Dokter Gigi PDGI Nomor Satu ( Kisah Keabadian Cinta Segitiga Drg.Ferizal SpBM, Drg Diana dan Dokter Silvi. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF War and Peace by Leo Tolstoy.
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia
- Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
- Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
- Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
- Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
- Kampung Cyber PHBS Sandogi
- Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
- Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )
- Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
- Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
DAFTAR ISI
BAB 1
FERIZAL BAPAK SASTRA KESEHATAN INDONESIA
Ibunya tersenyum, tak mengerti betul, tapi hatinya hangat melihat anaknya membaca di beranda saat anak-anak lain bermain layangan. 20 Sejak itu, Ferizal menulis cerita sendiri, menggambar dengan pensil warna, lalu menyalinnya ke kertas HVS bekas.
Sastra Gizi dan Nutrisi Jiwa
Malam itu, di perpustakaan mini Puskesmas, mereka duduk berdua, membahas ide cerita yang bisa menjembatani ilmu gizi dengan dunia anak-anak. Anak-anak tertawa, ibu-ibu tersenyum, dan para tenaga kesehatan kembali percaya: bahwa kata-kata bisa menjadi gizi terbaik bagi bangsa ini.
Puisi di Ruang Rawat Inap
Ia tak menyangka Puisi di Ruang Rawat Inap menjelma menjadi gerakan diam-diam yang menghidupkan Puskesmas Harapan Bangsa. Kalau esok tak ada yang membacaku, Biarlah kata-kata ini jadi selimut Bagi mereka yang tak bisa bicara Tapi ingin didengar.”.
Bidan dan Balada Kehidupan
Ibu-ibu menunggu giliran sambil membaca, sambil menyelami bahwa proses melahirkan bukan sekadar tindakan biologis—tapi perjalanan batin yang agung. Ibu-ibu yang keguguran, yang anaknya lahir prematur, yang tak didukung suami, atau yang bahkan melahirkan di kamar mandi sendiri karena malu.”.
Apotekar dan Cerita Tentang Obat
Salah satu kisah yang ditulis Ferizal berjudul “Obat Sirup dan Ayah yang Tak Bisa Membaca”—tentang seorang ayah muda yang kembali ke puskesmas karena anaknya tidak kunjung sembuh. Mereka merasa diakui—bahwa profesi mereka bukan hanya “tukang serah obat”, tapi juga pendidik kesehatan jiwa.
Tukang Bersih-bersih Puskesmas, Satpam, Petugas Laundry dan Sopir Ambulans
Saya bukan nakes, Mas Ferizal,” katanya suatu waktu, “tapi saya nggak mau puskesmas ini jadi tempat yang bikin tambah sakit karena jorok.”. Sopir ambulans yang hafal nama gang kecil di desa terpencil lebih baik dari GPS mana pun. Bang, apa yang paling susah dari jadi sopir ambulans?” tanya Ferizal saat ikut satu misi rujukan malam hari.
Mereka kemudian merilis antologi berjudul “Di Balik Kemudi, Ada Kehidupan”, yang berisi kisah para sopir ambulans se- Indonesia: tentang pasien meninggal di tengah jalan, tentang anak-anak yang lahir di kursi ambulans, dan tentang keputusan mendadak di persimpangan hidup. Satu lagi adalah Pak Rohim, sopir ambulans yang hidupnya lebih banyak di jalanan daripada di rumah.
Ahli Teknologi Laboratorium Medik dan Dunia Mikroskopik
Salah satu cerita paling menyayat hati datang dari seorang ATLM di daerah terpencil, berjudul "Surat untuk Pasien yang Tak Kembali". Selama ini, mereka berada di balik tirai pelayanan, namun tak pernah muncul dalam cerita utama. Di sana, ia melihat seseorang bekerja di balik mikroskop, mengenakan jas putih, sarung tangan, dan senyum yang tersembunyi di balik masker.
Di balik hasil laboratorium yang tampak dingin dan teknis, ternyata ada dunia yang sangat manusiawi. Mereka menulis buku: “Cerita dari Tabung Reaksi”—catatan kemanusiaan di balik angka hemoglobin dan leukosit.
Psikolog Klinis dan Sastra Jiwa
100 Salah satu kisah berjudul “Trombosit yang Membuat Ibu Menangis”, tentang seorang anak demam berdarah yang nyaris tak tertolong karena terlambat datang ke Puskesmas. 102 Dari proses yang hati-hati dan penuh empati itu lahirlah buku bersama mereka: “Sastra Jiwa: Cerita Orang yang Tak Dianggap Sakit”. Intan menginisiasi program baru bernama “Puisi Pemulihan”, di mana pasien didorong untuk menulis perasaannya dalam bentuk puisi.
Salah satu pertanyaan itu adalah: “Apa hal yang ingin kamu katakan, tapi tak pernah kamu ucapkan?”. Dan sastra—sekecil apa pun—bisa menjadi jembatan antara rasa sakit yang tak terucap dan pemulihan yang tak terburu-buru.
Perawat dan Simfoni di Ujung Malam
Dan di dinding belakang ruang konseling, ada mural wajah manusia tanpa mulut—hanya mata yang berkaca. Ferizal pun mengusulkan proyek baru: “Buku Harian Jaga Malam.” Ia meminta para perawat menuliskan pengalaman mereka selama shift malam, lengkap dengan kisah menyentuh, lucu, atau menegangkan. 109 Kini, setiap ruang rawat inap Puskesmas Harapan Bangsa punya satu sudut yang disebut Pojok Simfoni Malam, berisi puisi dan kisah para perawat.
Setelah Shift Malam: Catatan dari Lorong yang Tak Pernah Tidur dirilis, terjadi sesuatu yang tidak diperkirakan oleh siapa pun. Tangisan mereka adalah bentuk pelepasan—karena selama ini, tak ada tempat untuk meletakkan beban jiwa yang terus menumpuk di balik APD, masker, dan shift tak kenal waktu.
Dokter Umum dan Diagnosis Sastra Kemanusiaan
Diagnosis Kemanusiaan: Cerita dari Meja Konsultasi.” Buku itu tidak memuat ICD-10 atau penatalaksanaan medis, tapi justru menuliskan fragmen jiwa pasien—apa yang tak sempat dituliskan dalam rekam medis. Dan Ferizal, sebagai sastrawan promosi kesehatan, mulai menyusun cerita-cerita baru dari sudut yang tak pernah disentuh buku teks kedokteran. Isinya lebih dalam, lebih gelap, dan lebih jujur—tentang pengalaman kegagalan, kematian pasien, dan rasa bersalah yang tak bisa ditebus.
Kadang berwujud pilek, kadang batuk yang tak kunjung reda, kadang tekanan darah yang naik turun tanpa sebab pasti. Di dalamnya ada bab berjudul “Pasien yang Tak Pernah Pulang”, tentang seorang ibu dengan skizofrenia yang.
Terapis Gigi dan Mulut serta Puisi Gusi yang Berdarah
Tentang gusi berdarah, tentang mulut bau, tentang ibu-ibu yang tak berani buka mulut karena malu giginya habis.”. Siapa yang mau baca puisi tentang karang gigi?” Bu Asni tertawa, tapi ada getir dalam suaranya. Ferizal dan Bu Asni pun mengadakan program keliling ke sekolah-sekolah: “Puisi Gigi untuk Anak Negeri.” Mereka membaca puisi bersama anak-anak, membagikan sikat gigi, lalu mengajak mereka membuat puisi kecil tentang senyum dan kebersihan mulut.
Ia adalah jeritan diam dari tubuh yang terlalu lama dilupakan.Dan para terapis, adalah penyembuh yang bicara lewat sentuhan, dan kini, lewat kata-kata.”. Setelah peluncuran buku Puisi Gusi Berdarah, pesan-pesan dari seluruh pelosok negeri mulai mengalir ke email Ferizal dan Bu Asni.
Nutrisionis dan Simfoni Piring Gizi Seimbang
Ferizal dan Rika lalu menginisiasi program “Cerita Gizi di Piringmu”, di mana anak-anak diminta menggambar isi piring makan mereka dan menuliskan cerita pendek tentang itu. Alih-alih hanya mengedukasi dengan poster, para kader kini mengajak warga menulis kisah mereka sendiri tentang makanan harian, mitos keluarga, dan perjuangan memasak di tengah keterbatasan. Dalam sepiring nasi, tersimpan peluh petani, doa seorang ibu, dan masa depan seorang anak yang ingin tumbuh tanpa lapar.”.
Di sudutnya ada “Pohon Piring Harapan”, tempat pasien menempelkan kertas kecil berisi harapan tentang makanan yang ingin mereka makan, atau masakan yang mereka rindukan. Festival Sastra Gizi Nasional, sebuah perayaan tahunan di mana nutrisionis, guru, anak-anak, dan kader kesehatan berkumpul membaca puisi dan kisah tentang makanan.
Fisioterapis dan Gerak yang Membebaskan Kata
Di sampingnya, sabar membimbing, adalah Mbak Novi, fisioterapis berhati besar, yang tak pernah memaksa tapi juga tak pernah menyerah. Seorang lansia pasca-stroke mencoba mengangkat tangannya satu sentimeter saja—dan itu bisa membuatnya menangis karena berhasil. Bersama Novi, ia menggagas buku: “Gerak yang Tak Terucapkan”, kumpulan kisah-kisah pasien fisioterapi, dari.
Awalnya penuh marah, tapi melalui terapi, ia tak hanya bangkit secara fisik—ia juga mulai menulis. Beberapa bulan setelah peluncuran Gerak yang Tak Terucapkan, ruang fisioterapi Puskesmas Harapan Bangsa tidak lagi sekadar tempat terapi—ia telah menjadi ruang cerita.
Perekam Medis dan Cerita yang Disimpan di Lemari Arsip
Ferizal mengusulkan proyek bersama Mbak Ratna: “Cerita dari Arsip Kesehatan”—bukan untuk membuka identitas pasien, tapi untuk menyusun kisah kemanusiaan dari data anonim. Suatu sore yang sunyi, saat puskesmas mulai lengang dan matahari condong ke barat, Ferizal duduk kembali di ruang rekam medis. Di setiap lemari arsip puskesmas, ditempel kutipan puisi dan kisah mini yang diambil dari pengalaman kerja perekam medis.
Kami bukan penyair, tapi kami membaca kalimat yang tak pernah diucap.Kami bukan dokter, tapi kami menyimpan jejak. Kini, ruang rekam medis di Puskesmas Harapan Bangsa menjadi ruang literasi sunyi yang tak pernah disangka.
Promotor Kesehatan dan Puisi di Balik Poster
Tenaga Promosi Kesehatan dan Kata-Kata yang Menyembuhkan Ferizal sudah lama akrab dengan istilah promosi kesehatan. Kini, setiap ruang promosi kesehatan di Puskesmas Harapan Bangsa memiliki "Pojok Kata Sehat"—tempat pasien bisa membaca cerita inspiratif, puisi, bahkan menulis pengalaman hidup sehat mereka sendiri. Tapi keyakinannya menemukan bentuk yang lebih nyata saat ia bertemu dengan Mas Yuda, petugas promosi kesehatan di Puskesmas Harapan Bangsa.
Lalu lahirlah karya bersama mereka: “Kata-Kata yang Menyembuhkan Desa”, kumpulan cerita rakyat, puisi pendek, dan catatan lapangan dari program promosi kesehatan berbasis budaya lokal. Mbak Feni, petugas promosi kesehatan yang lebih sering membawa laptop, leaflet, dan pengeras suara ketimbang stetoskop.
Sanitarian, Penyair Air dan Udara
Tapi di balik itu semua, ada kisah-kisah manusia: keluarga yang tak punya akses sanitasi layak, anak-anak yang bermain di dekat limbah, dan para ibu yang mencuci dengan air tercemar. Salah satu yang paling menyentuh berjudul “Toilet untuk Ibu”, tentang seorang ibu di desa terpencil yang tak pernah punya jamban sendiri selama hidupnya—dan bagaimana pembangunan WC. Kami tak menulis puisi dengan tinta, tapi dengan saluran air yang bersih, tanah yang tak tercemar, dan udara yang bisa dihirup tanpa rasa takut.”.
Mereka menulis puisi bukan di atas kertas, tapi di aliran air bersih dan udara yang tak berbau.”. 186 anak yang akhirnya bisa mencuci tangan dengan air bersih, dan keluarga yang tak lagi buang air di sungai.
Konselor HIV/AIDS dan Kata yang Tak Bisa Diucapkan
Salah satu cerita paling menggetarkan adalah “Tes HIV dan Tiket Pulang”, tentang seorang buruh migran yang kembali ke Indonesia dan baru tahu statusnya positif. Setelah buku itu terbit, Puskesmas Harapan Bangsa menciptakan program “Puisi Sunyi”—sebuah sesi di mana pasien bisa menulis tanpa nama, membacakan karya mereka di forum kecil, dan menyembuhkan diri lewat ekspresi.
Kader Posyandu dan Puisi Timbangan Ibu Desa
Timbangan tua di bawah pohon manga menjadi penentu nasib generasi Bukan hanya berat badan Tapi juga berat beban ibu yang datang dengan diam.”. Mereka adalah penjaga awal kehidupan.Di tangan mereka, timbangan bayi bukan sekadar alat ukur—tapi neraca cinta, yang menentukan masa depan generasi berikutnya.”. Di antara warna-warni spanduk balita sehat dan suara tangis bayi yang saling bersahutan, berdirilah sosok-sosok luar biasa yang tak bergaji, tak berseragam, tapi selalu hadir: para kader posyandu.
Dari pengalaman itu lahirlah buku: “Cerita dari Timbangan Bayi”, berisi kisah-kisah para kader posyandu dari berbagai pelosok, dikemas dalam bentuk fiksi, puisi, dan catatan reflektif. Kami mungkin tak bisa membaca grafik, tapi kami tahu kapan seorang anak butuh peluk, bukan hanya imunisasi.”.
Bidan dan Doa di Ujung Tali Pusar
Ferizal pertama kali menyadari kekuatan profesi ini saat ikut Bu Sri melakukan kunjungan ke desa terpencil di tengah hujan sore. Kenapa masih semangat, Bu, padahal tinggal hitungan bulan pensiun?” tanya Ferizal sambil memayungi Bu Sri di depan rumah panggung berdinding bambu. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Bu Sri membantu persalinan tanpa listrik, dengan pelita dan suara zikir ibu yang menggenggam kasur.
Setelah bayi lahir, Bu Sri memeluknya, membisikkan nama, lalu menangis sebentar—mungkin karena lega, mungkin karena ingat cucunya sendiri yang jauh. Dari pengalaman-pengalaman itu, lahirlah buku kolaborasi Ferizal dan Bu Sri: “Dari Tangis Pertama, Sampai Doa Terakhir”—kumpulan kisah persalinan di desa-desa terpencil,.