158
“Pergi ke pasar beli kelapa, Jangan lupa pakai masker juga.
Sehat itu bukan karena harta, Tapi karena sadar menjaga raga.”
Kini, para petugas promkes di berbagai daerah mulai belajar menulis. Ferizal dan Dika membuka kelas daring “Menulis untuk Masyarakat Sehat.” Dan di ruang promkes Puskesmas Harapan Bangsa, kini tergantung sebuah banner besar bertuliskan:
“Kami bukan hanya penyampai pesan, Tapi penjaga harapan, Yang menabur kata demi kehidupan.”
159 kemiskinan, dan sebaliknya. Kami tidak hanya membawa alat tes air, tapi juga membawa harapan.”
Kunjungan demi kunjungan membuka mata Ferizal. Ia melihat air sumur yang keruh dipakai untuk memasak. Ia mencium udara rumah padat penduduk yang penuh asap rokok dan minyak jelantah. Ia mendengar cerita tentang anak-anak yang bermain di tempat pembuangan sampah karena tak punya taman.
Di malam hari, ia menuliskannya dalam puisi:
“Air ini tak lagi jernih,tapi masih dipakai untuk mencuci luka.
Udara ini tak lagi wangi,tapi tetap dihirup dengan doa.
Dan engkau, sanitarian, berjalan tanpa panggung, tapi langkahmu menyelamatkan masa depan.”
Ferizal lalu mengajak Pak Ridwan dan para sanitarian lain menulis bersama. Awalnya mereka menolak. “Kami ini bukan penulis, Pak Ferizal,” kata salah satunya.
Tapi Ferizal menjawab, “Kalian hanya belum menuliskannya.
Padahal, kisah kalian adalah puisi yang belum tertulis.”
Dengan semangat itu, mereka menyusun buku “Air yang Mengandung Doa”, kumpulan puisi dan cerita pendek tentang perjuangan sanitasi, pengelolaan limbah, kebersihan jamban, dan kualitas udara.
Salah satu cerita paling menyentuh adalah “Jamban untuk Ibu”, kisah nyata seorang anak yang membuatkan WC untuk ibunya yang sudah tua, setelah mendengar penyuluhan dari Pak Ridwan.
Ada juga puisi berjudul “Sungai yang Pernah Suci”:
160
“Kami pernah bermain di tepinya, menangkap ikan kecil dan menyanyi. Tapi kini sungai itu menangis, membawa popok, darah, dan plastik. Lalu kalian tanya kenapa kami sakit? Karena kami lupa mendengarkan sungai.”
Buku itu tak hanya menjadi bacaan, tapi juga alat kampanye yang hidup. Dibagikan dalam acara sanitasi lingkungan, lomba posyandu bersih, hingga pelatihan desa sehat. Kata-kata yang lahir dari lapangan kini kembali ke lapangan, menjadi senjata baru yang menggugah, bukan menggertak.
Ferizal berkata dalam salah satu forum promosi kesehatan:
“Sanitarian adalah penyair lingkungan. Mereka tak hanya menguji air, tapi juga menyuarakan luka bumi. Mereka tak sekadar mencatat angka, tapi merekam napas yang merintih dalam sunyi. Kini saatnya suara mereka dibaca, didengar, dan diabadikan.”
Sejak saat itu, para sanitarian mulai percaya bahwa pekerjaan mereka bukan cuma teknis. Tapi juga bernilai sastra, karena mereka menjaga kehidupan—dari bawah tanah, dari balik aroma got, dari udara yang tak terlihat.
Dan di sebuah mural besar di dinding Puskesmas yang dibuat oleh warga, tertulis kutipan puisi Ferizal yang kini menjadi semboyan mereka:
“Kesehatan bukan hanya tubuh yang sembuh, Tapi juga bumi yang teduh dan air yang jujur.”
Beberapa bulan setelah buku Air yang Mengandung Doa diterbitkan, terjadi sesuatu yang tak disangka. Seorang kepala desa dari wilayah pesisir datang langsung ke Puskesmas
161 Harapan Bangsa, membawa dua lembar kertas yang sudah lusuh.
Di sana tertulis puisi dan cerita dari buku itu, digarisbawahi dengan tinta biru.
“Pak Ferizal, saya bukan orang buku. Tapi tulisan ini... mengubah cara saya melihat desa saya sendiri,” ucapnya. “Kami ingin buat program Mendengar Suara Tanah. Bolehkah kami pakai buku ini sebagai panduan?”
Ferizal menatap Pak Ridwan yang berdiri di sebelahnya. Lelaki itu hanya mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca.
Hari-hari selanjutnya, desa-desa mulai mengadakan Malam Lingkungan dan Puisi. Di balai desa yang biasanya hanya dipakai rapat RT atau hajatan, anak-anak membaca puisi tentang sungai, udara, dan jamban sehat. Para sanitarian kini tak lagi berbicara dengan slide dan pointer, tapi membacakan cerita nyata yang membuat pendengar mengangguk dan kadang menangis.
Salah satu kisah yang selalu diminta dibacakan ulang adalah "Got Kering, Hati Basah", tentang seorang sanitarian muda yang menemukan seorang nenek tinggal sendiri tanpa WC. Si sanitarian lalu diam-diam menggalang dana untuk membuatkan jamban. Tapi ketika ia kembali ke sana sebulan kemudian, sang nenek sudah meninggal.
“Aku tak sempat menyelamatkan hidupnya, Tapi mungkin sempat menyelamatkan rasa malunya.”
Puisi itu disambut isak tertahan. Seorang ibu berdiri dan berkata,
“Selama ini kami pikir got hanya urusan tukang gali. Tapi sekarang kami sadar, got adalah urusan martabat manusia.”
162 Di puskesmas, mural besar yang sebelumnya polos mulai berubah. Ferizal bekerja sama dengan pelukis lokal dan para remaja desa untuk membuat Tembok Kesehatan Lingkungan.
Di sana digambarkan wajah-wajah petugas sanitarian, gambar aliran sungai, udara penuh bintang, dan halaman-halaman puisi yang menjadi ornamen visual.
Salah satu puisi terbaru Ferizal tertulis di sisi kiri tembok itu:
“Engkau datang bukan untuk dipuji, Tapi untuk menakar kadar klorin dan hati. Di selokan yang sunyi, Engkau menanam cinta Agar air tak lagi membawa nestapa.”
Bagi Ferizal, pertemuannya dengan dunia sanitasi adalah momen pencerahan. Ia menulis dalam jurnal pribadinya:
“Kita terlalu sering memuja dokter di meja operasi, dan lupa menghormati yang mencegah penyakit bahkan sebelum ia tumbuh. Padahal tangan-tangan itu—tangan sanitarian—
menyelamatkan lebih banyak nyawa dengan menjaga air tetap jernih dan udara tetap jujur.”
Bersama Pak Ridwan dan tim, Ferizal menginisiasi gerakan baru:
“Sastra Hijau: Menulis untuk Lingkungan Sehat”. Bukan hanya sanitarian yang terlibat, tapi juga guru, pelajar, penyuluh, dan tokoh adat.
Tujuannya sederhana: agar kampanye lingkungan tak hanya berhenti di baliho dan brosur, tapi hidup di hati warga lewat cerita dan puisi.
163 Salah satu anak SD menulis puisi dalam lomba itu yang kemudian viral:
“Aku dulu buang sampah di sungai Tapi sungainya bilang ‘sakit’
ke telingaku Sekarang aku buang sampah di tempatnya supaya sungai bisa bernyanyi lagi.”
Pak Ridwan, yang biasanya tegar, meneteskan air mata saat membacakannya. “Ferizal,” katanya pelan, “kalau aku pensiun nanti, aku tahu tugasku sudah selesai... karena anak-anak sudah mulai mendengarkan bumi.”
Ferizal menepuk bahunya. “Dan kita, Pak, sudah menuliskan suara-suara itu. Agar tak hilang. Agar dikenang.”
Malam itu, di ruang kosong puskesmas yang senyap, hanya ditemani lampu meja dan angin dari ventilasi, Ferizal menulis satu puisi terakhir untuk buku mereka selanjutnya:
“Air, udara, tanah— adalah puisi yang ditulis Tuhan.
Dan tugas kita adalah membaca, menjaganya tetap bersih, agar anak-anak kelak masih bisa mengucapkan kata 'sehat' tanpa ironi.”
Sanitarian dan Lirik di Balik Septic Tank
Pekerjaan sanitarian sering dianggap pekerjaan teknis, penuh bau, lumpur, dan angka standar. Tapi bagi Ferizal, setelah berkenalan dengan Pak Jaka—sanitarian legendaris di Puskesmas Harapan Bangsa—semua itu berubah. Ia melihat:
sanitasi bukan sekadar urusan limbah, tapi persoalan martabat manusia.
164
“Sanitasi itu soal keadilan,” kata Pak Jaka sambil menyeka keringat setelah memeriksa saluran pembuangan rumah warga.
“Orang yang kaya bisa beli air bersih, septic tank, sabun, dan ventilasi. Tapi yang miskin? Mereka sakit bukan karena tak tahu, tapi karena tak punya pilihan.”
Kalimat itu membuat Ferizal diam. Dunia sanitasi tiba-tiba menjadi puisi yang kasar tapi jujur. Ia menulis:
“Kami tidak bicara estetika, tapi tentang selokan yang tak mengalir, kamar mandi yang tak layak, dan dinding rumah yang tak punya cahaya. Kami tak pakai jas putih, tapi kami mengangkat manusia keluar dari bau.”
Bersama Pak Jaka, Ferizal mulai turun ke lapangan. Mereka menulis kisah-kisah sederhana yang sebelumnya luput dari kamera promosi kesehatan: keluarga yang tidur di dekat kandang ayam, anak-anak yang bermain di dekat pembuangan limbah, dan ibu-ibu yang tak tahu bahwa air yang diminum berasal dari sumur yang terkontaminasi.
Dari situ lahir buku berjudul “Limbah dan Lirih: Cerita Sanitasi yang Terlupakan”—berisi cerita pendek dan puisi tentang kebersihan, air, cahaya, dan keadilan lingkungan.
Salah satu kisah paling menggetarkan berjudul “Jamban yang Ditukar dengan Martabat”. Tentang seorang ibu yang baru bisa buang air di jamban tertutup setelah berusia 53 tahun. Di akhir kisah, ia berkata, “Rasanya baru hari itu aku benar-benar merasa jadi manusia.”
Ada juga puisi favorit kader posyandu berjudul “Sajak Septic Tank”:
165
“Kau tertutup dan terendap, tapi tanpamu kami tenggelam dalam bau. Terima kasih, lubang sunyi— karena dari kegelapanmu, kami bisa hidup lebih sehat.”
Buku ini kemudian dibagikan dalam pelatihan-pelatihan sanitasi lingkungan. Banyak sanitarian dari pelosok negeri menulis surat kepada Ferizal dan Pak Jaka. Salah satu tulisannya berbunyi:
“Akhirnya, kami tidak hanya dikenal sebagai petugas septik.
Kami disebut penyair drainase. Dan bagi kami, itu adalah kehormatan yang tak ternilai.”
Pak Jaka tersenyum saat membacanya, lalu berkata pelan, “Kita tak pernah diberi ruang bicara. Tapi sastra membuat kami tidak lagi bisu.”
Ferizal menulis di bagian penutup buku mereka:
“Sanitasi bukan hanya soal infrastruktur. Ia adalah puisi kasar yang melindungi kehidupan. Dan para sanitarian— adalah penulisnya yang paling jujur,karena mereka menyentuh realitas yang paling dekat dengan akar.”
Kini, di ruang sanitasi Puskesmas Harapan Bangsa, berdiri rak kecil berisi buku dan puisi. Dan di depan tempat cuci tangan, tertempel puisi karya Ferizal:
“Air yang bersih bukan hanya hak, tapi juga puisi—
karena setiap tetesnya adalah nyawa yang dijaga dengan cinta.”
Di sela bau limbah dan suara gemercik air got yang mengalir, ada sosok yang tetap berdiri gagah—bukan di ruang bersih ber-AC, tapi di lapangan yang penuh lumpur, tumpukan sampah, dan
166 kamar mandi reyot. Namanya Pak Hendra, sanitarian Puskesmas Harapan Bangsa.
Ferizal pertama kali bertemu Pak Hendra saat diminta membantu kegiatan inspeksi jamban di daerah padat penduduk.
Awalnya ia ragu—sebagai dokter gigi dan penulis, ia tak biasa menyusuri gang sempit dan menyalakan senter ke dalam lubang septic tank. Tapi semuanya berubah ketika ia melihat cara Pak Hendra memperlakukan warga.
“Sanitasi bukan cuma soal air bersih atau jamban sehat,” kata Pak Hendra sambil mengusap peluh. “Ini soal martabat. Tak ada harga diri kalau kita masih buang air di sungai.”
Ferizal terdiam. Kalimat itu menusuk lebih dalam dari syair manapun.
Ia pun mulai mengikuti kegiatan lapangan: survei air bersih, edukasi stop buang air sembarangan, pengelolaan sampah rumah tangga, inspeksi depot isi ulang, bahkan membantu memasang stiker “Jamban Sehat Milik Kita”.
Setiap tempat yang dikunjungi menyimpan kisah. Dan Ferizal mulai menulisnya.
“Di balik bau septic tank, tersimpan puisi kemiskinan.
Tapi juga harapan. Bahwa suatu hari, anak-anak tak lagi bermain di sungai yang jadi jamban.”
Bersama Pak Hendra, ia menyusun buku: “Puisi Septic Tank:
Cerita dari Balik Limbah”—kumpulan kisah nyata dan puisi tentang sanitasi, air bersih, dan perjuangan kecil yang berdampak besar.
167 Salah satu kisah berjudul “Anak yang Mandi dengan Air Comberan”—tentang bocah yang selalu sakit kulit, tapi saat ditelusuri, ternyata keluarganya tak punya air bersih. Air yang mereka gunakan berasal dari genangan di samping rumah.
Cerita lain berjudul “Pipa yang Terputus, Harga yang Terbayar”, tentang warga desa yang menolak program sanitasi karena takut dibebani biaya, hingga akhirnya satu keluarga terkena diare parah dan merelakan sawahnya untuk pembangunan WC umum.
Pak Hendra menulis puisi yang kemudian dibacakan dalam seminar sanitasi tingkat provinsi:
“Kami tak menyuntik, tapi kami mencegah anakmu terbaring.
Kami tak pakai jas putih, tapi kami menjaga agar air tak membawa kematian.”
“Sanitarian. Profesi tanpa panggung, tapi memegang pondasi dari seluruh hidup sehat.”
Ferizal menambahkan dalam kata pengantar:
“Jika sastra bisa menyejukkan hati, maka sanitarian adalah pujangga lapangan— yang menulis puisi lewat got yang mengalir, dan septic tank yang tak lagi meluap.”
Kini, di samping ruang sanitasi Puskesmas Harapan Bangsa, terpajang mural bergambar air bersih mengalir ke tangan anak kecil. Di bawahnya, tertulis kutipan dari Ferizal:
“Sehat bukan dimulai dari rumah sakit. Tapi dari jamban yang tidak lagi malu untuk dipakai.”
168 Sanitarian dan Puisi dari Air yang Keruh
Ferizal pertama kali ikut turun ke lapangan bersama Bang Dimas, sanitarian tangguh berjaket lusuh dan helm proyek, saat mereka memeriksa kondisi jamban warga di bantaran sungai.
Panas terik, aroma tak sedap, dan jalan licin tak menghentikan langkah Bang Dimas.
“Sanitarian itu kayak pujangga jalanan,” kata Dimas sambil menimbang kadar klorin di air sumur. “Kami baca kehidupan dari got, dari septic tank, dari tumpukan sampah. Karena di sanalah masa depan kesehatan disembunyikan.”
Ferizal tertegun. Selama ini ia hanya mengenal sanitasi dari modul kuliah. Tapi bersama Dimas, ia melihat dunia yang nyata—bahwa kesehatan tak lahir di ruang konsultasi, tapi di rumah-rumah yang bersih, air yang jernih, dan udara yang tak tercemar.
Sore itu, saat mereka istirahat di posko sanitasi lingkungan, Dimas membuka buku catatan kecil yang usang. Di dalamnya ada puisi-puisi yang ia tulis sejak dulu.
Salah satunya berbunyi:
“Kami menyentuh lumpur, bukan karena kotor, tapi karena di sanalah penyakit bersembunyi. Kami menghitung nyamuk, bukan untuk membenci, tapi untuk menyelamatkan bayi yang belum sempat berbicara.”
Ferizal langsung mengusulkan: mari kita bukukan ini. Maka lahirlah karya bersama mereka: “Sajak dari Septic Tank”, kisah- kisah dan puisi dari para sanitarian yang selama ini berjibaku menjaga peradaban tetap bersih.
169 Di dalamnya ada cerita “Tinja yang Menyelamatkan”, tentang seorang anak yang sakit berulang karena jamban terapung.
Lewat upaya Dimas dan tim, keluarga itu berhasil dibantu membangun sanitasi layak, dan sang anak tak lagi bolak-balik puskesmas.
Ada juga “Rumah di Atas Sungai Bau”, tentang ibu hamil yang tetap tinggal di lingkungan kumuh karena tak punya pilihan, hingga kemudian dibantu program jamban sehat.
Puisi Ferizal di halaman awal berbunyi:
“Kesehatan tak hanya ada di meja dokter, tapi juga di aliran air yang tak tercemar, di tanah yang tidak menjadi kuburan tinja, di udara yang bisa kita hirup tanpa takut batuk.”
Buku itu jadi tonggak baru. Kini pelatihan sanitasi tak hanya bicara IPAL dan PHBS, tapi juga literasi rasa. Karena sanitasi bukan hanya urusan teknis, tapi persoalan martabat.
Dalam peluncuran buku, Dimas berdiri di depan mikrofon dan berkata:
“Kami bukan penyuluh biasa. Kami pelindung peradaban. Saat kami bicara soal air, kami bicara tentang masa depan anak-anak negeri ini.”
Ferizal menambahkan:
“Jika sastra bisa menyentuh hati, maka biarlah ia juga membasuh air yang keruh, dan mengangkat wibawa profesi yang selama ini bekerja dalam sunyi.”
170 Kini, setiap laporan inspeksi sanitasi lingkungan Puskesmas Harapan Bangsa memuat kutipan kecil dari buku itu. Dan di pintu ruang sanitasi, tertulis puisi pendek:
“Kami tak menyapu lantai rumahmu, tapi kami menjaga agar air tak membawa luka. Kami tak menuliskan diagnosis, tapi kami menulis pencegahan dengan langkah-langkah kecil di tanah basah.”
Ferizal pernah mengira kesehatan hanya berpusat pada tubuh manusia. Tapi anggapannya berubah saat ia turun ke lapangan bersama Mas Hendra, sanitarian yang sejak muda bertugas mengecek kualitas air, saluran pembuangan, dan septic tank warga.
“Orang pikir kami cuma tukang periksa jamban,” kata Hendra sambil menyusuri parit di belakang permukiman padat. “Padahal kami menjaga agar penyakit tak pernah sempat lahir.”
Pagi itu, mereka meninjau tempat pembuangan sampah yang dikeluhkan warga. Ferizal melihat Hendra membuka sarung tangan karet, menunduk, dan mengambil sampel air yang berbau. Wajahnya serius, seperti seorang detektif lingkungan.
“Air kotor itu seperti sajak yang salah dibaca,” kata Hendra tiba- tiba. “Kita harus belajar mengejanya kembali, sebelum anak-anak jadi sasarannya.”
Kata-kata itu menusuk batin Ferizal. Ia menulis puisi saat menunggu hasil uji laboratorium:
“Kami menjaga bukan dari dalam ruang, tapi dari parit yang jarang dilirik. Kami bukan penyair, tapi tahu betul:
bau limbah bisa jadi narasi kematian yang sunyi.”
171 Ferizal dan Hendra lalu menulis bersama buku “Puisi dari Saluran Air: Cerita Sunyi Penjaga Lingkungan Sehat”. Buku itu memuat kisah-kisah lapangan tentang kolera, DBD, keracunan air, hingga kesadaran buang sampah yang tak kunjung tumbuh.
Salah satu cerita berjudul “Toilet untuk Satu Desa”, tentang perjuangan Hendra dan warga membangun jamban sehat di daerah pesisir yang selama puluhan tahun mengandalkan laut sebagai toilet.
Puisi favorit dalam buku itu berbunyi:
“Kami tak punya stetoskop, hanya ember dan alat uji.
Tapi jika air jernih kembali, kami tahu—itu detak jantung masyarakat yang mulai pulih.”
Buku itu dibagikan pada sekolah-sekolah dan dijadikan bahan kampanye sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). Banyak anak mulai menulis puisi tentang air bersih, tentang sungai, dan tentang rumah tanpa bau.
Dalam satu pelatihan, Hendra berbicara dengan nada rendah namun menyentuh:
“Kami bukan di depan layar, bukan di atas panggung.
Tapi jika drainase baik, udara bersih, dan air tak lagi jadi musuh— kami tahu kami telah berpuisi dengan cara kami sendiri.”
Ferizal menutup bab buku itu dengan kutipan:
“Sanitasi bukan hanya urusan kebersihan.Ia adalah puisi infrastruktur. Dan sanitarian, adalah penyair yang menulis lewat bau, suara aliran, dan mata air.”
172 Kini, di tembok luar toilet umum puskesmas Harapan Bangsa, tertulis kutipan Ferizal dalam huruf besar:
“Jamban yang sehat adalah puisi diam untuk martabat manusia.”
Suatu pagi yang panas, Ferizal ikut serta dalam inspeksi sanitasi lingkungan bersama Pak Darwis, seorang sanitarian senior yang lebih banyak bicara dengan tindakan daripada kata-kata. Mereka menelusuri gang sempit, menyusuri pemukiman padat, memeriksa septic tank, air sumur, dan saluran pembuangan yang tersumbat.
“Pak, mengapa Bapak tetap semangat keliling kampung seperti ini setiap hari?” tanya Ferizal sambil mengelap keringat.
Pak Darwis tersenyum tanpa banyak bicara, lalu menunjuk ke selokan yang menghitam. “Karena penyakit tak pernah datang dari buku, tapi dari genangan air dan sisa kotoran yang tak pernah dilihat orang.”
Ferizal terdiam. Ia menyadari bahwa pekerjaan ini sangat penting, tapi jarang sekali dihargai.
Malam itu, Ferizal menulis puisi:
“Kami menjaga bukan ruang operasi, tapi selokan yang bau dan mengendap. Bukan untuk jadi pahlawan, tapi agar tak ada lagi anak yang demam karena air minum yang salah.”
Bersama Pak Darwis dan beberapa sanitarian dari puskesmas lain, Ferizal mulai menyusun buku “Luka dari Saluran Air”—
kumpulan kisah tentang upaya sunyi menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.
173 Salah satu cerita paling menyayat adalah “Sumur untuk Siti”, tentang keluarga miskin yang minum dari sumur tercemar. Sang anak sakit berulang, hingga akhirnya tim sanitarian menggali sumur baru secara gotong-royong, tanpa publikasi, tanpa plakat.
Ada pula cerita “Lalat di Dapur Ibu”, yang menggambarkan bagaimana edukasi sanitasi sederhana membuat perubahan besar dalam kasus diare anak-anak.
Dalam sebuah seminar lingkungan kesehatan, Ferizal membacakan puisi Pak Darwis:
“Kami tidak memakai stetoskop, tapi kami dengar tangisan dari air keruh. Kami tak menulis resep, tapi kami membersihkan tempat penyakit berasal.”
Sejak buku itu terbit, banyak sanitarian di berbagai daerah mulai menulis pengalaman mereka. Gerakan “Sastra Lingkungan Sehat” pun lahir—bukan sekadar kampanye, tapi gerakan kesadaran melalui kisah nyata dan puisi.
Puskesmas Harapan Bangsa kini punya satu dinding khusus bernama “Galeri Air dan Udara”, tempat dipajang foto kegiatan sanitarian, kutipan puisi, dan cerita pendek tentang sanitasi lingkungan.
Ferizal menulis pengantar buku mereka:
“Kesehatan tak dimulai dari ruang praktik. Ia dimulai dari tanah yang tidak tercemar, air yang tidak beracun, dan udara yang tidak dibayar dengan paru-paru kita. Dan sanitarian, adalah penjaga hidup yang tak banyak bicara, tapi selalu bekerja.”
174 Ferizal pertama kali menyadari pentingnya profesi sanitarian saat ada kejadian luar biasa diare di salah satu kelurahan binaan.
Puluhan anak terserang. Puskesmas sibuk, ruang UGD penuh.
Tapi yang paling sibuk justru seorang lelaki pendiam yang membawa botol kecil, termometer, dan selembar peta klorinasi.
Namanya Pak Danu, sanitarian senior. Tak banyak bicara, tapi tangannya cekatan mengambil sampel air, mengukur kadar klorin, dan mendata rumah tangga dengan jamban tak layak.
“Sakit itu seringkali bukan dari tubuh,” kata Pak Danu suatu sore saat mereka duduk di tanggul sungai. “Tapi dari tanah yang tak bersih, air yang tak layak, udara yang tak jujur.”
Ferizal tertegun. Ia menatap aliran sungai yang keruh, lalu membayangkan anak-anak yang bermain tanpa tahu bahayanya.
Di malam itu, ia menulis puisi:
“Air itu menyimpan kisah, bukan hanya dari mana ia datang, tapi kepada siapa ia membawa penyakit. Dan kau, Sanitarian, adalah penjaga sunyi dari sumber kehidupan.”
Bersama Pak Danu dan tim sanitarian lainnya, Ferizal menyusun buku “Puisi dari Saluran Limbah: Cerita Kesehatan yang Mengalir Diam-Diam”. Di dalamnya bukan hanya data sanitasi, tapi juga kisah-kisah nyata:
– Tentang desa yang menolak jamban karena dianggap “melawan leluhur,” hingga ada anak meninggal karena cacingan.
– Tentang ibu yang menolak merebus air karena “air galon lebih murah daripada kayu bakar.”