137 Di lorong menuju ruang fisioterapi, kini terpampang plakat besar bertuliskan kata-kata Ferizal:
“Gerakan bukan sekadar fungsi motorik.Ia adalah cara jiwa berkata, ‘Aku belum selesai.’
Dan di tangan fisioterapis, setiap gerak jadi puisi yang menyelamatkan makna hidup.”
Di akhir setiap sesi terapi, Novi selalu mengucapkan kalimat yang dulu dianggap biasa, tapi kini terasa sakral:
“Hari ini, kita tidak hanya bergerak. Kita baru saja menulis ulang harapan.”
Dan Ferizal, dalam diamnya, tahu bahwa itulah inti dari sastra promosi kesehatan: bukan untuk menjelaskan penyakit, tapi untuk menghidupkan kembali manusia yang ingin sembuh.
Perekam Medis dan Cerita yang Disimpan di
138 Ferizal baru menyadari pentingnya mereka saat mencari data lama tentang pasien stunting. Ia masuk ke ruang rekam medis, disambut dengan senyum oleh seorang perempuan muda berhijab, penuh ketelitian dan wibawa tenang. Namanya Mbak Ratna, perekam medis senior yang sudah menghafal posisi ribuan berkas dalam rak.
“Semua orang berpikir kami hanya tukang arsip,” katanya sambil menyerahkan map hijau. “Padahal di balik angka dan kode, ada kisah hidup.”
Ferizal membuka map itu—halaman demi halaman, mencatat tinggi badan, berat badan, diagnosis, hasil lab, rawat inap, kunjungan lanjutan. Tapi di balik semua itu, ia membayangkan wajah anak yang tumbuh kurus, ibu yang khawatir, dan petugas yang mengulurkan tangan.
Ia bergumam, “Ini bukan data. Ini adalah novel tanpa dialog.”
Sejak saat itu, ia mulai duduk lebih sering di ruang rekam medis, membaca berkas lama seperti membaca manuskrip kuno. Ia menulis:
“Di lemari itu tersimpan puisi-puisi sunyi. Tentang demam yang tak turun, Tentang luka yang perlahan sembuh, Tentang nama- nama yang pernah menunggu harapan di ruang tunggu.”
Ferizal mengusulkan proyek bersama Mbak Ratna: “Cerita dari Arsip Kesehatan”—bukan untuk membuka identitas pasien, tapi untuk menyusun kisah kemanusiaan dari data anonim.
Mereka menulis kisah yang lahir dari angka dan tanggal, lalu dihidupkan kembali lewat imajinasi sastra dan empati.
139 Salah satu kisahnya berjudul “RM-42107: Kisah Tiga Kali Jatuh”, tentang seorang pasien lansia yang datang ke puskesmas tiga kali dengan diagnosis jatuh di kamar mandi. Tapi di antara catatan medis itu, terselip narasi diam: anak-anak yang jarang pulang, rumah tanpa pegangan, dan tubuh yang tua tapi tetap ingin berdiri sendiri.
Ada pula cerita “Berat Badan Menurun, Tapi Bukan Karena Penyakit”, diangkat dari tren penurunan berat badan seorang ibu rumah tangga yang ternyata menderita kekerasan dalam rumah tangga—sesuatu yang tak tercatat di kertas, tapi terbaca oleh mata yang peka.
Ferizal menyadari: perekam medis bukan sekadar mencatat penyakit, tapi merawat ingatan kesehatan masyarakat.
Puisi Mbak Ratna menjadi favorit para peserta seminar nasional:
“Kami tak menyentuh pasien, Tapi kami memeluk kisahnya dalam lemari. Kami tak menulis resep, Tapi kami menjaga agar cerita itu tak hilang ditelan waktu.”
Buku mereka digunakan dalam pelatihan petugas rekam medis se-Indonesia. Banyak yang terharu karena akhirnya profesi mereka dianggap bagian dari seni menyembuhkan.
Dalam peluncuran buku, Ferizal berkata:
“Rekam medis adalah sastra teknis. Tapi jika kita pandai membaca, ia bisa menjadi novel hidup tentang perjuangan manusia menjaga kesehatannya.”
Kini, lemari arsip di Puskesmas Harapan Bangsa tidak lagi hanya penuh kertas dan kode ICD, tapi juga kumpulan puisi dan cerita
140 pendek yang terinspirasi dari data nyata. Di dinding ruangan itu, terdapat tulisan yang menjadi semboyan baru:
“Kami menjaga bukan hanya dokumen, tapi sejarah hidup manusia yang pernah percaya pada penyembuhan.”
Suatu sore yang sunyi, saat puskesmas mulai lengang dan matahari condong ke barat, Ferizal duduk kembali di ruang rekam medis. Mbak Ratna sedang menata ulang map-map rawat jalan yang sempat tertinggal. Di sudut rak, ia menemukan satu bundel berkas yang sudah lusuh, dengan label tinta yang mulai pudar: “Pasien Gawat Darurat 2015–2017”.
“Map ini pernah hampir dibuang karena dianggap usang,” ujar Ratna sambil memeluknya seperti anak hilang. “Tapi aku minta izin untuk menyimpannya. Karena di dalamnya ada satu kasus yang tak pernah bisa kulupakan.”
Ferizal menoleh. “Kasus apa?”
Ratna membuka map bernomor RM-98231, lalu menunjuk tiga kunjungan dengan interval tidak teratur. Pasiennya perempuan muda, usia dua puluhan, keluhan berulang: nyeri dada, napas berat, kadang pingsan. Semua hasil lab normal. Diagnosa resmi:
psikosomatis.
“Tapi waktu aku membaca ulang, aku merasa… ini bukan psikosomatis,” kata Ratna pelan. “Ini mungkin trauma. Atau kesepian yang disimpan terlalu lama.”
Ferizal terpaku. Malam itu, ia menulis cerpen berjudul “RM- 98231: Tiga Kunjungan dan Sebuah Napas yang Berat”. Dalam ceritanya, ia tak menyebut nama, tapi membangun narasi tentang seorang perempuan yang datang ke Puskesmas bukan
141 karena ingin sembuh, tapi karena ingin ditemukan. Ditemukan oleh seseorang yang bertanya, “Apa yang kau takutkan malam ini?”
Cerpen itu viral di kalangan tenaga kesehatan. Banyak perekam medis yang mengaku sering merasakan hal serupa—melihat
“pola” dalam angka, rasa dalam deret tanggal. Tapi selama ini mereka hanya bisa diam, karena profesi mereka dianggap administratif.
Mbak Ratna lalu mengusulkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: Pelatihan Membaca Narasi dalam Data Medis.
Ferizal mendukung penuh. Mereka mengajarkan bagaimana membaca catatan kunjungan sebagai cerita hidup, bukan hanya rangkaian statistik.
Dalam satu pelatihan, seorang peserta menuliskan refleksi:
“Map itu bukan benda mati. Ia adalah kotak suara dari pasien yang terlalu lelah untuk berteriak.”
Kemudian, lahirlah proyek lanjutan: “Lemari yang Bicara”. Di setiap lemari arsip puskesmas, ditempel kutipan puisi dan kisah mini yang diambil dari pengalaman kerja perekam medis. Bukan untuk mengubah sistem, tapi untuk mengingatkan: di balik kode ICD, ada individu yang pernah menggenggam harapan.
Ferizal menulis satu puisi penutup untuk ruang rekam medis:
“Kami bukan penyair, tapi kami membaca kalimat yang tak pernah diucap.Kami bukan dokter, tapi kami menyimpan jejak
142 langkah mereka yang pernah datang dengan harapan di dada, dan pulang dengan secarik resep.
Di lemari ini, bukan hanya data yang tidur, tapi juga doa yang belum sempat dikabulkan.”
Kini, ruang rekam medis di Puskesmas Harapan Bangsa menjadi ruang literasi sunyi yang tak pernah disangka. Banyak petugas datang ke sana bukan hanya untuk mengambil data, tapi untuk belajar mendengar lewat angka, dan membaca lewat jarak antar kunjungan.
Mbak Ratna sering mengingatkan rekan-rekannya:
“Kita tak menyentuh pasien. Tapi kitalah yang menjaga agar mereka tetap diingat.”
Dan Ferizal, dalam setiap pelatihan lintas profesi, tak pernah lupa menambahkan:
“Kalau dokter menulis resep, maka perekam medis menulis sejarah.”