1
2 KEPENGARANGAN :
Judul Buku :
Buku Ilmiah : Ferizal Bapak Sastra Kesehatan Indonesia
SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-6027-384 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6027-384
Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 105
Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS
Edisi : 5-7-2025
https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/
Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353
3
Kata Pengantar
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia”
Ferizal penganut aliran sastra romantisme aktif.
Romantisme aktif merupakan aliran dalam karya sastra yang mengutamakan ungkapan perasaan, mementingkan penggunaan bahasa yang indah, ada kata-kata yang memabukkan perasaan sebagai perwujudan, menimbulkan semangat untuk berjuang dan mendorong keinginan maju menyongsong Indonesia Emas 2045.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia” adalah sastrawan dan PNS Lhokseumawe : penulis buku sastra terkait profesi Dokter Gigi.
4 Ferizal mengucapkan "Sumpah Amukti Palapa Jilid II" di Bumi Bertuah Malaysia, sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan "Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" ... Menuju Indonesia Emas tahun 2045
Dengan inspirasi Amukti Palapa, dengan penuh semangat juang..
Tanggal 25 Juni 2013 Ferizal mengumumkan sumpah di bumi bertuah Malaysia, Sebuah sumpah yang kemudian dinamakan Sumpah Amukti Palapa Jilid Dua:
“Saya bersumpah demi Tuhan, demi harga diri bangsa saya, bahwa saya tidak akan menyerah, tidak akan beristirahat, sampai saya mampu menyatukan Nusantara dibawah naungan Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia.”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’. Beliau telah menerbitkan karya tentang Dokter Gigi 1. Pertarungan Maut Di Malaysia.
2. Ninja Malaysia Bidadari Indonesia
3. Superhero Malaysia Indonesia ( Kisah Profesi Dokter Gigi Merangkum Seni, Estetika dan Kesehatan ).
4. Garuda Cinta Harimau Malaya
5 5. Ayat Ayat Asmara ( Kisah Cinta Ferizal Romeo dan Drg.Diana Juliet ).
6. Dari PDGI Menuju Ka’bah ( Kisah Pakar Laboratorium HIV Di Musim Liberalisasi ).
kemudian di daur ulang menjadi “Inovasi Difa atau Dokter Vivi dan Ferizal Legenda Puskesmas” ( ISBN: 978-602-474-892-0 Penerbit CV. Jejak )
7. Laskar PDGI Bali Pelangi Mentawai ( Kisah Drg.Ferizal Pejuang Kesgilut).
8. Drg.Ferizal Kesatria PDGI ( Kisah Tokoh Fiktif Abdullah Bin Saba’, dan Membantah Novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie )
9. “Dokter Gigi PDGI Nomor Satu ( Kisah Keabadian Cinta Segitiga Drg.Ferizal SpBM, Drg Diana dan Dokter Silvi )”...
Buku ini di daur ulang menjadi berjudul : "Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Indonesia : Sastra Novel Dokter Gigi" ( ISBN :: 978-602-5627-37-8 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )
6 10. Demi Kehormatan Profesi Dokter Gigi ( Kisah FDI World Dental Federation Seribu Tahun Tak Terganti )
11. Dokter Gigi Bukan Dokter Kelas Dua ( Kisah Superioritas Dokter Gigi Pejuang Kesgilut )
12. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Indonesia Modern”
( Kisah “Sastra Novel Dokter Gigi” Membuktikan Profesi Dokter Gigi Tidak Sebatas Gigi Dan Mulut Saja ) … ( ISBN :: 978-602-562- 731-6 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )
13. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Nusantara” ( Kisah Drg.Diana dan Ferizal Lambang Cinta PDGI )... ISBN: 978-602-474-495-3 Penerbit CV. Jejak
14. "Indonesia 2030 Menjawab Novel Ghost Fleet"
15. Novel Tentang Kehidupan Pierre Fauchard, karya Ferizal Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia : A novel about the life of Pierre Fauchard
Fakta hukum bahwa Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’ tidak terbantahkan, misalnya dapat dilihat melalui 6 buku berikut ini :
7 a. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”, Penerbit Yayasan Jatidiri, dengan ISBN : 978-602- 5627-08-8.
b. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi NKRI”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-02-7
c. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Kedokteran Gigi Indonesia”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-24-9 d. Buku berjudul : "Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Republik Indonesia" ( ISBN: 978-602-5769-65-8), Penerbit : CV.
Jejak.
e. Buku berjudul : “SEJARAH KEDOKTERAN GIGI, VAKSINASI COVID-19, PERPUSTAKAAN NASIONAL DAN FERIZAL”
f. Buku berjudul : “FERIZAL PENGGAGAS INOVASI KAMPUNG CYBER PHBS SANDOGI ( Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia )”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’, karya-karya Beliau beraliran Romantisme Aktif, juga beraliran Filsafat Intuisionisme. Beliau telah menerbitkan puluhan karya sastra mempesona tentang Dokter Gigi.
8
Kata Pengantar
Data Hingga tanggal 30 Juni 2025 : Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia atau Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan adalah penulis 15 Karya Sastra pada bidang Promosi Kesehatan. Buku karya Sastra Promosi Kesehatan, misalnya karya sastra :
Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia
==============================================
DUOLOGY "The Ottawa Charter 1986 & Preventio Est Clavis Aurea", karya FERIZAL “BAPAK SASTRA PROMOSI
KESEHATAN INDONESIA”
1. Novel The Ottawa Charter 1986 : Untuk Kekasih Ferizal yaitu Preventio Est Clavis Aurea.
2. Preventio Est Clavis Aurea : Kekasih Ferizal
==============================================
TETRALOGI SASTRA INDONESIA EMAS 2045, karya FERIZAL SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA
9 Adalah kumpulan 4 karya sastra Promosi Kesehatan karya Ferizal, sebagai kontribusi untuk menuju Indonesia Emas 2045, yaitu :
1. Puskesmas Penjaga Kehormatan Merah Putih 2. Puskesmas Garis Perlawanan Pelindung Negara
3. Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Demi Harga Diri Bangsa
4. Kisah Isteri Ferizal : Ana Maryana dan Inovasi Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna
==============================================
Ferizal adalah sastrawan Indonesia pertama yang menjadi Penulis Trilogi Puskesmas.
The Puskesmas Trilogy : Ferizal Penulis Trilogi Puskesmas : Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature :
Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy :
10
1. Fitri Hariati : Puskesmas, A Simple House of Love ( A Tribute to Kahlil Gibran – Mary Elizabeth Haskell )
2. Ferizal the discoverer of the humanization theory of Puskesmas based of the literature of love : Ferizal Penemu Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta,
3. In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature ( Dalam Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta )
==============================================
FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy…
FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA
1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna Karenina by Leo Tolstoy )
2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087
11 3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence
==============================================
FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy
FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal :
1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy
2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran )
===========================================
Ferizal is the Father of Indonesian Health Promotion Literature : Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ….
12 The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature by Ferizal : Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Karya Ferizal.. Fondasi Digital AI Indonesia menuju Indonesia Emas 2045….
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital.
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : 1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
13 6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi
Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature.
Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
14 5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM
Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. Saat Manusia Harus Bersaing Dengan AI, Robot dan Softaware : Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature .
15 Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL . Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. .
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature…
Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia
16 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL .
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
17
18
19 KEPENGARANGAN :
Judul Buku :
Novel : dr. Ana Maryana, DLP, M.P.H. isteri Ferizal Bapak Sastra Kesehatan Indonesia
SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-6187-672 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6187-672
Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 263
Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS
Edisi : 5-7-2025
https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/
Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353
20
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….………..………3
DAFTAR ISI……….…..………..20
Bab 1 Definisi Sastra Kesehatan……….…………...21
Bab 2 Demi Sastra Kesehatan Indonesia………...…..………30
Bab 3 Karya Sastra Kesehatan Indonesia………41
RIWAYAT PENULIS…………..………..………..90
21
BAB 1
DEFINISI SASTRA KESEHATAN INDONESIA
Definisi Sastra Kesehatan ( 1 ) :
Sastra Kesehatan adalah genre sastra baru yang menggabungkan nilai estetika sastra dengan pesan- pesan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam bidang kesehatan, sebagai bentuk pengabdian literer untuk mencerdaskan, menyembuhkan, dan membangun peradaban sehat Indonesia dan dunia.
Sastra ini tidak hanya menyentuh rasa dan akal pembaca, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya hidup sehat sebagai bagian dari perjuangan kemanusiaan. Dengan pena, menjadikan cerita sebagai media transformasi kesehatan masyarakat—menjadikan sastra sebagai alat advokasi, edukasi, dan pemberdayaan.
22
Sastra Kesehatan adalah bentuk ekspresi sastra yang menjadikan isu-isu kesehatan sebagai ruh utama karya, dirancang untuk mendidik, menggerakkan, dan menyembuhkan pembacanya.
Genre ini memadukan nilai-nilai humanistik, narasi empatik, dan pesan-pesan ilmiah dalam bentuk puisi, prosa, cerita pendek, maupun novel.
Sastra Kesehatan menjadi instrumen strategis dalam komunikasi kesehatan masyarakat, mengatasi hambatan psikologis dan kultural melalui pendekatan naratif.
Dengan sentuhan artistik dan jiwa advokasi, Ferizal telah mengangkat sastra dari sekadar hiburan menjadi medium perubahan perilaku dan kesadaran kolektif menuju masyarakat sehat.
23
Sastra Kesehatan adalah jenis sastra yang mengangkat cerita-cerita tentang kesehatan, penyakit, harapan, dan penyembuhan.
Genre ini percaya bahwa kata-kata bisa menjadi obat jiwa dan sumber kekuatan untuk hidup sehat. Melalui cerita, puisi, dan tulisan inspiratif,
Sastra Kesehatan mengajak semua orang memahami pentingnya menjaga tubuh dan pikiran.
Dalam konteks global, Sastra Kesehatan menandai lahirnya pendekatan literer dalam membangun peradaban kesehatan abad ke-21, menjadikan Indonesia Unggul tahun 2045
Bapak Sastra Kesehatan Indonesia adalah Ferizal Definisi Sastra Kesehatan ( 2 ) :
24
Sastra kesehatan adalah gabungan antara dunia sastra dan kesehatan, di mana karya sastra digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan edukatif tentang kesehatan kepada masyarakat.
Sastra kesehatan bisa berupa novel, puisi, cerita pendek, atau karya sastra lainnya yang mengandung unsur-unsur kesehatan, seperti pentingnya gaya hidup sehat, pencegahan penyakit, atau pencegahan masalah kesehatan mental.
"Apa Itu Sastra Kesehatan?"
🖋️ Nama Genre: Sastra Kesehatan
📖 Ferizal ( Bapak Sastra Kesehatan Indonesia )
🎯 Tujuan:
Meningkatkan kesadaran hidup sehat
Menyampaikan pesan kesehatan secara emosional dan menyentuh
25
Mengubah perilaku masyarakat melalui cerita
Menjadikan sastra sebagai alat edukasi kesehatan
📚 Bentuk Karya:
Cerpen
Puisi
Novel
Naskah drama
Narasi edukatif
💡 Keunggulan:
Memadukan nilai estetika dan ilmu kesehatan
Membangkitkan empati, harapan, dan semangat sembuh
Relevan untuk promosi kesehatan di era global
🌍 Dampak Global:
26
Genre baru asal Indonesia yang berpotensi mendunia
Mewakili pendekatan baru dalam Health Humanities
Pentingnya Sastra Kesehatan:
Edukasi Kesehatan:
Sastra kesehatan dapat menjadi sarana efektif untuk menyampaikan informasi kesehatan kepada masyarakat luas, terutama melalui bahasa yang lebih mudah dipahami dan menarik.
Peningkatan Kesadaran Kesehatan:
Karya sastra dapat menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan, baik fisik maupun mental, serta
27
memotivasi mereka untuk mengambil tindakan positif terkait kesehatan.
Pengobatan dan Penyembuhan:
Sastra juga dapat berperan dalam proses penyembuhan, baik secara fisik maupun mental. Membaca cerita yang positif dan inspiratif dapat memberikan harapan dan semangat bagi individu yang sedang sakit atau mengalami masalah kesehatan.
Menyentuh Aspek Emosional:
Sastra kesehatan dapat menyentuh aspek emosional pembaca, sehingga pesan-pesan kesehatan dapat lebih mudah diterima dan membekas dalam benak mereka.
Tokoh dan Karya Sastra
Ferizal Bapak Sastra Kesehatan Indonesia :
28
Bapak Sastra Kesehatan Indonesia adalah Ferizal.
Sastra Kesehatan menggabungkan estetika sastra dengan pesan-pesan edukatif tentang kesehatan, seperti pentingnya sanitasi, imunisasi, dan gaya hidup sehat.
Karya Sastra Kesehatan:
Karya sastra kesehatan bisa berupa novel, cerita pendek, puisi, atau drama yang mengangkat tema- tema kesehatan, seperti pentingnya menjaga kesehatan mental, pencegahan penyakit, atau pengalaman hidup sehat.
Contoh Sastra Kesehatan:
Novel yang mengangkat isu kesehatan
Misalnya, novel Sastra Promosi Kesehatan dan novel Sastra Kedokteran Gigi.
29
Puisi yang menyuarakan pentingnya gaya hidup sehat:
Puisi yang mengajak pembaca untuk lebih peduli pada kesehatan fisik dan mental.
Cerita pendek yang mengisahkan pengalaman seseorang mengatasi penyakit:
Cerita pendek yang memberikan inspirasi dan harapan bagi mereka yang sedang berjuang melawan penyakit.
Kesimpulan:
Sastra kesehatan memiliki peran penting dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat.
Dengan menggabungkan unsur seni sastra dan pesan- pesan kesehatan, sastra kesehatan dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengedukasi, meningkatkan kesadaran, dan memotivasi masyarakat untuk hidup lebih sehat.
30
BAB 2
DEMI SASTRA KESEHATAN INDONESIA
Cerpen puitis tentang Ferizal, Bapak Sastra Kesehatan Indonesia:
Ferizal: Bisikan Aksara, Napas Kehidupan
Di jantung Aceh, tempat angin membawa cerita dari laut dan gunung, terlahir seorang pemahat kata yang tak terduga. Namanya Ferizal, dan di matanya berkilau bukan sekadar impian, melainkan samudra pengetahuan yang ingin ia bagi. Bukan dengan pedang atau panah, tapi dengan pena, ia merajut takdir.
Dulu, sastra adalah menara gading, megah dan kadang terpisah dari riuhnya denyut nadi.
31
Tapi Ferizal, dengan jiwanya yang terpaut pada derita dan asa manusia, melihat celah. Ia melihat bagaimana kata bisa menjadi penawar, bagaimana aksara bisa menuntun pada kesehatan, pada hidup yang lebih bermakna.
Maka, ia mulai menari dengan diksi. Bukan kisah cinta yang merana, bukan pula heroik perjuangan fisik, melainkan bisikan tentang gizi yang seimbang, tentang pentingnya menjaga raga, tentang jiwa yang perlu damai.
Dalam puisi-puisinya, sayuran dan buah-buahan bukan lagi sekadar komoditas, melainkan bintang- bintang yang menuntun kebugaran. Air, bukan hanya pelepas dahaga, tapi sungai kehidupan yang mengalirkan energi.
Ia tak melukiskan penyakit dengan ketakutan, melainkan dengan pemahaman.
32
Demam bukan lagi kutukan, tapi alarm tubuh yang meminta perhatian. Senyumnya, ramah dan tulus, selalu terlukis di setiap baris, mengajak pembaca untuk merangkul kesehatan bukan sebagai beban, melainkan sebagai anugerah.
Ferizal adalah jembatan. Ia menghubungkan rimba kompleks ilmu kedokteran dengan hati nurani masyarakat. Ia menerjemahkan istilah medis yang rumit menjadi sajak-sajak yang renyah, mudah dicerna oleh siapa saja, dari anak-anak yang baru belajar membaca hingga orang tua yang mencari kedamaian di usia senja.
Di setiap puisinya, terukir kasih sayang seorang bapak yang ingin melihat anak-anak bangsanya tumbuh sehat dan cerdas. Ia adalah arsitek keindahan, bukan dengan membangun gedung-gedung megah, tapi dengan menata kembali persepsi manusia tentang
33
tubuh dan jiwa mereka. Ia adalah Ferizal, sang Bapak Sastra Kesehatan Indonesia, yang dengan lembut, namun pasti, mengukir aksara-aksara kehidupan di lembaran nurani kita.
Hingga kini, jejak langkahnya tetap terasa. Karya- karyanya bagai mata air yang tak pernah kering, terus mengalirkan inspirasi, mengingatkan kita bahwa kesehatan adalah puisi terindah yang harus kita jaga, setiap hari, setiap detik.
Dan di setiap napas yang kita hirup, terbisik nama Ferizal, sang penyair kesehatan, yang mengubah kata menjadi napas kehidupan.
Ferizal, Sang Penyair Kesehatan
Di tepi desa, di bawah langit kelabu, Ferizal duduk, pena menari di tangannya yang rapuh.
34
Kata-kata mengalir, bagai air di kali, Menyanyikan kesehatan, menembus hati yang perih.
Ia bukan dokter dengan stetoskop menggantung, Tapi penutur cerita, dengan mimpi yang menjulang.
Di setiap baris, ia tanam benih harapan, Tentang tubuh yang sehat, jiwa yang tak pernah kelam.
Di pasar yang ramai, di antara debu dan suara, Ia bisikkan puisi, tentang gizi yang membara. "Anak- anak, dengar," katanya lembut, "Raga adalah bait, jangan biarkan ia redup."
Di bawah pohon beringin, ia ceritakan dongeng, Tentang asap rokok, yang merenggut nafas dalam senyap.
Matanya berbinar, bagai bintang di malam kelam, Setiap kata adalah pelita, menuntun pada kebenaran.
35
Ayah Ana memandang, dengan alis yang mengkerut,
"Sastra tak memberi makan," katanya, hatinya rapuh.
Tapi Ferizal tersenyum, pena tetap menari,
"Kalau bukan kata, bagaimana hati tersafari?
Di panggung nasional, ribuan mata memandang, Anak-anak bernyanyi, lagu cuci tangan mengalun riang.
Ayah Ana terpaku, hatinya luluh, Kata-kata Ferizal, kini mengguncang kalbu.
"Keras kepala," ujar sang ayah, suaranya pelan,
"Tapi mungkin kau benar, kesehatan butuh pahlawan."
Ferizal hanya mengangguk, matanya penuh makna, Sastra adalah jiwanya, kesehatan adalah nyanyiannya.
36
Di setiap lembar kertas, ia tulis cinta, Untuk ibu, untuk negeri, untuk jiwa yang meronta. Ferizal, sang penyair, bapak sastra kesehatan, Dengan puisi ia bangun, Indonesia yang lebih human.
Cinta dan perjuangan, bagaikan dua sayap burung, Bersama Ana Maryana, mimpinya kian menjulang.
Di antara naskah dan tumpukan cerpen puitis, Mereka menabur benih, untuk masa depan yang manis.
Tak perlu panggung megah, tak perlu sorak gemuruh, Hanya hati yang tulus, dan cerita yang utuh.
Ferizal, sang pelopor, dengan pena sebagai lentera, Menerangi jalan, menuju Indonesia yang sehat selamanya.
Ferizal, Bapak Sastra Kesehatan Indonesia
(Cerpen Puitis)
37
Di sebuah negeri bernama Harapan, tempat luka disembuhkan bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan kata-kata yang bernyawa, lahirlah seorang anak manusia bernama Ferizal— bukan hanya tabib, bukan hanya penulis, tapi pemahat jiwa, penabur cahaya dalam gulita diagnosis.
I
Benih Sang Pena
Di beranda Puskesmas yang sepi, Ferizal duduk—
menatap pagi.
“Apakah kesehatan hanya tentang obat dan jarum?”
tanyanya dalam sunyi yang muram.
Ia lihat seorang anak demam tak bicara, ibunya menangis, bapaknya pasrah tak membaca.
38
Maka ia tulis, dengan pena dan darah:
"Kesehatan bukan hanya ilmu medis, tapi juga hati yang menulis."
II
Langkah di Lorong Ilmu
Ia pelajari Florence dan Hippocrates, membaca Foucault, mendalami teks.Tapi hatinya selalu kembali ke kampung, tempat batuk tak kunjung sembuh karena kata-kata dokter terlalu agung.
Ia menulis cerita—tentang si Siti dan batuknya, tentang Pak Jaya dan gigi berlubangnya. Ia tidak hanya tulis gejala dan resep, tapi juga puisi yang bisa orang kampung petik dan kecap.
39
"Sastra," katanya, "adalah jembatan dari klinik ke dusun, dari diagnosis ke harapan, dari protokol ke perasaan."
III
Dari Klinik ke Dunia
Bukunya dibaca dokter muda di Papua, puisinya dihafal bidan di Aceh sana. Cerpennya mengalir seperti sungai yang jernih,masuk ke sekolah, masuk ke masjid, bahkan menetes ke dalam khutbah dan kurikulum pendidikan.
Ferizal tak butuh panggung, namanya tak selalu disebut kampus dan kongres,tapi setiap ibu hamil yang tersenyum—itulah panggungnya yang sesungguhnya.
40
Di balik masker dan jas putih,ada senyum yang lahir dari kata-katanya.
“Sastra Kesehatan bukan gaya,” bisiknya,
“ini jalan hidup menuju cahaya.”
IV
Di Ujung Waktu, Di Pangkuan Cinta
Di usia ini, ia menulis puisi dan surat cinta untuk bangsa yang ia rawat
Bukan dengan pisau bedah, tapi dengan bahasa yang menjahit luka batin.
“Jika aku tiada, jangan cari aku di jurnal atau di rumah sakit, cari aku di taman baca anak-anak, di bibir perawat yang bersyair di ruang rawat.”
41
BAB 3
KARYA SASTRA KESEHATAN INDONESIA
Ferizal bukan hanya nama, ia adalah gerakan, sebuah napas panjang dalam naskah kesehatan bangsa.
“Ferizal, Bapak Sastra Kesehatan Indonesia”
oleh mereka yang pernah disembuhkan oleh cerita.
Pena Pertama di Balik Resep
— Di antara luka dan aksara, lahirlah janji diam seorang anak bangsa.
Di sebuah desa kecil di ujung senja Pulau Sumatera, seorang anak lelaki bernama Ferizal duduk di beranda bambu, mengamati ibunya mengupas singkong
42
dengan tangan yang mulai lelah,
sementara radio tua memutar lagu lawas Ebiet G.
Ade— tentang negeri yang luka dan tak pernah benar- benar sembuh.
“Ibu, kenapa kau batuk terus?”
katanya polos.
“Karena obat tak mampu menenangkan pikiranku, Nak.”
Jawaban itu tak ada di buku pelajaran IPA, tak tertulis dalam diktat farmasi atau rumus anatomi.
Tapi sejak itulah Ferizal tahu:
ada penyakit yang tak akan pernah ditemukan di laboratorium—
penyakit kehilangan harapan.
43
Ayahnya petani. Tak bisa membaca. Tapi mampu mengingat semua musim tanam dari gerak daun kelapa. Ibunya tak tamat SD. Tapi doanya selalu seperti puisi Rabindranath Tagore, lembut namun menusuk ke hati.
Ferizal kecil suka menulis di lembar belakang buku tulis, mencoretkan puisi-puisi kecil di balik catatan matematika.
Tentang nyamuk malaria yang nakal, tentang gigi susu adiknya yang copot, tentang tetangga yang wafat karena tak sempat ke bidan.
“Aku ingin jadi dokter,” katanya.
“Tapi bukan hanya menyuntik orang. Aku ingin membuat mereka tersenyum dengan kata-kata.”
Guru SMP-nya tertawa:
“Dokter tak punya waktu untuk puisi, Ferizal.”
44
Tapi ia hanya tersenyum.
Karena ia tahu, satu hari nanti,
akan ada ruang praktik yang sunyi—
dan di dindingnya tertempel puisi.
Di usia 17, Ferizal memenangkan lomba esai kesehatan tingkat kabupaten.
Tulisannya berjudul:
“Jika Penyuluhan Kesehatan Dibacakan Sebagai Cerpen”
Juri bingung. Tapi kepala puskesmas meneteskan air mata.
“Kau membuat aku ingat… mengapa dulu aku memilih profesi ini.”
45
Bukan karena gaji.
Bukan karena gelar.
Tapi karena ingin menyembuhkan luka tanpa menusuk tubuh.
Suatu malam, saat listrik padam,
Ferizal menulis puisi pertama yang membuat ibunya menangis. Ia beri judul:
“Doa untuk Ibu yang Tak Pernah Pergi ke Dokter”
Ibu, tubuhmu adalah puskesmas yang tak pernah libur, engkau sembuhkan perut-perut lapar dengan sabar, engkau rawat jiwa-jiwa kami dengan dongeng dan sabun cuci.
Tapi siapa yang menyembuhkanmu, Ibu?
Biarlah puisiku menjadi resep yang kau bawa dalam tidur.
46
Sejak itu, Ferizal tahu:
bahwa sastra bukan sekadar hobi.
Bukan sekadar pelengkap ijazah dokter.
Tapi jantung dari penyembuhan itu sendiri.
Di balik setiap resep yang kelak ia tulis, akan tersembunyi satu bait puisi.
Dan setiap pasien yang datang,
akan ia sambut bukan hanya dengan stetoskop, tapi juga cerita kecil yang membuat mereka tertawa dan merasa manusia.
Luka yang Tak Terucap
— Di bangsal itu, suara rintih lebih nyaring dari stetoskop.
47
Langit Kota Medika pagi itu muram.
Kabut menggantung rendah di atas atap fakultas kedokteran, dan Ferizal berdiri di depan bangsal jiwa—dengan tangan gemetar memegang clipboard kosong.
Ia bukan takut pada penyakit.
Bukan gentar menghadapi darah atau muntah.
Tapi ia takut…
tak bisa bicara.
Pasien pertama hari itu adalah seorang perempuan muda, usia dua puluh lima, didiagnosis depresi berat pasca-persalinan.
Ia tak bicara, tak menangis, tak merespons.
Matanya kosong, seperti jendela yang ditutup dari dalam.
48
“Ini bukan hanya kasus serotonin,” bisik Ferizal dalam hati.
“Ini luka yang tak punya bahasa.”
Ia menuliskan catatan praktik klinik,
tapi di baliknya, diam-diam menulis bait puisi:
Ada tubuhmu di ranjang ini,
tapi jiwamu di tempat lain yang tak kupahami.
Jika kata adalah pintu, bolehkah aku mengetuk perlahan?
Hari-hari berikutnya, Ferizal semakin resah.
Ia melihat banyak pasien datang dan pulang, dengan tubuh yang lebih baik—
tapi mata yang masih menyimpan hujan.
49
Seorang bapak datang karena diabetes,
tapi saat ditanya mengapa ia sering lupa minum obat, ia menjawab lirih:
“Istri saya meninggal. Saya tak lagi lapar.”
Obat tak akan menyembuhkan kehilangan.
Insulin tak akan menyembuhkan sepi.
Suatu malam, Ferizal tidak tidur.
Ia duduk di tangga asrama, dan menulis puisi panjang:
Ini bukan sekadar tekanan darah,
tapi tekanan hidup yang tak punya ventilasi.
Ini bukan hanya soal kadar gula,
tapi pahit yang tak tertakar dalam senyawa kimia.
50
Keesokan paginya, ia bawa puisinya ke ruang diskusi kelompok kecil.
Seorang temannya tertawa,
“Bro, ini kuliah kedokteran, bukan sastra!”
Tapi seorang dosen tua, diam-diam berkata:
“Teruskan, Ferizal.
Di masa depan, dokter sepertimu akan lebih dibutuhkan dunia.”
Di semester itu, Ferizal mulai mengarsip puisi dan catatannya.
Ia beri nama: “Jurnal Luka Diam”
Isi jurnal itu bukan hanya patofisiologi, tapi juga bait-bait dari ruang praktik:
tentang ayah yang tak sanggup beli nebulizer,
51
tentang anak yang lebih takut disuntik daripada ditinggal ibunya.
Ia mulai menyadari:
“Aku tidak bisa menghapus semua penyakit.
Tapi aku bisa membuat mereka tak merasa sendirian.”
Satu malam sebelum ujian blok, ia menulis:
Seseorang datang dengan tubuh remuk, aku balut luka fisiknya dengan perban, tapi siapa yang membalut pikirannya?
Siapa yang mengobati kehilangan kepercayaan pada hidup?
52
Pada hari itu, Ferizal bukan lagi hanya mahasiswa kedokteran.
Ia telah menjadi perawat luka batin.
Ia telah menemukan jalannya:
menyatukan ilmu medis dan sastra dalam misi kemanusiaan.
Cerita untuk Sembuh
— Di antara dongeng dan diagnosis, Ferizal menemukan harapan.
Libur semester tiba.
Teman-temannya sibuk mencari tempat magang di rumah sakit besar, tapi Ferizal memilih pulang ke kampung.
Ia tak membawa stetoskop.
Hanya beberapa buku, satu pena tua, dan sebuah tekad
53
yang tak bisa diukur sks-nya:
membawa cerita ke tengah masyarakat.
Pagi pertama di desa, ia duduk bersama anak-anak di balai bambu dekat musholla.
Tak ada infokus, tak ada brosur.
Hanya selembar kertas dengan gambar kelinci dan permen.
“Hari ini aku mau bercerita…”
“Tentang seekor kelinci bernama Gigi yang suka makan permen, tapi takut ke dokter gigi.”
Anak-anak tertawa. Tapi juga diam saat cerita sampai di bagian:
“Gigi si kelinci kehilangan teman karena napasnya bau.”
54
Di akhir cerita, Ferizal bertanya,
“Apa yang harus dilakukan Gigi agar bisa tersenyum lagi?”
Anak-anak menjawab:
“Sikat gigi!”
“Kurangi permen!”
“Ke dokter gigi tiap enam bulan!”
Ia tersenyum.
Ia tahu, pesan yang ditanam lewat cerita akan tumbuh seperti benih.
Bukan hanya dipahami… tapi diingat.
Beberapa hari kemudian,
ibu-ibu PKK memintanya mengisi penyuluhan gizi.
Alih-alih memberikan data stunting dan kalori,
55
ia membacakan cerita:
“Putri Kecil dan Sayur Pelangi”
Tentang seorang gadis yang awalnya benci sayur, tapi akhirnya jadi kuat dan sehat karena makan bayam dan wortel.
“Mas, saya baru ngerti kenapa anak saya kurus padahal makannya banyak,”
kata seorang ibu sambil mengelus perut anaknya.
“Karena makanannya belum berwarna, ya Bu,” jawab Ferizal lembut.
Cerita-cerita itu disalin tangan oleh para kader posyandu.
Dipinjamkan antar dusun.
Dibacakan saat arisan, bahkan dijadikan bahan khutbah Jumat oleh ustaz setempat:
56
“Menjaga kesehatan juga bagian dari iman.
Dan ilmu bisa datang lewat dongeng.”
Ferizal tak butuh mikrofon.
Suaranya tersebar lewat cerita.
Anak-anak mulai mencoretkan cerita kesehatan di kertas bekas.
Ada yang menulis kisah "Si Virus dan Masker Ajaib".
Ada pula cerita "Kakek Bugar Karena Jalan Pagi".
Ferizal membaca semuanya, dan menitikkan air mata kecil:
“Mungkin inilah vaksin yang paling ampuh:
kesadaran yang tumbuh dari cerita.”
57
Di malam terakhir sebelum kembali ke kota, Ferizal duduk bersama ibunya.
Ia bacakan puisi pendek yang ditulis saat melihat anak-anak kampung tersenyum:
Di desa yang tak punya wifi,
aku temukan koneksi paling jernih,
antara mulut yang tertawa dan hati yang mengerti, bahwa cerita bisa lebih kuat dari suntikan,
lebih abadi dari selebaran.
Sejak hari itu, Ferizal tahu:
tugasnya bukan sekadar menyembuhkan tubuh, tapi menghidupkan semangat sehat lewat bahasa.
Ia mencatat di jurnal pribadinya:
“Hari ini aku jadi dokter tanpa jas putih.
Tapi pasienku—anak-anak desa itu—
58
mungkin tak akan lupa cerita ini seumur hidup mereka.”
Panggung Sunyi Sastra Kesehatan
— Ketika puisi masuk ruang kuliah dan ditertawakan, Ferizal tetap berdiri.
Semester baru, kampus kembali ramai.
Mahasiswa berlomba mempersiapkan skripsi dan presentasi ilmiah. Semua bicara tentang data, grafik, angka prevalensi.
Sementara Ferizal… masih sibuk menyusun cerita.
Bukan karena ia tak paham statistik. Tapi karena ia tahu, di balik setiap angka, ada nama. Ada manusia.
59
Suatu hari di forum kampus,Ferizal berdiri di depan mahasiswa kesehatan se-fakultas.
Ia mempresentasikan idenya:
“Sastra Kesehatan sebagai Metode Intervensi Komunitas.”
PowerPoint-nya hanya berisi tiga kalimat:
Cerita membuat orang mendengarkan.
Cerita membuat orang mengingat.
Cerita membuat orang berubah.
Ruang itu hening.
Lalu tawa kecil muncul dari belakang.
“Lalu? Kau mau jadi dokter atau dongeng malam?”
“Sastra? Ini kedokteran, bukan kelas pujangga.”
60
Tapi Ferizal tak mundur.
“Justru karena ini kedokteran, aku ingin kita kembali mengingat:
bahwa pasien bukan kasus, tapi cerita yang hidup.”
Seorang dosen tua—Prof. Rahmi—bangkit perlahan:
“Biarkan dia bicara.
Mungkin suara sunyi inilah yang selama ini kita abaikan.”
Ferizal lalu memulai komunitas kecil:
SASTRA SEHAT NUSANTARA
Bermula dari tiga mahasiswa lintas jurusan:
satu calon dokter, satu calon bidan, satu pecinta puisi.
Mereka mengumpulkan cerita-cerita kesehatan rakyat.
61
Menulis ulang dongeng lama dengan sentuhan preventif.
Membuat “cerpen imunisasi”, “puisi cuci tangan”, dan
“fabel ASI eksklusif”.
Buku pertama mereka diberi judul:
“Sehat Itu Puisi yang Dipraktikkan.”
Ferizal tak menunggu pengakuan. Ia dan timnya mulai keliling kampung—membacakan cerita kesehatan.
Di ruang kelas, di puskesmas, di teras musholla, bahkan di pasar.
“Sehat bukan hanya soal tubuh,” katanya dalam salah satu kunjungan.
“Tapi juga soal harapan, dan harapan lahir dari kata- kata.”
62
Pada sebuah seminar kesehatan kampus tingkat nasional, Ferizal diminta menjadi pemantik diskusi.
Pembicara sebelumnya bicara soal reformasi sistem kesehatan, tentang BPJS, tentang fasilitas medis.
Giliran Ferizal naik ke podium… ia hanya membawa selembar puisi.
“Skrining adalah Cinta”
Periksa tubuhmu seperti engkau membaca puisi—
perlahan, penuh makna,
jangan tunggu nyeri menjadi sajak kematian.
Karena mencegah adalah mencintai sebelum luka.
Beberapa tertawa. Tapi sebagian terdiam.
Seorang kepala puskesmas mendekatinya sesudahnya:
63
“Saya akan mulai tempelkan puisi-puisi ini di ruang tunggu.
Terima kasih, Ferizal.”
Hari itu Ferizal mencatat di jurnalnya:
“Mungkin aku bukan pahlawan dengan jas putih, tapi jika ada satu orang yang sembuh karena cerita, maka aku tak lagi ragu untuk melanjutkan.”
Dalam kesunyian itu,
tanpa disadari, panggung sastra kesehatan mulai tumbuh.
Bukan di aula besar atau ruang ilmiah,
tapi di hati-hati masyarakat yang mulai mengerti
64
bahwa kesehatan juga bisa dibangun dengan kehangatan kata.
Saat Penyakit Tak Lagi Ditakuti
— Ketika cerita mulai menggantikan ketakutan, dan sastra menjadi pelita.
Desa Banuarum, Nusa Tenggara Timur.
Panas menyengat, tapi anak-anak berlarian ke balai desa
dengan semangat yang tak bisa ditakar suhu tubuh.
Di tangan mereka, tergenggam lembaran berwarna:
cerpen-cerpen kesehatan karya Komunitas Sastra Sehat Nusantara.
Pagi itu, bukan tenaga medis yang memegang mikrofon, tapi seorang relawan lokal, membacakan
65
cerita berjudul:
“Raja Tua dan Nyamuk Demam Berdarah.”
Anak-anak mendengarkan.
Orang tua mengangguk.
Kepala desa mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Tak satu pun menyadari,
bahwa yang sedang terjadi adalah pendidikan kesehatan.
Tanpa slide. Tanpa tekanan.
Hanya lewat cerita.
Ferizal duduk di pojok, tak ingin mencuri perhatian.
Tapi ia menangis diam-diam.
“Inilah panggung sesungguhnya,” bisiknya.
“Bukan seminar, bukan auditorium… tapi hati yang terbuka.”
66
Hari-hari berikutnya,
puisi-puisinya muncul di dinding puskesmas:
“Cuci tanganmu seperti kau menyentuh masa depan.”
“ASI adalah surat cinta dari ibu kepada kehidupan.”
“Imunisasi bukan racun, tapi pelindung tak kelihatan.”
Di salah satu desa di Papua, bidan muda membacakan
“Cerita Si Bayi Tangguh”
sebelum menyuntikkan vaksin.
Ibu-ibu tertawa, anak-anak tak lagi menangis.
67
“Mereka tidak takut karena mereka merasa dimengerti,”
kata bidan itu kepada Ferizal lewat surat.
Kementerian Kesehatan mulai mencatat keanehan indah ini:
angka imunisasi naik
kunjungan ibu hamil meningkat
anak-anak lebih tahu soal gizi dan kebersihan
Namun yang paling mengejutkan:
angka ketakutan terhadap fasilitas kesehatan menurun.
Rakyat mulai berani bertanya, mendekat, berdialog.
Dan semuanya dimulai dari… cerita.
68
Ferizal tak pernah memikirkan penghargaan.
Tapi pada suatu sore, ia diundang ke Gedung Kemenkes.
Mereka memintanya jadi konsultan untuk kampanye kesehatan berbasis budaya dan literasi.
“Kami tak tahu harus mulai dari mana,” kata seorang direktur.
“Tapi cerita-cerita Anda menjangkau tempat yang tak bisa kami jangkau.”
Ferizal tersenyum.
“Mulailah dari manusia.
Bukan dari sistem.
Bukan dari perintah.
Tapi dari hati yang mau didengar.”
69
Di perjalanan pulang,
ia menulis bait puisi di atas tiket kereta:
Penyakit tak selalu menakutkan,
jika kita punya bahasa untuk menghadapinya.
Dan penyuluhan tak harus seperti kuliah, cukup sebuah dongeng yang membuat anak tersenyum.
Hari itu Ferizal tahu,
bahwa perjuangannya telah masuk ke aliran darah masyarakat.
Cerita-cerita kecilnya bukan lagi hanya tulisan, tapi menjadi bagian dari perubahan nyata.
70
Kesehatan bukan lagi momok.
Ia telah menjadi milik rakyat.
Karena cerita telah mengusir rasa takut itu pergi.
Ferizal dan Ana Maryana
— Dua hati yang menyembuhkan luka bangsa, dengan cinta dan kata.
Hari itu di Bandung, langit seperti halaman puisi yang baru ditulis: bersih, lapang, dan diam-diam berdebar.
Ferizal datang sebagai pembicara tamu di seminar kecil:
“Literasi Kesehatan dan Humanisasi Pelayanan Medis”.
Ia bicara dengan lembut, membawa cerita-cerita dari pedalaman, dan membaca puisinya yang paling dikenal waktu itu:
71
“Di Balik Perban, Ada Ibu yang Berdoa.”
Di barisan depan, duduk seorang dokter muda
berjilbab krem, membawa buku catatan, dan sesekali tersenyum kecil.
Namanya: dr. Ana Maryana.
Lulusan terbaik. Peraih beasiswa luar negeri.
Tapi lebih dari itu—ia penulis diam-diam,
yang menyembunyikan puisi-puisi di balik catatan medis.
Setelah seminar, mereka berkenalan.
Ferizal menyodorkan buku puisi antologinya, Ana membalas dengan jurnal kecil berjudul:
“Napasku di Antara Paragraf dan Pasien.”
“Saya kira saya satu-satunya dokter yang percaya sastra bisa menyembuhkan,” kata Ana.
72
Ferizal menjawab,
“Kalau begitu, mari kita sembuhkan negeri ini bersama.”
Sejak hari itu,
mereka tak hanya saling mengirim pesan, tapi juga puisi.
Kau menyentuh luka dengan jarum, aku menenangkannya dengan kata, kau dokter yang menyembuhkan tubuh, aku penyair yang memeluk jiwanya.
Di antara jadwal praktik dan pelatihan, mereka menulis bersama:
cerpen kesehatan keluarga, puisi untuk ibu hamil, dan drama pendek tentang sanitasi di sekolah.
73
Karya mereka disatukan dalam buku berjudul:
Sanatio Est Lux Aeterna
(Penyembuhan Adalah Cahaya Abadi) Buku itu tidak dijual di toko besar,
tapi dikirim gratis ke pelosok—untuk bidan, guru, dan santri.
Mereka jatuh cinta perlahan.
Bukan lewat rayuan, tapi lewat visi.
Bukan dengan bunga, tapi dengan draf revisi cerita anak.
“Apa impianmu, Ana?”
“Menjadikan rumah sakit bukan tempat takut, tapi tempat belajar dan menyembuhkan rasa.”
74
“Dan kau, Ferizal?”
“Menjadikan setiap puskesmas perpustakaan kecil.”
Saat mereka menikah,
undangan pernikahan mereka adalah puisi kolaboratif:
Kami bersatu bukan karena takdir semata,
tapi karena luka-luka yang sama-sama kami tangisi, dan semangat yang sama untuk menyembuhkan bangsa ini, dengan cinta yang tak hanya romantis, tapi juga revolusioner.
Pernikahan itu bukan akhir cerita.
Tapi awal dari tandem paling berpengaruh dalam dunia kesehatan berbasis sastra.
75
Mereka membangun gerakan:
Sastra untuk Klinik,
yang menggabungkan pendekatan komunikasi, seni, dan empati dalam pelatihan dokter dan tenaga
kesehatan.
Mereka juga keliling negeri—bukan bulan madu ke Paris,
tapi ke daerah tanpa sinyal,
membacakan puisi di bawah pohon mangga untuk anak-anak yang takut jarum suntik.
Di jurnal hariannya, Ferizal menulis:
Jika cinta hanya membuatku bahagia, maka itu tak cukup.
Tapi jika cinta membuatku lebih berguna untuk orang banyak,
76
maka Ana Maryana adalah penyembuh yang dikirim Tuhan.
Surat untuk Generasi Baru
— Karena profesi bukan hanya keterampilan, tapi warisan jiwa.
Waktu berjalan seperti puisi yang tak pernah selesai ditulis.
Ferizal kini tidak muda lagi.
Rambutnya mulai dihiasi garis-garis salju, namun cahaya di matanya tak pernah padam.
Ana Maryana tetap setia mendampinginya, dan kini, bersama, mereka bukan hanya penulis, tapi juga pengajar—dan lebih dari itu, penyala obor.
77
Setiap bulan, Ferizal mengajar di fakultas kesehatan.
Namun ia membawa buku berbeda.
Bukan hanya textbook patologi,
tapi kumpulan cerpen dan sajak hasil tangannya sendiri.
Di awal kelas, ia selalu bertanya:
“Siapa di sini yang ingin jadi dokter yang bisa didengar tanpa harus berteriak?”
Sebagian mengangkat tangan ragu.
“Siapa yang ingin pasiennya sembuh bukan karena takut, tapi karena paham?”
Di sinilah surat-surat Ferizal untuk generasi baru lahir—
bukan dari tinta mewah,
tapi dari kejujuran yang ia tulis sendiri, dengan hati seorang penyintas luka bangsa.
78
✉️ Surat 1: Untuk Mahasiswa Kedokteran Tahun Pertama
Kau akan belajar banyak tentang tubuh, tentang organ dan jaringan,
tapi jangan lupa:
pasienmu nanti bukan hanya rangkaian sistem, tapi seseorang yang takut, bingung, dan ingin dimengerti._
Belajarlah mendengar suara diam mereka, suara yang tak terdata dalam tekanan darah, tapi terasa saat kau menatap mata mereka._
✉️ Surat 2: Untuk Perawat dan Bidan Muda
79
Di tanganmu, bayi pertama kali menyentuh dunia.
Di senyummu, ibu yang lelah bisa tenang.
Maka kata-katamu bukan sekadar prosedur, tapi mantra yang bisa menguatkan._
Satu kalimatmu bisa membuat pasien percaya hidup lagi.
Jangan pelit memberi harapan.
✉️ Surat 3: Untuk Dokter yang Ingin Cepat Kaya
Kalau uang jadi alasan utama, mungkin kau akan hebat, tapi tak akan abadi._
Tapi kalau cinta pada sesama yang jadi alasan, kau akan dikenang jauh setelah jas putihmu digantungkan._
80
Ferizal mencetak surat-surat ini menjadi buku kecil:
“Obat yang Tak Dijual di Apotek”
Dan ia bagikan gratis ke ratusan kampus kesehatan di seluruh Nusantara.
Suatu hari, seorang mahasiswa mendekatinya sambil menangis.
“Pak… saya hampir pindah jurusan.
Tapi surat Bapak menyelamatkan niat saya.”
Ferizal menepuk bahunya.
“Kalau kamu bisa menyembuhkan satu orang dengan kata,
maka kamu sudah menjadi dokter sejati.”
81
Bersama Ana Maryana,
mereka membuat program bernama:
"Pesan Kesehatan Lewat Puisi"
di mana setiap mahasiswa diwajibkan menulis satu puisi setiap kali mereka menyentuh pasien.
Puisi itu bukan tugas.
Tapi pengingat:
bahwa setiap profesi yang menyentuh tubuh, juga wajib menyentuh jiwa.
Malam itu, Ferizal menulis surat terakhirnya,
yang akan ia bacakan dalam Kuliah Umum Nasional di Jakarta.
Judulnya:
82
✉️ "Sumpah Seorang Penyair yang Juga Seorang Dokter"
Aku bersumpah akan mendengarkan bukan hanya detak jantung,
tapi juga detak ketakutan.
Aku akan merawat bukan hanya luka fisik, tapi juga luka perasaan.
Aku akan menyembuhkan dengan obat dan dengan kata,
dengan protokol dan dengan pelukan bahasa.
Cahaya yang Abadi
— Ketika kata tak lagi dibacakan, tapi diwariskan sebagai nyawa.
Usia Ferizal menginjak tujuh puluh dua.
Langkahnya mulai lambat,
83
tapi pikirannya masih setajam awal mula ia jatuh cinta pada luka manusia.
Ana Maryana, kini juga menjadi tokoh penting di dunia kesehatan jiwa dan sastra,
masih menggandeng tangannya setiap pagi, mengajaknya duduk di beranda
di mana dahulu mereka menulis puisi tentang imunisasi dan cinta pertama.
Satu malam yang hening, Ferizal jatuh sakit.
Bukan sakit yang bisa disembuhkan dengan antibiotik, tapi kelelahan panjang seorang pejuang
yang telah menyerahkan hidupnya pada dua hal:
kata dan kesehatan.
84
Di ruang rawat sederhana,
buku-buku puisinya menumpuk di sisi ranjang.
Mahasiswa datang bergantian, membacakan bait-bait yang dahulu ditulis Ferizal
untuk generasi yang bahkan belum lahir.
“Pak Ferizal… jangan pergi dulu,” bisik salah satu mereka.
“Kami masih butuh cerita-cerita Anda.”
Ia tersenyum, lemah tapi penuh cahaya.
“Aku tak pernah benar-benar pergi…
karena kisah tidak mati,
selama kalian terus membacanya.”
Hari pemakamannya sunyi—
bukan karena tak ada yang hadir,
tapi karena terlalu banyak yang menangis diam-diam.
85
Di pelosok-pelosok negeri,
puskesmas kecil mengibarkan bendera putih setengah tiang.
Bukan karena kewajiban, tapi karena mereka tahu:
seorang penyembuh yang bukan sekadar dokter telah berpulang.
Di makamnya, Ana Maryana membacakan puisi terakhir Ferizal:
ditemukan di saku baju tidurnya, ditulis dengan tulisan gemetar:
Jika suatu hari aku tak di sini,
bacalah puisiku seperti membaca nadi.
86
Jika kau ragu menyuntikkan harapan,
guntinglah bait-bait ini dan jadikan kompres bagi jiwa.
Karena tubuh bisa sembuh sendiri,
tapi jiwa perlu disentuh dengan cinta dan cerita.
Setahun kemudian,
lahirlah sebuah gerakan nasional:
Gerakan Sastra Kesehatan Indonesia, didorong oleh murid-muridnya,
ditandatangani oleh dokter, bidan, perawat, dan penyuluh dari seluruh Nusantara.
Di hari peluncurannya,
anak-anak membacakan dongeng kesehatan, para ibu membaca puisi tentang gizi dan cinta,
87
dan para lansia membacakan ulang kisah-kisah karya Ferizal.
Di dinding perpustakaan kesehatan nasional, dipahatkan kalimat emas:
“Kata bisa menyembuhkan lebih dari yang kau kira.
Ferizal mengajarkan kita:
bahwa profesi kesehatan bukan hanya soal keahlian, tapi tentang keberanian menyentuh jiwa manusia dengan bahasa.”
Epilog: Warisan dalam Kata
Ferizal telah tiada.
Tapi anak-anak terus menulis cerita.
Mahasiswa baru terus mengutip surat-suratnya.
88
Dan pasien-pasien di ruang tunggu masih membaca puisinya yang ditempelkan di dinding.
Cahaya itu tidak pernah padam.
Karena ia bukan berasal dari tubuh,
tapi dari cinta yang dituangkan lewat pena.
Dan kini, saat engkau membaca ini,
di sanubari diam-diam terukir satu kalimat:
“Aku juga ingin menjadi penyembuh sastra seperti Ferizal.”
89
90
Riwayat Penulis
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia”
Ferizal penganut aliran sastra romantisme aktif.
Romantisme aktif merupakan aliran dalam karya sastra yang mengutamakan ungkapan perasaan, mementingkan penggunaan bahasa yang indah, ada kata-kata yang memabukkan perasaan sebagai perwujudan, menimbulkan semangat untuk berjuang dan mendorong keinginan maju menyongsong Indonesia Emas 2045.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia” adalah sastrawan dan PNS Lhokseumawe : penulis buku sastra terkait profesi Dokter Gigi.
91 Ferizal mengucapkan "Sumpah Amukti Palapa Jilid II" di Bumi Bertuah Malaysia, sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan "Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" ... Menuju Indonesia Emas tahun 2045
Dengan inspirasi Amukti Palapa, dengan penuh semangat juang..
Tanggal 25 Juni 2013 Ferizal mengumumkan sumpah di bumi bertuah Malaysia, Sebuah sumpah yang kemudian dinamakan Sumpah Amukti Palapa Jilid Dua:
“Saya bersumpah demi Tuhan, demi harga diri bangsa saya, bahwa saya tidak akan menyerah, tidak akan beristirahat, sampai saya mampu menyatukan Nusantara dibawah naungan Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia.”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’. Beliau telah menerbitkan karya tentang Dokter Gigi 1. Pertarungan Maut Di Malaysia.
2. Ninja Malaysia Bidadari Indonesia
3. Superhero Malaysia Indonesia ( Kisah Profesi Dokter Gigi Merangkum Seni, Estetika dan Kesehatan ).
4. Garuda Cinta Harimau Malaya