106
“Tulis Hatimu di Sini” (Semua tulisan akan dibaca, disimpan, dan dihargai.)
Dan di dinding belakang ruang konseling, ada mural wajah manusia tanpa mulut—hanya mata yang berkaca. Di sampingnya, terukir puisi Ferizal:
“Kita tak selalu bisa berkata. Tapi kita selalu bisa merasa. Dan di antara luka dan diam, ada sastra yang menjembatani keduanya.”
Bagi Ferizal, dunia psikologi klinis mengajarkannya satu hal penting: Bahwa mendengarkan pun bisa menjadi bentuk pengobatan.
Dan sastra—sekecil apa pun—bisa menjadi jembatan antara rasa sakit yang tak terucap dan pemulihan yang tak terburu-buru.
107 Di sana, ia bertemu Mbak Lilis, perawat senior berusia lima puluhan, yang sudah bekerja sejak zaman reformasi.
“Mas Ferizal, kamu pikir pekerjaan perawat cuma menyuntik dan kasih obat?” katanya sambil tertawa lirih. “Kadang kami jadi ibu pengganti, kadang jadi pendengar, kadang jadi tameng saat keluarga pasien marah.”
Malam itu, mereka berdua duduk di ruang jaga. Di luar, angin meniup daun-daun pisang yang bergesekan seperti bunyi biola alam. Di dalam, suara oksimeter menyatu dengan suara batuk, langkah sepatu karet, dan doa-doa dalam hati.
Ferizal mengeluarkan buku kecilnya dan bertanya, “Apa suara paling kamu ingat selama jadi perawat?”
Lilis tersenyum, lalu menjawab pelan, “Tangisan yang tertahan.
Tangisan pasien yang tidak menangis lewat mata, tapi lewat genggaman tangan.”
Kata-kata itu menampar batin Ferizal. Ia mulai menulis malam itu juga. Puisinya berjudul “Simfoni di Ujung Malam”:
“Ada yang terjaga saat dunia tertidur, tak bersuara tapi penuh cinta. Mereka berjalan di lorong sunyi, menyeka peluh, menguatkan jiwa, menjadi simfoni tak tertulis di partitur rumah sakit yang letih.”
Hari-hari berikutnya, Ferizal lebih sering mengamati para perawat. Ada perawat muda bernama Yusuf yang selalu menyelipkan humor saat menyuntik pasien. Ada Mbak Rara, yang menulis surat kecil untuk pasien lansia yang merasa kesepian. Di ujung kepala ranjang Pak Tono, seorang pasien pasca stroke, Ferizal menemukan tulisan tangan:
108
“Semangat ya, Pak. Besok kita belajar jalan lagi. Saya yakin Bapak bisa.”
– Rara
Ferizal pun mengusulkan proyek baru: “Buku Harian Jaga Malam.” Ia meminta para perawat menuliskan pengalaman mereka selama shift malam, lengkap dengan kisah menyentuh, lucu, atau menegangkan. Banyak yang awalnya malu, tapi kemudian justru merasa lega.
Lahir puluhan cerita:
Tentang perawat yang satu-satunya saksi meninggalnya pasien COVID karena tak ada keluarga hadir.
Tentang anak kecil yang minta disuntik sambil dibacakan dongeng.
Tentang pasien yang mengaku sembuh bukan karena obat, tapi karena disenyumi perawat setiap pagi.
Buku itu diberi judul: “Shift Malam: Catatan dari Lorong yang Tak Pernah Tidur.”
Buku itu menjadi pengakuan diam-diam akan cinta, beban, dan perjuangan para perawat. Saat diluncurkan, ratusan perawat dari berbagai daerah mengirim pesan:
“Terima kasih, akhirnya kami punya suara. Kami bukan ‘asisten dokter’. Kami adalah hati yang terus bekerja saat dunia berhenti.”
Ferizal menulis di bagian pengantar:
“Perawat adalah jembatan antara sakit dan sembuh, antara ketakutan dan harapan. Mereka bukan sekadar pelaksana medis, tapi penjaga kemanusiaan di titik paling sunyi: malam.”
109 Kini, setiap ruang rawat inap Puskesmas Harapan Bangsa punya satu sudut yang disebut Pojok Simfoni Malam, berisi puisi dan kisah para perawat. Di antara doa pasien dan suara alarm infus, ada kata-kata yang menguatkan, menemani, dan menyembuhkan.
Dan di dinding lorong menuju ruang jaga, terukir kutipan Ferizal dalam huruf timbul emas:
“Mereka tak terdengar, tapi dirindukan. Tak terkenal, tapi dikenang. Itulah perawat— simfoni yang menjaga hidup saat dunia tertidur.”
Setelah Shift Malam: Catatan dari Lorong yang Tak Pernah Tidur dirilis, terjadi sesuatu yang tidak diperkirakan oleh siapa pun.
Sejumlah pasien mulai meninggalkan surat kecil untuk para perawatnya. Surat-surat itu dilipat sederhana dan diselipkan di bawah gelas, di samping infus, bahkan di balik bantal. Isinya bermacam-macam—ada yang penuh terima kasih, ada yang berisi doa, dan ada pula yang sekadar satu kalimat:
“Terima kasih sudah memperlakukan saya seperti manusia, bukan angka.”
Mbak Lilis mengumpulkan surat-surat itu dalam satu map. Suatu malam, ia menunjukkannya pada Ferizal. Matanya sembab, bukan karena lelah, tapi karena tersentuh.
“Aku pikir aku cuma bagian dari rutinitas,” katanya pelan.
“Ternyata... kehadiran kami berarti juga, ya?”
110 Ferizal tersenyum. “Bukan hanya berarti. Kalian adalah jiwa dari tempat ini.”
Tak lama kemudian, Ferizal dan tim perawat menciptakan program kecil bernama “Resital Hening”—malam refleksi bulanan bagi seluruh staf medis. Lampu dipadamkan setengah.
Musik instrumental diputar pelan. Lalu satu per satu perawat membacakan kutipan atau pengalaman yang paling mengubah hidup mereka selama jaga malam.
Yusuf, perawat muda itu, bercerita tentang malam ketika pasien kanker terminal mencium tangannya dan berkata, “Kamu lebih sabar dari anakku sendiri.”
Rara membacakan puisi pasien lansia yang sudah meninggal dunia:
“Senyummu adalah obat paling lembut yang pernah kubawa pulang—bahkan lebih dari antibiotik.”
Malam itu, banyak yang menangis. Tapi tidak dengan air mata kesedihan. Tangisan mereka adalah bentuk pelepasan—karena selama ini, tak ada tempat untuk meletakkan beban jiwa yang terus menumpuk di balik APD, masker, dan shift tak kenal waktu.
Ferizal kemudian menulis satu naskah pementasan berjudul
“Lorong Tak Pernah Tidur”, drama monolog yang diperankan oleh perawat-perawat sendiri. Mereka membaca catatan asli, puisi pasien, dan dialog hening yang biasa mereka simpan rapat.
111 Pementasan itu diundang oleh berbagai sekolah keperawatan dan fakultas kedokteran. Bukan hanya sebagai edukasi profesi, tapi sebagai pengingat: bahwa sebelum seorang pasien ditangani oleh spesialis, ia lebih dulu disentuh oleh tangan seorang perawat.
Di akhir pertunjukan, layar menampilkan kalimat yang membuat semua ruangan hening:
“Jika dokter adalah keputusan, maka perawat adalah pelukan yang membuat keputusan itu diterima.”
Di suatu dini hari, Ferizal kembali berjalan menyusuri lorong ruang rawat. Ia melihat Yusuf tertidur di kursi lipat dengan pulpen masih tergenggam. Mbak Lilis duduk di dekat pasien yang sedang gelisah, membacakan ayat pelan-pelan. Dan di nurse station, lampu tetap menyala, tak pernah padam.
Ia lalu menuliskan catatan kecil untuk dipajang keesokan harinya:
“Terima kasih telah berjaga, saat dunia memilih tidur.
Terima kasih telah menyentuh luka, bukan hanya dengan tangan, tapi dengan ketulusan.”
Dan pagi itu, seluruh perawat mendapati secarik kertas itu ditempel di dinding, dengan tulisan tangan Ferizal:
"Kalian bukan sekadar tenaga kesehatan. Kalian adalah cahaya kecil yang terus menyala, agar esok tetap ada."
112