• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Feminist criticism Kelompok 5

N/A
N/A
Arunika

Academic year: 2025

Membagikan "Materi Feminist criticism Kelompok 5"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

 Kritik feminis adalah istilah umum untuk berbagai pendekatan terhadap budaya dan sastra yang menjadi bagian dari minat khusus perempuan. Inti dari beragam tujuan dan metode kritik feminis adalah fokusnya pada patriarki, aturan-aturan masyarakat dan budaya yang dibuat oleh laki-laki --- Kritik feminis adalah suatu pendekatan dalam mengkaji budaya dan sastra yang berfokus pada pengalaman, peran, dan representasi perempuan, terutama dalam konteks masyarakat yang patriarkis.

 Kritik sastra feminis menantang pernyataan-pernyataan yang bersifat patriarkal (yaitu, sistem atau pandangan yang didominasi oleh laki-laki), beserta asumsi-asumsi filosofis yang ikut menyertainya yang juga didominasi oleh laki-laki, dan bentuk kritik sastra yang berpihak pada satu gender, yaitu laki-laki.

 Struktur kekuasaan laki-laki ini (Merujuk pada sistem sosial dan budaya patriarkal, di mana laki-laki memegang kontrol atas kekuasaan, norma, dan pengetahuan.) menganut falosentrisme, yaitu keyakinan yang menganggap bahwa phallus (lambang alat kelamin laki-laki) adalah sumber kekuasaan dalam budaya dan sastra, yang ber pusat pada laki-laki dan asumsi patriarkal yang didominasi laki-laki.

 Menurut kritik feminis, akar dari prasangka terhadap perempuan telah lama tertanam dalam budaya Barat. Orang-orang Yunani kuno mendukung diskriminasi gender, dengan menyatakan bahwa laki-laki lebih unggul dan perempuan lebih rendah. Menurut mereka, perempuan menggoda laki-laki agar menjauh dari pencarian kebenaran, dan menghalangi mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. (Historical Develompent)

 Virginia woolf (menyatakan bahwa sejak dulu laki-laki menganggap perempuan lebih rendah. Mereka juga yang menentukan apa arti menjadi perempuan dan siapa yang boleh menguasai bidang politik, ekonomi, sosial, dan sastra.)

 Simone de Beauvoir (Setelah Perang Dunia II dan terbitnya buku The Second Sex tahun 1949 oleh penulis Prancis Simone de Beauvoir, isu-isu feminis kembali mendapat perhatian. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya paling penting dalam feminisme abad ke-20. Beauvoir mendorong perempuan untuk membebaskan diri dari sistem patriarki dan mendefinisikan diri mereka sendiri, bukan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh laki-laki. Ia juga menolak penggunaan label-label umum seperti "mankind" (umat manusia), karena istilah tersebut berfokus pada laki-laki dan

(2)

secara tidak langsung menghapus keberadaan perempuan sebagai subjek. Menurut Beauvoir, perempuan harus mengajukan pertanyaan penting: “Apa itu perempuan?”

, dan menjawabnya berdasarkan perspektif mereka sendiri, bukan dari sudut pandang laki-laki. Ia mengkritik bahasa yang mengandung bias gender, di mana laki- laki dianggap sebagai pusat kemanusiaan, dan perempuan hanya didefinisikan sebagai "yang lain" (the Other), atau sesuatu yang relatif terhadap laki-laki.

 Katte Millet (Gelombang feminisme baru pada tahun 1960-an dan 1970-an, ketika isu-isu perempuan kembali mencuat bersamaan dengan gerakan politik dan sosial saat itu. Kate Millett, melalui bukunya Sexual Politics (1970), menyatakan bahwa jenis kelamin (sex) adalah sesuatu yang kita bawa sejak lahir, tapi peran gender (gender) adalah hasil dari konstruksi budaya. Millett menekankan bahwa perempuan harus menantang dan meruntuhkan pusat kekuasaan budaya yang selama ini didominasi laki-laki. Dengan cara ini, perempuan dapat membentuk norma sosial versi mereka sendiri dan menciptakan wacana serta teori feminis berdasarkan pengalaman dan perspektif perempuan, bukan laki-laki.)

 Tahun 1963 menjadi titik penting dengan terbitnya dua karya besar: American Women dan The Feminine Mystique oleh Betty Friedan. Friedan mempertanyakan peran perempuan yang dibatasi hanya pada urusan rumah tangga dan mendorong mereka untuk mencari jati diri di luar peran tradisional.

 Memasuki tahun 1970-an, para kritikus dan teoretikus feminis menemukan bahwa perempuan sering kali digambarkan secara stereotip—sebagai objek seksual, makhluk emosional, atau tokoh minor. Penulis perempuan jarang diakui.

 Tahun 1980-an menjadi masa pembentukan kritik sastra feminis secara lebih formal.

Banyak karya perempuan dari masa lalu ditemukan kembali dan dihargai, seperti The Awakening karya Kate Chopin. Di masa ini juga berdiri lembaga dan jurnal khusus studi perempuan dan feminisme, serta terbit berbagai buku penting yang menganalisis sastra dari sudut pandang feminis. Sastra feminis mulai dilihat bukan hanya sebagai bentuk protes, tapi juga sebagai ruang untuk mengekspresikan identitas dan pengalaman khas perempuan.

(3)

 Elaine Showalter dalam kritik sastra feminis, khususnya melalui bukunya A Literature of Their Own (1977). Showalter membagi sejarah penulisan perempuan menjadi tiga fase:

1. Feminine phase (1840–1880): Pada masa ini, penulis perempuan seperti Charlotte Brontë dan George Eliot menerima aturan dan pandangan masyarakat tentang perempuan. Karena itu, mereka menulis dengan nama samaran laki-laki agar karya mereka bisa diterima dan diakui setara dengan penulis pria.

2. Feminist phase (1880–1920): Dalam fase ini, para penulis perempuan mulai menunjukkan penderitaan perempuan melalui tokoh-tokoh dalam karya mereka, yang sering digambarkan mengalami penindasan dari laki-laki.

3. Female phase (1920–sekarang): Penulis perempuan menolak cara pandang lama yang menempatkan perempuan dalam posisi pasif atau sekadar korban. Mereka mulai menulis berdasarkan pengalaman dan perspektif perempuan yang otentik.

 Showalter memperkenalkan konsep gynocriticism (kritik sastra perempuan), yaitu pendekatan untuk menganalisis karya sastra perempuan berdasarkan pengalaman perempuan itu sendiri, bukan dengan teori yang dibuat oleh laki-laki. Ia menyebut para pengkritik yang menggunakan pendekatan ini sebagai gynocritics.

Gynocriticism terdiri dari empat model pendekatan:

- Biological Model: Melihat bagaimana tubuh perempuan memengaruhi gaya dan isi tulisan, termasuk nuansa yang lebih personal dan emosional.

- Linguistic Model: Meneliti perbedaan cara perempuan dan laki-laki menggunakan bahasa dalam tulisan, serta bagaimana perempuan membangun “bahasa khas perempuan.”

- Psychoanalytic model: Menganalisis psikologi perempuan dan bagaimana hal itu memengaruhi proses menulis. Tulisan perempuan sering dianggap lebih fleksibel dibandingkan gaya laki-laki yang lebih kaku.

- Cultural Model: Mempelajari bagaimana budaya dan masyarakat memengaruhi cara berpikir, tujuan hidup, dan pandangan perempuan dalam karya sastra.

Aliran Geografis Feminisme

Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, tidak ada satu teori kritik feminis yang mendominasi karena fokus feminisme saat itu bersifat personal dan terbuka terhadap

(4)

berbagai pendekatan dalam analisis teks. Secara historis, letak geografis turut memengaruhi arah dan minat kritik feminis, menghasilkan tiga aliran utama:

Amerika, Inggris, dan Prancis. Kini, batas-batas geografis ini tidak lagi bersifat teoretis, namun tetap penting sebagai penanda sejarah perkembangan feminisme.

1. American Feminism

Untuk feminisme Amerika, Kolodny menyatakan bahwa perhatian utama feminisme adalah: pemulihan dan penyertaan tulisan perempuan ke dalam kanon sastra. Karena percaya bahwa sejarah sastra itu sendiri adalah fiksi, Kolodny memulihkan sejarah perempuan yang realistis agar mereka bisa menceritakan

"herstory" mereka sendiri. Untuk bisa menulis dan menceritakan sejarah mereka, perempuan harus menemukan cara untuk menyuarakan diri mereka di tengah dominasi suara laki-laki yang mendominasi perhatian masyarakat.

Dalam The Lay of the Land (1975) dan The Land Before Her (1984), Kolodny menggunakan teori dan metodologi psikoanalitik feminis untuk menyatakan bahwa para kolonialis laki-laki Amerika memberikan karakteristik feminin pada tanah untuk mengurangi rasa takut mereka terhadap ketidakpastian tanah yang belum dikenal. Bagi sebagian laki-laki, frontier Amerika adalah Eden baru, sementara bagi perempuan itu adalah rumah dan komunitas manusia yang bersifat kekeluargaan. Dalam karya berikutnya, Failing the Future (1998), Kolodny menunjukkan bahwa perempuan masih dianggap sebagai "orang luar" di universitas Amerika dan kampus-kampus, serta mencatat meningkatnya pelecehan antifeminis dan anti-intelektual terhadap perempuan di pendidikan tinggi.

Sandra M. Gilbert dan Susan Gubar, penulis The Madwoman in the Attic: The Woman Writer and the Nineteenth-century Literary Imagination (1979), menyatakan bahwa karena laki-laki telah lama memegang kekuasaan atas pena dan pers, mereka tidak hanya menentukan posisi perempuan dalam sastra, tetapi juga menciptakan citra perempuan dalam karya. Gilbert dan Gubar menyatakan bahwa kekuasaan laki-laki ini menyebabkan “kecemasan akan otoritas” dalam diri perempuan, membuat mereka takut akan tindakan penciptaan itu sendiri dan menulis. Beberapa penulis perempuan merasa bahwa kanon sastra laki-laki akan

(5)

mengucilkan mereka, sehingga menghancurkan mereka. Solusi Gilbert dan Gubar adalah agar perempuan menciptakan “kalimat perempuan” yang bisa mendorong kebebasan sastra. Dengan menciptakan konstruksi bahasa yang khas bagi perempuan, seorang perempuan bisa mengatasi ketakutan, dan pengucilan dari kanon sastra yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Dengan merumuskan kalimat perempuan, Gilbert dan Gubar percaya bahwa penulis perempuan akan membebaskan diri dari batasan yang diciptakan laki-laki.

Kalimat perempuan itu, kata Gilbert dan Gubar, juga membebaskan perempuan dari citra stereotip yang telah dilekatkan dalam sastra. Mereka mengidentifikasi dua citra utama perempuan dalam sastra laki-laki: “The angel in the house” dan

“The madwoman in the attic” Dalam peran sebagai malaikat, perempuan dilihat sebagai pengabdi dan pelayan suami. Ketika perempuan menolak peran ini, para kritikus laki-laki menyebut mereka “monster.”

Gilbert dan Gubar menyatakan bahwa kedua citra ini — malaikat dan monster — adalah representasi yang tidak realistis. Citra malaikat memuja perempuan sambil tetap mengucilkannya dari dunia sosial, sedangkan citra perempuan gila merendahkan dan menghina perempuan, menyangkal haknya dalam sastra dan masyarakat. Pesannya jelas: jika kamu bukan malaikat, maka kamu adalah monster. Citra-citra ini harus diungkap, diperiksa, dibongkar, dan dilampaui jika perempuan ingin memperoleh otonomi dalam menulis.

2. British Feminism

Sementara feminisme Amerika menekankan represi, feminisme Inggris menekankan penindasan. Cenderung pada teori Marxis, feminis Inggris melihat seni, sastra, dan kehidupan sebagai tidak terpisahkan. Beberapa feminis Inggris melihat membaca, menulis, dan menerbitkan sebagai bagian dari kenyataan material. Karena sastra merupakan bagian dari kehidupan sosial seseorang, maka bagaimana perempuan digambarkan dalam sastra berdampak langsung pada bagaimana mereka diperlakukan dalam kehidupan nyata.

Dalam masyarakat patriarkal, perempuan dieksploitasi tidak hanya dalam sastra tetapi juga secara ekonomi dan sosial. Keluarga tradisional Barat memperkuat

(6)

struktur patriarki, mengendalikan perempuan dan membuat mereka bergantung secara ekonomi. Sastra Barat mencerminkan ketergantungan ini. Kritik feminis Inggris menantang status sosial dan ekonomi perempuan baik dalam masyarakat maupun dalam seni, khususnya teks sastra. Tujuan utama kritik ini adalah mengubah masyarakat, bukan sekadar mengkritik karya.

3. French Feminism

Feminisme Prancis, yang paling menonjol dalam perbedaan geografis feminisme, menekankan represi terhadap perempuan baik dalam kehidupan maupun seni, dengan penekanan pada peran bahasa. Feminisme Prancis sering dikaitkan dengan psikoanalisis, khususnya teori Freud dan Jacques Lacan. Awalnya membingungkan, karena Freud dan teori patriarkalnya mendominasi psikoanalisis, namun feminis Prancis seperti Julia Kristeva dan Hélène Cixous justru meminjam dan mengembangkan teori tersebut untuk mendukung kritik feminis.

Lacan menyatakan bahwa psike manusia terdiri dari tiga tatanan: imajiner, simbolik, dan nyata. Dalam masa perkembangan awal, bayi hidup di dalam tatanan imajiner yang tidak mengenal gender. Setelah melewati krisis Oedipus, anak memasuki tatanan simbolik — yaitu dunia yang diatur oleh bahasa. Dalam tatanan ini, laki-laki menjadi pusat (karena bahasa yang digunakan bersifat maskulin). Anak laki-laki berusaha menjadi seperti ayahnya, sementara anak perempuan mengalami penindasan karena tidak memiliki simbol kekuasaan laki- laki: falus.

Lacan menyatakan bahwa ketika perempuan masuk ke dalam tatanan simbolik (melalui bahasa), mereka tunduk pada hukum ayah, dan menjadi kelas kedua.

Karena bahasa adalah konstruksi psikologis, bukan biologis, feminis Prancis percaya perempuan bisa mempelajari bahasa laki-laki, tetapi juga menciptakan wacana baru sebagai alat perubahan sosial dan politik.

Feminis Prancis seperti Julia Kristeva dan Hélène Cixous meminjam dan mengembangkan unsur-unsur dari teori Freud dan Lacan untuk membentuk bentuk baru dari kritik feminis.

(7)

Present-Day Feminist Criticism

Beberapa ahli membagi kritik feminis ke dalam empat kelompok utama, masing- masing dengan tokoh-tokoh pentingnya:

1. Anglo-American Feminisms

Fokusnya sering pada pengalaman perempuan dalam budaya Barat, serta bagaimana perempuan digambarkan dalam sastra dan bagaimana mereka bisa menjadi penulis yang mandiri.

Tokoh: Virginia Woolf, Elaine Showalter, Sandra Gilbert, Susan Gubar, dll.

2. Poststructuralist Feminisms

Mengkritisi bahasa dan struktur makna dalam teks; mempertanyakan identitas tetap (seperti identitas gender), dan sering menggunakan teori-teori dari filsuf seperti Derrida dan Lacan.

Tokoh: Julia Kristeva, Hélène Cixous, Luce Irigaray, dll.

3. Materialist Feminisms

Menggabungkan feminisme dengan Marxisme; fokus pada bagaimana struktur ekonomi dan sosial memengaruhi perempuan.

Tokoh: Juliet Mitchell, Michèle Barrett, Donna Haraway, dll.

4. Postmodern Feminisms

Lebih baru (sekitar tahun 1990-an hingga sekarang), bersifat kritis terhadap pandangan universal tentang perempuan, dan sering membahas identitas yang bersifat majemuk (ras, budaya, gender, kelas).

Tokoh: Judith Butler, Gloria Anzaldúa, Chandra Mohanty, dll.

kritik sastra feminis memiliki banyak cabang atau subkategori, tidak hanya terbatas pada empat kelompok besar yang disebut sebelumnya (Anglo-Amerika, poststrukturalis, materialis, dan postmodern). Bahkan, beberapa kritikus membagi feminisme menjadi antara sembilan hingga lebih dari tiga puluh jenis, tergantung sudut pandangnya. Berikut penjelasan dari beberapa yang disebutkan:

1. Amazon Feminism

(8)

Fokus: Citra perempuan yang kuat secara fisik, baik dalam fiksi maupun kenyataan (misalnya atlet perempuan).

Menentang: Peran gender tradisional dan anggapan bahwa perempuan itu lemah dan pasif.

Argumen utama: Jenis kelamin tidak perlu dibahas dalam profesi seperti pemadam kebakaran atau sopir truk salju, karena tidak ada sifat yang secara alami hanya dimiliki laki-laki atau perempuan.

2. Cultural Feminism (kadang juga disebut feminisme radikal)

Fokus: Perbedaan biologis dan kepribadian antara laki-laki dan perempuan.

Tokoh: Elizabeth Gould Davis.

Keyakinan utama: Perempuan secara alami lebih penyayang dan lembut, dan sifat ini harus dirayakan serta dilihat sebagai lebih baik daripada sifat laki-laki.

Pendekatan ini cenderung merayakan nilai-nilai feminin sebagai kekuatan, bukan kelemahan.

3. Ecofeminism

Pandangan: Patriarki adalah struktur sosial yang baru dalam sejarah, dan sebelumnya dunia dikuasai oleh masyarakat matriarkal (disebut “feminist Eden”).

Kritik: Masyarakat patriarkal merusak perempuan, anak-anak, dan alam.

Solusi: Masyarakat matriarkal lebih melindungi lingkungan, hewan, dan sumber daya alam, serta lebih peduli terhadap perempuan dan anak-anak.

ASSUMPTION

Kritik feminis merupakan pendekatan yang beragam dan tidak homogen, dengan tujuan utama memperjuangkan kesetaraan politik, sosial, dan ekonomi antara perempuan dan laki-laki. Meskipun memiliki banyak pandangan, inti dari feminisme adalah membela hak-hak perempuan dan mendorong pencarian jati diri serta pemaknaan individu secara personal.

Dalam dunia patriarki, laki-laki sering menjadi pusat yang mendefinisikan arti kemanusiaan, sementara perempuan ditempatkan sebagai “Liyan” (Other) yang ditentukan oleh laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan dianggap inferior dan ditekan agar tidak mencapai potensi maksimalnya.

(9)

Feminisme berusaha mengoreksi pandangan keliru ini dengan menyatakan bahwa perempuan adalah individu yang mandiri dan setara. Kritik feminis menolak representasi stereotip dalam sastra dan budaya, seperti perempuan sebagai makhluk lemah atau objek seksual, dan mendorong perempuan untuk mendefinisikan sendiri peran dan identitas mereka.

Untuk itu, kritik feminis menekankan pentingnya meninjau kembali kanon sastra yang patriarkal, menantang pandangan lama tentang gender, serta menciptakan teori dan kritik sastra feminis. Dengan cara ini, perempuan bisa memperoleh otonomi, kekuasaan, dan melegitimasi posisi mereka dalam dunia sosial, politik, dan budaya.

1. Pengertian Kritik Sastra Feminis

Kritik feminis merupakan pendekatan yang fokus pada persoalan patriarki, yaitu sistem sosial dan budaya yang dikendalikan oleh laki-laki. Kritik ini menantang asumsi dan struktur yang mendukung dominasi laki-laki, termasuk dalam karya sastra dan budaya. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan posisi perempuan agar setara, tidak sebagai subordinat.

Konsep penting:

Patriarki: sistem kekuasaan yang mengutamakan laki-laki.

Falosentrisme (phallocentrism): keyakinan bahwa laki-laki (secara simbolik melalui "phallus") adalah pusat kekuasaan budaya.

2. Perkembangan Historis Kritik Feminis

Zaman Yunani Kuno: perempuan dianggap sebagai pengganggu pencarian kebenaran; laki-laki dianggap unggul.

Virginia Woolf: mengkritik bagaimana laki-laki menentukan siapa dan apa itu perempuan. Ia memperjuangkan agar perempuan memiliki ruang dan suara dalam dunia sastra.

Simone de Beauvoir – The Second Sex (1949):

o Perempuan sering diposisikan sebagai the Other (yang lain/tidak utama).

(10)

o Mengajak perempuan mendefinisikan diri mereka sendiri, bukan menurut pandangan laki-laki.

3. Teori Gender dan Budaya

Kate Millett – Sexual Politics (1970):

o Sex adalah jenis kelamin biologis.

o Gender adalah konstruksi sosial.

o Ia menyerukan pembongkaran kekuasaan budaya laki-laki dan menciptakan wacana baru berdasarkan perspektif perempuan.

4. Perkembangan Tahun 1960–1980

1963: The Feminine Mystique oleh Betty Friedan mengkritik pembatasan peran perempuan hanya pada ranah domestik.

1970-an: mulai muncul kesadaran tentang stereotip terhadap perempuan dalam sastra.

1980-an: sastra perempuan masa lalu dihargai kembali (contoh: The Awakening oleh Kate Chopin), dan berdiri institusi studi perempuan.

5. Elaine Showalter dan Tiga Fase Penulisan Perempuan

Dalam bukunya A Literature of Their Own, Showalter membagi sejarah penulisan perempuan menjadi:

1. Feminine Phase (1840–1880): perempuan menulis dengan nama samaran laki-laki agar diakui.

2. Feminist Phase (1880–1920): menulis untuk menunjukkan penindasan terhadap perempuan.

3. Female Phase (1920–sekarang): menulis dari pengalaman otentik sebagai perempuan.

6. Konsep Gynocriticism (Kritik Sastra Perempuan)

(11)

Showalter memperkenalkan pendekatan analisis karya sastra yang berfokus pada pengalaman perempuan, bukan teori laki-laki. Empat model pendekatannya:

Biological model: meninjau tubuh dan biologi perempuan dalam karya.

Linguistic model: bahasa khas perempuan.

Psychoanalytic model: pengalaman psikologis perempuan.

Cultural model: latar budaya perempuan.

7. Aliran Geografis Kritik Feminis Terbagi menjadi tiga aliran besar:

1. American Feminism: fokus pada pengalaman perempuan dalam sastra Barat.

2. British Feminism: analisis historis dan teks perempuan.

3. French Feminism: dipengaruhi teori psikoanalisis dan post-strukturalisme (Kristeva, Irigaray, Cixous).

8. Feminisme Kontemporer

1. Anglo-American Feminism: analisis naratif dan representasi perempuan dalam sastra.

2. Poststructuralist Feminism: mempertanyakan bahasa dan identitas tetap, memakai teori Derrida & Lacan.

3. Materialist Feminism: gabungan feminisme dan Marxisme; fokus pada ekonomi dan sosial.

4. Postmodern Feminism: menolak pandangan universal tentang perempuan, mengangkat isu identitas majemuk (gender, ras, kelas).

9. Asumsi Dasar Feminisme

Menolak stereotip dan marginalisasi perempuan.

Menolak kanon sastra patriarki.

Memperjuangkan perempuan untuk:

o Mendefinisikan identitasnya sendiri.

o Mendapat ruang dan pengakuan dalam masyarakat dan kebudayaan.

(12)

Referensi

Dokumen terkait