• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Organisasi

Dalam dokumen 7. Buku Ilmu Administrasi Negara (Halaman 43-49)

studi Hawthorne telah menandai berlanjutnya tradisi Saint Simon setelah hilang selama satu abad, dan juga menandai arti penting hubungan antarmanusia.

Sebagian besar hubungan antarmanusia berkisar pada kelompok kerja informal pada tingkat kerja perakitan. Apa yang membuat mereka bekerja atau tidak bekerja? Hubungan antarmanusia semakin mendapat perhatian eselon-eselon atas akhir-akhir ini dan hal ini mempunyai arti tersendiri bagi administrasi negara.

Para ahli hubungan antarmanusia ini khususnya mempunyai pengaruh terhadap administrasi negara karena penelitiannya atas motivasi dan kepuasan kerja. Banyak di antaranya yang memusatkan perhatian pada “hierarki kebutuhan manusia” yang pertama kali dikembangkan oleh A.H. Maslow. Menurut Maslow, hasrat-hasrat manusia didasari atas:

1. kebutuhan-kebutuhan psikologis, dan inilah yang mendasari kebutuhan-kebutuhan terbesar manusia;

2. keamanan;

3. cinta atau keinginan untuk memiliki;

4. penghargaan diri sendiri, dan yang terakhir;

5. perwujudan jati diri, dan sebagai catatan, Maslow kemudian menambahkan satu dasar kebutuhan lagi. Inilah yang kemudian menjadi dasar terbesar, yaitu “metamotivasi”.

Di antara berbagai dasar kebutuhan ini, dasar perwujudan jati diri yang banyak diulas dalam administrasi negara. Perwujudan jati diri menunjuk pada proses pertumbuhan seseorang, kematangannya serta pencapaiannya pada rasa percaya diri yang lebih dalam, dalam kaitannya dengan pekerjaan dan organisasinya.

Dalam kaitan antara manusia dan organisasinya, menurut Maslow, proses pencapaian jati diri seseorang yang “sangat terencana”, tidak dapat dipisahkan dengan “kerja mereka mencari identitas, mencari keakuan, misalnya dengan menganggap bahwa kerja adalah bagian dan keakuan atau bagian dari definisi dirinya sendiri.”

Frederick Herzberg banyak melakukan penelitian empiris yang banyak kaitannya dengan gagasan hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Herzberg mengembangkan konsep

“motivator” yang menunjuk pada hal-hal yang secara langsung menentukan kepuasan kerja (misalnya tanggung jawab) dan faktor-faktor “higienis” atau “intrinsik” yang erat kaitannya dengan kepuasan-kepuasan psikologis yang muncul dari lingkungan kerjanya (misalnya gaji). Kerangka kerja (juga terbentuk dari hierarki kebutuhan Maslow) dan berbagai modifikasinya telah menghasilkan sekian banyak volume kepustakaan yang mencoba menguji beberapa hipotesis tertentu seperti “pembuatan keputusan partisipatif, pekerjaan-pekerjaan yang menarik serta variabel-variabel organisasi yang menentukan kepuasan kerja” dan “kepuasan: kerja berhubungan positif dengan prestasi kerja”. Akan tetapi, bila ditelaah secara mendalam, seperti yang dilakukan oleh Frank K. Gibson dan Qyde E. Teasley, dalam kepustakaan ini tidak ditemui pemilahan yang jelas atas hasil-hasil empiris yang berkaitan dengan efektivitas organisasi sehingga Gibson dan Teasley menyebutnya sebagai “model humanistik atas motivasi organisasional”.

perubahan organisasi. Misalnya latihan sensitivitas atau

“pengembangan manajemen” yang tidak berorientasi pada tindakan, serta OR (Operation Research) yang tidak memiliki nilai orientasi manusiawi.

Pengembangan organisasi, menurut psikolog sosial Kurt Lewin, dalam pemakaiannya terpecah menjadi dua cabang.

Wendell L. French dan Cecil H. Bell, Jr. menyebut kedua cabang tersebut “tangkai training laboratoriat” dan “tangkai survei riset umpan-umpan balik”. Pendekatan laboratoriat memusatkan perhatian pada metode-metode kelompok kecil; cikal bakalnya bisa ditelusuri pada konferensi yang diadakan tahun 1946 dan 1947 yang dipimpin oleh Lewin, Kenneth Benne, Leland Bradford dan Ronald Lippitt. Pertemuan-pertemuan ini disponsori oleh Kantor Penelitian Angkatan Laut, Asosiasi Pendidikan Nasional, dan Pusat Riset dari Group Dynamics. Elemen-elemen organisasi ini kemudian membentuk Laboratorium Training Nasional untuk pengembangan kelompok yang merupakan langkah penting bagi terbentuknya T-group (terapi grup) dan sensitivitas teknik-teknik latihan kerja. Pada awal tahun 1960, makin jelas bahwa pendekatan laboratoriat bisa digunakan untuk semua organisasi, tidak hanya terbatas pada kelompok kecil. Douglas McGregor yang bekerja untuk Union Carbide dan J.S. Mouton dan Robert Blake yang bekerja untuk Esso Standard Oil, menggunakan versi penama dari konsep “jaringan manajerial”. Upaya ini mercerminkan percobaan yang penting untuk turut melibatkan manajemen puncak dalam pengembangan organisasi secara manusiawi, dalam pengukuran perilaku perseorangan, dalam memerhatikan efek-efek umpan-balik, dan penggunaan konsultan pihak ketiga untuk membantu inovasi organisasi. Langkah- langkah pengembangan intern kelompok ini mencerminkan pergeseran yang nyala dari standar pendekatan T-group.

Adapun pusat survei riset umpan balik yang pertama adalah Pusat Penelitian Lewin untuk Pengembangan Kelompok di Institut Teknologi Massachusetts yang terbentuk tahun 1945. Setelah Lewin meninggal di tahun 1947, para staf senior (termasuk Lippitt, McGregor, dan Leon Festinger) pindah ke Pusat Survei Riset di Universitas Michigan dan membentuk Institut Riset Sosial. Mereka yang meninggal dalam institut ini segera melakukan serangkaian

penelitian terhadap sikap-sikap para pegawai dan pihak manajemen terhadap organisasinya. Umpan balik dari serangkaian penelitian itu dimaksimalkan dengan menyelenggarakan konferensi-konferensi antarkelompok yang saling mempunyai kaitan. Dengan dikembangkannya teknik-teknik ini, partisan perseorangan dalam organisasi terkesan sebagai peranan keseluruhannya bagi organisasi.

Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1940-an, PO telah banyak digunakan dengan berbagai cara, yang paling banyak menerapkannya adalah organisasi-organisasi bisnis. Pengaruhnya terhadap birokrasi pemerintah dan bidang pengembangan masyarakat secara luas juga semakin meningkat sejak tahun 1960- an. Chris Argyris menerapkan teknik-teknik PO terhadap Departemen Urusan Negara-negara Bagian AS pada tahun 1967 sebagai upaya mengatasi konflik-konflik intern antara para pejabat urusan luar negeri dan para pejabat administratif. PO juga telah dipakai untuk berbagai keperluan, seperti memaksimalkan komunikasi antara Instansi Pengarah Masa dan kelompok pribumi Indian, dan memungkinkan organisasi itu untuk mendirikan sekolah menengah tingkat pertama untuk kelompok tersebut.

Sasaran proyek ini dan proyek-proyek PO lainnya sangat mementingkan aspek humanisme dan mencerminkan nilai-nilai dasarnya. Misi PO adalah untuk:

1. meningkatkan kemampuan anggota perseorangan bisa selalu seiring dengan derap langkah anggota lainnya (bidangnya disebut kompetensi interpersonal);

2. memberi legitimasi aspek emosi manusiawi dalam organisasi;

3. meningkatkan rasa saling pengertian di antara para anggota;

4. mengurangi ketegangan;

5. menciptakan fungsi “manajemen lini” dan kerja sama antarkelompok dalam organisasi;

6. mengembangkan teknik yang lebih efektif bagi penyelesaian konflik dengan metode nonotoriter dan interaktif;

7. menyusun organisasi yang strukturnya sesederhana mungkin namun “seorganis” mungkin.

Para pendukung PO percaya sepenuhnya bahwa pencapaian bidang-bidang sasaran ini akan sangat meningkatkan efektivitas

organisasi dalam mengikuti perkembangan teknologi yang sangat pesat. Nilai-nilai pokok yang mendasari semua teori dan praktik PO adalah nilai pilihan. Dengan pemusatan perhatian dan pengumpulan serta umpan balik atas data-data yang relevan dari orang-orang yang relevan, makin banyak pilihan yang tersedia, sehingga baik pula keputusan yang tercipta. Teknik-teknik PO untuk memaksimalkan pilihan-pilihan organisasional juga menyangkut penggunaan kelompok konfrontatif, T-Group, latihan kerja sensitivitas, kuesioner-kuesioner sikap, agen peubah pihak ketiga dalam bentuk konsultan luar, umpan balik data, dan

“pendidikan” para anggota organisasi untuk mengenal nilai-nilai keterbukaan dan partisipasi dalam pembuatan keputusan.

Organisasi sebagai salah satu unit dalam lingkungannya, dasar pemikiran akademik ketiga dari model organisasi terbuka memang belum cukup untuk disebut sebagai sebuah kepustakaan, namun tetap memiliki ciri-ciri tersendiri yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari dasar pemikiran akademik lainnya. Para tokohnya antara lain Chester I. Barnard, Philip Selznick, dan Burton Clark.

Cirinya adalah penggunaan organisasi secara keseluruhan berikut segenap unit analisisnya (aspek inilah yang berlawanan dengan dasar pemikiran akademik lainnya yang lebih suka menggunakan unit kelompok kecil), dengan tema pengganti hambatan dan terkait dengan lingkungan terhadap organisasi, dan strategi organisasi yang dirancang untuk menghadapi berbagai masalah.

Selznick, misalnya, menekankan konsep tekanan organisasi dari lingkungan dan mengembangkan konsep “kooplasi” dalam bukunya mengenai pembentukan Tenesse Valley Authority (TVA).

Kooplasi adalah suatu strategi Dewan Direktur TVA untuk memancing penerimaan keberadaan mereka, dan akhirnya dukungan sepenuhnya dari segenap kepentingan lokal, dengan memberi keanggotaan dewan direktur untuk wakil-wakil dari berbagai kepentingan lokal tersebut. Akibatnya, pengaruh TVA terhadap kepentingan lokal jauh lebih kuat dibanding pengaruh kepentingan lokal terhadap TVA. Singkatnya, TVA telah mengooptasi kepentingan lokal dengan cara yang halus.

Meskipun terbatas, pemikiran teoretis ini juga memiliki pengaruh terhadap administrasi negara. Ini bisa dipahami karena

aliran ini memusatkan pembahasannya pada “negara” (atau

“lingkungan” itu sendiri) dan hubungannya secara politis dengan organisasi. Dengan begitu, aliran ini mengkhususkan pembahasannya pada masalah-masalah administrasi negara.

Secara mendasar, perbedaan-perbedaan antara organisasi terbuka dan tertutup dalam upaya pengembangan organisasi adalah sebagai berikut.

1. Atas Lingkungan Organisasional

Model tertutup menganggap lingkungannya stabil dan rutin, sedangkan model terbuka menganggapnya tidak stabil dan penuh dengan kejutan. Kedua model berasumsi bahwa organisasi senantiasa bertindak untuk mempertahankan diri, selanjutnya berkembang dengan pesat.

Kedua model sama-sama berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Model terbuka mungkin akan “mati” dalam kondisi yang stabil, dan model tertutup akan mengalami nasib yang sama jika lingkungannya tidak stabil. Sejumlah penelitian empiris telah menunjukkan bahwa hal itulah yang menjadi masalahnya.

Hal tersebut ditegaskan khususnya oleh Bums dan Stalker dalam buku The Management of Innovation dan Michel Crozier dalam buku (Bureaueratic Phenomenon Birokrasi vs Humanisire: Dua Pandangan mengenai Manusia dari Model Organisasi Terbuka dan Tertutup).

Uraian berikut memberikan kontrasnya perbedaan antara model terbuka dan tertutup dari teori organisasi. Walaupun teoresi model tertutup Max Weber, teori model terbuka Herzberg mempunyai perspektif yang sangat berbeda mengenai kondisi kaum birokrat dalam birokrasi. Ada satu hal mendasar yang mereka sepakati, yakni peranan individual masih mencolok dalam lingkungan birokrasi.

Seorang birokrat tidak akan mampu berbuat banyak selagi ia melakukan apa yang telah ditentukan padanya sesuai dengan posisinya dalam birokrasi. Keadaan ini tidak akan dialami para birokrat profesional yang bekerja dalam birokrasi, dan mereka mampu, sebagai seorang birokrat profesional, menentukan sendiri jalan yang hendak ditempuh. Adapun para pejabat resmi, kecuali bagi yang berada di posisi paling atas, tidak dapat demikian.

Seorang birokrat resmi melebur dengan segenap fungsi kemasyarakatan dalam mekanisme yang sudah ditentukan. Mereka mempunyai kepentingan yang sama dalam melihat fungsi mekanisme dalam menjalankan wewenang kemasyarakatan.

Ada beberapa bentuk KITA, antara lain Negative Physical KITA (KITA fisik negatif). Ini adalah penerapan secara harafiah yang sering dilakukan pada masa lalu. la mengandung tiga aspek yang dianggap tak pantas, yakni: (l) kaku; (2) berlawanan dengan citra mulia kebajikan yang harus dihormati oleh organisasi mana pun;

(3) terpaan fisik yang secara langsung merangsang sistem saraf otot, sehingga sering menimbulkan umpan balik yang negatif (misalnya orang yang Anda tendang secara refleks akan berbalik memukul Anda). Inilah yang membuat KITA fisik negatif dianggap tabu.

Sebaliknya, apabila suatu organisasi yang superluwes mengurus setiap masalah yang timbul dari lingkungannya dan selalu berubah-ubah, tanpa upaya menemukan aspek-aspek umum persamaannya dan mengategorisasikan serta merutinkannya (dalam kerangka yang rasional, tentu), jika tiba-tiba dihadapkan pada lingkungan yang sangat stabil dan terstruktur, organisasi tersebut harus segera menyesuaikan diri. Jika tidak, akan mati.

Misalnya, sangat diragukan bahwa korporasi baja AS, yang berfungsi dalam lingkungan pasar yang rutin akan mampu bertahan jika mempekerjakan orang-orang yang terlalu menyukai perubahan.

Sebagai rangkuman, dalam upaya mempertemukan stabilitas- stabilitas lingkungan, cara-cara model tertutup dan terbuka yang sesuai harus diterapkan. Dari perspektif ini, bisa dipahami bahwa model tertutup lebih berpengaruh terhadap administrasi negara dibanding model terbuka. Bila bangsa Amerika masih muda dan sederhana, pemerintahannya masih relatif kecil, birokrasi kenegaraannya tidak begitu ambisius dan tidak begitu kompleks, model tertutup lebih cocok. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya bangsa dan pemerintah, yakni makin banyak masalah domestik yang harus ditangani, pesatnya perkembangan teknologi, dan risiko kejutan pada masa depan yang harus dihadapi, birokrasi kenegaraan telah dihadapkan pada tugas-tugas baru, asumsi kewajiban-kewajiban baru yang menuntut

kekuasaan-kekuasaan baru. Lingkungan telah berubah, dan perubahannya amat pesat, dan birokrasi negara harus menyesuaikan diri dengan segala perubahan ini. Jika tidak, akan mati. Model terbuka tampaknya lebih cocok untuk diterapkan pada masa sekarang.

2. Persepsi Kondisi Alamiah Manusia

Perbedaan mendasar kedua antara model terbuka dan tertutup masih terkait dengan perbedaan pertama, yakni mengenai sikap mereka terhadap manusia. Douglas McGregor memakai istilah teori X dan teori Y untuk tiap-tiap model. Teori X mengunjuk pada model tertutup, khususnya teori birokrasi. Struktur keyakinan dasarnya berasumsi bahwa banyak manusia tidak suka kerja;

banyak orang sebenarnya lebih suka pada pengawasan yang tertutup dan terus-menerus; banyak orang tidak kreatif dalam menangani masalah-masalah organisasi; motivasi kerja adalah urusan perseorangan; dan banyak orang lebih cocok dimotivasi melalui ancaman atau hukuman. Tampak bahwa organisasi yang menerapkan model tertutup akan mengundang perhatian para pendukung teori X.

Teori Y (ada istilah lain untuknya, misalnya Sistem 4, swa- aktualisasi, motivasi intrinsik, manajemen eupsikis) menganut struktur keyakinan dasar yang bertolak belakang. Teori Y berasumsi bahwa dengan pemberian kondisi kerja yang cocok, kebanyakan orang akan bekerja dengan gembira bagaikan sedang bermain-main; banyak orang bisa menjalankan pengawasan terhadap dirinya dan lebih suka mengerjakan pekerjaan dengan cara sendiri; banyak orang bisa mengatasi masalah organisasi secara kreatif; motivasi kerja adalah urusan bersama; dan kebanyakan orang sering dimotivasi oleh imbalan sosial dan ego.

Di sini pun tampak bahwa organisasi yang menerapkan model terbuka akan menarik pendukung teori Y.

Masih ada aspek lain mengenai kondisi alamiah manusia dan model tertutup dan terbuka, yakni aspek rasionalisme. Dalam model tertutup, rasional artinya setiap orang dalam organisasi memiliki tujuan yang sama dan sepakat mengenai cara yang paling optimal untuk menggapainya. Simak contoh fiktif berikut ini.

Dalam perusahaan dodol internasional, suatu model organisasi tertutup, kita bisa berasumsi bahwa (1) setiap orang ingin menggapai tujuan resmi organisasi, yakni membuat dodol dan keuntungan, dan (2) setiap anggota organisasi tersebut setuju mengenai cara pembuatan dodol dan keuntungan yang paling efisien dan ekonomis. Akan tetapi, dalam model terbuka, kata rasional mempunyai arti yang sangat berbeda. Ia diartikan bahwa setiap orang dalam organisasi memiliki sasaran masing-masing berikut cara pencapaiannya yang satu dengan yang lainnya juga berbeda. Kita anggap perusahaan dodol tadi adalah sebuah model organisasi terbuka sehingga sasaran pembuatan dodol dan keuntungan berikut cara pencapaiannya akan ditentukan dengan suara terbanyak. Tujuan mereka yang sebenarnya (atau

“rasionalitas” mereka) berkisar pada nilai-nilai pemungutan suara, pengakuan status (melalui gaji, posisi, dan reputasi), dan pengertian atas keanekaragaman kepuasan psikologis dan sosial.

Memang, bisa jadi akan timbul konflik dalam penentuan sasaran (misalnya beberapa pejabat bersaing mendapatkan sebuah kedudukan), tetapi bisa jadi pula perbedaan tujuan tidak menjurus ke konflik (misalnya, seorang anggota sangat mendambakan naiknya citra organisasi, sudah cukup puas bila tugasnya dalam organisasi, misalnya auditing berjalan dengan baik). Satu hal yang jelas, tujuan resmi organisasi jarang seiring dengan tujuan nyata dari para anggotannya.

Lagi pula, meskipun sasaran yang dikehendaki sama, belum tentu cara pencapaiannya disepakati. Dua orang pejabat yang berakting untuk menduduki posisi akan mempromosikan cara pencapaian sasaran/tujuan yang berbeda; yang satu mungkin mengajukan cara yang mempunyai kaitan dengan posisi yang diincar, sedangkan yang satunya akan memaparkan cara yang mencerminkan kehebatannya, misalnya kehebatannya dalam menjual produk organisasi. Perlu diingat bahwa dalam model terbuka, apa yang disebut “hebat/layak/baik” masih bisa diperdebatkan. Singkatnya, rasionalitas dalam teori organisasi bergantung pada organisasi, kelompok atau orang macam apa yang tengah Anda bicarakan.

3. Persepsi atas Konsep Manipulasi

Manipulasi dalam konteks organisasi maksudnya adalah bagaimana membuat orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak Anda? Usaha ini tentu bisa dilakukan dengan berbagai metode, dari penggunaan paksaan yang brutal hingga usaha yang tidak menggunakan paksaan. Teknik-teknik manipulasi berkaitan dengan persepsi organisasi atas kondisi alamiah manusia.

Model organisasi terbuka, khususnya ketika memakai dasar pemikiran akademik PO, sering menolak praktik manipulasi antarmanusia. Manipulasi dipandang mengurangi aspek manusiawi, kematangan (atau dematurisasi, menurut istilah Argyris), lagi pula keji. Sebenarnya, manipulasi menghambat swa- aktualisasi para anggota organisasi dan mengurangi rasa percaya diri mereka. Adapun pendapat dari model tertutup ternyata berlawanan, khususnya ketika memakai dasar pemikiran teori birokrasi, ketika tidak ragu-ragu menjalankan metode manipuiasi.

Ia menganjurkan “pemanfaatan” manusia demi tercapainya tujuan akhir posisi.

Sebagai rangkuman, manipulasi diterima sebagai hal yang penting, baik dalam model terbuka maupun tertutup. Hanya, teknik manipulasinya yang berbeda-beda. Pada teoritikus model tertutup, yang menganut tradisi Weber, percaya pada perintah dan kepatuhan, peraturan dan regulasi, ketepatan dan ketelitian waktu.

Lemahnya aspek manusiawi dari teknik ini juga tampak jelas, yaitu kekakuan, impersonalitas, sempitnya ruang gerak, dan makin banyak dan organisasional yang lenyap akibat diterapkannya manipulasi otoriter. Akan tetapi, ada beberapa keuntungan dari ketatnya teknik manipulasi model tertutup, yakni mereka yang ada dalam model organisasi tertutup “tahu persis akan posisinya”.

Otoriterisme dalam model tertutup ternyata ada juga yang suka, yakni bagi mereka yang pada dasarnya menyukai keketatan dan pemilah-milahan yang jelas.

Jika model tertutup memiliki keuntungan yang nyata, demikian pula halnya dengan model terbuka. Keuntungan model ini juga jelas, yakni berupa humanisme, kepenelitianan, komunikasi, dan inovasi yang tingkatnya sangat tinggi dengan digunakannya konsep PO. Selain itu, teknik manipulasi model ini juga memiliki

tanggung jawab sosial-psikologis. Dengan makin halusnya teknik manipulasi, ditambah hubungan yang suportif, mitos kesetiakawanan dan salam “selamat pagi” yang hangat, kekuasaan dalam organisasi akan terselimuti. Hal ini memberikan efek yang tidak diharapkan, yakni para anggota organisasi tidak pernah tahu pasti akan posisinya. Apabila mereka menganggap dirinya tahu akan posisinya, itulah akhir pengetahuan yang diperoleh dari manipulasi psikisnya. Keadaan demikian bisa dianalogikan dengan pikiran yang telah terkondisi seperti yang dituturkan oleh George Orwell, October 1984, bahwa mereka hanya bisa bicara, “Panjang umur, Big Brother!” Eric Fromm menekankan gagasan ini secara lebih ringkas dengan konsepnya, “kepatuhan yang diharapkan”, yakni meskipun para alasan sudah bertindak sebagai “tim penyemangat” (percaya alasan bahwa adanya hal ini sudah merupakan keberhasilan manipulasi), teknik psikologis yang digunakan untuk memperoleh kepatuhan yang mereka harapkan, pada kenyataannya justru menimbulkan kebencian terhadap mereka.

4. Persepsi atas Peranan Sosial Organisasi

Perbedaan prinsip keempat antara model penelitian dan tertutup mempunyai kaitan yang erat dengan studi administrasi negara. Pokok permasalahannya adalah cara pandang masing- masing pendukung kedua model dalam melihat organisasi dan hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam membahas dimensi ini, permasalahan moral dalam manipulasi organisasi dari perspektif lain akan dikaji.

Weber menyajikan sebuah contoh yang lengkap dari teori model tertutup yang mencuatkan nilai-nilainya secara eksplisit. Ia percaya bahwa birokrasi yang sangat rasional, sangat dibutuhkan untuk meraih tujuan dari masyarakat yang gemar akan karisma dan kegegapgempitaan. Tanpa birokrasi, masyarakat takkan meraih apa pun; ia tak dapat “maju”, tak dapat menggeser kadijustice dengan peraturan hukum nasional. Meskipun kesannya terlalu dibesar-besarkan, birokrasi dengan segala ketidakadilan internal, peraturan dehumanisasi, dan arbitrasi monokratiknya, betapa pun keketatan dan rasionalisasinya, tetap penting dalam menangani kekacauan masyarakat yang tidak teratur yang harus dihadapinya.

Pandangan Weber terhadap birokrat perseorangan tidaklah buruk. Sebenarnya, ia pun menyesalkan efek mekanisasi dan rutinisasi birokrasi terhadap citra mental manusia, tetapi setelah hal itu terlanjur terjadi, Weber menerima kenyataan dehumanisasi abdi masyarakat, yang sebenarnya juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Hal ini karena birokrasi tak bisa dimungkiri memang penting bagi kemajuan masyarakat dan pemberantasan ketidakadilan. Singkatnya, dengan birokrasi, kondisi lebih baik jika dibandingkan tanpa birokrasi. Kalaupun terpaksa merugikan sebagian kecil masyarakat, apa boleh buat, terjadilah.

Bertolak belakang dengan pendapat Weber, para teoretikus model penelitian memiliki konsepsi yang berbeda mengenal peranan organisasi dalam masyarakat. Menurut mereka, sebenarnya setiap anggota masyarakat pernah mendapat kesulitan dari bentuk organisasi. Jadi, manipulasi dan dehumanisasi birokrasi negara terhadap para birokratnya merupakan tindakan yang merugikan diri sendiri karena birokrat dan warga negara adalah satu dan sama.

Model penelitian memandang peranan organisasi dalam masyarakat sebagai hal yang kompleks, saling berkaitan dan berinteraksi;

masyarakat itu juga merupakan serangkaian organisasi, dan tidak ada masyarakat yang tidak teratur dan tidak rasional “di luar sana”, yang berfungsi di luar batasan organisasi.

Kekontrasan antara pendapat model terbuka dan tertutup adalah, model tertutup membedakan warga negara dan birokrat, model terbuka berpendapat bahwa semua warga negara sebenarnya merupakan birokrat karena mereka, dalam hal tertentu, dipengaruhi secara langsung oleh organisasi birokrasi. Kaburnya garis pemisah antara warga negara dan birokrat, masyarakat dan organisasinya, menyebabkan para ahli model terbuka menunjuk pilihan moral dan konsep kepentingan umum sebagai fenomena intraorganisasional yang sebenarnya. Jadi, melakukan kekasaran terhadap seorang anggota organisasi, khususnya bawahan, sangat tidak bermoral karena tidak ada lagi moralitas yang lebih tinggi yang dapat memaafkan kekasaran tersebut, seperti yang ada dalam kerangka teori Weber. Dalam pandangan model terbuka, apa yang baik untuk perseorangan, baik pula untuk masyarakat.

Dalam dokumen 7. Buku Ilmu Administrasi Negara (Halaman 43-49)