• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Normatif

Dalam dokumen Gabungan Teori Administrasi Publik2 (Halaman 107-111)

MANAJEMEN PUBLIK

B. PARADIGMA MANAJEMEN

1. Manajemen Normatif

Pendekatan manajemen normatif melihat manajemen sebagai suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Efektivitas dari proses tersebut diukur dari apakah kegiatan-kegiatan organisasi direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan dan dikontrol secara efisien Stoner (1978), Rue & Byars (1981). Manajemen normatif sejak pembentukannya lebih bersifat "profit oriented" atau "business- oriented" dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideology administrasi publik yang lebih berorientasi kepada "public service"

aliran manajemen normatif mudah dikenal melalui rumusan fungsi- fungsi manajemen bisnis sebagaimana pernah ditiru oleh POSDCORB. Beberapa fungsi yang bersifat universal, dirinci sebagai berikut:

a. Planning: suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan yang harus dicapai pada kurung waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut terdiri atas dua elemen (1) penetapan tujuan, dan (2) menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilaku- kan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan mengintegrasikan tujuan, strategi dan kebijakan.

b. Organizing: suatu proses pembagian kerja (division of labor) yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing sangat bermanfaat dalam memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Organizing juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas pekerjaan melalui 'synergism" yang baik dimana orang bekerja bersama-sama akan memberikan output yang lebih besar daripada bekerja secara sendiri-sendiri. Disamping itu, organizing juga dapat memperbaiki komunikasi. Suatu struktur organisasi yang jelas dapat menggambarkan garis komunikasi antara anggota.

c. Staffing: suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan

pekerjaan dalam organisasi. Oleh karena itu, dalam perekrutan staf mestinya menerima dan atau menempatkan staf berdasarkan keahliannya (bukan berdasarkan selera pimpinan).

d. Directing: suatu tugas yang kontinyu dalam pembuatan keputusan dan penyusunannya dalam aturan-aturan dan instruksi- instruksi khusus atau umum, dan melayani sebagai pemimpin organisasi.

e. Coordinating: suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatan dan target/tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa koordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja menuju arah yang berlainan dengan irama/kecepatan yang berbeda-beda. Demikian pula, tanpa koordinasi, masing-masing bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.

f. Reporting, yaitu kegiatan eksekutif menyampaikan informasi ten- tang apa yang sedang terjadi kepada atasannya, termasuk menjadi agar dirinya dan bawahannya tetap mengetahui informasi lewat laporan-laporan, penelitian, dan inspeksi.

g. Budgeting, yaitu semua kegiatan dalam bentuk perencanaan, perhitungan dan pengendalian anggaran. Dalam penyusunan anggaran dalam suatu organisasi seharusnya dilandaskan dengan perencanaan yang matang. Sehingga dalam pengendalian anggaran dalam suatu organisasi dapat dengan mudah dilakukan.

Harus diakui bahwa pikiran-pikiran manajemen normatif ini sering mempengaruhi pola dan dinamika manajemen baik di sektor swasta maupun publik. sementara itu, R. Miles (1975), mencoba meletakkan fungsi-fungsi manajemen normatif tersebut dalam tiga teori manajemen, yang pertama disebut sesuai dengan model tradisional, kedua yaitu human relations, dan ketiga adalah human resources. Di dalam ketiga model ini fungsi-fungsi ini dijalankan secara dinamis, artinya fungsi planning, misalnya dijalankan pada model tradisional secara berbeda dengan di dalam model human resources.

Model tradisional, manajer berasumsi bahwa pekerjaan itu tidak menyenangkan bagi manusia, upah lebih penting dari kerja itu sendiri, dan bahwa hanya sedikit sekali orang memiliki pengendalian

dan pengarahan diri, maka jalan keluar yang dilakukan manajer adalah melakukan supervisi yang ketat, merumuskan berbagai cara dan prosedur kerja sesederhana mungkin, dan melaksanakan apa yang diinstruksikannya kepada bawahan. Dengan demikian diharapkan agar bawahan akan butuh dan menghasilkan apa yang telah ditetapkan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seorang manajer sangat dipengaruhi oleh pola pikir manajemen tradisional atau klasik yang melihat manusia yang dipimpinnya adalah orang yang tidak senang dengan pekerjaan, malas, bodoh, tidak suka bertanggungjawab, dan tidak mampu mengendalikan diri, serta sesuatu mengutamakan uang. Karena itu, bawahan seharusnya dikontrol secara ketat, pekerjaannya harus dirumuskan secara sederhana dan jelas, dan berusaha menterjemahkan kegiatannya ke dalam prosedur-prosedur dan rutinitas yang rinci dan memaksa untuk mengikutinya, dan mendorong bekerja dengan paksaan atau memanipulasinya dengan uang. Hal ini yang disebut sebagai tugas utama seorang manajer. Harapannya yaitu agar bawahannya bekerja terus dan selalu berusaha memenuhi standar yang dituntut.

Prinsip seperti ini kemungkinan lebih cocok dimana kualitas para bawahan masih rendah dan memprihatinkan, dan bawahan nampak sangat berorientasi kepada kebutuhan fisik dan rasa aman.

Mereka masih bekerja dengan orientasi memenuhi kebutuhan pokok.

Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa pola manajemen yang menekankan prosedur yang standar dan rutinitas ini hanya cocok untuk suasana yang stabil, tidak mudah berubah. Bila suasana tidak stabil maka pola ini justru tidak bermanfaat.

Dalam model human relations, seorang manajer berasumsi bahwa hanya ingin merasa berguna dan penting, dikenal sebagai seorang individu yang berarti, bahwa keinginan tersebut mungkin lebih penting daripada uang, maka jalan keluarnya yaitu memuji individu atau bawahannya agar mereka merasa penting/berguna, selalu mendengarkan keluhan dan saran bawahannya, dan membiarkan bawahan melakukan pengendalian dan pengarahan diri dalam hal-hal rutin. Dengan demikian, diharapkan agar bawahan menjadi termotivasi, dan bersedia bekerjasama secara sukarela.

Dalam pelaksanaan fungsi pengintegrasian variabel-variabel organisasi dengan variabel orang di atas, seorang manajer sangat dipengaruhi oleh pandangan human relations, suatu aliran yang lebih baru setelah manajemen klasik, yang memandang manusia sebagai makhluk yang selalu berupaya sebagai pihak yang berguna dan penting, ingin diterima, dikenali dalam kelompok atau organisasi, dan bahwa uang tidak lebih penting dari keinginannya di atas. Karena itu, tugas utama manajer adalah upaya menciptakan hubungan baik dan berusaha membuat bawahannya merasa penting, berusaha mendengarkan semua keluhannya, dan memberi ijin kepada mereka dalam batas-batas tertentu untuk melakukan control diri dan pengarahan diri. Harapannya adalah bahwa kepuasan bawahan akan tercapai, semangat kerja meningkat dan kerjasama akan terus berjalan.

Dalam model human resource seorang manager berasumsi bahwa orang bisa saja tertarik terhadap pekerjaan yang menantang (tidak selalu uang), memiliki kreatifitas dan inisiatif serta tanggungjawab yang tinggi untuk mengarahkan pengendalian dan pengarahan dirinya, maka yang dilakukan oleh manager tersebut adalah memanfaatkan kemampuan sumbur daya manusia yang ada pada bawahannya, memberikan peluang agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif. Karena itu, diharapkan terjadinya tanggungjawab lebih tinggi di kalangan bawahan, sekaligus terjadi perbaikan efisiensi dan peningkatan kepuasan kerja.

Dalam paradigma ini fungsi pengintegrasian variabel-variabel di atas didasarkan asumsi bahwa manusia tidak selamanya tidak senang bekerja, tidak selamanya bertanggungjawab, tidak selamanya mengelak tanggungjawab dan tidak selamanya tidak mampu mengarahkan atau mengendalikan dirinya. Manusia bisa memiliki kemampuan yang positif dan negatif, tergantung pada cara pem- binaan, pengembangan dan pemanfaatannya. Karena itu, tugas seorang manajer adalah mengembangkan kemampuan sumber daya manusia seoptimal mungkin, menciptakan suatu lingkungan tempat kerja yang menyenangkan dan akomodatif bagi pengembangan kemampuan, dan mendorong mereka untuk berpartisipasi secara sepenuhnya dalam hal-hal yang bersifat penting atau strategi dan secara berkesinambungan memperluas kontrol dan kendali dari

mereka. Harapannya yaitu bahwa pada waktunya setiap pegawai menjadi dewasa dalam arti mampu mengarahkan dan mengendalikan dirinya sehingga tercapai peningkatan efisiensi dan efektivitas, dan kepuasan kerja mereka juga bisa menjadi lebih maksimal.

Prinsip seperti ini sangat cocok untuk situasi dimana para bawahan telah dianggap "dewasa" dalam arti tingkat pendidikan lebih tinggi, pemahaman berorganisasi dan kesadaran akan berkinerja lebih mendalam. Penganut paradigma human resources, akan selalu memberikan kepercayaan kepada bawahan, dan membiarkan atau bahkan mengembangkan bawahan seoptimal mungkin. Ia bertindak wajar-wajar saja, jarang mengancam dan mendikte mereka. Ia selalu berusaha untuk mengajukan pertanyaan kepada bawahan dan memberikan mereka menjawabnya. Ia lebih berfungsi sebagai seorang "coach" dan "fasilitator" daripada seorang yang berlagak tahu segalanya. Hal lebih penting lagi yaitu mendorong bawahan untuk berpartisipasi aktif.

Dari ketiga model tersebut, kita dapat melihat variasi pola yang dianut seorang manajer. Pola yang dipilih tentu saja tergantung dari asumsi dasar yang dianut oleh seorang manajer tentang hakekat pegawai dalam organisasi, teknologi yang dimiliki, dan lingkungan serta situasi yang sedang dihadapi. Pola tersebut juga akan sangat mempengaruhi bentuk struktur organisasi yang dipilih.

Dalam dokumen Gabungan Teori Administrasi Publik2 (Halaman 107-111)