• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tukang Bersih-bersih Puskesmas, Satpam, Petugas Laundry dan Sopir Ambulans

Tukang Bersih-bersih Puskesmas dan Doa yang Mengalir di Lantai

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar muncul, suara pel lantai sudah terdengar di koridor Puskesmas Harapan Bangsa. Di balik suara itu, ada sosok bernama Pak Giman, petugas kebersihan berusia enam puluh dua tahun, yang berjalan perlahan tapi pasti, membawa ember, sapu, dan doa yang tak bersuara.

Ferizal sering tiba pagi-pagi untuk menulis. Ia kerap melihat Pak Giman lebih dulu tiba dibanding dokter. Tak pernah mengeluh, meski lututnya sering nyeri, dan tangannya kapalan oleh deterjen.

“Kenapa masih kerja, Pak? Sudah cukup usia,” tanya Ferizal suatu hari.

Pak Giman tersenyum sambil memeras pel. “Karena saya percaya, lantai yang bersih adalah permulaan dari kesembuhan.

Kalau tempat sakit saja kotor, bagaimana harapan mau tumbuh?”

Kalimat itu menggugah Ferizal. Ia mulai duduk bersama Pak Giman saat istirahat. Dari sanalah ia tahu, bahwa Pak Giman dulunya buruh tani. Ia tak sempat sekolah tinggi, tapi paham bahwa membersihkan tempat orang sakit adalah ibadah tersembunyi.

69 Ferizal menulis puisi:

“Lantai ini diseka bukan hanya dari debu, tapi dari lelah yang tak sempat ditangisi.

Setiap sapuan pel adalah zikir,

agar pasien bisa bangun di pagi yang bersih.”

Bersama Pak Giman, Ferizal menyusun buku mini: “Lantai Sunyi dan Kisah yang Tak Disadari”. Isinya adalah refleksi dan catatan dari pekerja kebersihan di fasilitas kesehatan: tentang darah yang dibersihkan dalam diam, tentang ruangan yang harus tetap wangi meski baru saja ada pasien meninggal, tentang tangisan yang terdengar dari kamar mandi staf malam.

Buku itu mengejutkan banyak orang. Karena di dalamnya, suara- suara yang selama ini tenggelam akhirnya terdengar.

Ferizal menulis di pengantar:

“Kesehatan tidak hanya dijaga oleh ilmu, tapi juga oleh ketekunan dan ketulusan. Dan Pak Giman, dengan pelnya, menjaga martabat ruang agar manusia bisa pulih dengan tenang.”

Kini, di tiap koridor Puskesmas Harapan Bangsa, ada tanda kecil bertuliskan:

“Tempat ini dibersihkan bukan hanya dari kotoran, tapi dari ketidaktahuan kita tentang siapa yang sungguh- sungguh peduli.”

Tukang Bersih-Bersih dan Puisi dari Lantai yang Selalu Mengkilap

70 Namanya Pak Hadi. Setiap pagi, sebelum matahari naik, ia sudah datang ke Puskesmas Harapan Bangsa. Tangannya membawa sapu panjang, pel, dan ember air sabun. Ia bukan tenaga medis, bukan pegawai negeri, tapi semua orang tahu: tanpanya, ruang tunggu akan penuh debu, lorong IGD akan lengket, dan kamar periksa akan kehilangan kesakralannya.

Ferizal memperhatikan satu hal: Pak Hadi selalu bekerja sambil bersenandung. Kadang lagu lawas, kadang nyanyian anak-anak.

“Kenapa selalu nyanyi, Pak?” tanya Ferizal.

Pak Hadi tertawa. “Karena suara pel tak cukup keras buat mengusir sedih.”

Suatu pagi, Ferizal menemukan catatan kecil tertinggal di ruang tunggu. Ternyata itu puisi Pak Hadi.

“Setiap pagi kuseka air muntah, kubersihkan jejak langkah yang tak sempat kutanya. Tapi diam-diam, aku doakan semua pasien agar bisa pulang, sehat, dan tak kembali karena sakit.”

Ferizal terdiam. Ia tak pernah membayangkan sapu bisa menjadi pena.

Maka lahirlah buku “Puisi dari Pel dan Ember”, kumpulan catatan hati para petugas kebersihan puskesmas dari seluruh pelosok Indonesia. Mereka menulis tentang diamnya malam saat membersihkan ruang jenazah, tentang bangku tunggu yang penuh anak-anak rewel, tentang darah yang sudah kering tapi masih mereka pel dengan sabar.

Dalam peluncuran bukunya, Ferizal berkata:

71

“Mereka mungkin tak tahu nama obat, tapi mereka tahu luka manusia. Mereka tak menulis diagnosis, tapi mereka membaca penderitaan lewat lantai yang licin.”

Kini, di pojok ruang tunggu, terdapat papan kecil dengan tulisan tangan:

“Terima kasih telah menjaga kebersihan, Pak. Karena bersih bukan cuma sehat—ia juga hormat bagi yang sakit.”

Tukang Bersih-bersih dan Doa yang Disapu di Lorong

Namanya Mbak Aminah, usia hampir lima puluh, tubuhnya kecil, gerakannya cepat. Dialah penjaga kebersihan Puskesmas Harapan Bangsa. Setiap pagi, sebelum matahari naik, ia sudah mengepel lantai ruang tunggu, menyemprot desinfektan di ruang bersalin, dan menyapu halaman belakang tempat anak-anak bermain.

Ferizal memperhatikannya suatu pagi, ketika sepasang sandal anak-anak tertinggal di dekat ruang imunisasi. Mbak Aminah tak hanya memungutnya, tapi juga merapikannya ke sudut dinding dengan hati-hati. Ia tersenyum saat sadar diperhatikan.

“Saya bukan nakes, Mas Ferizal,” katanya suatu waktu, “tapi saya nggak mau puskesmas ini jadi tempat yang bikin tambah sakit karena jorok.”

Ferizal mengangguk. Ia menulis puisi:

“Kami tidak memberi resep, tidak menyuntik, tidak menyampaikan hasil lab. Tapi kami menyapu sisa-sisa sakit agar harapan bisa datang tanpa tergelincir oleh debu putus asa.”

72 Lalu mereka menulis buku kecil: “Lantai yang Tak Pernah Tidur”

— kumpulan refleksi tukang bersih-bersih dari Puskesmas di berbagai daerah.

Ada kisah tentang tisu berdarah di ruang tindakan yang dibuang sembarangan, yang dengan sabar dibersihkan tanpa keluhan.

Ada cerita tentang membersihkan ruang jenazah pasca-COVID, di mana hanya petugas bersih-bersih yang berani masuk pertama kali. Ada pula kisah tentang doa yang diam-diam dilantunkan setiap kali mengepel: “Semoga pasien hari ini sembuh dan pulang dengan senyum.”

Mbak Aminah tak bisa membaca puisi panjang, tapi ia hafal kutipan Ferizal yang kini terpasang di ruang cleaning service:

“Mereka yang menyapu lantai, sedang menata martabat manusia agar tetap bisa sembuh dengan bermartabat.”

Ibu Sumarni, Penjaga Kesucian Ruang

Namanya Ibu Sumarni, petugas kebersihan yang telah bekerja sejak Puskesmas berdiri. Tangannya kasar karena sabun dan cairan pembersih, tapi senyumnya tak pernah pudar. Ia datang sebelum semua orang, menyapu jejak malam, mengepel sisa luka, dan menyapu bau duka agar yang datang berikutnya merasa nyaman.

Suatu pagi, Ferizal melihatnya sedang mengepel lantai ruang tindakan dengan sangat hati-hati, hampir seperti sedang melukis.

“Kenapa pelan sekali, Bu?” tanya Ferizal.

73 Ibu Sumarni menjawab pelan, “Karena di sini banyak orang sakit.

Jangan sampai langkah mereka terpeleset hanya karena saya terburu-buru.”

Ferizal menulis puisi untuknya:

“Kau bukan perawat,

tapi tanganmu membersihkan darah yang tercecer.

Kau bukan dokter,

tapi hatimu menjaga agar penyakit tak berpindah.

Kau bukan siapa-siapa,

tapi tanpa kau, tempat ini tak bisa jadi rumah penyembuhan.”

Kini, di pintu ruang bersih puskesmas, tertempel kutipan kecil:

“Kebersihan bukan sekadar standar—ia adalah wujud cinta paling sunyi.”

Petugas Kebersihan dan Sopir Ambulans: Penjaga Senyap di Ujung Pelayanan

Tak semua pahlawan berbaju putih. Di Puskesmas Harapan Bangsa, Ferizal perlahan memahami, ada dua sosok yang bekerja di luar sorotan — namun tanpa mereka, pelayanan kesehatan tak akan pernah utuh.

Satu adalah Pak Darto, petugas kebersihan yang datang sebelum matahari terbit dan pulang setelah semua ruang kembali rapi.

Satu lagi Mas Aji, sopir ambulans yang wajahnya keras tapi hatinya seperti spons: menyerap segala duka.

Suatu pagi, Ferizal duduk di teras belakang Puskesmas, melihat Pak Darto menyapu daun-daun kering yang jatuh semalaman.

74

“Kenapa selalu datang paling awal, Pak?” tanya Ferizal.

Pak Darto tersenyum sambil merapikan masker kain lusuhnya.

“Karena sebelum orang bicara tentang kesehatan, tempat ini harus bersih dulu. Kalau lantainya bau, siapa yang mau percaya bahwa kita peduli?”

Lalu ia melanjutkan pelan, “Dan kadang, Mas… pembersihannya bukan cuma lantai. Kadang aku bersihkan bercak darah. Atau bau muntah pasien anak-anak. Itu juga bagian dari cerita penyembuhan.”

Ferizal mencatat itu semua, lalu menulis puisi:

“Kau tak memberi suntikan, tak menulis resep, tapi kau hilangkan jejak sakit sebelum mereka sadar pernah menderita.”

Sementara itu, Mas Aji sering datang dengan suara sirene yang tidak pernah bisa ditebak: bisa tangis, bisa kelegaan. Ferizal pernah ikut bersamanya saat mengantar pasien gawat ke rumah sakit kabupaten.

Di tengah jalan, Mas Aji berkata, “Aku bukan dokter. Tapi kalau aku lambat, mereka bisa kehilangan nyawa. Jadi tugasku bukan hanya nyetir. Tugasku menjemput harapan, dan membawanya lebih cepat dari waktu.”

Dalam perjalanan itu, Ferizal melihat sisi lain dari profesi yang sering dilupakan: sopir ambulans yang menangis diam-diam saat bayi yang diantar tidak selamat. Sopir ambulans yang hafal nama gang kecil di desa terpencil lebih baik dari GPS mana pun. Sopir ambulans yang kadang memeluk keluarga pasien, saat dokter sibuk di ruang tindakan.

75 Maka ditulislah buku kecil: “Suara Sirene, Jejak Pel dan Sepatu Bot”, kisah-kisah haru dan puisi tentang petugas-petugas paling sunyi.

Puisi favorit dari buku itu berjudul “Pel yang Tak Pernah Protes”:

“Ia menyerap segala bau, segala jejak luka, tapi tak pernah bertanya: siapa yang melukai?”

Dan dari Mas Aji, lahir narasi berjudul “Sopir yang Tak Tercatat di Rekam Medis” — kisah nyata tentang seseorang yang menyelamatkan ratusan nyawa, tapi tak pernah ikut disebut dalam laporan pelayanan.

Dalam peluncuran buku, Ferizal berbicara di depan staf puskesmas:

“Kesehatan bukan hanya tentang diagnosis dan terapi. Tapi tentang semua tangan yang bekerja — dari lantai hingga jalan raya, dari sapu sampai kemudi. Mereka semua penyembuh.

Hanya saja, sunyi.”

Kini, di dinding belakang dekat tempat parkir ambulans, tertempel kutipan Ferizal:

“Bukan semua pahlawan punya stetoskop. Sebagian membawa pel, sebagian membawa sirene. Tapi semua membawa harapan.”

Dan di ruang alat kebersihan, tertempel sebaris tulisan sederhana:

“Terima kasih telah menjaga agar tempat ini layak bagi sembuhnya manusia.”

76 Petugas Kebersihan dan Sopir Ambulans — Penjaga Sunyi yang Tak Tercatat di Rekam Medis

Puskesmas Harapan Bangsa selalu ramai dari pagi hingga sore.

Tapi di sela deru mesin nebulizer dan langkah kaki pasien, ada dua sosok yang nyaris tak pernah disebut dalam seminar, jarang dimuat di laporan tahunan, dan tak pernah tercantum di diagnosis medis—namun merekalah yang membuat segalanya tetap berjalan.

Yang pertama adalah Bu Tuminah, petugas kebersihan yang sudah dua dekade membersihkan lantai-lantai puskesmas, dari ruang UGD hingga toilet pengunjung. Tubuhnya kecil, wajahnya penuh keriput, tapi gerakannya cekatan dan senyumnya tak pernah surut.

“Bu, kenapa nggak pernah libur?” tanya Ferizal saat suatu sore mereka bertemu di lorong.

Ia menjawab sambil mengepel, “Kalau saya libur, siapa yang bersihkan jejak takut dan luka mereka? Saya tidak bisa sembuhkan pasien, Mas. Tapi saya bisa pastikan tempat ini bersih untuk mereka pulih.”

Ferizal mencatat kalimat itu, dan malamnya menulis:

“Ada yang menyapu bukan hanya debu, Tapi sisa-sisa duka yang tak terlihat. Ada yang membersihkan lantai, Tapi juga menjaga martabat manusia yang sedang jatuh.”

Lalu ada Pak Surya, sopir ambulans. Pria setengah baya yang tubuhnya kurus tapi matanya selalu siaga. Ia bukan hanya membawa pasien dari rumah ke puskesmas atau sebaliknya—ia

77 juga membawa harapan, kecemasan, dan kadang, kesedihan yang tak bisa disuarakan.

“Saya pernah antar ibu yang meninggal di jalan,” katanya pada Ferizal. “Suaminya di samping saya, menggenggam tangannya.

Tapi tak sempat ucapkan apa-apa. Di akhir perjalanan, bukan hanya nyawa yang hilang—tapi juga kata-kata.”

Ferizal mendengarkan, lalu menulis cerpen berjudul “Ambulans Terakhir Ibu.” Cerita itu dibacakan dalam pelatihan sopir ambulans nasional dan membuat banyak peserta menangis dalam diam.

Bersama Bu Tuminah dan Pak Surya, Ferizal menyusun buku kecil berjudul “Yang Tak Masuk Rekam Medis: Cerita dari Mereka yang Tak Dicatat.” Buku itu hanya dicetak terbatas, dibagikan ke seluruh staf puskesmas, dan ditempatkan di ruang tunggu dalam rak kecil bertuliskan:

“Untuk kalian yang berjaga, Saat semua telah pulang.”

Puisi Bu Tuminah juga dimuat:

“Tanganku menggenggam kain pel, Tapi doaku membersihkan luka yang lebih dalam. Setiap lantai yang mengilap, Adalah harapan agar tak ada yang tergelincir oleh duka.”

Dan puisi Pak Surya:

“Aku tidak tahu cara menjahit luka, Tapi aku tahu jalan tercepat menuju harapan. Di balik sirine dan lampu merah, Aku hanyalah seorang ayah yang mengantar seseorang agar tetap hidup.”

78 Kini, setiap pagi sebelum Puskesmas buka, Ferizal sering duduk di ruang transit ambulans. Di sana, bersama Bu Tuminah dan Pak Surya, ia tak lagi bicara soal sastra atau kesehatan—mereka hanya saling bercerita tentang kehidupan. Tentang anak, cicilan, senyuman, dan kematian yang datang tiba-tiba.

Dan di tembok belakang garasi ambulans, tertulis kalimat Ferizal, sederhana tapi menggetarkan:

“Ada yang tidak pernah disebut saat apel pagi, Tapi merekalah alas tempat kita semua berdiri.”

Sopir Ambulans dan Jalan yang Mengantar Hidup

Jika malam tiba dan sirine ambulans meraung memecah sunyi, maka ada satu nama yang langsung terlintas: Mas Bayu, sopir ambulans yang sudah dua belas tahun membawa pasien ke rumah sakit rujukan—dari ibu melahirkan hingga korban kecelakaan.

Ferizal suatu malam ikut menumpang ambulans saat rujukan gawat darurat. Di kursi depan, Mas Bayu mengemudi dengan tenang, walau jalan berlubang dan waktu menuntut cepat.

“Pernah takut?” tanya Ferizal.

“Takut? Ya. Tapi lebih takut kalau datang terlambat dan nyawa itu lepas di jalan,” jawabnya lirih.

79 Mas Bayu tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Tapi ia hafal jalur tercepat ke semua rumah sakit rujukan. Ia tahu rumah mana yang sering panik tengah malam, dan ia tahu doa-doa pendek yang biasa ia bisikkan di balik helm saat jalan terasa terlalu panjang.

Ferizal menulis:

“Roda berputar di tengah gelap, dan di dalam kabin sempit, hidup digantungkan pada waktu. Tapi di balik setir itu, ada tangan yang setia membawa harapan meski tak pernah disebut dalam laporan medis.”

Bersama Mas Bayu, Ferizal membuat serial tulisan berjudul

“Catatan dari Balik Sirine”—cerita tentang malam-malam panjang, tangisan keluarga, pasien yang meninggal di tengah jalan, dan kesunyian setelah semua selesai.

Salah satu kisah berjudul “Ambulans yang Pulang Kosong”, tentang ketika pasien tak bisa diselamatkan, tapi sopir tetap harus mengantar tubuh itu pulang dengan tenang.

Kisah itu menyentuh banyak tenaga kesehatan. Di seminar transportasi medis darurat, Mas Bayu diminta berbicara. Ia berkata dengan suara pelan:

“Kami tidak menyelamatkan dengan tangan. Tapi kami menjaga agar yang berjuang tidak sendirian dalam perjalanan.”

Kini, di ruang parkir ambulans Puskesmas Harapan Bangsa, ada bangku kecil dan papan cerita. Di sanalah puisi-puisi Ferizal tentang petugas ambulans terpajang. Salah satunya berbunyi:

80

“Sirine adalah suara tergesa, tapi di baliknya ada cinta yang tak panik. Karena jalan menuju harapan kadang harus ditempuh dalam kesunyian yang bergerak cepat.”

Dan di pintu ambulans, tertempel tulisan kecil:

“Kendaraan ini tak hanya mengantar tubuh, tapi juga membawa doa, dari yang tak sempat bicara.”

Sopir Ambulans dan Puisi yang Melaju di Jalan Berlubang

Di antara suara sirine dan deru mesin tua, ada seorang pria yang membawa harapan, bahkan saat harapan itu tinggal satu napas.

Namanya Bang Darto, sopir ambulans yang sudah bekerja sejak zaman kaset dan radio tabung. Ia hafal setiap tikungan jalan menuju rumah pasien, dan tahu siapa yang harus dibawa cepat, siapa yang cukup diantar sambil menenangkan keluarga.

“Bang, apa yang paling susah dari jadi sopir ambulans?” tanya Ferizal saat ikut satu misi rujukan malam hari.

Bang Darto menjawab tanpa ragu, “Menahan emosi saat pasien meninggal di tengah jalan. Karena saya harus tetap pegang setir, walau hati rasanya hancur.”

Ferizal mencatat semua itu. Ia mulai mengumpulkan cerita-cerita dari para sopir ambulans: tentang hujan deras saat mengantar jenazah, tentang bayi yang lahir di dalam mobil, tentang keluarga yang memeluk erat sepanjang perjalanan menuju rumah sakit rujukan.

Lalu lahirlah buku “Sirine di Balik Kesunyian”. Bukan hanya cerita, tapi juga puisi.

81 Salah satunya berjudul “Kilometer Terakhir”:

“Aku mengemudi bukan untuk cepat, tapi untuk tak terlambat.

Di kursi belakang, ada nyawa yang bertaruh, dan di tanganku, hanya jalan—dan doa ibu yang tak putus.”

Ferizal membacakan puisi itu dalam seminar transportasi kesehatan. Para sopir ambulans menunduk, ada yang mengusap mata.

Sejak itu, ambulans Puskesmas Harapan Bangsa tak hanya membawa pasien, tapi juga membawa puisi. Di dalam kabin belakang, tertempel tulisan kecil:

“Jika kau duduk di sini, ketahuilah kami tak hanya mengantar—

kami berdoa dalam setiap kilometer.”

Kini, Puskesmas Harapan Bangsa punya satu kalender dinding khusus: “Puisi dari Orang-Orang yang Tidak Masuk Berita”—isi tiap bulannya adalah potongan kisah dari petugas kebersihan, sopir ambulans, satpam, hingga tukang kebun. Semuanya dirangkai dengan tangan Ferizal, sang pelopor sastra promosi kesehatan.

Dan di samping meja direktur Puskesmas, tertulis kalimat yang kini menjadi semboyan tidak resmi:

“Yang menjaga kita tetap sehat, sering kali bukan hanya dokter dan obat, tapi mereka yang diam-diam menjaga kebersihan, keselamatan, dan keikhlasan.”

Sopir Ambulans dan Keheningan di Balik Sirine

82 Di tempat parkir belakang, di antara suara mesin dan bau solar, bekerja seorang pria jangkung bernama Pak Darto—sopir ambulans puskesmas, rambutnya mulai memutih, tapi refleksnya masih seperti pembalap.

Ferizal pernah ikut bersamanya saat membawa pasien rujukan ibu hamil preeklamsia. Sirine meraung, dan mobil berguncang di jalan berlubang. Tapi Pak Darto tenang, selalu tahu kapan harus mempercepat, kapan harus berhenti dan menenangkan keluarga pasien.

“Kenapa jarang bicara, Pak?” tanya Ferizal.

“Saya belajar diam di jalan. Karena kadang yang kita bawa bukan cuma pasien, tapi juga rasa takut, panik, dan harapan yang tipis.”

Ferizal menulis cerpen berjudul “Sirine yang Tak Pernah Bernyanyi untuk Diri Sendiri”, tentang perjalanan sunyi Pak Darto dari desa ke rumah sakit kabupaten, membawa bayi prematur yang dibungkus kain batik. Di cerpen itu tertulis:

“Setiap klakson panjang adalah teriakan hati yang tak ingin kehilangan. Dan setiap belok tajam adalah upaya melawan waktu agar nyawa tidak berhenti.”

Mereka kemudian merilis antologi berjudul “Di Balik Kemudi, Ada Kehidupan”, yang berisi kisah para sopir ambulans se- Indonesia: tentang pasien meninggal di tengah jalan, tentang anak-anak yang lahir di kursi ambulans, dan tentang keputusan mendadak di persimpangan hidup.

Kini, di dashboard ambulans Harapan Bangsa, tergantung puisi kecil yang ditulis tangan:

83

“Saya bukan dokter. Tapi saya menjemput hidupdan mengantar harapan dengan mesin yang tak boleh mati, dan hati yang tak boleh goyah.”

Pak Mamat, Sopir Ambulans yang Tak Pernah Menolak Panggilan

Lain hari, Ferizal menumpang ambulans ke rumah rujukan. Di kursi depan duduk Pak Mamat, sopir ambulans yang sudah seperti legenda. Ia hafal semua gang sempit, tahu waktu tercepat tanpa perlu GPS, dan paling tahu cara tetap tenang saat pasien kritis berjuang di belakangnya.

“Pernah takut, Pak?” tanya Ferizal.

Pak Mamat hanya tersenyum. “Yang takut itu kalau telat. Karena saya bukan cuma bawa mobil. Saya bawa harapan.”

Malam hari, Ferizal menulis catatan pendek:

“Ambulans bukan mobil, ia adalah kapal kecil di antara hidup dan mati. Dan sopirnya bukan pengemudi, tapi penjaga waktu bagi yang sedang digantungkan pada doa.”

Ferizal dan Pak Mamat lalu membuat buku kecil berjudul “Di Jalan Menuju Rumah Sakit”, berisi catatan pengalaman darurat:

bayi yang lahir di ambulans, jenazah yang diantar tanpa keluarga, pasien stroke yang menangis karena diselamatkan pada detik terakhir.

Dalam peluncuran buku, Pak Mamat hanya berkata satu kalimat:

“Saya tidak bisa menyembuhkan. Tapi saya bisa membawa lebih cepat kepada yang bisa.”

84 Kini, di dashboard ambulans Harapan Bangsa, tertempel stiker puisi karya Ferizal:

“Jika hidup itu perjalanan, maka biarlah ambulans jadi jalan pintas menuju harapan.”

Dan di koridor Puskesmas Harapan Bangsa, di dinding yang dulunya kosong, kini terpajang foto-foto kecil: Ibu Sumarni yang sedang mengepel, Pak Mamat yang memeriksa tekanan ban, dan di bawahnya satu kalimat besar:

“Tak semua pahlawan pakai jas putih. Sebagian memakai seragam oranye, atau hanya membawa pel.”

Ferizal tahu, sastra bukan milik kaum terpelajar. Ia milik siapa saja yang menjaga hidup tetap berarti—meski tanpa tepuk tangan, meski hanya di balik tirai ambulans atau di ujung gagang pel.

Tukang Bersih-bersih dan Sopir Ambulans: Penjaga Sunyi, Penjemput Nyawa

Di Puskesmas Harapan Bangsa, tak semua pahlawan mengenakan jas putih. Ada yang berseragam biru tua, dengan tangan kasar dan punggung yang jarang tegak sepenuhnya—Pak Juki, petugas kebersihan sejak dua dekade lalu. Dan ada yang selalu siaga di pinggir ruang IGD, duduk di belakang kemudi ambulans tua—Bang Heri, sopir ambulans yang hafal rute tercepat lebih baik dari Google Maps.

Ferizal pertama kali mengobrol serius dengan mereka saat listrik padam dan semua aktivitas puskesmas terhenti.