• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses administrasi negara sebagai proses politik

Dalam dokumen 7. Buku Ilmu Administrasi Negara (Halaman 77-81)

D. Pokok-pokok Administrasi Negara

6. Proses administrasi negara sebagai proses politik

Proses administrasi sebagai proses politik seperti dikemukakan oleh Dimock (1996: 40), merupakan bagian dari proses politik suatu bangsa (the administration process is an integral part of the political process of nation). Hal ini bisa dipahami karena berdasarkan perkembangan paradigma administrasi, administrasi publik berasal dari ilmu politik, yang ditujukan agar proses kegiatan kenegaraan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Suradinata, 1993: 33).

Dalam konteks politik, administrasi publik sangat berperan dalam perumusan kebijakan negara seperti dikemukakan Nigro dan Nigro (1980: 14): “Administrasi publik mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam perumusan kebijakan negara sehingga merupakan bagian dari proses politik (Public administration has an important role in the formulation of public policy and is thus part of the political process).”

Dengan demikian, administrasi publik dipandang sebagai bagian yang sama pentingnya dengan fungsi pelaksanaan kebijakan negara. Henry (1975: 3) menyatakan bahwa pada bagian yang penting di abad ke-20, birokrasi pemerintah telah menjadi ajang perumusan kebijakan negara dan penentu utama ke mana negara itu akan dituju (for the letter part of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of public policy formulation and the major determinant of where this country is going).

Adapun tentang terminologi tentang kebijakan publik, para pakar administrasi menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan terminologi public policy dengan istilah kebijakan publik dan kebijaksanaan publik. Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang mencolok sebab istilah kebijakan mengarah pada produk yang dikeluarkan oleh badan-badan publik yang bentuknya bisa berupa peraturan perundangan dan keputusan, sedangkan kebijaksanaan lebih menitikberatkan kepada fleksibilitas suatu kebijakan.

Administrasi publik mempunyai peranan yang lebih besar dan lebih banyak terlibat dalam perumusan kebijakan, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Gordon, 1982: 51). Hal tersebut memengaruhi perkembangan ilmu administrasi publik yang ruang lingkupnya mulai mencakup analisis dan perumusan kebijakan (policy analysis and formulation), pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan (policy implementation) serta pengawasan dan penilaian hasil pelaksanaan kebijakan tersebut (policy evaluation) (Kasim, 1994: 12).

Mufiz (1985: 118) menyatakan bahwa elemen pokok administrasi negara adalah setiap organ pemerintah tanpa memandang tingkatannya harus melayani urusan masyarakat.

Sejak bertahun-tahun, studi tentang public service telah banyak dilakukan, kemudian istilah birokrasi dan birokrat menjadi satu konsep dasar dalam pembahasannya. Birokrasi sebagai satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan serta untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Marx dalam Albrow (1989: 29) merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.

Lebih jauh, Blau dan Page dalam Mufiz (1985: 171) memformulasikan birokrasi sebagai sebuah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar, dengan cara mengoordinasikan secara sistematis pekerjaan banyak orang. Dengan demikian, birokrasi tidak hanya dikenal dalam organisasi pemerintah, tetapi juga pada semua organisasi besar. Oleh karena itu, birokrasi akan ditemui pada setiap bentuk organisasi yang dihasilkan oleh proses rasionalisasi, terutama organisasi pemerintah.

Melihat pola hubungan antara birokrasi dan masyarakat, Alfian dan Syamsudin (1991: 229) membedakan dua kategori orientasi tanggung jawab birokrasi, yaitu orientasi pelayanan dan orientasi pengendalian sosial. Sebagai pelayan masyarakat, birokrasi pemerintah secara profesional harus memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mampu menjamin kepuasan pihak yang dilayani. Bahkan, bila dikaji secara mendalam, status birokrasi pemerintah sebagai belahan pelayan masyarakat, keberadaannya tidak terlepas dari sistem lain yang ada di dalam suatu negara.

Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab birokrasi sebagai pelayan masyarakat sangat kuat dan kompleks. Dia harus bertanggung jawab kepada ideologi dan dasar negara, pemerintah, partai politik, hukum dan aturan-aturan kedinasan, etika dan profesi serta kepada masyarakat. Kumorotomo (1992: 135) menyatakan bentuk organisasi adaftif sebagai bentuk organisasi birokrasi pemerintah yang memiliki daya tanggap terhadap kepentingan- kepentingan masyarakat, yang ciri-ciri pokoknya adalah:

1. berorientasi pada kebutuhan para pemakai jasa;

2. bersifat kreatif dan inovatif;

3. menganggap sumber daya manusia sebagai modal tetap jangka panjang;

4. kepemimpinan yang memiliki kemampuan mempersatukan berbagai kepentingan dalam organisasi, sehingga dapat menumbuhkan sinergisme.

Oleh karena itu, aparatur pemerintah harus lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat dan tidak membeda-bedakan pelayanan antara warga negara yang satu dan warga negara

lainnya, sehingga mampu memberikan pelayanan terbaik.

Pelayanan masyarakat menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat atau orang banyak.

Thoha (1991: 41) menjelaskan bahwa pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/

sekelompok orang/institusi tertentu untuk memberikan bantuan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dan birokrasi pemerintah merupakan institusi terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan masyarakat.

Dengan demikian, pendekatan administrasi publik Indonesia berhubungan dengan peranan birokrasi pemerintahan, baik dalam tingkat pemerintah pusat maupun tingkat pemerintah daerah.

Pengaruh perilaku aparatur dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan publik akan mewarnai budaya organisasi birokrasi, yang akan berpengaruh pada tingkat kinerja birokrasi dalam sistem administrasi publik secara keseluruhan.

Pendekatan administrasi publik sangat berhubungan dengan peranan aparatur pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui aktivitas penyediaan berbagai barang publik dan aktivitas dalam pemberian pelayanan umum, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, perhubungan (transportasi), perlindungan tenaga kerja, pertanian, keamanan, dan sebagainya.

Penyelenggaraan berbagai kegiatan tersebut, pada dasarnya, termasuk dalam kegiatan administrasi publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan. Adanya kesejajaran fungsi antara politik dan administrasi dalam praktik kenegaraan, sehingga politik mempunyai hubungan yang erat dengan administrasi, telah membantah pendapat yang mendikotomikan antara politik dan administrasi sebagaimana dinyatakan oleh Goodnow (dalam Islamy, 1984: 3) bahwa pemerintah mempunyai dua fungsi yang berbeda (two distinct functions of government), yaitu fungsi politik dan fungsi administrasi.

Fungsi politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan atau perumusan pernyataan keinginan negara (has to do with policies or expressions of the state will), sedangkan fungsi administrasi adalah yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut (has to do

with the execution of these policies). Pada kenyataannya, tidak semua pakar administrasi menyetujui adanya dikotomi antara politik dan administrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Goodnow.

Berdasarkan pernyataan tersebut, peranan birokrasi pemerintah bukan hanya melaksanakan kebijakan negara, melainkan berperan pula dalam merumuskan kebijakan. Peranan kembar tersebut menggambarkan pentingnya administrasi politik dalam proses politik. Secara praktis, tugas birokrasi pemerintah Indonesia merupakan sebagian dari fungsi administrasi publik karena lebih banyak sebagai pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan-badan politik melalui mekanisme dan proses politik dalam sistem Demokrasi Pancasila yang telah kita anut.

Dalam konteks perumusan kebijakan, menurut Presthus (dalam Kristiadi, 1994: 24) administrasi publik menyangkut implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik (public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representative political bodies). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa administrasi publik bukan sekadar melaksanakan kebijakan negara, melainkan juga terlibat dalam proses perumusan kebijakan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara pencapaian tujuan negara tersebut. Dengan demikian, administrasi publik tidak hanya berkaitan dengan badan-badan eksekutif, tetapi seluruh lembaga negara dan hubungan antarlembaga tersebut. Perumusan kebijakan negara yang semula merupakan fungsi politik telah menjadi fungsi administrasi publik. Hal ini menunjukkan bahwa administrasi publik dalam tingkat operasional birokrasi pemerintah memiliki peran lebih besar, karena tidak hanya terlibat dalam tingkat implementasi kebijakan, tetapi juga dalam perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan.

Peranan administrasi publik dalam proses politik, menurut Islamy (1994: 9) telah semakin dominan, yaitu terlibat dalam proses perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan negara. Dengan kata lain, administrasi publik tidak hanya memainkan peran instrumental, tetapi juga aktif dalam peranan politik. Dengan demikian, perumusan kebijakan negara sangat penting dalam administrasi publik.

Hubungan antara kebijakan administrasi publik dan kebijakan negara, menurut Silalahi (1989: 21) dapat dilihat dari fungsi berikut.

1. Tingkat perumusan haluan negara

Tingkat menunjukkan kelembagaannya sedangkan makna perumusan adalah mencanangkan dan menetapkan lembaga yang berperan sebagai perumusan kebijakan dengan uraian hal-hal berikut:

a. mempunyai wewenang untuk menetapkan atau menentukan kebijakan (yang harus diikuti oleh pemerintah);

b. mempunyai wewenang untuk menyatakan kehendak publik dalam bentuk hukum;

c. secara penuh memegang political autority;

2. Tingkat pelaksanaan haluan negara, dalam pengertian administrasi negara sering disebut tingkat administrasi.

Dengan demikian, ada hubungan antara kebijakan negara dan administrasi publik serta keduanya dengan politik karena setiap kehendak politik dapat mendesak masuk dalam kebijakan negara yang digariskan; sedangkan tingkat pelaksanaan kebijakan, yaitu birokrasi sebagai bagian administrasi publik juga dapat mendesakkan aspirasinya dalam penyusunan kebijakan negara.

Tidak dapat disangkal, perkembangan administrasi sebagai ilmu berkaitan dengan Revolusi Industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18 dan kemudian menjalar ke Eropa. Akan tetapi, efisiensi sebagai salah satu revolusi tidak segera memasuki dunia politik dan primordial. Hal ini dapat dimaklumi karena negara-negara Eropa memiliki sumber-sumber yang hampir tidak terbatas di Asia dan Afrika. Akan tetapi, menjelang abad ke-20, di samping pesatnya pertumbuhan penduduk, kemerdekaan mulai timbul di mana- mana. Hal ini menggelisahkan negara penjajah dan tatkala pergolakan politik tercetus di berbagai kota, sumber-sumber di tanah seberang pun terancam. Berbagai perbaikan dalam tata pemerintahan diperlukan, dan ini yang mengundang penerapan asas efisiensi di bidang kenegaraan. Ilmu administrasi negara pun lahirlah.

Dalam buku Politics and Administration (1900), Frank J. Goodnow mengungkapkan bahwa ada dua jenis fungsi pemerintah, yaitu

politics yang berkaitan dengan kebijaksanaan atau pernyataan kehendak negara/pemerintah, dan administration yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Dalam Public Administration and Public Affairs (1975), Nicholas Henry menguraikan perkembangan konsep administrasi negara sejak 1900 sampai awal dekade 70-an. Menurut Henry, di sana orang telah tiba pada kesimpulan bahwa public administration (as) neither administrative science nor political science. Jadi, administrasi negara dipandang mandiri (setidaknya menurut kesepakatan) sebagai disiplin ilmu. Henry menamakan tahap perkembangan ini sebagai paradigma kelima. Oleh karena itu, administrasi negara baru yang dicetuskan pada awal tahun 70-an dapat disebut paradigma keenam. Administrasi negara baru menaruh perhatian besar pada perubahan sosial, nilai dan kebijaksanaan publik. Mazhab ini merupakan reaksi dan solusi atas conflictive society di Amerika pada tahun 60-an. ldeologi administrasi negara baru berintikan moralitas administratif dan kesempatan yang sama (administrative morality and equal opportunity). Dalam buku Public Administration Values, Policy, dan Change (1977), Robert H. Simmons dan Eugene P.

Dvorin mengungkapkan konsep public management sebagai linkage antara administrasi negara dengan manajemen. Pada gilirannya, linkage ini dijadikan sasaran kajian baru, dan melahirkan state management. Inilah paradigma ketujuh. Menurut pandangan state management, negara dapat diibaratkan sebagai sebuah badan usaha, agar segenap upaya untuk mencapai tujuan negara berjalan efisien dan efektif, harus menerapkan ilmu dan seni manajemen. Rakyat dipandang sebagai pemegang saham, lembaga perwakilan rakyat sebagai dewan komisaris, dan presiden sebagai top manager.

Pandangan di atas untuk dunia maju digambarkan oleh William Ouchi dalam The M-Form Society (1984). Di sana, Ouchl menggambarkan masyarakat ideal sebagai sistem yang terdiri atas tiga elemen dasar, yaitu kerja sama yang erat antarasosiasi bisnis, organisasi pemerintahan yang responsif, dan partisipasi aktif bank dalam kehidupan usaha.

Bagaimana halnya di Indonesia? Jika administrasi dipandang sebagai fungsi atau profesi, administrasi telah lama dikenal dan dipraktikkan di dalam masyarakat Indonesia. Dalam organisasi

formal dikenal administrasi dalam arti sempit, yaitu suatu fungsi yang kini disebut ketatausahaan atau administrasi dalam arti sempit (administratie). Adapun perkembangan administrasi negara di Indonesia dapat dibaca dalam berbagai sumber, atara lain Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan (1978, Bab XII), dan makalah-makalah yang disajikan oleh F.X. Soedjadi Jatnodiprodjo, dan Rusli Ramli, berjudul Perkembangan dan Penerapan Ilmu Administrasi Negara di Indonesia, dalam Temu Kaji Posisi dan Peran Ilmu Administrasi dan Manajemen dalam Pembangunan di Jakarta tanggal 28-30 Januari 1988.

Didorong oleh kepentingan yang mendesak pada masa itu, administrasi yang berkembang mula-mula di Indonesia adalah administrasi negara yang lambat laun mengambil bentuk dalam arti luas. Sebagai disiplin, administrasi negara dipelajari dalam dua pendekatan. Perguruan tinggi swasta pada umumnya menempatkan jurusan administrasi negara di dalam fakultas ilmu administrasi (FIA) sebagai peningkatan fakultas ketatanegaraan dan ketataniagaan (FKK) dahulu, sedangkan perguruan tinggi negeri biasanya menempatkan jurusan itu di dalam fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP). Dilihat dari segi kesejarahan, hal itu bisa diartikan, ilmu administrasi negara di Indonesia masih berada pada tahap perkembangan tahun 50-an di negara maju.

Politik, pemerintahan, dan administrasi negara, Miriam Budiardjo dan Maswadi Rauf dalam artikel Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia: Dimensi Pendidikan dan Pengajaran (dalam Alfian dan Hidayat Mukmin, eds., Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia serta Peranannya dalam Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, 1985: 7) berpendapat bahwa ilmu politik di Indonesia meliputi tiga bidang, yaitu:

1. politik Indonesia;

2. hubungan internasional;

3. ilmu pemerintahan.

Di lingkungan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik dan fakultas ilmu administrasi saat ini terdapat jurusan ilmu administrasi negara, di samping jurusan ilmu pemerintahan di lingkungan fakultas yang disebut terdahulu. Timbul pertanyaan, adakah hubungan, jika ada, hubungan apakah yang terdapat antara ketiga subjek tersebut pada pokok bahasan ini?

II

C I

B A

IV

III

Masukan (input) bagi proses politik adalah berbagai kepentingan (interests) dan keluarannya (output) adalah aturan (rule). Keluaran proses politik menjadi masukan bagi proses pemerintahan. Pemerintah berwenang menetapkan kepentingan yang dapat diurus sendiri oleh warga negara, dan kepentingan yang merupakan kepentingan kolektif (umum) sehingga harus diurus oleh pemerintah. Ketetapan itu disebut kebijakan umum, kebijakan pemerintah, atau kebijakan publik (public policy). Inilah keluaran proses pemerintahan. Public policy merupakan masukan bagi proses administrasi negara. Keluaran proses administrasi negara adalah layanan (services). Layanan inilah yang langsung dinikmati oleh rakyat. Evaluasi layanan yang dilakukan oleh rakyat merupakan masukan-balik (feedback) bagi proses politik.

Administrasi negara sebagai fungsi kenegaraan di Indonesia terhitung maju. UUD 1945 merupakan landasan struktural yang sangat kuat bagi presiden/kepala negara. Hal itu terutama tercantum pada Pasal 4 dan 5. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, di dalam praktik kenegaraan, Presiden memegang peranan besar atas proses pembuatan rancangan produk-produk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dalam berbagai hal, baik dahulu maupun sekarang, administrasi negara Indonesia mengalami pasang surut yang cukup berbobot untuk dibicarakan.

I = proses politik

II = proses pemerintahan III = proses administrasi negara

IV = siklus proses kenegaraan; proses feedback A = aturan

B = public policy C = layanan

Ketika administrasi negara memasuki Indonesia pada awal dekade 50-an, kondisi masyarakat menjadi lebih lemah di segala bidang. Dalam dekade 50-an tercatat bangun jatuhnya kabinet hampir setiap tahun. Persatuan dan kesatuan bangsa terancam oleh berbagai isu kedaerahan dan pergolakan politik. Seperti diuraikan oleh Sondang P. Siagian dalam Ham-Been Lee dan A. G.

Samonte, Administrative Reform in Asia (1970), penyelenggaraan negara pada masa itu jauh dari prinsip-prinsip efisiensi. Oleh karena itu, tatkala rezim Orde Baru muncul pada tahun 1965, pusat perhatian administratifnya, antara lain berupaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dan kontrol nasional atas segenap sumber pembangunan. Untuk mencapai sasaran itu, diperlukan pemerintah pusat yang kuat dan berwibawa, yang berani mengambil prakarsa untuk memelopori pembangunan di segala bidang. Hal ini sesuai pula dengan jiwa UUD 1945 bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President).

Dalam dokumen 7. Buku Ilmu Administrasi Negara (Halaman 77-81)