142 langkah mereka yang pernah datang dengan harapan di dada, dan pulang dengan secarik resep.
Di lemari ini, bukan hanya data yang tidur, tapi juga doa yang belum sempat dikabulkan.”
Kini, ruang rekam medis di Puskesmas Harapan Bangsa menjadi ruang literasi sunyi yang tak pernah disangka. Banyak petugas datang ke sana bukan hanya untuk mengambil data, tapi untuk belajar mendengar lewat angka, dan membaca lewat jarak antar kunjungan.
Mbak Ratna sering mengingatkan rekan-rekannya:
“Kita tak menyentuh pasien. Tapi kitalah yang menjaga agar mereka tetap diingat.”
Dan Ferizal, dalam setiap pelatihan lintas profesi, tak pernah lupa menambahkan:
“Kalau dokter menulis resep, maka perekam medis menulis sejarah.”
143 strategi perubahan perilaku: Laras, promotor kesehatan yang wajahnya selalu berseri meski hari sering dimulai pukul lima pagi.
Ferizal mengenalnya saat ikut kegiatan penyuluhan keliling ke sekolah-sekolah dasar. Di atas panggung sederhana dari kayu, Laras membawakan lagu tentang pentingnya cuci tangan, lalu mengubah materi berat jadi permainan ular tangga bergizi.
“Kenapa kamu tetap semangat walau cuma dua anak yang dengar?” tanya Ferizal sambil memotret aktivitas itu.
Laras tersenyum dan menjawab, “Karena satu anak yang berubah, bisa menyelamatkan keluarganya. Dan kalau aku tidak bicara hari ini, mungkin tak ada yang bicara besok.”
Kalimat itu menggetarkan Ferizal. Ia teringat puisinya yang pernah ia tulis diam-diam:
“Bukan besar panggung yang menentukan gema, tapi ketulusan suara yang tak berhenti menyapa.”
Bersama Laras, Ferizal mulai menyusun kumpulan puisi dan cerita lapangan dari para promotor kesehatan di desa-desa.
Judul bukunya: “Poster yang Berbisik”—kisah dan puisi dari orang-orang yang selama ini berdiri di pinggir, tapi menyentuh pusat kehidupan.
Salah satu cerpen favorit berjudul “Loudspeaker di Tengah Sawah”, tentang promkes yang menyebarkan informasi lewat pengeras suara masjid saat banjir dan anak-anak mulai terkena diare.
Ada juga puisi karya Laras sendiri:
144
“Kami bukan pengajar, tapi penanam benih perilaku.
Tak semua tumbuh hari ini, tapi suatu saat, akan jadi pohon yang menaungi negeri.”
Ferizal menulis cerita pendek tentang lansia yang rutin datang ke senam pagi bukan untuk olahraga, tapi agar bisa bersosialisasi dan merasa dihargai. Judulnya: “Gerakan Bukan Soal Otot, Tapi Soal Harapan.”
Buku mereka dipakai dalam pelatihan promosi kesehatan berbasis sastra di berbagai kabupaten. Di banyak tempat, promkes menangis—karena selama ini mereka dianggap pelengkap, bukan penggerak. Kini, mereka merasa dilihat dan didengar.
Dalam peluncuran buku, Laras berkata:
“Kami tak punya stetoskop atau mikroskop. Tapi kami membawa megafon—bukan untuk berteriak, tapi untuk mengingatkan:
hidup sehat dimulai dari kesadaran kecil yang terus dipupuk.”
Ferizal menutup peluncuran itu dengan satu kalimat:
“Promkes bukan penempel poster. Mereka penulis bab awal dari perubahan yang panjang—dan sastra membuat suara mereka tak lagi tenggelam.”
Kini, setiap alat bantu promosi di Puskesmas Harapan Bangsa punya kutipan kecil di pojok kanan bawah. Salah satunya:
“Cuci tangan bukan hanya anjuran—ia adalah puisi perlindungan dari tangan-tangan yang ingin terus memeluk hidup.”
Promotor Kesehatan dan Puisi dari Pintu ke Pintu
145 Ferizal baru memahami arti sebenarnya dari penyuluhan saat mengikuti Pak Mulyadi, Promotor Kesehatan masyarakat senior, yang rambutnya sudah memutih tapi langkahnya masih ringan, menyusuri gang-gang sempit dan pelataran rumah warga.
“Penyuluhan itu bukan hanya tentang bicara,” kata Pak Mulyadi sambil menenteng papan flipchart usang. “Ini tentang mendengarkan. Karena sebelum orang berubah, mereka harus merasa dimengerti.”
Ferizal mencatat kata-kata itu di bukunya.
Di desa, ia menyaksikan sendiri bagaimana Promotor Kesehatan bukan hanya membawa selebaran. Mereka membawa pemahaman. Mereka menjawab pertanyaan tentang imunisasi, gizi buruk, sanitasi, sampai soal mitos-mitos yang sudah berakar.
Di satu rumah, seorang ibu muda menolak vaksin untuk anaknya karena takut. Pak Mulyadi tak menghakimi. Ia duduk, bertanya tentang kekhawatiran sang ibu, lalu dengan lembut menjelaskan.
Di akhir kunjungan, ibu itu berkata, “Pak, boleh saya ikut posyandu bulan depan?”
Ferizal menulis puisi sepulangnya:
“Kami bukan pengubah dunia, hanya pembawa cerita, dari rumah ke rumah, dengan sepatu berdebu dan hati yang bersabar.”
Bersama Pak Mulyadi, lahirlah buku “Cerita dari Teras Rumah:
Sastra Jalanan Kesehatan”. Isinya adalah kisah-kisah lapangan yang nyata dan sederhana, tapi membekas:
– Seorang remaja putri yang berhenti sekolah karena menstruasi
146 tak teratur, lalu kembali percaya diri setelah mendapat edukasi.
– Seorang bapak petani yang akhirnya membuat jamban keluarga setelah bertahun-tahun buang air besar di kebun.
Ada puisi yang ditulis Pak Mulyadi di bagian akhir:
“Kami mengetuk, bukan memaksa. Kami menyapa, bukan menyuruh. Karena kesehatan bukan sekadar angka—
tapi bagaimana manusia mempercayai dirinya layak untuk hidup lebih baik.”
Buku itu menjadi bahan pelatihan nasional untuk kader kesehatan masyarakat. Di berbagai pelosok, para penyuluh mulai menulis juga—merekam apa yang selama ini tak terdengar.
Ferizal mengatakan dalam seminar:
“Promotor Kesehatan adalah sastrawan komunitas. Mereka tak menulis di kertas,tapi di kepala dan hati masyarakat.
Dan itulah pendidikan kesehatan yang paling abadi.”
Kini, di dinding ruang promosi kesehatan Puskesmas Harapan Bangsa, tertempel kutipan dari Ferizal:
“Jangan remehkan orang yang datang dengan papan gambar dan tas selebaran. Karena bisa jadi, ia sedang menyelamatkan generasi berikutnya—satu pintu, satu cerita, satu perubahan pada satu waktu.”
Tenaga Promosi Kesehatan dan Kata-Kata yang Menyembuhkan Ferizal sudah lama akrab dengan istilah promosi kesehatan. Tapi baginya, itu semula hanyalah poster, banner, dan jargon. Hingga ia bertemu Kak Dini, seorang tenaga promosi kesehatan
147 (promkes) yang membawa pamflet seperti membawa lembar puisi, dan menyusun program seperti menggubah simfoni perubahan.
“Satu kalimat bisa menyelamatkan satu keluarga,” kata Dini saat menyusun materi edukasi di posyandu. “Asal kalimat itu lahir dari empati, bukan hanya teori.”
Ferizal tertarik. Ia mulai mengikuti kegiatan Dini—dari penyuluhan di balai RW, ke kampung pemulung, hingga menyusun materi video animasi untuk anak-anak PAUD. Dini tak hanya menjelaskan cara mencuci tangan, tapi bercerita dengan boneka kain tentang ‘Si Kuman Bandel’ dan ‘Pahlawan Sabun’.
“Promkes itu sastra juga, Mas Fer,” ucap Dini sambil menggambar papan flanel. “Karena kita bicara dengan kata, warna, dan rasa. Kita menyentuh hati dulu, baru logika.”
Kata-kata itu menggugah Ferizal. Ia menulis satu puisi setelah sesi penyuluhan di daerah rawan stunting:
“Kami tak membawa obat, tapi membawa kalimat.
Tak menyuntik, tak membedah, tapi kami memanggil harapan lewat cerita kecil yang tumbuh menjadi kesadaran.”
Bersama Dini, ia membuat antologi “Poster yang Bernyanyi”, kumpulan kisah-kisah lapangan tenaga promkes dari berbagai daerah. Buku itu tidak dipenuhi teori kesehatan, tapi cerita nyata: tentang ibu hamil yang berubah pikiran setelah menonton teater jalanan promosi ASI, atau tentang remaja yang membuang rokok terakhirnya setelah mendengar puisi tentang paru-paru.
Salah satu kisah berjudul “Spanduk dan Cinta Sejati”, mengisahkan seorang petugas promkes yang jatuh cinta pada
148 seorang guru karena sama-sama menyebarkan literasi hidup sehat.
Dalam buku itu, ada juga puisi sederhana tapi dalam:
“Kami bukan penyembuh, tapi penjaga agar luka tak terjadi.
Kami bukan dokter,tapi penjaga agar penyakit tak datang.”
Ferizal menyadari, promosi kesehatan adalah sastra paling sosial. Ia tak berhenti di ruang tunggu pasien, tapi masuk ke pasar, sekolah, masjid, dan bahkan layar ponsel.
Saat peluncuran buku, Dini berkata:
“Kami tak selalu dihitung dalam sistem kesehatan. Tapi jika masyarakat tidak tahu, mereka tidak bisa bertindak. Dan jika mereka tak bertindak, maka ilmu hanya jadi pajangan.”
Ferizal menambahkan:
“Sastra promosi kesehatan adalah masa depan. Karena ia memadukan kata, seni, dan cinta—bukan hanya untuk menjelaskan, tapi untuk menggerakkan.”
Kini, di ruang promkes Puskesmas Harapan Bangsa, terpajang mural penuh warna hasil lukisan anak-anak dari program edukasi. Di tengahnya, tertulis kutipan Ferizal:
“Kami bukan mengajak karena perintah, tapi karena cinta.
Karena kesehatan bukan hanya hak— ia adalah puisi yang harus disuarakan bersama.”
Promotor Kesehatan dan Kata-kata yang Mencegah Sakit
149 Bagi sebagian orang, promosi kesehatan hanyalah spanduk di jalan, pamflet di ruang tunggu, atau penyuluhan yang membosankan. Tapi bagi Ferizal, setelah mengenal Mbak Yuni, semua itu berubah menjadi sebuah seni. Seni membentuk kesadaran, sebelum kesakitan datang.
Mbak Yuni bukan hanya petugas promkes, ia adalah pendongeng.
Dalam setiap sesi penyuluhan, ia tidak berbicara dengan angka, tapi dengan cerita. Tentang anak yang tumbuh kuat karena ASI eksklusif. Tentang keluarga yang utuh karena tidak terjerat rokok. Tentang desa yang selamat dari DBD karena membersihkan bak mandi.
“Kalau kita hanya bicara data, orang lupa,” katanya. “Tapi kalau kita bicara cerita, orang merasa.”
Ferizal tersenyum, merasa menemukan cermin dirinya dalam profesi ini. Mereka pun menulis bersama sebuah buku: "Kata yang Menyembuhkan: Cerita-cerita Promkes di Lapangan."
Buku itu tidak diawali dengan daftar perilaku hidup bersih dan sehat, tapi dengan puisi:
“Kami tidak menyentuh tubuhmu, tapi pikiranmu.
Kami tak memberi resep, tapi arah. Karena pencegahan adalah seni yang ditulis dalam kesadaran.”
Dalam buku itu, tercatat kisah tentang:
Seorang remaja yang urung menikah dini karena mendengar cerita sahabatnya yang putus sekolah karena hamil.
Seorang bapak perokok berat yang berhenti bukan karena iklan, tapi karena anaknya menulis puisi:
150
“Ayah, paru-parumu penuh abu, jangan biarkan cintaku ikut terbakar.”
Desa yang berhasil menurunkan angka stunting karena satu drama sederhana tentang bayi dan sendok kecil yang dimainkan di posyandu.
Ferizal kagum: promkes bukan sekadar penyuluhan. Ia adalah perlawanan terhadap ketidaktahuan, dengan alat paling kuat:
cerita.
Dalam sebuah pelatihan nasional, Ferizal berbicara di hadapan ratusan petugas promosi kesehatan:
“Kalian bukan pembaca brosur. Kalian adalah penyair perubahan. Karena satu kalimat bijak dari kalian, bisa menyelamatkan nyawa yang tak kalian kenal.”
Mbak Yuni tersenyum haru. Ia tak pernah menyangka, profesi yang dulu dianggap pelengkap kini menjadi ruh dari gerakan sastra promosi kesehatan.
Kini, setiap ruang promosi kesehatan di Puskesmas Harapan Bangsa memiliki "Pojok Kata Sehat"—tempat pasien bisa membaca cerita inspiratif, puisi, bahkan menulis pengalaman hidup sehat mereka sendiri.
Di dindingnya tertempel kalimat karya Ferizal:
“Sebelum tubuh terluka, ajarilah pikiran mencintai hidup.
Itulah promosi kesehatan—menjaga sebelum menyembuhkan.”
Petugas Promosi Kesehatan dan Kata yang Menyembuhkan Desa
151 Ferizal selalu percaya bahwa kata-kata bisa menyembuhkan.
Tapi keyakinannya menemukan bentuk yang lebih nyata saat ia bertemu dengan Mas Yuda, petugas promosi kesehatan di Puskesmas Harapan Bangsa. Laki-laki berperawakan biasa, dengan senyum tulus dan papan flanel yang selalu dibawanya ke mana-mana.
“Kenapa kamu selalu bawa papan itu?” tanya Ferizal pada suatu pagi di tengah kegiatan penyuluhan di balai RT.
Mas Yuda tersenyum. “Karena masyarakat lebih suka gambar daripada angka. Dan mereka lebih percaya cerita daripada slogan.”
Jawaban itu langsung merasuk ke dalam batin Ferizal. Di benaknya, penyuluhan bukan lagi selembar kertas berisi poin- poin. Tapi bisa menjadi puisi, drama, dongeng—asal semua itu membawa harapan dan perubahan.
Sejak itu, Ferizal ikut dalam setiap kegiatan promosi kesehatan:
dari penyuluhan cuci tangan di madrasah, senam lansia di lapangan desa, sampai teater mini bertema gizi untuk ibu hamil.
Dalam setiap kegiatan, ia melihat bagaimana Mas Yuda menyisipkan cerita rakyat untuk menjelaskan hipertensi, mengubah pantun lama menjadi edukasi tentang TBC, dan menjadikan mitos sebagai jembatan menuju pemahaman ilmiah.
Lalu lahirlah karya bersama mereka: “Kata-Kata yang Menyembuhkan Desa”, kumpulan cerita rakyat, puisi pendek, dan catatan lapangan dari program promosi kesehatan berbasis budaya lokal.
152 Salah satu puisi pembuka ditulis oleh Ferizal, terinspirasi dari kerja Mas Yuda:
“Bukan selebaran yang kami bawa, tapi kisah yang mudah kau dengar. Bukan ancaman penyakit yang kami ulang, tapi harapan hidup yang ingin kami tanam.”
Buku itu memuat cerita tentang Mbah Sarti, nenek buta huruf yang akhirnya mau memeriksakan tekanan darah karena percaya pada lagu dolanan yang dijadikan jingle hipertensi. Atau tentang remaja masjid yang membuat komik stunting berdasarkan cerita tokoh pewayangan.
Mas Yuda berkata saat peluncuran buku:
“Kami bukan pendakwah medis. Kami hanya mencoba membuat kesehatan menjadi cerita yang bisa dihafal oleh hati.”
Ferizal menambahkan dalam pidatonya:
“Promosi kesehatan bukan hanya soal perilaku. Tapi juga tentang kepercayaan. Dan kepercayaan hanya tumbuh dari cerita yang dirawat.”
Buku ini kemudian menjadi bahan ajar bagi petugas promkes se- Indonesia. Banyak puskesmas mulai membentuk Kelompok Kata Sehat, di mana tenaga kesehatan dan masyarakat menulis bersama puisi dan cerita tentang pengalaman mereka menjaga kesehatan.
Kini, di dinding ruang promosi kesehatan Puskesmas Harapan Bangsa, tergantung kutipan puisi yang ditulis Ferizal:
153
“Jika obat menyembuhkan tubuh, maka kata-kata bisa menyembuhkan bangsa.Dan promkes adalah jembatan—
antara pengetahuan dan pemahaman, antara sastra dan kehidupan.”
Petugas Promosi Kesehatan dan Cerita yang Tak Ditayangkan di TV
Di balik poster gizi seimbang, spanduk cuci tangan, dan baliho besar tentang imunisasi, ada sosok yang jarang masuk kamera:
Mbak Feni, petugas promosi kesehatan yang lebih sering membawa laptop, leaflet, dan pengeras suara ketimbang stetoskop.
Ferizal mengenalnya saat diminta menjadi narasumber kegiatan kampanye “Sehat Tanpa Rokok” di sekolah menengah. Ia kagum melihat cara Mbak Feni menyusun narasi, membuat anak-anak tertawa, dan menyelipkan edukasi lewat lagu, puisi, bahkan sandiwara.
“Saya bukan pendidik, tapi saya percaya cerita lebih ampuh dari larangan,” kata Mbak Feni sambil menunjukkan naskah drama tentang bahaya rokok.
Ferizal terdiam. Ia tahu benar kekuatan narasi. Maka mereka pun berkolaborasi. Lahirlah “Cerita di Balik Poster”, sebuah buku kecil berisi pengalaman petugas promkes dari berbagai daerah:
kampung tanpa sinyal, dusun yang menolak vaksin karena hoaks, hingga ibu-ibu posyandu yang baru belajar tentang PHBS lewat nonton bareng video pendek.
Salah satu ceritanya berjudul “Anak Kecil yang Bilang Ayahnya Bau Rokok”, tentang seorang anak yang menangis saat mengisi kuesioner sekolah karena merasa takut ayahnya mati lebih dulu.
154 Puisi Ferizal pun menjadi materi kampanye:
“Kami tidak datang membawa larangan, tapi membawa cerita—
bahwa sehat bukan tujuan akhir, tapi cara untuk mencintai lebih lama.”
Sejak itu, promkes tidak lagi dianggap sekadar pembuat brosur.
Ia adalah wajah humanis dari puskesmas. Di tiap desa yang dikunjungi, anak-anak mulai membuat poster sendiri, dan ibu- ibu menulis pantun tentang cuci tangan.
Promotor Kesehatan: Suara yang Mengetuk dari Rumah ke Rumah
Di tengah terik matahari dan jalanan berbatu, satu sosok selalu berjalan dengan semangat tak tergoyahkan: Ibu Sumarni, promotor kesehatan yang sudah lebih dari dua dekade mengetuk pintu-pintu rumah, menggendong flipchart, dan menyampaikan pesan-pesan kecil yang menyelamatkan hidup.
Ferizal mengenalnya saat ikut dalam program kunjungan rumah untuk edukasi kesehatan lingkungan. Ia kagum—karena Bu Sumarni bukan hanya hafal materi, tapi hafal nama-nama anak yang belum imunisasi, hafal dapur mana yang kekurangan ventilasi, dan hafal siapa yang sering mengeluh sakit tapi tak pernah datang ke puskesmas.
“Bu, kenapa masih keliling dengan jalan kaki?” tanya Ferizal.
Ibu Sumarni menjawab ringan, “Karena sehat tak bisa ditunggu di ruang tunggu. Sehat harus dijemput dari rumah ke rumah.”
Ferizal mulai mencatat. Ia melihat sendiri bagaimana Ibu Sumarni mendekati warga bukan dengan gaya menggurui, tapi
155 dengan cerita. Ia menyampaikan bahaya diare lewat kisah seekor semut yang tenggelam di air comberan. Ia menjelaskan pentingnya mencuci tangan lewat lagu. Ia menjelaskan stunting lewat kisah tentang pohon yang tumbuh kerdil karena tak disiram.
Dari kisah-kisah itu lahirlah buku “Cerita Kesehatan dari Pintu ke Pintu”, berisi dongeng edukatif, puisi-puisi sederhana, dan refleksi Ferizal tentang makna promosi kesehatan sebagai seni yang menyentuh akar masyarakat.
Salah satu puisi favorit di dalamnya berbunyi:
“Kami bukan selebriti kesehatan, tak punya jas putih atau gelar panjang.Tapi kami berjalan dengan kata-kata,mengetuk hati, agar tubuh ikut sadar.”
Dalam sebuah pelatihan nasional promosi kesehatan, Ibu Sumarni diundang naik ke panggung. Ia hanya tersenyum sambil berkata:
“Saya tidak pernah viral. Tapi saya tahu, satu ibu yang berhenti buang air sembarangan karena saya, berarti satu generasi bisa lebih sehat.”
Ferizal menulis pengantar buku itu dengan kalimat yang kini terpajang di pojok promosi kesehatan Puskesmas Harapan Bangsa:
“Promotor kesehatan bukan pembawa pesan—mereka adalah pesan itu sendiri. Yang mengingatkan, menguatkan, dan memeluk dengan kata-kata sederhana.”
156 Dan di belakang pintu ruang penyuluhan terpajang tulisan tangan Ibu Sumarni yang kini dipigura:
“Kalau tak sempat bicara tentang kesehatan di rumah, maka saya akan datang, karena sehat tidak bisa ditunda.”
Petugas Promosi Kesehatan dan Sastra Penyuluh Jiwa Di tengah semaraknya program Puskesmas Harapan Bangsa—
dari posyandu hingga pelatihan kader—selalu ada sosok yang bergerak lincah, berpindah dari aula ke gang sempit, dari madrasah ke lapas perempuan, membawa satu tujuan: mengajak orang sehat sebelum mereka sakit.
Namanya Mas Dika, petugas promosi kesehatan. Ia bukan dokter, bukan perawat, tapi jika ada yang bertanya siapa yang paling mengenal denyut nadi masyarakat, maka jawabannya dialah. Dengan motor tua dan pengeras suara kecil, ia hadir di tempat yang sering dilupakan: pasar pagi, warung kopi, dan pengajian warga.
“Saya ini penyuluh,” katanya pada Ferizal, “tapi juga pendongeng.
Kalau saya ceramah saja, orang bosan. Tapi kalau saya bercerita, mereka mendengarkan.”
Ferizal tertarik. Ia ikut dalam beberapa penyuluhan Mas Dika. Di satu sekolah, Dika membuka sesi dengan puisi:
“Jangan tunggu batuk jadi sesak, Jangan tunggu luka jadi nanah.
Kalau kau sayang tubuhmu, Maka kau harus tahu caranya merawatnya.”
Di perkampungan padat, ia menggunakan lagu dangdut untuk menyampaikan pesan tentang cuci tangan dan demam berdarah.
157 Di penjara wanita, ia membaca puisi tentang merawat jiwa agar tak karam di balik jeruji.
Melihat itu, Ferizal mengajak Dika menulis bersama. Lahirlah buku “Penyuluh Jiwa: Sastra untuk Masyarakat yang Tak Dibacakan.” Buku ini bukan hanya tentang isi penyuluhan, tapi tentang kisah warga yang berubah karena satu kalimat, satu pantun, satu senyuman.
Ada cerita tentang ibu rumah tangga yang selama bertahun- tahun tidak tahu cara membuang sampah dengan benar, sampai suatu hari ia mendengar Dika berkata, “Kalau kamu cinta pada anakmu, mulailah dari tidak membiarkan lalat singgah di piringnya.”
Ada juga kisah seorang remaja putri yang mulai pakai pembalut bersih setelah sebelumnya hanya menggunakan kain bekas, karena merasa haid adalah aib. Ia menulis surat kepada Dika setelah penyuluhan:
“Kak, aku kira tubuhku kotor. Tapi setelah kakak cerita, aku sadar tubuhku suci—hanya belum dijelaskan.”
Ferizal menulis pengantar dalam buku mereka:
“Promkes bukan hanya leaflet dan spanduk. Ia adalah upaya mengangkat martabat hidup, satu cerita demi cerita.”
Program “Sastra Promkes Keliling” pun diluncurkan. Mereka mengadakan pembacaan puisi di posyandu, membagikan cerpen singkat di rumah sakit jiwa, dan menyebarkan pantun kesehatan di tempat-tempat umum.
Salah satu pantun yang viral:
158
“Pergi ke pasar beli kelapa, Jangan lupa pakai masker juga.
Sehat itu bukan karena harta, Tapi karena sadar menjaga raga.”
Kini, para petugas promkes di berbagai daerah mulai belajar menulis. Ferizal dan Dika membuka kelas daring “Menulis untuk Masyarakat Sehat.” Dan di ruang promkes Puskesmas Harapan Bangsa, kini tergantung sebuah banner besar bertuliskan:
“Kami bukan hanya penyampai pesan, Tapi penjaga harapan, Yang menabur kata demi kehidupan.”