• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejak Islamisasi di Tanah Papua 1360-1374

N/A
N/A
M DEVA

Academic year: 2025

Membagikan "Jejak Islamisasi di Tanah Papua 1360-1374"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Hayula Jejak Islamisasi di Tanah Papua (1360-1374)

_____________________________________________________________________

M. Deva Putra Alam

Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected] Ganjar Eka Subakti

Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

Naskah diterima:xxxx, direvisi:xxxxxx; disetujui: xxxxxx

_____________________________________________________________________

Abstract

The history of the arrival of Islam on the island of Papua and the process of its spread among the people of Papua are interpreted differently, but according to the Arab theory, Islamization in Papua began in the 16th century, when Muslim traders first arrived in this region. However, Islam did not spread significantly until the 19th and early 20th centuries. At that time, preachers from Sulawesi and Java began to introduce Islam to the local population. At first, the presence of Islam in Papua was limited to coastal cities in the north and east, such as Biak, Jayapura and Merauke.

However, in the 1930s, a more intensive mission of Islamization began, with the establishment of institutions such as the Islamic People's School and the Grand Mosque.

Keywords: content, formatting, article.

Abstrak

Sejarah masuknya Islam di pulau Papua dan proses penyebarannya di kalangan masyarakat Papua dimaknai berbeda-beda, namun menurut Teori Arab ejak Islamisasi di Papua dimulai pada abad ke-16, ketika pedagang Muslim pertama kali tiba di wilayah ini.

Namun, Islam belum menyebar secara signifikan hingga abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Pada saat itu, para mubalig dari Sulawesi dan Jawa mulai memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Pada awalnya, keberadaan Islam di Papua terbatas pada kota-kota pantai di utara dan timur, seperti Biak, Jayapura, dan Merauke. Namun, pada tahun 1930- an, misi Islamisasi yang lebih intensif dimulai, dengan didirikannya lembaga-lembaga seperti Sekolah Rakyat Islam dan Masjid Raya.

Kata Kunci : Islam di Papua, Penyebaran Islam di Papua

Pendahuluan

Islam adalah agama dakwah, sehingga dalam praktiknya banyak umat Islam menyebarkan Islam hingga ke ujung timur nusantara, yaitu wilayah Papua yang terletak di I ndonesia bagian timur, karena sejarah perkembangan dan peradaban Islam di Papua belum

(2)

banyak terdengar. Saat itu masyarakat Papua masih belum memiliki budaya yang tinggi. , sehingga tidak banyak catatan dan bukti sastra yang ditemukan. Sejarah Islam di Tanah Papua berlangsung lebih dari 5 abad ketika dakwah Islam mencapai Nusantara di perairan Samudra Pasifik. Sebelum masuknya Islam, orang Papua sangat menganjurkan kepercayaan pada roh nenek moyang mereka. Ini ditunjukkan dalam pemberian ritual kepada suku-suku pedalaman, yang ditujukan kepada arwah leluhur mereka dengan harapan akan membawa k esuksesan dalam hidup mereka! Dalam praktiknya, mereka menganggap leluhur tersebut sebagai dewa yang memberi kehidupan dan perlindungan, dan kepercayaan turun-temurun i ni masih ada di antara beberapa suku di pedalaman Papua. “Namun, kehadiran Islam membawa pencerahan bagi masyarakat Papua yang berdampak langsung pada perubahan budaya dan peradaban di Papua.

Sebagai kawasan hutan, laut, dan pegunungan, Papua menarik banyak pendatang yang kemudian bermukim di bagian timur Papua dari Sorong Barat Daya hingga Tanah Merah hingga Merauke. Kedatangan orang luar mengubah Papua menjadi Indonesia kecil.

Dimana tidak ada kelompok etnis atau agama tertentu yang mendominasi. Bahkan di masyarakat Fakfak terkadang ada keluarga yang terdiri dari Kristen, Katolik, dan Muslim.

Ungkapan "Satu Tungku, Tiga Batu" digunakan untuk mewakili tradisi ini di fakfak. Di Raja Ampat, istilah "Satu Rumah Empat Pintu" digunakan. Kondisi ini belum menjadi masalah dimana agama digunakan sebagai identitas diri dan hubungannya dengan Tuhan. Pada saat yang sama, ikatan keluarga yang biasanya bersifat komunal menjaga ikatan antar keluarga tetap erat. Keluarga dengan keluarga lain selalu saling membantu, tidak hanya dalam kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dalam acara-acara keagamaan, pengaturannya disiapkan bersama. Artinya, meskipun mereka berbeda agama, mereka masih dalam satu kelompok keluarga, sehingga dianggap kekerabatan sebagai acuan utama dan agama tidak dianggap sebagai atribut. Ikatan keluarga, juga disebut klan, lebih penting daripada keputusan agama.

Tak hanya menyebar di Fakfak dan Raja Ampat, tapi juga di Wondama dan Bintun Pembunuhan beda agama dalam satu keluarga tak jarang terjadi. Setiap anggota keluarga menyadari sejak awal bahwa mereka juga dapat memilih jalan agama yang berbeda. Namun ikatan kekeluargaan harus tetap terjaga dan dipupuk. Ikatan darah selalu menjadi yang utama.

(3)

Metode Penelitian/Metode Kajian

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus untuk mengetahui lebih dalam tentang Islamisasi di Tanah Papua. Metode studi kasus digunakan karena memungkinkan penelitian ini untuk melakukan analisis mendalam terhadap kasus-kasus yang terkait dengan topik penelitian. Pertama, penelitian ini melakukan riset pendahuluan yang melibatkan studi literatur untuk memahami konteks sejarah Islamisasi di Tanah Papua pada periode waktu yang diteliti. Sumber-sumber sekunder seperti buku, artikel, dan jurnal sejarah digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang topik penelitianan.

Selanjutnya, penelitian ini mengidentifikasi dan mengumpulkan data dari berbagai sumber primer Metode peneliti mengidentifikasi adalah pendekatan yang digunakan penelitian untuk mengenali dan mengumpulkan data yang relevan terkait dengan topik penelitian.

Metode ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang variabel atau fenomena yang sedang diteliti. Data-data ini diakses melalui lembaga arsip sejarah dan perpustakaan khusus yang relevan dengan topik penelitian. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan metode analisis konten.

Penelitian ini membaca dan menggali informasi dari dokumen-dokumen tersebut untuk mengidentifikasi pola, tema, dan perubahan dalam perkembangan Islamisasi di Tanah Papua pada periode waktu yang diteliti. Pendekatan analisis konten memungkinkan penelitian ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang peran teknologi, perubahan sosial, dan dampak ekonomi dari Revolusi Industri pada industri tekstil. Seluruh data yang terkumpul kemudian dianalisis secara mendalam dengan menggunakan pendekatan historis.

Penelitian melakukan triangulasi data dengan membandingkan dan memadukan temuan dari berbagai sumber untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang Proses Islamisasi di Tanah Papua. Penelitian ini memiliki beberapa batasan, termasuk keterbatasan akses terhadap sumber-sumber primer yang mungkin telah hilang atau tidak dapat diakses.

Namun, upaya maksimal telah dilakukan untuk mengumpulkan data yang relevan dan memastikan validitas dan reliabilitas penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Jejak awal Islamisasi Tanah Papua

(4)

Sejarah masuknya Islam di pulau Papua dan proses penyebarannya di kalangan masyarakat Papua dimaknai berbeda-beda, artinya belum ada konsensus di kalangan umat Islam di pulau Papua hingga saat ini ketika Islam pertama kali muncul di pulau tersebut. Papua, di mana itu terjadi. Islam datang dan bagaimana penyebarannya. Salah satu penjelasan menyebutkan bahwa istilah Papua berasal dari bahasa Tidore “Papo Ua” yang berarti “tidak bergabung”

atau “tidak bergabung”. Intinya wilayah dan negara yang luas (Papua) bukan milik Kesultanan Tidore. Pendapat lain mengatakan bahwa Papua berasal dari bahasa Melayu

‘Puapua’ yang artinya keriting. Istilah ini diperkenalkan oleh William Mardsen pada tahun 1812 dan terdapat dalam Kamus Melayu Belanda Von der Wall tahun 1880 dengan kata

"papoewah" yang berarti orang berambut keriting.

Padahal Papua sudah dikenal sejak lama. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut Jang.

Para navigator Portugis yang singgah di Papua pada tahun 1526-1527 menyebutnya Papua.

namun ada juga yang menyebutnya Isla De Oro atau (Pulau Emas). Kemiripan fisik orang Papua dengan orang Afrika membuat navigator Spanyol menyebut mereka Nieuw guinca, mengacu pada wilayah Gina di Afrika Barat. Perbedaan nama orang Papua berarti bagi kita keragaman masyarakat yang berinteraksi dengan orang Papua. Salah satu masyarakat yang diketahui memiliki hubungan dagang dengan orang Papua adalah pedagang Tionghoa.

Barang-barang seperti porselen dan tembikar dipertukarkan di antara mereka sendiri. bahkan di antara Serun ada keturunan Cina.

Cerita lain juga menyebutkan hubungan Kerajaan Majapahit dengan masyarakat Papua.

Terutama di kalangan orang Papua di Onin (Wwanin), fakfak. Hubungan ini diketahui dari Syair Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365M). Kuplet tersebut menyebutkan kata Wwanin (Onin, Fakfak) dan Sran (Kowiai atau Kaimana). Bersama dengan orang-orang Asia, penjelajah Eropa mengunjungi Papua sejak abad ke-16. Misalnya, pada tahun 1526 gubernur Portugis pertama di Maluku, Jorge de Menesez, mengunjungi pulau Waigeo (Raja Ampat). Pada tahun 1545 kapten Spanyol Ynigo Ortiz de Retez tiba di dekat Sarmi di muara sungai Mamberamo. Kemudian dia menyebut pulau itu (Papua) Nugini. Hubungan antara orang Papua yaitu Raja Waigeo dengan Portugis dapat ditelusuri melalui catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito yang menjelajahi Raja Ampati pada tahun 1581. Dari catatan De Brito dapat disimpulkan bahwa Raja Waigeo memeluk Islam. Keterkaitan orang Papua dengan berbagai pihak tersebut biasanya sebatas bisnis. Namun, kontak antara orang Papua dan Muslim memiliki efek yang berbeda. Kontak orang Papua dengan Muslim tidak hanya

(5)

terbatas pada perdagangan, tetapi juga pada transformasi kehidupan mereka dengan menerima Islam.

Penyebaran Islam di Papua sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Papua Barat dari Raja Ampat hingga Fakfak. Kedatangan Islam di Papua mungkin mendahului kedatangan agama Kristen. Namun, para pengamat, sarjana dan keturunan Raja Ampat-Sorong, Fak-Fak, Kaimana dan Teluk Bintuni-Manokwar membantah klaim awal bahwa Islam datang ke wilayah itu hanya melalui tradisi lisan tanpa dukungan. dengan bukti tertulis atau dokumenter. bukti arkeologi.

Salah satu saksi bisu sejarah adalah Masjid Patimburak di distrik Kokasi, Fakfak. Masjid ini dibangun oleh Raja Wertver I bernama Semempe. Kesepakatan belum tercapai pada beberapa seminar yang diadakan di Aceh pada tahun 1994 dan di ibu kota provinsi Kabupaten Fakfak dan Jayapura pada tahun 1997. Setelah Islam masuk ke tanah Papua pada tahun 1870, Islam dan Kristen menjadi agama yang hidup berdampingan di Papua. Karena Raja Wertver I tidak ingin keyakinan rakyatnya terpecah belah. Wetver juga mengadakan sayembara misionaris dimana setiap agama diminta untuk membangun tempat ibadahnya masing-masing. Masjid dibangun di Patumburak, gereja dibangun di Bahirkendik.

Syaratnya, jika keduanya menyelesaikan bangunan dalam batas waktu, semua Wertverian menerima agama tersebut. Namun itu adalah masjid yang baru pertama kali berdiri di negara Papua. Raja Wetver memenuhi janjinya dan Raja Wetver dan semua orang menerima Islam.

A. Teori-teori kedatangan Islam di Tanah Papua

Sejarah awal islamisasi negara Papua setidaknya dapat ditelaah mengingat beberapa versi kedatangan Islam di berbagai tempat di negara Papua. Setidaknya ada 7 (tujuh) versi Islamisasi negara Papua, karena penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut:

Teori Papua

Teori ini melihat adat dan legenda beberapa orang asli Papua, terutama yang tinggal di daerah Fakfak, Kaimana, Manokwar dan Raja Ampat (Sorong). Menurut teori ini, Islam tidak berasal dari luar Papua, juga tidak dibawa dan disebarkan dari Arab, Sumatera, Jawa atau Sulawesi oleh kerajaan Ternate dan Tidore, atau oleh pedagang Muslim dan Da'l. Namun Islam berasal dari Papua sendiri karena pulau Papua diciptakan oleh Allah SWT. Mereka juga mengatakan bahwa Islam ada di Papua bersamaan dengan

(6)

keberadaan pulau Papua dan mereka mempercayai cerita bahwa dahulu tempat turunnya nabi Adam dan Hawa adalah di benua Papua.

Teori Aceh

Kajian sejarah masuknya Islam di Fakfak yang disusun pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa Islam masuk pada 8 Agustus 1360 M, ditandai oleh penceramah Aceh Abdul Ghafar di Fatagar Lama. Desa Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal asli masuk Islam didasarkan pada tradisi lisan Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan putra bungsu Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), yang mendakwahkan Da'i Abdul Ghafar selama 14 tahun ( 1360-). 1374 M) di dalam dan sekitar Rumbat. kemudian ia meninggal dan dimakamkan pada tahun 1374 M. di belakang masjid kota Rumbat.

Teori Arab

Menurut tradisi lisan Fakfak, Islam pertama kali masuk ke Papua di daerah Semenanjung Onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qatha bergelar Syekh Jubah Biru Arab yang diperkirakan pada pertengahan Abad ke-16 abad terjadi.

Menurut bukti keberadaan Masjid Tunasgain yang berusia kurang lebih 400 tahun atau dibangun sekitar tahun 1587.

Teori Banda

Menurut Halwany Michrob, Islamisasi di Papua khususnya di Fakfak dikembangkan oleh para pedagang Bugis melalui Banda, dibawa ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang Arab bernama Attamimi de Hawete yang sudah lama tinggal di Ambon. Proses islamisasi juga dilakukan dengan khitanan, dimana penduduk setempat mengancam jika yang disunat mati, dua mubaligh dibunuh, tetapi pada akhirnya berhasil disunat dan kemudian penduduk setempat menyerbu masuk. Islam.  

Teori Bacan

Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad Al-Bakiri, Kesultanan Bacan memprakarsai penyebaran Islam ke seluruh tanah air, di Sulawesi, Filipina, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa, dan Papua. Arnold, Raja Bacan pertama masuk Islam bernama Zainal Abidin yang memerintah pada tahun 1521 Masehi. (abad XVI), menurut Bacan, kemudian memerintah suku-suku Papua dan pulau-pulau barat laut seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Sultan Bacan memperluas kekuasaannya hingga ke Semenanjung Onis Fakfak di barat laut Papua pada tahun 1606 Masehi. Melalui

(7)

pengaruh mereka dan para pedagang Muslim, para pemimpin masyarakat di pulau-pulau itu memeluk Islam. Sementara penduduk pedalaman tetap menganut animisme, penduduk pesisir menganut Islam. Dari sumber tertulis dan lisan serta bukti dari sisa-sisa nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi raja Muslim di Kepulauan Raja Ampat. Karena itu ada dugaan kuat bahwa Kesultanan Bacan adalah yang pertama menyebarkan Islam di Papua pada pertengahan abad ke-15. Kemudian, pada abad ke-16, kerajaan-kerajaan kecil terbentuk di kepulauan Raja Ampat.

Teori Utara

Penyebaran agama Islam di Kabupaten Fakfak terjadi sekitar pertengahan abad ke-15.

Proses imigrasi melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan informal dan politik, dengan Islam juga menyebar melalui jalur politik, nikmat dan upaya raja dan bangsawan dan keluarga mereka.

B. Jalur penyebaran Islam di Tanah Papua

Berabad-abad berlalu antara kedatangan Islam, pembentukan masyarakat Islam, dan terlebih lagi munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Demikian pula proses ini melalui berbagai jalur yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak, yaitu kedua belah pihak umat Islam itu sendiri. Bisnis, pernikahan, birokrasi negara, pendidikan (pesantren), tasawuf, kesenian dan lain-lain.

Model penyebaran Islam di Tanah Papua, termasuk melalui berbagai jalur, antara lain sebagai berikut:

Jalur Perdagangan

Menurut Leeder dan Mansoben, proses awal islamisasi di pulau Papua diambil alih oleh hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan Maluku dengan kerajaan-kerajaan Kepulauan Raja Ampat pada abad ke-16. Oleh karena itu, pendukungnya terbatas hanya pada kelompok yang terlibat dalam bisnis. Bahkan dengan masuknya Islam di jajaran penguasa kerajaan, penguasa satu kerajaan memiliki hubungan dengan kerajaan lain.

Karena itu, kesamaan agama antara penguasa Kepulauan Raja Ampat dengan penguasa Kepulauan Maluku Utara menjadikan faktor agama sebagai simbol legitimasi dan kekuasaan. Akibatnya, agama Islam dijadikan sebagai sumber legitimasi kekuasaan di kalangan penguasa Kepulauan Raja Ampat.

(8)

Jalur Perkawinan

Islamisasi tanah Papua juga terjadi melalui perkawinan, seperti Sultan Ibnu Mansur yang bergelar Sultan I Papua pada tahun 1443 M. ketika beliau melakukan ekspedisi hati ke hati dari tanah Gam Raange (Patani, Maba dan Weda) di Pulau Halmahera menuju Waigeon, Batantan, Kepulauan Salawat, Kepulauan Misool (disebut Kolano Fat) atau Kepulauan Raja Ampat dengan dikomandoi Angkatan Laut oleh Kapita Syahmardan . Di wilayah Pulau Misool, Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patra Wari, putra Sultan Bacan, dengan gelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi). Kapita Gurabesi kemudian menikah dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian ada empat kerajaan di kepulauan Raja Ampat yaitu kerajaan Salawat dan kerajaan Waigeo.

105 Kerajaan Misool/Sailolof, Kerajaan Batanta dan Begitu pula pernikahan Siti Hawa Farouk, seorang da'i dari Cirebon, dengan Kalaweni, pria asal Waigeo-Raja Ampat.

Ketika masuk Islam, Kalawen berganti nama menjadi Bayajid, sebuah peristiwa yang diperkirakan terjadi pada tahun 1600-an. Jika melihat silsilah keluarga, Kalawen ini adalah nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama kali masuk Islam. Siti Hawa Farouk dan beberapa misionaris datang ke Raja Ampat, kemungkinan sidang juga berlangsung. Untuk menikah dengan seorang putri dari Kepulauan Raja Ampat 

Jalur Pendidikan

Penyebaran Islam di pulau Papua juga terjadi melalui metode pengajaran yang sangat tradisional, dalam hal ini mushola, masjid dan pusat pengajian yang terletak di rumah para imam Arab, guru ngaji dan saudagar muslim. , Maluku, Bugis, Makassar dan Buton.

Ormas yang menjadi panutan pesantren dan pesantren memang tidak asing di Papua saat itu. Model pendidikan ini baru diterapkan di Papua sejak Papua bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 hingga saat ini. Menurut Ricklefs, pola atau cara penyebaran Islamisasi pada umumnya terjadi dalam dua proses, yaitu:

 Pertama masyarakat adat menerima Islam dan kemudian mereka bergabung.

Kedua, orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll.) yang memeluk Islam tinggal secara permanen di sebagian nusantara, kawin campur dan mengikuti cara hidup setempat sehingga mereka menjadi Jawa atau Melayu atau anggota lainnya. dari suku  

(9)

Jalur Politik

Menurut Arnold, Sultan Bacan, salah satu raja Maluku, memerintah suku Papua dan pulau-pulau barat laut seperti Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati pada abad ke-16.

Kemudian Sultan Bacan memperluas kekuasaannya di Semenanjung Onin (Fakfak). , di barat laut Papua pada tahun 1606 Masehi. Melalui pengaruhnya dan para pedagang Muslim, para pemimpin masyarakat di pulau-pulau itu menerima Islam.Walaupun penduduk pedalaman masih menganut animisme, apakah penduduk pesisirnya beragama Islam?

Sementara itu, kata Amold, agama Islam diterima dengan hangat oleh suku-suku yang lebih beradab di kalangan penduduk Nusantara dan kurang mendalam di kalangan masyarakat yang lebih sederhana. Misalnya suku-suku di daratan Papua dan pulau-pulau di sebelah barat laut seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Pada abad ke-16 kepulauan dan juga Semenanjung Onin berada di bagian barat laut daratan Papua di bawah Sultan Bacan, salah satu raja Maluku. Di bawah pengaruh Raja Bacan, para pemimpin masyarakat pulau memeluk Islam, sementara penduduk pedalaman tetap menganut animisme, penduduk pesisir beragama Islam.00 Klein mengatakan bahwa para pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan pada tahun 1596 Masehi. Kerajaan- kerajaan Islam terbentuk dari kunjungan ini.

Dari teori-teori Islamisasi di atas dapat disimpulkan pola atau cara penyebaran Islam di Papua yaitu melalui cara-cara damai tanpa konflik. Para saudagar muslim mulai menjalin hubungan baik dengan penduduk setempat sehingga para saudagar memiliki akses yang memungkinkan mereka untuk berdakwah sesuai dengan ajaran Islam yang mereka anut. Pengusaha yang berkepentingan di bidang materi memiliki daya tarik tersendiri dan meningkatkan statusnya di masyarakat, oleh karena itu terkadang digunakan sebagai pemimpin. Beginilah desa lahir. Muslim (keturunan Arab, Maluku, Bug, Makassar dan Butonian) di pantai barat Papua, terutama Raja Ampat, Fakfak dan Kepulauan Cayman. Peran politik juga sangat menentukan ketika bangsawan atau kerajaan Papua menerima Islam di bawah kekuasaan Sultan Tidore dan Ternate. Di Papua, Islamisasi berlangsung secara damai tanpa paksaan, hal ini terlihat dari banyaknya gelar yang diberikan oleh Sultan Tidore di Manokwar, Yapen, Biak Numfor dan lain-lain, namun mereka tetap mengikuti agama setempat. Sedangkan Kesultanan Maluku pernah berseberangan dengan kerajaan-kerajaan Papua karena masalah politik yaitu tidak membayar upeti atau pajak kepada Sultan.

(10)

C. bukti-bukti peninggalan Islam di tanah Papua

Seperti di bagian lain Indonesia, ada tanda-tanda peninggalan sejarah Islam di Papua.

Diantaranya buku-buku yang ditemukan di kawasan Fakfak, Masjid Patimburak dan masih banyak lagi bukti-bukti yang ditinggalkan Islam di Tanah Papua. Berikut ini adalah ikhtisar peninggalan sejarah Islam di Papua

1. Wilayah Papua kuno di desa Saonek, Rapintol dan Beo di distrik Waigeo di Pulau Raja Ampat memiliki monumen masakan Islami yang dikenal di masa lalu dan bertahan hingga hari ini.

2. Tradisi lisan juga masih dilestarikan jika dikaitkan dengan keberadaan Cendrawasih, dan itu menjadi salah satu bukti peninggalan Islam di Tanah Papua.

3. Masjid Tua Patimburak, yang didalamnya terdapat peninggalan Islam berupa gong, bedug masjid, rebana yang digunakan dalam upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda-tanda kerajaan dan silsilah kerajaan Ati-ati.

4. Delapan manuskrip kuno tulisan Arab ditemukan di Fakfak, Papua Barat, lima buah mushaf Al-Quran dengan ukuran berbeda, yang terbesar kira-kira berukuran 50 x 40 cm, ditulis tangan di atas kulit kayu dan disusun menjadi sebuah buku. Tiga kitab lainnya yang salah satunya dilapisi kulit rusa adalah kitab kumpulan hadits, tauhid dan doa. Kelima kitab ini kemungkinan dicatat pada tahun 1214 oleh Syekh Iskandarsyah dari Kerajaan Samudra Pasai, yang mengiringi ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur.

5. Naskah dari periode Raja Ampat dan dokumen kuno lainnya di beberapa masjid kuno 

D. Pengaruh Agama Islam terhadap peradaban di Tanah Papua saat ini 

Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam kaitannya dengan kehidupan sosial dan budaya Warna baru, Islam, mengisi aspek budaya mereka. Meskipun sebelumnya perkembangan Islam sangat lambat, perkembangan Islam di Papua mulai semarak dan dinamis ketika Irian Jaya diintegrasikan ke dalam Indonesia, yang menyebabkan penyebaran Islam yang cepat di kota-kota Papua. Papua juga memiliki organisasi keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, LDII dan 'pesantren dengan tradisi ahlussunah waljama'ah.

(11)

Pengaruh nyata Agama Islam terhadap peradaban di Tanah Papua saat ini dapat dilihat dari sistem pemerintahan, pajak (upeti), dagang, jaringan dagang dan ulama, serta kesenian

Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan (Petuanan). Dengan masuknya Islam, masyarakat Papua dikenalkan dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh raja. Para raja memiliki pembantu yang bergelar sama dengan pemerintahan kerajaan Maluku (Tidore dan Ternate), yaitu Walikota dan Sangaji. Di Raja Ampat, Walikota dibantu oleh seorang perwira Sawoi dan seorang perwira Sangajia Marino, dan di daerah Fafanlap (Misoo- Raja Ampat), seorang kapten ditunjuk. Dalam urusan agama, pejabat Qadi juga dikenal, terutama di pusat-pusat kerajaan. Nampaknya peran tahun-tahun di Papua (Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana) tempo dulu sama dengan di Hadramaut, wilayah yang sangat mempengaruhi ajaran Islam di Indonesia. Di Hadramaut, anak perempuan memiliki kekuatan perdata dan pidana dalam masalah perkawinan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hukum keluarga, berdasarkan mazhab Syafi (Berg, 2010:43).

Di pulau Misool, nahkoda kapal Raja Ampat terpaksa berlutut di depan Tidore. Di Fafanlap (Misool), Kapten Laut bertugas mengumpulkan upeti untuk disampaikan kepada Sultan Tidore. Nakhoda kapal di Fafanlap sangat terbantu dalam menjalankan tugasnya. Dalam urusan pemerintahan, Marinyo bertanggung jawab menyiarkan informasi dan Sawoi bertanggung jawab menjaga rumah/surat kapten. Dalam sistem pemerintahan, wilayah bawahan menjalankan tugasnya dan menghormati raja. Sebagai contoh, sebagai bentuk ketundukan dan ketaatan kepada raja, masyarakat Bigai menurunkan layar sebagai tanda penghormatan ketika melewati pusat pemerintahan Lilinta. 

Sitem Pajak

Pajak (sistem upeti). Hubungan kekuasaan pemerintahan antara Kerajaan Tidore dengan kerajaan–kerajaan kekuasaannya, ditandai dengan kewajiban membayar pajak setiap tahunnya yang sebelumnya belum dikenal dalam masyarakat Papua. Upeti dikenalkan pemerintahan kesultanan dalam hubungan dengan perlindungan Kerajaan Tidore. Upeti yang disampaikan ke Sultan Tidore setahun sekali berupa apa saja yang dihasilkan oleh penduduk, seperti kulit penyu, burung kuning, pala, dan lain-lain. Upeti yang sudah dikumpulkan dibawa para kapitan laut kepada Sultan Tidore dengan perahu khusus.

(12)

Perahu khusus yang membawa upeti Kapitan Fafanlap bernama “kaloinnya” (=daun terbang), perahu Kapitan Sailolof dinamakan mancun, dan perahu Kapitan Salawati bernama hairan.

Upeti yang dari suatu wilayah petuanan dibawa secara bersama sebagai refleksi kebersamaan para kapitan dalam menjalankan amanah yang diembannya dari sultan.

Kapitan dari Misool membawa upeti menuju Sailolof. Lalu Kapitan Fafanlap dan Sailolof bersama-sama menuju ke Salawati. Dari Salawati, rombongan pembawa upeti dipimpin Kapitan Sailolof menuju Sangaji Gebe, kemudian menuju ke Sangaji Patani (Halmahera) dan sekaligus memimpin perjalanan menuju ke istana Tidore.

Aspek Kepercayaan

Pengaruh ajaran Islam di Papua hanya bisa dilacak sangat sedikit. Beberapa bukti ditemukan di Fak-Fak, sebuah Al-Quran yang dicetak pada tahun 1891 dan dimiliki oleh keluarga Raja Ati-Ati. Sebuah Alquran yang lebih tua dan bertanggal ditemukan di daerah Teluk Patippi, yang isinya tertulis di sampul kulit binatang. Menurut Imam Masjid Darussalam Lilinta di Raja Ampat itu, ajaran agama Islam yang dibawa para mubaligh adalah Syafi'i. Sebagai pengikut Syafi'i, para da'i mengikuti tata krama mazhab itu saat naik mimbar. Ketika khatib menginjak mimbar, ia harus langsung menginjak undakan kedua setelah khutbah untuk kembali ke deret baru dan menginjak undakan pertama. Mimbar sisi ke-3 untuk berdiri, sisi ke-4 untuk duduk khatib, dan sisi ke-5 untuk sandaran. Lima langkah mimbar mencerminkan rukun Islam.

Bagi jamaah Masjid Lilinta Darussalam, azan dikumandangkan di tengah masjid, tepat di bawah kubah, sehingga di semua sisinya diapit oleh empat tiang. Adzan ini berarti "alif"

bagi mereka. Batu kutukan juga ditemukan di lokasi Kampung Gamta. Batu kutukan batu pasir, persegi panjang. Menurut Bapak Baka Al Kadri, warga Kampung Gamta (wawancara, 7 April 2012), orang yang bersumpah berdiri di atas batu sambil memegang terompet (tapyu). Jika dia bersumpah palsu atau berbohong, dia mati. Batu nazar merayakan nazar raja-raja di beberapa pusat Islam di Jawa dan Sulawesi, seperti Banten, Gowa, Soppeng, dan Luwu. Mengumpat di bawah batu tidak pernah ditemukan dalam tradisi suku asli Papua.

Aspek Arsitektur

Arsitektur Masjid Darussalam saat ini telah berubah sejak direnovasi pada tahun 1978.

Pelapor mengingat bahwa seperti kebanyakan masjid di Jawa, arsitektur atap Masjid

(13)

Darussalam lama terdiri dari tangga atau dua lantai yang tumpang tindih. Karena masjid ini dibangun di daerah rawa di tepi pantai, maka masjid ini dibangun dalam bentuk anjungan dengan tiang setinggi dua meter di atas tanah. Masjid tua berbentuk bujur sangkar tanpa serambi, luasnya 12 x 12 m². Masjid Fafanlap secara arsitektur identik dengan Masjid Darussalam Lilinta, namun bentuk aslinya juga sudah hilang sama sekali.

Menurut Soltif Rules (88 tahun), usia masjid Fafanlap tak kurang dari 200 tahun dan sudah empat kali direnovasi. Masjid serupa juga dapat ditemukan di beberapa pemukiman Muslim di FakFak dan Kaimana.

Di kawasan Fak-Fak Kota dan Kampung Wepigan, terdapat bekas kompleks masjid yang kini telah dipugar tanpa meninggalkan bentuk aslinya. Menurut sumber lokal di Fak-Fak, kedua masjid ini terletak di pusat kerajaan Fatagar dan Patippi berbentuk bujur sangkar dengan dua atap yang tumpang tindih, seperti masjid di Papua pada umumnya. Masjid Wepigan dibangun pada tahun 1931 oleh Raja Patippi IX. dibangun dengan struktur dinding sedangkan Masjid Fatagar adalah masjid kayu yang lebih tua. Masjid Kerajaan Fatagar terletak di punggung bukit sebelah utara Istana Kerajaan. Sebelum penjajahan Belanda, ada ruang kosong antara masjid dan istana Raja Fatagar, yang mungkin berfungsi sebagai alun-alun.

Penutup Kesimpulan

Islamisasi di Papua memiliki sejarah yang cukup panjang dan kompleks. Proses ini dimulai pada abad ke-16, ketika pedagang Arab dan Persia mulai menjalin hubungan perdagangan dengan suku-suku pribumi di Papua. Kontak perdagangan ini membawa agama Islam ke wilayah tersebut. Namun, Islamisasi yang lebih luas di Papua terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 selama periode kolonialisme Belanda. Pada saat itu, para misionaris Kristen dari Belanda, terutama Gereja Protestan, bekerja untuk menyebarkan agama mereka di Papua. Sementara itu, ada juga misi Islam yang dilakukan oleh pedagang dan tokoh-tokoh Muslim dari luar Papua.

Setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1963, Islamisasi terus berlanjut dengan penduduk muslim yang bermigrasi ke wilayah tersebut. Banyak orang Jawa, Madura, dan etnis lainnya dari Indonesia bagian lainnya yang pindah ke Papua dalam rangka mencari nafkah atau tugas pemerintahan. Seiring waktu, komunitas Muslim di Papua semakin

(14)

berkembang dan mendirikan masjid serta lembaga keagamaan Islam lainnya. Namun, perlu dicatat bahwa Islam masih merupakan agama minoritas di Papua. Mayoritas penduduk Papua masih menganut agama-agama tradisional, seperti Kepercayaan Animisme dan Kristen. Agama Kristen masih memiliki pengaruh yang kuat di Papua, terutama di kalangan suku-suku pribumi.

Selain itu, Islamisasi di Papua juga menjadi kontroversial karena adanya kelompok- kelompok ekstremis yang berusaha mempengaruhi dan meradikalisasi penduduk Papua.

Pemerintah Indonesia secara aktif mengawasi dan menangani ancaman tersebut untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut. Dalam konteks Papua, agama seringkali menjadi salah satu faktor yang terkait dengan isu-isu sosial, politik, dan hak asasi manusia. Pemahaman dan penafsiran agama, termasuk Islam, bisa berbeda antara kelompok- kelompok di Papua, dan kompleksitas situasi Papua membutuhkan pendekatan yang sensitif dan komprehensif dalam menangani isu-isu tersebut.

Daftar Pustaka

Husen, M. D. (2018). Islam dan filosofi masyarakat Fakfak. [Diakses online] dari https://wahanaislamika.staisw.ac.id/index.php/WI/article/download/87/81

Iribaram, A. (2011). Hubungan antara Agama Masyarakat Fakfak, (Artikel). Jayapura : STAIN Al-Fatah

Mene.B.(2013).”Masuknya Islam di Kabupaten fakk-fak dan tinggalan Arkeolog”.

Mene, B. (2013). MASUKNYA ISLAM DI KABUPATEN FAKFAK DAN

TINGGALAN ARKEOLOGINYA. Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat5(2), 10-21. [Diakses Online] dari:

https://jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id/index.php/jpap/article/view/47 Murtadlo, M. (2016). Perkembangan Pendidikan Madrasah Di Tanah Papua. Al-Qalam,

21(2), 347. https://doi.org/10.31969/alq.v21i2.235

Tjandrasasmita, U. (1984). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Iribaram, A. (2011). Hubungan antara Agama Masyarakat Fakfak, (Artikel). Jayapura : STAIN Al-Fatah

Papua Vol.2 No. 2/November 2013 diakses dari jurnal Arkeolog Papua

Tjandrasasmita, U. (1984). Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta :PN.Balai Pustaka.

Wahana Islamika: Jurnal Studi Keislaman Vo, l . 4 N o . 1 A p r i l 2 0 1 8

Wanggai, Toni Victor M. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009

(15)

Referensi

Dokumen terkait