dari kampung, gunung, pesisir, dan lorong-lorong sempit kota.

Salah satu cerita yang menggetarkan hati berjudul “Kunjungan Terakhir untuk Bayi yang Pergi”, tentang seorang kader yang mendatangi rumah balita setiap minggu, namun bayi itu tetap meninggal karena pneumonia. Di akhir cerita, sang kader menulis:

“Saya tidak gagal. Saya hanya datang terlalu lambat karena belum cukup kader seperti saya.”

Puisi Ferizal pun menghiasi halaman pembuka buku:

“Kami bukan tenaga kesehatan, kata mereka. Tapi kami tahu rumah siapa yang tak punya sabun,siapa yang terakhir kali ke puskesmas, siapa yang diam-diam menderita batuk kronis. Dan dari pengetahuan sunyi itulah, kami melangkah.”

Buku ini menjadi pelatihan literasi untuk kader di seluruh Indonesia. Mereka mulai menulis, bukan hanya laporan bulanan, tapi juga perasaan. Di forum nasional kader kesehatan, Bu Minah membaca puisinya:

“Kami mengetuk pintu, bukan karena protokol. Tapi karena kami tahu, kesehatan itu bukan hanya hak—tapi harus dijemput dengan cinta.”

193 Sejak itu, Puskesmas Harapan Bangsa membentuk “Rumah Kata Kader”, ruang kecil di pojok aula yang menampung catatan, kisah, dan puisi para kader. Bukan hanya statistik balita gizi buruk, tapi juga suara-suara yang selama ini hanya bergetar di dada.

Di tembok luar posyandu kini tertulis kutipan dari Ferizal:

“Mereka berjalan tanpa gaji, tapi setiap langkah mereka membayar utang negara pada rakyatnya.”

Dan di dalam hati Ferizal, ia tahu—sastra promosi kesehatan tidak akan lengkap tanpa para kader. Karena merekalah jembatan dari teori menuju kenyataan.

Kader Posyandu dan Puisi dari Timbangan Bayi

Di bawah pohon mangga yang rindang, di halaman balai desa yang sederhana, setiap bulan selalu terdengar suara ceria bercampur tangis bayi, teriakan anak-anak, dan sapaan hangat antar ibu. Di sanalah kader posyandu bekerja—bukan karena digaji besar, tapi karena cinta.

Ferizal mengenal sosok Bu Marni, kader senior yang sudah tiga puluh tahun mengabdikan diri tanpa pernah benar-benar diakui negara. Ia bukan tenaga medis. Ia bukan pegawai negeri. Tapi tanpanya, tidak ada satu pun bayi yang bisa ditimbang, diukur, atau mendapat imunisasi tepat waktu.

“Kenapa Ibu masih semangat datang, walau tidak digaji layak?”

tanya Ferizal saat duduk bersama di bangku plastik, sambil mencatat tinggi badan balita.

194 Bu Marni tersenyum. “Karena saya tahu nama anak-anak itu.

Karena saya tahu ibunya sedang susah. Karena saya tahu siapa yang butuh lebih dari sekadar bubur kacang hijau.”

Ferizal terdiam. Itu bukan jawaban seorang relawan. Itu adalah suara hati seorang penyair kehidupan.

Sejak hari itu, Ferizal mulai menyertai kegiatan posyandu. Ia tak hanya mencatat berat badan, tapi mencatat cerita. Ia mendengar suara ibu muda yang malu datang karena bayinya kurus. Ia melihat anak kecil menangis karena takut ditusuk jarum. Ia mendengar gumaman nenek yang datang membawa cucu karena anaknya merantau.

Dari situlah lahir buku: “Timbangan Ini Menyimpan Cerita”

kumpulan puisi dan catatan dari posyandu di pelosok negeri.

Salah satu puisi Bu Marni yang menjadi pembuka buku berbunyi:

“Kami bukan bidan, bukan dokter. Tapi kami tahu mana bayi yang tak dibawa ibu. Mana anak yang jarang diberi susu. Dan kami datang, bukan untuk mencatat,tapi untuk menyapa dengan hati.”

Ferizal menulis kisah berjudul “Balita dan Ibu yang Tak Tahu Caranya Tersenyum”, tentang seorang ibu remaja yang datang sendiri ke posyandu dengan bayi prematur, ditolak keluarganya, dan hanya mengandalkan bubur instan. Tapi justru di posyandu, ia merasa punya rumah.

Di peluncuran buku, para kader dari berbagai wilayah membacakan puisinya masing-masing. Beberapa menangis.

Sebab baru kali itu, pekerjaan mereka dihargai sebagai bagian dari sastra—bukan sekadar sukarelawan.

195 Ferizal menulis dalam pengantar:

“Kader posyandu bukan hanya alat bantu. Mereka adalah penjaga awal kehidupan.Di tangan mereka, timbangan bayi bukan sekadar alat ukur—tapi neraca cinta, yang menentukan masa depan generasi berikutnya.”

Kini, setiap kegiatan posyandu di Puskesmas Harapan Bangsa memiliki “Pojok Puisi Timbangan”, berisi karya para kader yang ditulis bersama anak-anak muda desa. Di sana, posyandu bukan hanya tempat penimbangan, tapi juga tempat berbagi cerita dan kekuatan.

Dan di timbangan bayi yang telah menguning oleh waktu, tertulis kutipan karya Ferizal:

“Jika negara lupa mencatatmu, maka biarkan puisiku mengabadikanmu. Karena tak ada dokter, jika tak ada timbangan pertama di pangkuanmu.”

Kader Posyandu dan Cerita dari Timbangan Bayi

Di antara warna-warni spanduk balita sehat dan suara tangis bayi yang saling bersahutan, berdirilah sosok-sosok luar biasa yang tak bergaji, tak berseragam, tapi selalu hadir: para kader posyandu. Di Puskesmas Harapan Bangsa, mereka bukan sekadar relawan—mereka adalah jantung komunitas.

Ferizal mengenal salah satu dari mereka: Bu Minah, perempuan tangguh yang setiap bulan menggendong timbangan gantung dan buku catatan keliling kampung. Ia tidak fasih bicara ilmiah, tapi tahu persis siapa anak yang kurang gizi, siapa yang jarang dibawa ke posyandu, dan siapa yang kehilangan berat badan setelah ibunya bercerai.

196

“Kenapa Ibu masih mau terus jadi kader, padahal tak dibayar?”

tanya Ferizal.

Bu Minah tersenyum sambil menuliskan berat badan seorang bayi. “Karena aku pernah kehilangan anak karena sakit yang seharusnya bisa dicegah. Sekarang, aku tak mau anak tetangga mengalami hal yang sama.”

Ferizal terdiam. Ia lalu meminta izin mengikuti kegiatan posyandu. Dari sanalah ia melihat perjuangan nyata:

menenangkan ibu muda yang bingung, menulis angka di buku balita sambil sesekali menyeka air mata anak yang takut ditimbang, memberi nasihat gizi dengan bahasa sederhana yang penuh kasih.

Dari pengalaman itu lahirlah buku: “Cerita dari Timbangan Bayi”, berisi kisah-kisah para kader posyandu dari berbagai pelosok, dikemas dalam bentuk fiksi, puisi, dan catatan reflektif.

Salah satu ceritanya berjudul “Bayi Bernama Berat Badan Kurang”, tentang seorang bayi yang selalu jadi perbincangan karena grafik timbangannya menurun. Tapi saat ditelusuri, ternyata ibunya depresi karena ditinggal suami. Kaderlah yang jadi penghubung agar ibu itu mendapatkan bantuan.

Ferizal juga menulis puisi yang kini terpasang di ruang posyandu:

“Timbangan ini bukan hanya angka, Tapi kisah cinta seorang ibu, dan perjuangan para perempuan yang tak lelah menjemput masa depan dari berat sekilo.”

Bu Minah pun ikut menulis, walau dengan ejaan seadanya. Ia bercerita tentang bayi bernama Zahra yang dulu kurus dan

197 pucat, kini sudah berlari-lari ke sekolah. Di akhir catatannya, ia menulis:

“Kami tak punya gelar. Tapi kami punya mata yang melihat, tangan yang menimbang, dan hati yang tak ingin ada anak kelaparan.”

Buku mereka menjadi bahan pelatihan bagi ribuan kader posyandu di seluruh Indonesia. Dalam peluncurannya, banyak yang menangis karena akhirnya mereka diakui bukan sekadar

“ibu-ibu sukarelawan”, tapi pejuang tanpa tanda jasa yang menjaga masa depan bangsa dari bawah timbangan gantung.

Ferizal berkata:

“Kader posyandu adalah sastrawan komunitas. Mereka menulis masa depan lewat buku balita, dan mendongengkan harapan lewat bubur kacang hijau dan vitamin A.”

Kini, di ruang Posyandu Puskesmas Harapan Bangsa, tertempel kutipan yang dipetik dari tulisan Bu Minah:

“Kami mungkin tak bisa membaca grafik, tapi kami tahu kapan seorang anak butuh peluk, bukan hanya imunisasi.”