Ilmu administrasi negara yang kita kenal dan dikembangkan sekarang di Indonesia, berasal dari Amerika Serikat, seperti yang akan dibentangkan di bawah. Perkembangan dari yang masa kini disebut ilmu pemerintahan atau ilmu administrasi negara selalu mengikuti perkembangan sifat dan tujuan negara yang bersangkutan, atau dengan perkataan lain, mengikuti perkembangan tipe negara yang bersangkutan.
Sejak dahulu, misalnya, pada zaman kerajaan, para raja, sebagai kepala negara dan pemerintahan, selalu didampingi oleh ahli-ahli “pemerintahan negeri (land) dan pengurusan praja (country)” yang memperoleh keahliannya melalui pendidikan dan pengalaman menurut sistem yang berlaku pada waktu itu, yang pada umumnya bersifat individual dan personal. Mengingat sifat keadaan dan kebudayaan pada zaman itu, pada umumnya mereka adalah ahli nujum, ahli filsafat, ahli keprajaan, dan ahli perang.
Mereka memperoleh kepandaian atau keahlian di perguruan (teman pesantren yang menerima murid secara selektif sekali dan sangat terbatas jumlahnya) yang diselenggarakan oleh seorang guru yang mudah mengundurkan diri dari jabatan aktif. Jika rajanya pandai dan bijaksana, yang menjadi Patih (perdana menteri, kepala administrasi negara) adalah seorang yang serba bisa dan berwibawa (misalnya: Patih Gajah Mada): ahli politik, ahli pemerintahan, ahli praja, ahli perang, dan ahli ramal (gouverner e’est prevoir, pemerintahan adalah melihat ke depan, ke zaman yang akan datang) sekaligus.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pemerintahan dan administrasi negara berlangsung sejalan dengan perkembangan pranata dunia yang sekarang disebut “negara” (state, staat).
Ilmu pemerintahan dan administrasi negara yang sebaik- baiknya sangat penting artinya bagi pendidikan dan latihan bagi para kader organisasi pemerintahan dan organisasi administrasi negara. Hal ini karena dalam setiap organisasi selalu terdapat empat unsur, yaitu sebagai berikut.
1. Kader, ialah kelompok orang yang merupakan “otak” atau
“brains”, “jiwa” (spirit), dan “penggerak” (motive power) dari organisasi, yang pada umumnya memahami dan setia kepada pimpinan organisasi mengenai filsafat atau pandangan tentang tujuan-tujuan organisasi yang harus dicapai, dan dalam praktik merupakan pemegang kekuasaan dan policy makers.
2. Hierarki, yang menempatkan orang-orang menurut tertib tertentu, dan memberi struktur pada birokrasi organisasi yang mendatangkan keteraturan mekanisme kerja, disiplin, dan stabilitas dalam kehidupan organisasi.
3. Kebudayaan (culture), seperangkat nilai, norma, dan opini yang menentukan gaya hidup organisasi.
4. Market, yakni seperangkat tuntutan, permintaan, dan desakan lingkungan atau situasi yang memengaruhi dan mendorong organisasi untuk berkembang ke arah tertentu, sambil menentukan biaya “transaksi-transaksi” dan “operasi-operasi”
organisasi.
Pada saat ini, semua negara merupakan organisasi seperti yang digambarkan di atas. Dengan mengikuti pandangan Profesor C.van Vollenhoven, saya melihat adanya lima tahapan di dalam perkembangan negara sehingga menjadi organisasi modern yang kita kenal sekarang, yaitu negara yang masih merupakan “negeri”
dan menguasai kawasan tanpa batas tertentu.
Cirinya:
1. ada raja, atau kepala suku yang menyebut dirinya “raja”, dan berkuasa tanpa sistem yang rasional;
2. tidak ada wilayah kekuasaan yang tertentu;
3. tidak ada pemerintahan yang berdasar atas suatu hukum, hanya ada kekuasaan berdasarkan kekuatan untuk bertindak dan penguasaan;
4. tidak ada angkatan perang yang berdisiplin teratur;
5. tidak ada kas harta kekayaan kerajaan tertentu.
Semua kerajaan pada masa lampau mulai dengan bentuk
“negeri” seperti tersebut di atas, negara “kerajaan berkawasan”.
Cirinya:
1. ada raja yang berkuasa, dengan diresmikan atau dinobatkan oleh pendeta agama, dan diakui oleh raja-raja lain dengan pertukaran duta.
2. raja menganggap dirinya sebagai pemilik kerajaan beserta kerabatnya, dan memerintah secara tunggal dan mutlak;
3. ada angkatan perang yang setia kepada raja, teratur, dan berdisiplin;
4. ada staf pemerintahan, dengan punggawa-punggawa yang berkedudukan dan berfungsi bersama komandan pasukan angkatan perang;
5. ada kas harta kekayaan kerajaan (treasury) dan sistem pungutan pajak, upeti, cukai, dan sebagainya yang teratur;
6. tidak ada hukum legislatif dengan rakyat, hanya dengan dewan penasihat raja;
7. tidak ada “wilayah kerajaan” tertentu, dengan batas-batas tertentu.
Semua kerajaan di Indonesia sampai tahun 1800 termasuk tipe ini, kecuali yang sudah ditentukan batas-batasnya oleh Kompeni (VOC), negara “kerajaan teritorial berdaulat”.
Cirinya:
1. ada raja yang berkuasa atas wilayah tertentu dan dengan batas-batas tertentu yang diakui oleh negara-negara lain yang berdaulat;
2. raja berdaulat atas wilayah tersebut beserta penghuni dan isinya;
3. ada hukum legislatif kerajaan tertentu tanpa persetujuan atau keikutsertaan rakyat, dengan parlemen yang tidak dibentuk melalui pemilihan umum;
4. ada peradilan kerajaan yang tertentu, dengan hakim-hakim yang terdidik atau profesional;
5. ada aparat pemerintahan yang merangkap sebagai aparat kepolisian kerajaan;
6. ada angkatan perang yang teratur, terdidik secara profesional, dan berdisiplin tertentu;
7. ada kas dan fiskus kerajaan berdasarkan sistem perpajakan tertentu.
Sebagian besar kerajaan di Eropa antara 1650–1850, dan kerajaan Negara Indonesia (1866 -1942) yang disebut Hindia- Belanda termasuk tipe negara nasion (nation state). Tipe negara nasion mulai lahir di Eropa dengan adanya “gerakan nasionalisme”, kurang lebih tahun 1840 -1870.
Cirinya:
1. ada konstitusi negara yang dicipta melalui semacam forum permusyawaratan
2. rakyat, yang bertindak atas nama nasion, yakni rakyat negara yang telah sadar budaya (cultuurbewust) dan sadar politik (politiek bewust);
3. negara adalah milik nasion, dan pada prinsipnya diselenggarakan oleh nasion;
4. jika ada raja, raja diikat pada konstitusi;
5. semua kekuasaan dijalankan oleh badan, dewan, instansi, atau pejabat negara mana pun, secara langsung atau tidak langsung, berasal dari konstitusi negara;
6. semua hukum, undang-undang, dan ketentuan pungutan barang atau uang, berasal dari konstitusi negara.
Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat ini umumnya merupakan negara nasion. Negara nasion modern:
Hanya, negara-negara maju pada saat ini yang merupakan negara nasion modern.
Cirinya:
1. negara merupakan organisasi modern, yang sudah merupakan sistem dengan struktur dan mekanisme yang tegas dan berfungsi secara efektif;
2. para warga negara berpikir, hidup, dan bersikap seperti warga pemilik negara (pemegang saham) negara, yang ikut bertanggung jawab atas jalannya negara dan nasib negara;
3. negara berkedudukan dan berfungsi sebagai organisasi serba usaha bangsa (politik, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, tehnologi, dagang, dan sebagainya);
4. legislasi, pemerintahan, dan yudikasi berlangsung secara konstitusional, sistematis, dan rasional, bebas dari segala bentuk diskriminasi di antara warga negaranya;
5. negara bersifat sekularistis, dengan tujuan-tujuan yang bersifat materialistis.
Ilmu pemerintahan modern mulai dikembangkan di Indonesia dan di kalangan pejabat bangsa Eropa sejak tahun 1806, pada waktu Gubernur Jenderal Janssen mengadakan kursus pemerintahan yang pertama untuk mendidik para bekas pegawai VOC, dan mencoba mengubah sikap mental mereka dari pegawai perusahaan dagang menjadi pegawai negeri. Hasilnya sangat menyedihkan, sebab sikap santai dan korupnya tetap ada.
Gubernur Jenderal Daendels menempuh jalan militerisasi di dalam mengembangkan aparatur administrasi negaranya, yang bersifat tegas dan keras dalam penunaian tugas, penegakan disiplin, serta pendidikan dan latihan.
Raffles tidak melanjutkan jiwa dan sistem Daendels yang bersifat militer. Raffles menghendaki pemerintahan sipil yang demokratis, yang membawahi segala-galanya. Pada prinsipnya, pemerintahannya bersifat sipil, yang menjalankannya adalah perwira-perwira militer Inggris, yang memimpin pejabat-pejabat sipil Belanda dan Indonesia.
Belanda yang kembali berkuasa pada tahun 1816, mendatangkan kader pejabat sipil dan militer dari negeri Belanda, dan dengan instruksi Gubernur Jenderal van der Capellen pada tahun 1819, mereka mendidik pejabat-pejabat sipil di Indonesia melalui sistem magang sesudah calon-calonnya lulus sekolah pendidikan umum.
Calon-calon yang lulus dari Sekolah Militer di Semarang (didirikan tahun 1818) diwajibkan mengikuti kursus Bahasa Jawa yang diadakan di Solo pada tahun 1832. Pada tahun 1825, para pejabat negeri sipil diklasifikasi menjadi tiga golongan, yakni:
a. yang lulus pendidikan akademik (sarjana),
b. yang pernah mengikuti pendidikan yang bersifat akademik, c. yang lulus ujian masuk untuk menjadi pegawai negeri.
Di pihak lain, kerajaan-kerajaan Indonesia yang ada pada waktu itu, pada umumnya mengembangkan ilmu dan pendidikan pemerintahan masing-masing secara tradisional, berdasarkan kitab- kitab yang bisa diselamatkan dan ajaran-ajaran yang dialihkan secara turun-menurun. Yang sangat maju adalah, antara lain, ilmu pemerintahan yang dikembangkan di Mangku Negaran, terutama dengan dan sesudah pemerintahan Sri Mangku Negara IV, yang terkenal filsafat hidup modernnya melalui karya Wedotomo. Jika ajaran yang terdapat di dalamnya ditafsirkan secara luas, Wedotomo mengajarkan prinsip bahwa setiap pejabat pemerintahan, jika ingin baik penunaian tugasnya, harus memiliki syarat Triprakoro (tiga hal), yakni wirya (berani, gagah, bijaksana), winasis (pandai, cerdas, ahli), dan harta (mempunyai pendapatan atau harta kekayaan yang cukup).
Modernisasi sistem dan ilmu pemerintahan di Indonesia dimulai dengan kalangan pejabat-pejabat pamong praja Belanda yang sejak tahun 1843 direkrut dari lulusan Akademi Pemerintahan Kerajaan di Delft. Sistem pendidikan di Akademi Pemerintahan Kerajaan di Delft diselenggarakan secara disiplin militer, tidak hanya karena tempat pendidikan kemiliteran, tetapi juga karena keadaan di berbagai wilayah Indonesia penuh dengan ketegangan dan suasana peperangan. Para siswanya berpakaian seragam, dan program kehidupan asrama sehari-hari seperti militer. Pendidikan di Delft ditutup pada tahun 1864, dan diganti dengan pendidikan dan ujian “Groot Ambtenaarsexamen”
(Pendidikan dan Ujian Pejabat Negeri Utama). Pendidikan persiapannya diselenggarakan di Leiden dan di Delft.
Kurikulumnya senada atau sejiwa dengan pendidikan ilmu administrasi negara gaya Eropa Barat di waktu itu.
Di Eropa, yang berkembang paling maju adalah ilmu pemerintahan di Prancis dan Prussia (Jerman), terutama didorong oleh kemajuan-kemajuan revolusioner pada abad ke-17 dan berikutnya di bidang organisasi kemiliteran. Dengan bantuan teknik-teknik birokrasi, seperti standardisasi, hierarkisasi, dan
formalisasi, organisasi angkatan perang dirombak menjadi organisasi skala besar yang rapi, teratur, dan berdisiplin. Jiwa organisasi inilah yang kemudian menyebar ke segala lapisan dan golongan masyarakat Eropa sehingga rakyat dan orang Eropa terbiasa hidup teratur dan berdisiplin hingga sekarang. Selain itu, kemajuan di bidang organisasi skala besar membuat raja-raja di Eropa mampu mengembangkan sistem pemerintahan sentral, dengan menundukkan segala macam kepentingan dan kekuasaan lokal yang bersifat tradisional. Dengan demikian mempercepat proses modernisasi masyarakat dan negara. Di Prancis, kesatuan masyarakat lokal yang kemudian berkembang menjadi kanton (kecamatan), arondisemen (distrik), dan departemen (provinsi), dan sebagainya, dipimpin oleh pejabat-pejabat pusat yang pada umumnya menjalankan tata usaha negara (pengumpulan data secara sistematis bagi pemerintah pusat, registrasi kependudukan, perkawinan, kelahiran, kematian, pengumpulan data statistik, pemberian surat keterangan penduduk, dan sebagainya).
Di Prussia terdapat perkembangan yang mirip dengan pembentukan pejabat perwakilan raja dan semacam kantor pemerintah yang diselenggarakan oleh fungsionaris-fungsionaris yang ahli ilmu kameralistik. Kommissurinlen dan Kammern di bawah raja-raja Prussia, Friedrich Wilhelm (1640–1688) dan Fritdrich Wilhelm I (1713–1740) dijalankan oleh korsa fungsionaris- fungsionaris profesional yang memperoleh pendidikan ilmu kameralistik atau kameralwissenschaft di Universitas Frankfurt dan Halle. Mereka menjalankan dekrit-dekrit raja di bidang finansial- ekonomis dan kemiliteran. Guru besar Kameralwissenschaft yang termashur antara lain Professor Gottlob von Justi dan Professor Freiherr von Sonnenfels. Para Kameralis, pejabat-pejabat di Kommis-sariaten dan Kammer memperoleh pendidikan dalam ilmu keuangan negara, ilmu perpajakan, ilmu statistik, dan ilmu tertib administrasi. Ilmu kameralistik adalah ilmu pengumpulan informasi secara sistematis tentang peranan dan kegiatan aparatur pemerintahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat:
Kameralistik di Jerman inilah kemudian, setelah dikembangkan dan dimodernisasi lebih lanjut, dioper idenya oleh Woodrow Wilson untuk memperjuangkan suatu “Science of Administration” di
Amerika Serikat sejak tahun 1887, dengan menolak pandangan yuridis-formal yang berkembang, terutama di Prancis dan di negeri Belanda dulu.
Sistem APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita dan di negara-negara Eropa hingga sekarang masih bersifat kameralistis. Para kameralis (ahli kameralistik) pada abad ke-18 mempergunakan konsep pemerintahan normatif, yang dimaksudkan untuk mengurus negara secara ekonomis dan efisien, demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kerajaan.
Akan tetapi, di dalam praktik mereka tidak berhasil karena para raja lebih sibuk memikirkan pengembangan kekuatan dan kekuasaan mereka, berikut pengembangan kekuatan daripada aparatur pemerintahan.
Di Prancis, titik berat pendidikan para fungsionaris pemerintahan diletakkan pada pendidikan yuridis (pendidikan hukum), sedangkan keahlian pemerintahan diperoleh melalui praktik dan permagangan. Karena negeri Belanda pernah dijajah Prancis dan pengaruh sistem serta jiwa pemerintahan Prancis agak kuat, efeknya tampak pada sistem pendidikan hukum dan pemerintahan mereka, termasuk di Indonesia sebelum Perang Dunia II.
Perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat berbeda dengan di Prancis dan Prussia yang lambat laun lebih bersifat yuridis- formal, dan kurang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu ekonomi dan statistik. Di Inggris berkembang sistem birokrasi yang dijalankan oleh fungsionaris yang mempunyai jiwa setia, integritas, dan keahlian tinggi. Lambat laun, mereka merupakan suatu civil service yang menjadi kebanggaan karena tidak mudah untuk diterima dari kalangan mereka, apalagi untuk mencapai posisi yang top. Mereka diikat suatu kode kehormatan dan kode etik yang ketat sekali, dan dedikasi mereka pada tugas negara mati-matian.
Hingga sekarang, di beberapa negara bekas jajahan Inggris tradisi civil service masih dipertahankan dengan rasa bangga.
Berbeda halnya dengan perkembangannya di Amerika Serikat, ketika Presiden Jackson (1828-1836) memperhebat spoils system.
Posisi-posisi penting dalam pemerintahan diberikan kepada kawan- kawan dan simpatisan-simpatisan partai yang memberikan
dukungan finansial. Dengan Pendleton Act 1883, sesudah pembunuhan terhadap Presiden Garfield pada tahun 1881 oleh seorang yang frustrasi karena gagal dalam upayanya ikut menikmati spoils system, dibentuklah civil service seperti di Inggris berdasarkan keahlian profesional, di bawah pimpinan dan pengawasan Civil Service Commission. Dari syarat-syarat profesional yang ditetapkan oleh Undang-Undang Civil Service itu, Woodrow Wilson pada tahun 1887 mulai memperjuangkan adanya ilmu administrasi negara dengan memodernisasikan ilmu kameralistik dari Prussia, dan menolak pendekatan yuridis-formal yang berkembang di Eropa Kontinental seperti yang telah saya kemukakan di atas. Aliran ilmu administrasi negara dari Amerika Serikat inilah yang kemudian masuk di Indonesia sejak tahun lima puluhan, dan berkembang hingga sekarang, dengan modifikasi-modifikasi secukupnya.
Dalam buku ini, saya mencoba mengintegrasikan kedua aliran tentang ilmu pemerintahan tersebut, dengan aliran ketiga yang bersifat asli Indonesia (yaitu ilmu kepamongprajaan), mengingat bahwa peninggalan sejarah yang sudah berakar dalam kebudayaan masyarakat Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja.
Di pihak lain, aliran public administration dari Amerika Serikat memberikan perspektif yang lebih banyak untuk pengembangan dan modernisasi sistem dan ilmu pemerintahan di Indonesia. Jika kita kembali meninjau keadaan Indonesia pada akhir abad ke-19, bagi putra bangsa Indonesia, pendidikan pemerintahan dan administrasi negara modern dimulai dengan pendirian Osvia (Opleidingsschool voor Indonesische Ambtenaren) pada tahun 1908 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. “Ambte-naar” berarti
“pejabat negeri” bukan pegawai negeri. Education and Training School for Indonesian Civil Servants (OSVIA) adalah hasil organisasi “Hoofdenschool” (Sekolah untuk para kepala) yang didirikan pada tahun 1880 di Bandung, Magelang, dan Probolinggo.
Program pendidikan di Osvia terdiri atas tiga bagian:
1. Bagian Persiapan, dua tahun studi, yang diterima adalah lulusan ELS (Europese Lagere School) atau lulusan HIS (Hollands Inlandse School).
2. Bagian Pertama, tiga tahun studi.
3. Bagian Kedua, dua tahun studi.
Pada tahun 1910 didirikan Osvia baru di Serang, Madiun, Blitar, Makassar (Ujung Pandang), dan Bukit Tinggi. Di bagian persiapan dilakukan penyempurnaan dari apa yang telah diperoleh di Sekolah Dasar (ELS, HIS). Di bagian pertama diberikan bahasa Belanda, bahasa Melayu, bahasa daerah, geografi, sejarah, ilmu alam, matematika, ilmu menggambar. Di bagian kedua pengantar ilmu hukum, hukum tata negara, hukum administrasi negara, ilmu ekonomi negara, asas-asas ilmu pemerintahan/administrasi negara, geodesi, topografi, ilmu pertanian, dan ilmu ekonomi pertanian.
Pada tahun 1914 didirikan bestuursschool (sekolah ilmu pemerintahan) di Jakarta. Syarat penerimaan bagi mahasiswa bangsa Belanda adalah lulus HBS (SMA Belanda), dan bagi mahasiswa bangsa Indonesia adalah lulus ujian saringan Departemen Dalam Negeri. Lama studi dua tahun dengan kurikulum bahasa Belanda, bahasa Inggris, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana ilmu ekonomi negara, ilmu pertanian, ilmu bangunan gedung, sistem pengairan dan konstruksi jalan, ilmu kesehatan masyarakat. Pada tahun 1928, sekolah-sekolah Osvia secara bertahap dihapus, diganti dengan MOSVIA di Magelang dan Bandung, dengan menerima lulusan MULO (SMP) dengan lama studi tiga tahun dan program studi yang cukup berat.
Di samping itu, banyak pula putra-putra Indonesia yang lulus dari studi fakultas hukum dan atau fakultas indologi di Universitas Leiden atau Universitas Utrecht di negeri Belanda.
Pada tahun 1938, bestuursschool ditingkatkan menjadi bestuursa-cademie dan digabung dengan sekolah tinggi (kemudian fakultas) hukum (Universitas Indonesia) di Jakarta. Pada tahun 1941 dibuka pula fakultas indologi.
Demikianlah sistem pendidikan ilmu pemerintahan dan administrasi negara di Indonesia sampai tentara Jepang masuk (Maret 1942).