• Tidak ada hasil yang ditemukan

2408052018-Amalia Nurusya'bani-UTS SQH (Al-Qur'an)

N/A
N/A
AMALIA NURUSYA'BANI

Academic year: 2025

Membagikan "2408052018-Amalia Nurusya'bani-UTS SQH (Al-Qur'an)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Metode Tanya Jawab sebagai Cermin Nilai Khalifah: Analisis QS. Al-Baqarah [2]:30 dalam Konteks Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar

لَ الَ لَكَۗ لَ سُ دِّ لَ سُ لَ لَ دِ مْ لَ دِ سُ دِّ لَ سُ سُ مْ لَ لَ لَءَۚ ااۤلَ دِّ ا سُ دِ مْ لَ لَ ا لَ!مْ"دِ سُ دِ مْ #سُ مْ لَ ا لَ!مْ"دِ $سُ%لَ&مْ'لَالَ ا(مْوْٓسُ الَ *+كَۗلَ !مْ,دِ-لَ .دِ/مْ0لَ1مْا ى"دِ $لٌ4دِا5لَ 6مْدِّ ا7دِ*دِ8لَ9:دِ,;اۤلَ ,مْدِ لَ #سُ /لَ لَ الَ <مْادِ لَ

=لَ(مْسُ ,لَ%مْ'لَ 01لَ الَ >سُ,لَ4مْالَ 6مْوْٓدِّ ادِ

۝

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan

menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

1. Makna Mufrodat sebagai Kata Kunci Pokok dalam Ayat

Kata kunci utama dalam ayat ini antara lain adalah khalīfah, yasfikud-dimā’, dan nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka. Kata khalīfah (ةفيلخ) berasal dari akar kata khalafa, yang berarti menggantikan atau mewarisi. Dalam konteks ayat ini, kata tersebut mengandung makna representatif yang mendalam, bahwa manusia diciptakan untuk menjadi wakil Allah di bumi dengan tugas memelihara, mengelola, dan membangun kehidupan secara bertanggung jawab (Mubarok, 2023).

Kata berikutnya yang signifikan adalah yasfikud-dimā’ (ءامدلا كفسي), yang menunjukkan kekhawatiran malaikat akan potensi destruktif manusia. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa malaikat memiliki nalar dan pemahaman atas sejarah makhluk sebelumnya yang telah menumpahkan darah dan berbuat kerusakan. Dialog ini mencerminkan dinamika pembelajaran yang sangat edukatif, karena memuat pertanyaan kritis terhadap keputusan Allah, yang kemudian dijawab dengan pernyataan bahwa Allah mengetahui apa yang tidak diketahui para malaikat (innī a‘lamu mā lā ta‘lamūn). Hal ini menunjukkan pentingnya keterbukaan terhadap pertanyaan dan eksplorasi nalar dalam proses pendidikan, bahwa pembelajaran kritis mendorong peserta didik memahami makna bukan sekadar hafalan (Nuraisyah et al., 2024).

Kata nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka (كل سدقنو كدمحب حبسن) adalah bentuk ekspresi ketaatan dan penyucian diri dari malaikat. Dalam kajian pendidikan Islam, ekspresi ini menjadi refleksi dari peran spiritualitas dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pendidik tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga bertanggung jawab membentuk dimensi spiritual

(2)

peserta didik. Oleh karena itu, pemahaman mufrodat ini dapat membentuk landasan nilai dan motivasi dalam proses pembelajaran (Nazmeen, 2024).

Analisis mufrodat dari ayat ini menunjukkan bahwa QS. Al-Baqarah [2]:30 mengandung konsep dasar pendidikan yang holistik: pengembangan intelektual (melalui dialog), moral (tanggung jawab khalifah), dan spiritual (kesadaran menyucikan Tuhan). Pemahaman terhadap kata kunci ini memberikan arah bahwa metode pembelajaran seperti tanya jawab bukan hanya sarana pedagogis, tetapi juga wahana untuk membangun karakter dan nilai yang Qur’ani pada siswa sekolah dasar. Pengajaran yang menekankan pada aspek kata kunci ini dapat menjadi bekal pendidikan karakter yang kuat untuk anak usia dini.

2. Asbabun Nuzul dan Penjelasannya

QS. Al-Baqarah [2]:30 tergolong sebagai ayat madaniyah menurut mayoritas ulama tafsir seperti al-Suyuthi dan al-Zarqani karena diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Meskipun tidak terdapat riwayat sahih yang secara spesifik menjelaskan Asbabun Nuzul(sebab turunnya) ayat ini, konteksnya berkaitan dengan pernyataan Allah tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi dan tanggapan malaikat terhadap rencana tersebut. Oleh karena itu, analisis terhadap ayat ini lebih banyak berfokus pada konteks makna dan maqāṣid al-Qur’ān (tujuan Qur’ani) dalam menyampaikan pesan pendidikan, sosial, dan teologis (Salwa Hasibuan et al., 2024).

Beberapa ahli tafsir klasik seperti al-Tha‘labi dan al-Wāḥidī mengutip bahwa ayat ini mencerminkan perdebatan teologis dan sekaligus narasi pengantar untuk menjelaskan kisah penciptaan Nabi Adam. Dalam hal ini, pernyataan malaikat yang mempertanyakan keputusan Allah adalah bentuk tanya jawab yang tidak menandakan pembangkangan, melainkan sebuah bentuk klarifikasi untuk memahami hikmah penciptaan manusia. Dari perspektif pendidikan, hal ini menjadi preseden Qur’ani bagi validitas pedagogi partisipatif, yakni murid diizinkan untuk bertanya bahkan terhadap ide yang sudah dianggap final, selama dalam koridor adab (Fajrussalam et al., 2020).

Dalam tradisi tafsir, ayat ini kerap dikaitkan dengan kisah lanjutan yang menggambarkan proses pendidikan ilahiah terhadap Nabi Adam, yakni ketika Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda. Asbabun Nuzul ayat ini menjadi pengantar naratif terhadap fungsi manusia sebagai entitas epistemologis, yang berarti bahwa belajar dan mengajar adalah fitrah manusiawi. Ini selaras dengan gagasan bahwa pendidikan Islam tidak sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi juga transformasi spiritual dan moral. Oleh karena itu, ayat ini memiliki

(3)

nilai pendidikan tinggi yang sangat relevan dalam pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran Islam masa kini (Aly, 2019).

Secara aplikatif, dialog antara malaikat dan Allah ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan metode pembelajaran aktif berbasis tanya jawab dan inquiry dalam pendidikan dasar Islam. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan pada eksplorasi, pemecahan masalah, dan penguatan logika berpikir kritis siswa sejak usia dini. Implementasi nilai-nilai ini dalam pembelajaran di sekolah dasar, khususnya dalam pendidikan agama Islam, memungkinkan siswa untuk mengalami proses belajar yang bukan hanya kognitif tetapi juga afektif dan spiritual.

3. Tafsir dengan Merujuk pada Kitab Tafsir

Dalam tafsir al-Ṭabarī, dijelaskan bahwa istilah “khalīfah” mengandung makna wakil, yakni seseorang yang diberi otoritas untuk memimpin dan memakmurkan bumi. Al-Ṭabarī menyebut bahwa sebagian ulama memahami ayat ini sebagai penegasan atas penciptaan manusia dengan tanggung jawab sosial dan moral yang besar. Malaikat yang mempertanyakan keputusan Allah tidak dimaksudkan untuk menolak perintah-Nya, tetapi untuk mencari pemahaman atas hikmah di balik penciptaan manusia yang memiliki potensi destruktif (Muslim et al., 2024).

Sementara itu, al-Rāzī dalam Tafsīr Mafātīḥ al-Ghayb memberikan dimensi filsafat epistemologis terhadap ayat ini. Ia menyoroti dialog antara Allah dan malaikat sebagai contoh interaksi epistemik antara pengetahuan Tuhan yang absolut dan pengetahuan malaikat yang terbatas. Menurut al-Rāzī, pertanyaan malaikat adalah bentuk permintaan klarifikasi yang menunjukkan bahwa makhluk pun diizinkan untuk menggunakan akalnya dalam memahami perintah ilahi, selama dengan niat yang benar. Ini mencerminkan metode dialogis dalam pendidikan yang tidak dogmatis, tetapi terbuka terhadap pertanyaan dan diskusi (Maulida &

Bashori, 2024).

Dalam tafsir kontemporer, seperti yang dijelaskan oleh Sayyid Quthb dalam Fi Zhilāl al- Qur’ān, ayat ini ditafsirkan sebagai deklarasi tentang pentingnya peran manusia sebagai agen perubahan dan pelaksana kehendak Allah di bumi. Kekhalifahan bukan hanya status, tetapi tanggung jawab untuk menjaga harmoni dan keseimbangan sosial. Tafsir ini menekankan aspek praksis dari makna kekhalifahan, yang sangat relevan dalam konteks pendidikan, di mana guru berperan sebagai khalifah dalam mentransformasikan masyarakat melalui ilmu pengetahuan (Lestari & Vera, 2021).

(4)

Kekayaan interpretasi dari berbagai mufassir tersebut menunjukkan bahwa QS. Al-Baqarah [2]:30 bukan hanya menyimpan muatan teologis, tetapi juga etis dan pedagogis. Pesan moral yang terkandung di dalamnya memiliki relevansi tinggi untuk pendidikan Islam masa kini, khususnya dalam mengembangkan paradigma pembelajaran yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan tanggung jawab sosial siswa sejak dini.

4. Penjelasan Metode dan Pendekatan yang Digunakan oleh Mufassir

Penafsiran terhadap QS. Al-Baqarah [2]:30 oleh para mufassir klasik dan kontemporer menunjukkan penggunaan berbagai metode dan pendekatan yang mencerminkan kekayaan khazanah ilmu tafsir. Al-Ṭabarī, sebagai perintis tafsir bil ma’tsūr, menggunakan metode riwayah dengan mengedepankan penjelasan dari ayat lain, hadis, dan atsar sahabat. Dalam penafsirannya, ia menghimpun berbagai pandangan dari para salaf, menjelaskan makna kata dan konteks ayat dengan merujuk pada periwayatan yang sahih. Pendekatan ini menjadikan tafsirnya sebagai rujukan otoritatif dalam memahami makna literal dan kontekstual ayat-ayat al-Qur’an (Muslim et al., 2024).

Berbeda dari itu, al-Rāzī lebih menonjolkan metode dirāyah atau ra’yi. Ia menggunakan pendekatan rasional-filosofis dalam menganalisis teks al-Qur’an. Dalam menjelaskan QS. Al- Baqarah [2]:30, al-Rāzī tidak hanya membahas makna lahiriah ayat, tetapi juga menggali dimensi teologis dan epistemologis dari dialog antara Allah dan malaikat. Ia menafsirkan ayat tersebut sebagai refleksi dari keterbatasan manusia dalam memahami kehendak Ilahi yang absolut. Ini menunjukkan bagaimana pendekatan filosofis mampu memberikan kedalaman makna yang tidak selalu terjangkau oleh metode literal (Maulida & Bashori, 2024).

Di sisi lain, Sayyid Quthb dalam Fi Zhilāl al-Qur’ān menggunakan pendekatan tematik dan sosiologis. Ia mengaitkan makna kekhalifahan dengan realitas sosial dan politik umat Islam kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan tematik, ia menempatkan ayat ini sebagai basis untuk membangun kesadaran sosial, keadilan, dan tanggung jawab manusia terhadap pembangunan peradaban. Ini relevan dengan gagasan pendidikan sebagai alat transformasi sosial, di mana peran guru sebagai “khalifah” dalam dunia pendidikan adalah membangun karakter murid sebagai agen perubahan. (Lestari & Vera, 2021).

Metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir tersebut menunjukkan bahwa interpretasi terhadap ayat al-Qur’an tidaklah tunggal. Setiap metode memiliki kekuatan tersendiri: metode riwayah menekankan otentisitas dan keterikatan dengan sumber klasik; metode dirāyah

(5)

menekankan nalar kritis dan reflektif; sedangkan metode tematik dan sosiologis membawa nilai aktual dalam memahami dinamika sosial kemanusiaan masa (Umar, 2018).

Dalam konteks pendidikan dasar, konsep khalifah yang termuat dalam QS. Al-Baqarah [2]:30 memberikan fondasi teologis bahwa setiap anak merupakan subjek yang memiliki potensi kepemimpinan, tanggung jawab moral, dan akhlak sosial. Integrasi nilai-nilai kepemimpinan profetik dalam kurikulum sekolah dasar mampu meningkatkan dimensi moral dan partisipasi aktif peserta didik (Muslim et al., 2024). Nilai pedagogis dari ayat ini, ketika dikontekstualisasikan dalam pendidikan dasar, menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator dalam memunculkan potensi khalifah pada anak-anak sejak usia dini.

5. Analisis dan Relevansi Ayat dengan Masalah Kontemporer serta Implikasi Praktis dalam Pembelajaran Sekolah Dasar

QS. Al-Baqarah [2]:30 memuat pesan penting tentang peran manusia sebagai khalifah di muka bumi yang tidak hanya bersifat normatif, melainkan juga aktual dan praktis dalam kehidupan sosial dan pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, ayat ini menegaskan bahwa setiap peserta didik dan pendidik memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk membangun peradaban yang beradab dan berkeadilan. Konsep kekhalifahan yang diangkat dalam ayat ini menjadi landasan penting bagi paradigma pembelajaran yang menanamkan kesadaran ekologis, sosial, dan spiritual sejak dini (Mubarok, 2023).

Analisis multidisipliner terhadap ayat ini juga menunjukkan bagaimana pendidikan harus berorientasi pada pembenturelkan karakter yang berintegritas dan bertanggung jawab. Kajian psikologi pendidikan menegaskan perlunya pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai empati, kepemimpinan, dan akhlak mulia dalam kurikulum SD. Hal ini selaras dengan tafsir al- Rāzī yang menekankan aspek epistemologis dan filosofis manusia sebagai makhluk yang dibekali akal untuk memahami tugas kekhalifahannya secara bijak (Maulida & Bashori, 2024).

Pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan ilmu pendidikan, psikologi, dan teologi memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memformulasikan metode pembelajaran yang kontekstual dan transformatif. Misalnya, metode tanya jawab yang membangun dialog kritis dan reflektif dalam proses pembelajaran sesuai dengan spirit ayat ini, mengembangkan kemampuan siswa untuk memahami tanggung jawab sosial mereka sebagai khalifah kecil di lingkungan sekolah dan keluarga (Syaharani et al., 2024).

(6)

Dari sisi praktis, guru sebagai pelaku utama dalam pendidikan dasar harus mampu menginternalisasi konsep khalifah dalam setiap interaksi belajar mengajar. Implementasi nilai ini dapat dilakukan melalui pengembangan kurikulum berbasis karakter yang mengintegrasikan ajaran Al-Qur’an dengan praktik kehidupan sehari-hari siswa. Pendidikan karakter yang demikian diharapkan membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kesadaran lingkungan, mencerminkan nilai khalifah dalam konteks global yang semakin kompleks.

Dengan demikian, QS. Al-Baqarah [2]:30 bukan hanya ayat historis atau teologis, tetapi sumber inspirasi yang hidup bagi pengembangan pendidikan Islam kontemporer. Ayat ini mengingatkan bahwa pendidikan harus diarahkan untuk menyiapkan manusia sebagai agen perubahan yang beradab, beretika, dan bertanggung jawab terhadap diri, masyarakat, dan alam semesta.

(7)

Daftar Pustaka

Aly, M. R. (2019). ASBĀB AN-NUZŪL DALAM TAFSIR IBNU KATSIR.

Fajrussalam, H., Ahmad, N., Program, E. Q., Uin, P., Gunung, S., Bandung, D., & Program, A. S. (2020).

PARADIGMA TEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: KONSEP KHALIFAH PERSPEKTIF NILAI-NILAI ETIKA BUDAYA SUNDA DI JAWA BARAT THE PARADIGM OF ISLAMIC EDUCATION THEOLOGY: THE CHALIPH CONCEPT ON PERSPECTIVE OF SUNDANESE CULTURAL ETHICAL VALUES IN WEST JAVA. In Jurnal Pendidikan Agama Islam (Vol. 1, Issue 1).

Lestari, M., & Vera, S. (2021). Metodologi Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an Sayyid Qutb. Jurnal Iman Dan Spiritualitas, 1(1), 47–54. https://doi.org/10.15575/jis.v1i1.11475

Maulida, H., & Bashori. (2024). Kajian Kitab Tafsir Mafātīḥ Al-Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi. JIQSI: Jurnal Ilmu al-Qur’an Dan Studi Islam, 2.

Mubarok, F. (2023). Implementasi Karakter Khalifah Dalam Al-Qur’an Sebagai Dasar Tujuan Pendidikan Islam. AlMaheer: Jurnal Pendidikan Islam, 1(02), 1–14. https://doi.org/10.63018/jpi.v1i02.13 Muslim, K., Aziz, N., Nurahmayanti, A., Hidayat, Y., Al Farabi Pangandaran, S., Alamat, I., Raya Parigi -

Cigugur NoKM, J., Parigi, K., Pangandaran, K., & Barat, J. (2024). Kepemimpinan Berbasis Nilai-Nilai Islami dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar. 2(4), 416–423.

https://doi.org/10.61132/jmpai.v2i4.571

Nazmeen, K. (2024). Peran nilai-nilai Islam dalam pembentukan karakter siswa di lembaga pendidikan Islam. In Maliki Interdisciplinary Journal (MIJ) eISSN (Vol. 2).

http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mij/index

Nuraisyah, R. A., Priska, D., Selviana, A., Barokah, A., & Sholeha, I. (2024). PENDIDIKAN DALAM TUGAS KEKHALIFAHAN MANUSIA. http://jurnal.ucm-si.ac.id/index.php/el-fata

Salwa Hasibuan, U., Utami, I., Novia, S., Surahman, C., & Sumarna, E. (2024). Konsep Khalifah dalam Qs. Al- Baqarah/ 2: 30 dan Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam di Era Society 5.0. Office: Faculty of Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 13(2), 272–285.

https://doi.org/10.15408/quhas.v13i2.42166

Syaharani, E. R., Cahyaningrum, S. N., & Putri, N. N. E. (2024). Literature Review: Efektivitas Metode Pembelajaran Tanya Jawab dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Kurikulum Merdeka.

Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 1(3), 12. https://doi.org/10.47134/pgsd.v1i3.296 Umar, R. (2018). JĀMI‘ AL-BAYĀN ‘AN TA’WῙL ĀYI AL-QUR’ĀN (Manhaj / Metode Penafsirannya ). 1.

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula dia harus konsekuen (istiqaamah) dalam memikul tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya. Dia harus berani menanggung segala resiko dari semua akibat

1) Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya. 2) Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasiq

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility Disclosure) Pada Laporan Tahunan Perusahaan

Tahap yang kedua yaitu, wawancara yang merupakan pertemuan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna

Sehubungan dengan hal tersebut di atas yang telah dipaparkan oleh para Mufassir tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan akhlak anak berdasarkan Al-Qur’an

Di Pondok Pesantren Al-Qur’an Modern Buaran ketika pembelajaran al- Qur’an metodenya yaitu dengan tanya jawab, praktiknya santri di suruh nderes dulu kemudian

Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab dan kesederhanaan sebagai bagian dari nilai- nilai antikorupsi telah dibahas dalam al-Qur’an dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan

1) Interview: yaitu penulis melakukan wawancara dan tanya jawab atau berdialog antara dua orang atau lebih pada pihak-pihak yang bersangkutan seperti pelaku,