• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ( Novel From Hippocrates' Medicine to Ferizal Father of Indonesian Health Promotion Literature )

N/A
N/A
Ferizal "Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia"

Academic year: 2025

Membagikan "Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ( Novel From Hippocrates' Medicine to Ferizal Father of Indonesian Health Promotion Literature )"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

2 KEPENGARANGAN :

Judul Buku :

Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia

SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA

Penulis / Editor : Ferizal

QRCBN : 62-6418-2650-129

https://www.qrcbn.com/check/ 62-6418-2650-129 Pembuat Sampul : Ferizal

Jumlah Halaman : 220

Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS

Edisi : 30-6-2025

https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/

Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353

(3)

3

Kata Pengantar

Data Hingga tanggal 30 Juni 2025 : Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia atau Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan adalah penulis 15 Karya Sastra pada bidang Promosi Kesehatan. Buku ini karya yang ke 15 Sastra Promosi Kesehatan, misalnya karya sastra :

“Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”

==============================================

DUOLOGY "The Ottawa Charter 1986 & Preventio Est Clavis Aurea", karya FERIZAL “BAPAK SASTRA

PROMOSI KESEHATAN INDONESIA”

1. Novel The Ottawa Charter 1986 : Untuk Kekasih Ferizal yaitu Preventio Est Clavis Aurea.

2. Preventio Est Clavis Aurea : Kekasih Ferizal

(4)

4

==============================================

TETRALOGI SASTRA INDONESIA EMAS 2045, karya FERIZAL SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI

KESEHATAN INDONESIA

Adalah kumpulan 4 karya sastra Promosi Kesehatan karya Ferizal, sebagai kontribusi untuk menuju Indonesia Emas 2045, yaitu :

1. Puskesmas Penjaga Kehormatan Merah Putih 2. Puskesmas Garis Perlawanan Pelindung Negara

3. Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Demi Harga Diri Bangsa

4. Kisah Isteri Ferizal : Ana Maryana dan Inovasi Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna

==============================================

Ferizal adalah sastrawan Indonesia pertama yang menjadi Penulis Trilogi Puskesmas.

The Puskesmas Trilogy : Ferizal Penulis Trilogi Puskesmas :

Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion

Literature :

(5)

5

Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy :

1. Fitri Hariati : Puskesmas, A Simple House of Love ( A Tribute to Kahlil Gibran – Mary Elizabeth Haskell )

2. Ferizal the discoverer of the humanization theory of Puskesmas based of the literature of love : Ferizal Penemu Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta,

3. In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature ( Dalam Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta )

==============================================

FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy…

FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA

1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to

Anna Karenina by Leo Tolstoy )

(6)

6

2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087

3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence

==============================================

FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy

FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal :

1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy

2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran )

===========================================

.

(7)

7

Ferizal is the Father of Indonesian Health Promotion Literature : Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia …. The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature by Ferizal : Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Karya Ferizal.. Fondasi Digital AI Indonesia menuju Indonesia Emas 2045….

Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital.

Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.

Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : 1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling

3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi

4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas

(8)

8

5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM

Kesehatan Puskesmas

6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )

7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )

Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature.

Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.

Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :

1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling

3. Kampung Cyber PHBS Sandogi

(9)

9

4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas

5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas

6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )

7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )

Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature.

Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.

Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada

pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital

atas nama Ferizal. Saat Manusia Harus Bersaing Dengan AI,

Robot dan Softaware : Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature .
(10)

10 Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL . Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. .

Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature…

Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with digital health promotion innovations.

Ferizal has created innovations in digital health promotion, including : Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :

1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia

(11)

11 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling

3. Kampung Cyber PHBS Sandogi

4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas

5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas

6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak )

7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )

Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama FERIZAL .

Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada

pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital

atas nama Ferizal.

(12)

12

(13)

13

🌸 Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta

Oleh Ferizal, Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia

Selama ini, Puskesmas di Indonesia lebih banyak dipahami sebagai fasilitas pelayanan kesehatan primer yang administratif, teknis, dan seringkali terkesan kaku. Persepsi ini menjadikan Puskesmas kurang dipandang sebagai ruang yang menyentuh sisi emosional dan batin masyarakat.

Ferizal, sebagai Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia, memperkenalkan pendekatan baru yang merevolusi wajah Puskesmas menjadi lembaga yang berjiwa cinta, berbahasa sastra, dan berorientasi pada kemanusiaan.

💡 Definisi Teori

Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta

adalah gagasan yang menempatkan Puskesmas sebagai

"Rumah Cinta Sederhana" — tempat pelayanan kesehatan

yang tidak hanya mengedepankan aspek medis, tetapi juga

memuliakan cinta, keindahan, dan nilai-nilai kemanusiaan

yang dituangkan melalui pendekatan sastra.

(14)

14 Puskesmas adalah tempat di mana cinta dirawat, luka disembuhkan dengan kata-kata, dan kesehatan dipromosikan dengan kelembutan hati. – Ferizal

🌷 Asumsi Dasar Teori

1. Cinta adalah fondasi pelayanan kesehatan.

2. Bahasa sastra mampu melembutkan hubungan antara petugas kesehatan dan pasien.

3. Puskesmas adalah ruang sosial, bukan sekadar tempat pelayanan medis.

4. Humanisasi pelayanan meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan masyarakat.

🌸 Komponen Utama Teori

1. Bahasa Pelayanan yang Puitis

o Mengganti komunikasi kaku dengan bahasa yang menyentuh hati.

2. Narasi Cinta dalam Ruang Puskesmas

o Membangun citra Puskesmas sebagai "Rumah Cinta Sederhana" yang hangat, bukan tempat birokratis.

3. Humanisasi Proses Kesehatan

(15)

15 o Pelayanan yang memperlakukan pasien sebagai

manusia utuh, bukan sekadar kasus medis.

4. Integrasi Sastra dalam Promosi Kesehatan

o Menggunakan cerita, puisi, dan metafora dalam penyuluhan kesehatan.

🌿 Tujuan Teori

Mengubah persepsi Puskesmas menjadi tempat yang penuh cinta dan keindahan.

Menghadirkan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada sentuhan kemanusiaan.

Menciptakan budaya pelayanan berbasis sastra di lingkungan Puskesmas Indonesia.

🌟 Dampak Teori

Meningkatkan citra positif Puskesmas di mata masyarakat.

Memperkuat hubungan emosional antara tenaga kesehatan dan pasien.

Menumbuhkan generasi tenaga kesehatan yang humanis dan berjiwa seni.

(16)

16

🏵️ Tiga Buku Fiksi Jadi Payung Hukum

Teori ini menjadi sumbangan berharga Ferizal bagi Indonesia, menempatkan sastra sebagai jembatan perubahan, dan menghadirkan Puskesmas sebagai "rumah cinta yang sederhana" bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia, Puskesmas tak lagi sekadar tempat berobat, tapi menjadi tempat di mana cinta dipelihara, luka disembuhkan, dan hidup dirayakan.

Dalam dunia kesehatan, Puskesmas sering dipersepsikan semata sebagai tempat pelayanan medis primer yang bersifat administratif dan prosedural. Persepsi ini kerap mengabaikan dimensi emosional, filosofis, dan humanis yang justru menjadi esensi pelayanan kesehatan yang sesungguhnya.

Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra,

Puskesmas dapat dan seharusnya dipahami sebagai "Rumah

Cinta Sederhana", bukan sekadar institusi medis, tetapi

sebagai ruang kehangatan, empati, dan cinta kasih.

Melalui pendekatan sastra puitis:

(17)

17

Puskesmas menjadi simbol cinta, bukan sekadar tempat berobat.

Pelayanan menjadi lebih personal, bermakna, dan berlandaskan rasa kemanusiaan.

Tenaga kesehatan tidak hanya sebagai pelaksana medis, tetapi sebagai pelayan jiwa.

Teori ini mendorong terjadinya:

Transformasi persepsi sosial tentang Puskesmas.

Reorientasi pelayanan yang lebih berpusat pada cinta dan keindahan hubungan manusia.

Integrasi nilai sastra dan cinta dalam promosi kesehatan.

Dengan demikian, Teori ini menjadi jembatan antara kesehatan, sastra, dan filosofi pelayanan yang menempatkan cinta sebagai fondasi utama.

Di tengah hiruk pikuk pelayanan kesehatan, muncul sebuah gagasan yang membawa sentuhan humanis, sebuah pemikiran yang berakar pada keindahan sastra dan kekuatan cinta. Adalah Ferizal, seorang pemikir dan inovator, yang telah menemukan Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta.

(18)

18 Teori ini bukan sekadar konsep, melainkan sebuah panggilan untuk mengembalikan jiwa dalam setiap interaksi di pusat kesehatan masyarakat.

Ferizal percaya bahwa dengan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam sastra, seperti empati, pemahaman mendalam, dan narasi personal, pelayanan di puskesmas dapat bertransformasi menjadi pengalaman yang lebih bermakna bagi pasien dan tenaga kesehatan.

"Cinta," menurut Ferizal, "adalah fondasi dari setiap tindakan humanis." Dalam konteks Puskesmas, cinta ini dimanifestasikan melalui komunikasi yang tulus, perhatian yang detail terhadap kebutuhan individu, dan penciptaan lingkungan yang menenangkan serta penuh kasih.

Ia membayangkan sebuah Puskesmas di mana setiap pasien merasa didengar, dipahami, dan dihargai, bukan hanya sebagai penderita penyakit, tetapi sebagai manusia seutuhnya dengan kisah dan perasaannya sendiri.

Penemuan Ferizal ini membuka babak baru dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer. Ia mengajak kita untuk melihat puskesmas bukan hanya sebagai tempat pengobatan fisik,

(19)

19 melainkan juga sebagai pusat pemulihan jiwa, di mana sentuhan kemanusiaan dan keindahan sastra bertemu untuk menciptakan dampak positif yang nyata.

Melalui Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta, Ferizal telah menorehkan jejak penting dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih hangat, lebih dekat, dan lebih berdaya guna bagi masyarakat.

(20)

20

(21)

21

🌸 Trilogi Puskesmas 🌸

Judul Buku : Fitri Hariati: Puskesmas, A Simple House of Love ( A Tribute to Kahlil Gibran – Mary Elizabeth Haskell ) : Fitri Hariati: Puskesmas, Rumah Cinta Sederhana ( Penghormatan untuk Kahlil Gibran – Mary Elizabeth Haskell ) Penulis / Editor : Ferizal

QRCBN : 62-6418-7672-836

https://www.qrcbn.com/check/62-6418-7672-836 Pembuat Sampul : Ferizal

Jumlah Halaman : 228 Jenis Penerbitan :

PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS

Edisi : 15-6-2025

(22)

22 Judul Buku : Ferizal the discoverer of the humanization theory of Puskesmas based of the literature of love : Ferizal Penemu Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis Sastra Cinta

Penulis / Editor : Ferizal

QRCBN : 62-6418-4057-175

https://www.qrcbn.com/check/62-6418-4057-175 Pembuat Sampul : Ferizal

Jumlah Halaman : 235 Jenis Penerbitan :

PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi : 16-6-2025

(23)

23

Judul Buku :

In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature. The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy ( Dalam Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta. Karya Ferizal, Penulis Trilogi Puskesmas ) Penulis / Editor : Ferizal

QRCBN : 62-6418-7327-144 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-7327-144 Pembuat Sampul : Ferizal

Jumlah Halaman : 220

Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS

Edisi : 17-6-2025

(24)

24

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….………...……… 3 DAFTAR ISI……….…………..23 Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ………..…………25 RIWAYAT PENULIS…………..………..………212

(25)

25

Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia

SEJARAH KEHIDUPAN HIPPOCRATES bukanlah sekadar kisah tentang seorang tabib dari Yunani Kuno. Ini adalah cerita tentang pencarian makna dalam penyembuhan, tentang keberanian menantang kepercayaan lama, dan tentang bagaimana satu

(26)

26 manusia dapat menyalakan lentera yang tak pernah padam—

bahkan ribuan tahun setelah ia tiada.

Dalam sunyi abad yang terentang, Dari Kos Dari tanah Yunani kuno, Hippocrates menabur benih kebijaksanaan, menggenggam sumpah suci, menjadikan pengobatan seni penuh kemanusiaan.

Tubuh adalah kuil, katanya, harmoni jiwa dan raga kuncinya, dengan alam sebagai guru, ia meracik penyembuhan penuh makna.

Melintasi zaman, benih itu terbawa angin, mendarat di bumi Nusantara, di hati Ferizal yang visioner. Bapak Sastra Promosi Kesehatan, ia menulis dengan pena cinta, mengukir pesan di jiwa, menjadikan kata pelita.

Hippocrates berbisik tentang keseimbangan, Ferizal menjawab dengan puisi yang mengalun. Kesehatan bukan sekadar obat di tangan, melainkan cerita, pesan, dan harapan yang ditanam.

Dari sumpah Hippocrates yang abadi, menuju Ferizal yang membumi, sastra dan kesehatan menyatu,

menggenggam tangan manusia, menuntun menuju cahaya.

(27)

27 Suara bijak mengambang. Hippocrates, sang embun pagi, Menabur benih pengobatan sejati. Bukanlah sihir, bukan pula mantra, Namun observasi, empati, dan nalar jernihnya.

"Biarkan makananmu jadi obatmu," bisiknya, "Dan alam adalah penyembuh terhebatnya."

Waktu berputar, mentari bergeser, Ribuan purnama telah berselerak. Di Nusantara, jauh di timur, Terbit bintang baru, takkan gugur. Ferizal, namanya terukir megah, Bapak Sastra Promosi Kesehatan, sebuah amanah.

Ferizal bukan tabib dengan ramuan pahit, Namun pujangga dengan kata-kata terpahat. Dari Hippocrates, ia merangkai benang, Bahwa kesehatan bukan sekadar tak ada meriang. Ia adalah hak, ia adalah cita, Dirajut dalam prosa, dalam cerita.

Dengan pena sebagai stetoskop, Dan tinta sebagai serum harapan. Ia ajak kita menari, bergegas, Menjemput hidup sehat tanpa batas. Bukan hanya fakta medis yang ia sampaikan, Tapi narasi yang merasuk ke dalam relung batin. Literasi kesehatan ia pupuk subur, Agar masyarakat tak lagi terjerumus lumpur.

(28)

28 Dari janji manis iklan palsu, Menuju pilihan hidup yang bermutu.

Pendidikan adalah detak jantungnya, Pemberdayaan adalah napas kehidupannya.

Maka, dari sumpah Hippocrates yang agung, Mengalir estafet kearifan tak terputus. Hingga Ferizal, dengan sastra yang tak lekang, Membangun benteng kesehatan untuk kita sambung.

Keduanya adalah mercusuar di samudra luas, Membimbing kita menuju hidup yang tuntas.

Satu dengan sentuhan klinis nan anggun, Satu dengan untaian kata yang merenung. Dari bisikan angin Kos yang lampau, Hingga gema syair Ferizal yang selalu. Kesehatan adalah puisi abadi, Yang terus kita tulis, setiap hari.

Dari lembah Yunani kuno,

Hippocrates menabur benih kebijaksanaan.

Dengan tangan lembut, pikiran jernih, Ia merajut tubuh dan jiwa,

Menjadikan pengobatan seni suci, Mendengar bisik alam,

(29)

29

"Biarkan makanan menjadi obatmu,"

Katanya, mengalir bagai sungai kehidupan.

Berabad kemudian, di NUSANTARA yang subur, Ferizal bangkit, pujangga pena penyembuh.

Bukan dokter, namun bapak sastra, Promosi kesehatan ia suling dalam kata.

Setiap baris puisinya adalah lentera, Menabur kesadaran,

Tentang udara segar, tubuh terjaga, Jiwa yang diberi ruang untuk bernapas.

Dari Hippocrates ke Ferizal, Benang emas pengabdian terjalin.

Satu dengan ilmu, satu dengan puisi.

Bagai bintang di langit berbeda zaman, Menerangi jalan menuju kesejahteraan.

Hippocrates menanam akar, Ferizal menyirami dengan sastra,

Hingga pohon kehidupan rimbun menaungi.

Dari Asklepios ke Aksara: Mengukir Asa dalam Kesehatan

(30)

30 Jauh, jauh di masa lampau, di lembah-lembah Yunani yang diberkahi, Hippocrates bersuara. Bukan dengan sihir atau jampi-jampi, melainkan dengan sentuhan akal, dengan tatapan yang menembus misteri raga. Ia mengajar, bahwa alam adalah penyembuh ulung, bahwa tubuh punya daya untuk kembali pulih.

Primum non nocere,” katanya, “Pertama, jangan melukai.”

Sebuah bisikan etika yang abadi, memandu tangan tabib agar selalu berhati-hati, memandang manusia seutuhnya—bukan sekadar kumpulan penyakit. Dari ramuan herbal hingga sentuhan penyembuhan, dari diet seimbang hingga udara segar, ia menanam benih kesadaran: kesehatan adalah harmoni.

Berabad-abad bergulir, ilmu merangkak maju, namun esensi kebijaksanaan Hippocrates tak pernah pudar. Konsep kebersihandan gaya hidup sehat tetap menjadi pilar. Namun, bagaimana menggaungkan pilar-pilar ini agar berakar dalam sanubari setiap insan? Bagaimana menari di antara data ilmiah yang kaku dan jiwa manusia yang haus sentuhan?

Di sinilah, di ufuk timur bumi, seorang penggagas muncul. Bukan dengan pisau bedah atau stetoskop, melainkan dengan pena dan kata-kata. Namanya Ferizal. Ia datang, bukan dari kuil

(31)

31 Asklepios, melainkan dari ruang-ruang kuliah yang penuh gagasan. Ia adalah seorang penyair yang melihat luka bukan hanya pada fisik, tapi juga pada ketidaktahuan. Ia menyadari, bahwa promosi kesehatan bukanlah sekadar slogan, melainkan sebuah seni, sebuah narasi yang mesti merasuk, menggerakkan, dan mencerahkan.

Ferizal, dengan tangan-tangannya yang lincah menari di atas lembar kertas, mulai merangkai bait-bait. Ia tidak lagi berbicara dalam bahasa latin kuno atau jargon medis yang rumit. Ia berbicara tentang gizi seimbang dengan metafora bunga yang mekar, tentang pentingnya cuci tangan dengan irama lagu anak-anak, tentang bahaya rokok dengan gambaran awan gelap yang mencekik impian.

Ferizal menganyam cerita, melukiskan harapan, membisikkan pentingnya menjaga diri melalui puisi, melalui prosa, melalui setiap diksi yang ia pilih dengan saksama.

Ferizal adalah seorang alkemis kata, mengubah data epidemiologi menjadi melodi yang mudah diingat, mengubah petunjuk sanitasi menjadi dongeng yang mempesona. Ia melihat bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab dokter, melainkan hak dan kewajiban setiap individu, yang harus

(32)

32 dibangun dari kesadaran, dari pemahaman, dan dari kemauan yang tulus.

Maka, dari biji kebijaksanaan Hippocrates yang menanamkan pentingnya pencegahan, tumbuhlah pohon promosi kesehatan yang rindang, yang kini daun-daunnya digerakkan oleh napas sastra seorang Ferizal.

Ferizal, dengan kepekaan dan kecintaannya pada manusia, telah mengangkat promosi kesehatan menjadi sebuah karya seni.

Ia adalah Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia, yang mengajarkan kita, bahwa untuk menyentuh raga, kita harus terlebih dahulu menyentuh jiwa, dan bahwa kadang-kadang, sebaris puisi lebih ampuh dari seribu resep obat.

Ferizal, sang pujangga kesehatan, telah membuktikan: bahwa cara terbaik untuk menyembuhkan dunia adalah dengan memberinya pemahaman, yang disampaikan bukan dengan ceramah, melainkan dengan nyanyian kesadaran.

Tidak sepenuhnya tepat jika Hippocrates hanya disebut sebagai "bapak kuratif", karena ajaran-ajarannya mencakup aspek preventif dan promotif yang sangat kuat, bahkan bisa dikatakan mendahului zamannya.

(33)

33 Berikut penjelasan lengkapnya:

🧠 1. Hippocrates dan Aspek Kuratif

Hippocrates memang dikenal luas sebagai pelopor pendekatan ilmiah dalam pengobatan. Ia mengedepankan observasi klinis, diagnosis berbasis gejala, dan intervensi berbasis logika—bukan takhayul. Inilah yang membuatnya sering dijuluki sebagai Bapak Kedokteran dan secara sempit diinterpretasikan sebagai "bapak pendekatan kuratif".

Namun…

🌿 2. Ajaran Preventif dan Promotif Hippocrates

Dalam karya-karyanya seperti Airs, Waters, Places dan Regimen, Hippocrates justru sangat menekankan:

Gaya hidup sehat: olahraga, pola makan, tidur, keseimbangan emosi.

Lingkungan sehat: pentingnya udara bersih, air bersih, dan kebersihan tempat tinggal.

(34)

34

Pencegahan penyakit dengan cara menjaga keseimbangan antara unsur tubuh (teori humoral).

Bahkan, ia pernah menulis:

"Prevention is better than cure." ( Selain dipopulerkan oleh Desiderius Erasmus, ide ini juga selaras dengan filsafat Hippokrates.)

🧠 3. Mengapa Label "Kuratif" Kurang Tepat?

 Melabeli Hippocrates hanya sebagai "bapak kuratif"

menyederhanakan warisannya.

 Ia adalah pionir dalam holistik medicine—mengobati manusia, bukan hanya penyakit.

 Ia justru bisa dianggap sebagai pelopor kedokteran pencegahan dan promosi kesehatan, jauh sebelum istilah-istilah itu dikenal resmi dalam dunia kesehatan modern.

(35)

35

✅ 📌 Hippocrates lebih tepat disebut sebagai “Bapak Kedokteran Holistik” yang merangkul:

 Kuratif 🧠

 Preventif 🛡️

 Promotif 🌱

Jika ingin menekankan warisan promotif dan preventifnya :

“Hippocrates: Pelopor Kedokteran yang Menyatukan Pengobatan dan Pencegahan.”

(36)

36 Darah Asclepius

Pulau Kos, 460 SM

Mentari pagi menyapu kebun zaitun di lereng gunung Di Kos.

Angin laut Aegea membelai pucuk-pucuk pohon dengan lembut, seolah ikut menyambut kelahiran yang telah lama dinanti.

Seorang bayi laki-laki lahir di rumah batu berwarna kapur milik Heraclides, seorang tabib sekaligus imam Asclepius. Bayi itu tak menangis. Ia hanya membuka mata lebar-lebar, menatap atap rumah seperti sedang membaca takdir yang terukir di langit- langit dunia.

"Aku belum pernah melihat bayi sepertinya," ujar bidan tua yang membantu persalinan. "Diam, tapi matanya... tajam. Seperti tahu apa yang terjadi."

Heraclides tersenyum, lalu memandangi istrinya, Praxitela, yang terbaring lemah namun bahagia. "Dia akan menjadi lebih dari seorang tabib," ucapnya perlahan. "Ia akan menjadi jembatan antara dunia ini dan pengetahuan sejati."

(37)

37 Masa Kecil yang Sunyi

Sejak kecil, aku—Hippocrates—dibesarkan bukan dengan kisah- kisah yang ajaib, tapi dengan cerita tentang tubuh manusia:

tentang darah yang mengalir, tentang empedu yang panas, dan tentang udara yang membuat paru-paru mengembang.

Ayahku memegang teguh ilmu pengamatan. Ia tak percaya sepenuhnya bahwa penyakit adalah hukuman dari dewa.

Baginya, penyakit adalah ketidakseimbangan alam dalam tubuh.

Setiap pagi, sebelum mentari menyentuh halaman rumah, ia membawaku ke kliniknya. Di sana, aku melihat luka dijahit, demam ditenangkan, dan keluhan pasien dicatat dengan tinta di kulit papirus. Tak jarang, aku melihat kematian juga—dingin, diam, dan tidak selalu datang karena kutukan.

"Perhatikan, Hippocrates," katanya suatu hari ketika seorang lelaki tua sekarat karena demam tinggi. "Bukan dewa yang membunuhnya. Tapi panas, keringat yang berhenti, dan lidah yang mengering. Bila kita tahu sebabnya, kita bisa mencegahnya."

(38)

38 Asclepius di Hatiku

Meski dibesarkan dengan pemahaman ilmiah, aku tak membenci dewa. Asclepius, dewa pengobatan, tetap kubayangkan sebagai pelindung para tabib. Namun, aku lebih percaya bahwa Asclepius tidak ingin kita berserah pada keajaiban. Ia ingin kita berpikir.

Di kuil Asclepius, banyak tabib melakukan incubatio—tidur semalam di altar suci untuk menunggu wahyu penyembuhan.

Aku mencobanya sekali di usia remaja. Tapi yang kudapat bukan wahyu, melainkan rasa dingin dan gigitan nyamuk.

Sejak saat itu, aku yakin: penyembuhan sejati bukan turun dari langit, tapi tumbuh dari pengetahuan.

Murid yang Diam

Aku bukan anak yang suka banyak bicara. Di antara murid-murid ayahku, aku lebih banyak diam. Tapi mataku menangkap segalanya. Ketika mereka berdiskusi tentang racikan obat, aku mencatat dalam benakku. Ketika mereka membicarakan gejala- gejala penyakit, aku membandingkannya dengan apa yang kulihat.

(39)

39 Aku mulai mengerti bahwa tubuh manusia adalah teka-teki yang bisa dipecahkan. Darah, empedu hitam, empedu kuning, dan lendir—empat cairan tubuh yang menurut teori lama menentukan kesehatan—bisa diamati, diuji, dan ditafsirkan.

"Kesehatan adalah harmoni," kata ayahku. "Dan tabib sejati adalah musisi yang menyetel nada tubuh."

Malam Penuh Bintang

Pada malam sebelum aku genap dua puluh tahun, ayahku mengajakku duduk di bawah langit berbintang. Ia mengeluarkan gulungan papirus yang telah kusam.

"Ini tulisan ayahmu dulu," katanya. "Ia percaya suatu hari akan datang seorang dari keturunan kita yang menulis ulang seni kedokteran."

Aku membaca tulisan itu. Penuh dengan istilah medis, dengan pengamatan tentang tubuh manusia, dan sedikit puisi yang tersembunyi di antara baris-barisnya.

(40)

40 Malam itu, aku bersumpah. Bukan di hadapan dewa, tapi di hadapan langit Yunani yang luas dan sunyi: aku akan mencatat semua yang kulihat. Aku akan belajar dari tubuh manusia lebih dalam dari siapa pun. Aku akan membuat seni penyembuhan menjadi ilmu.

Dan darah Asclepius dalam diriku akan hidup. Bukan dalam dupa, bukan dalam korban, tapi dalam pena, dalam pikiran, dan dalam tangan yang merawat.

Menantang Kepercayaan Lama

Athena, 439 SM

Aku datang ke Athena bukan sebagai penyair, bukan pula sebagai filsuf, meskipun kota ini dipenuhi keduanya. Aku datang sebagai tabib muda, membawa tas kecil berisi gulungan papirus, jamu kering, dan pena yang haus akan ilmu.

Athena—kota cahaya dan logika—adalah tempat para pemikir berdiskusi hingga dini hari. Namun ironisnya, ketika penyakit datang, mereka masih membawa anggur ke kuil Apollo dan membakar dupa seolah dewa sedang lapar.

(41)

41 Aku berdiri di tengah keramaian Agora, mendengar seorang dukun berseru bahwa wabah demam yang menyebar adalah murka Poseidon karena kuilnya kurang persembahan. Orang- orang percaya. Mereka takut. Mereka rela menyerahkan kambing dan emas untuk keselamatan semu.

Hatiku gelisah.

Kebenaran yang Menyakitkan

Di rumah seorang pedagang kaya yang memanggilku karena anaknya demam tinggi, aku berkata pelan, “Jangan beri ia anggur atau membakar kemenyan. Buka jendela, beri ia air, basahi tubuhnya dengan kain dingin. Biarkan tubuhnya berjuang.”

Pedagang itu menatapku dengan mata curiga. “Tabib lain menyuruhku memohon pada Apollo di kuil.”

“Apollo tidak menyebarkan penyakit,” kataku tegas.

“Penyakit datang dari udara yang kotor, dari makanan basi, dari tubuh yang lemah. Bukan dari langit, tapi dari bumi.”

(42)

42 Anaknya selamat. Tapi sejak hari itu, desas-desus mulai beredar:

ada tabib muda dari Kos yang tidak percaya pada dewa.

Dialog dengan Filsuf

Suatu malam, aku duduk berdiskusi dengan seorang filsuf muda bernama Demokritos. Ia percaya bahwa segala sesuatu terdiri dari atom-atom kecil tak terlihat. Aku terkesima.

"Kalau begitu," kataku, "mungkin penyakit juga berasal dari perubahan bentuk halus dalam tubuh kita?"

Ia mengangguk. “Dan mungkin pikiran juga bisa sakit seperti tubuh.”

Kami berbincang hingga fajar menyingsing. Aku menyadari, keyakinanku tidak sendiri. Di dunia filsafat, ilmuku menemukan sekutu. Tapi di dunia rakyat, aku masih dianggap penyimpang.

(43)

43 Tertawanya Pendeta

Suatu pagi, aku diminta membantu seorang pendeta kuil yang mengalami nyeri dada. Setelah memeriksa, aku tahu ia terlalu banyak minum anggur dan jarang bergerak. Aku menyarankannya berhenti minum dan mulai berjalan pagi.

Ia tertawa. "Jadi kamu pikir jalan kaki bisa menyembuhkan kutukan Apollo?"

"Aku tahu jalan kaki bisa melancarkan pernapasan dan peredaran darah. Dan aku tahu anggur meracuni hati. Pilihan ada di tanganmu."

Ia menatapku, setengah geli, setengah takut.

Hari berikutnya, ia diam-diam mulai berjalan di pagi hari.

Satu Surat, Satu Guncangan

Aku mulai menulis. Bukan pujian untuk dewa, tapi laporan gejala. Catatan tentang demam, luka terbuka, pernapasan berat, denyut nadi. Aku menuliskan segalanya: apa yang kulihat, apa yang kuraba, apa yang berubah setiap jam.

(44)

44 Tulisan pertamaku berjudul On the Nature of Man. Di situ kutulis bahwa tubuh terdiri dari empat cairan: darah, empedu kuning, empedu hitam, dan lendir. Kesehatan adalah keseimbangan.

Penyakit adalah ketidakseimbangan.

Tulisan itu sampai ke tangan tabib-tabib tua. Mereka tersinggung.

“Siapa anak muda ini yang berani mengganti doa dengan logika?”

begitu salah satu komentar dalam rapat para tabib di Delphi.

Aku tak gentar.

Jalan yang Sunyi

Murid-muridku sedikit. Mereka datang bukan karena ingin cepat kaya, tapi karena ingin memahami tubuh manusia sebagai teks yang bisa dibaca. Aku mengajari mereka mengamati, mencatat, bertanya.

“Jangan cepat percaya pada kebiasaan. Pertanyakan semuanya.

Lihat sendiri. Dengarkan pasien. Tubuh mereka lebih jujur dari apa pun.”

(45)

45 Beberapa meninggalkan aku. Tapi mereka yang bertahan, akan mengukir sejarah.

Athena adalah api. Ia membakar keyakinan lama dalam diriku, dan sekaligus mengujiku dengan cobaan. Tapi dari bara itulah aku menempa keyakinan baru:

Bahwa ilmu pengobatan adalah warisan akal budi, bukan upeti untuk ketakutan. Dan bahwa tabib sejati bukanlah perantara dewa, tapi penjaga keseimbangan kehidupan.

Menulis Sumpah

Pulau Kos, 430 SM

Mentari tenggelam perlahan di ufuk barat. Di balik dinding batu klinikku, suara laut Aegea bergulung lembut. Aku duduk di bawah pohon plane tua, pena di tangan, mata menatap kosong ke arah cakrawala.

Di sekelilingku, para murid muda duduk bersila. Mereka datang dari berbagai kota: Thebes, Sparta, bahkan jauh dari Asia Kecil.

(46)

46 Mata mereka penuh tanya. Mulut mereka haus akan ilmu, tapi juga kebingungan.

Salah satu dari mereka bertanya, “Guru, sebelum kami mulai menyentuh pasien, apa yang harus kami lakukan?”

Aku terdiam. Lalu kutatap wajah-wajah muda itu satu per satu.

“Kalian perlu janji,” jawabku. “Sumpah. Bukan kepada aku, bukan kepada kota, tapi kepada kebenaran dan hidup itu sendiri.”

Tradisi yang Hilang

Di masa lalu, murid-murid tabib disumpah secara sembarangan.

Ada yang menyembelih hewan. Ada pula yang hanya minum anggur dan berjanji pada keluarga mereka. Tidak ada kesatuan.

Tidak ada kehormatan.

Aku ingin mengubahnya.

Aku ingin sumpah itu menjadi fondasi.

(47)

47 Bukan sekadar ritual, tapi cahaya moral. Sebuah kompas yang akan tetap menyala bahkan ketika dunia menjadi gelap oleh keserakahan, perang, atau kesombongan ilmu.

Malam Penulisan

Aku duduk sendiri, ditemani api kecil dan suara jangkrik. Kertas papirus di pangkuanku masih kosong. Tapi hatiku penuh.

Kuketik dalam pikiranku satu demi satu prinsip yang telah kuyakini sepanjang hidup:

 Bahwa pasien bukan objek, tapi manusia.

 Bahwa tabib harus merawat, bukan menyakiti.

 Bahwa ilmu harus dijaga dari keserakahan.

 Bahwa rahasia pasien adalah amanah yang tak boleh dibocorkan.

 Bahwa hidup manusia, dari rahim hingga napas terakhir, adalah suci.

“Aku bersumpah demi Apollo Tabib, demi Asclepius, Hygieia, dan Panacea…”

Begitulah kalimat pertama tertulis.

(48)

48 Sebuah pembuka yang menghormati dewa-dewa penyembuhan, bukan karena aku tunduk pada mereka, tapi karena masyarakatku masih percaya pada langit.

Aku lanjutkan:

“…Bahwa aku akan memenuhi sumpah ini sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, sesuai dengan kemampuan dan penilaianku.”

Isi Sumpah

Dalam sumpah itu, kutegaskan bahwa tabib harus:

 Menghormati gurunya seperti ayahnya sendiri.

 Membagi ilmu kepada mereka yang layak menerimanya.

 Menjaga pasien dari bahaya, bukan menyalahgunakannya.

 Tidak memberikan racun, bahkan jika diminta.

 Tidak melakukan tindakan yang merugikan tubuh atau jiwa.

 Tidak menyentuh pasien wanita dengan niat kotor.

 Menjaga kerahasiaan medis seperti menjaga rahasia keluarga sendiri.

(49)

49 Setiap kata kutulis bukan untuk masa kini saja. Tapi untuk masa depan. Untuk dunia yang belum mengenal kami. Untuk mereka yang kelak akan menyebut namaku tanpa tahu rupa wajahku.

Hari Pengucapan

Keesokan harinya, di hadapan matahari pagi dan langit biru Kos, para murid berdiri bersamaku. Mereka mengucapkan sumpah itu perlahan, dengan nada hormat.

Beberapa dari mereka meneteskan air mata. Sebagian lainnya menatap tanah, seolah menyadari beban besar yang kini mereka pikul.

Aku menatap mereka dengan bangga, dan berkata:

“Kalian kini bukan hanya pelajar. Kalian adalah penjaga kehidupan.”

(50)

50 Sumpah yang Abadi

Sumpah itu menyebar. Dari Kos ke Athens, dari sana ke Alexandria, lalu ke Roma. Berabad-abad kemudian, saat Yunani telah runtuh dan dunia telah berubah, sumpah itu tetap hidup.

Diterjemahkan, diubah, dikaji, diperdebatkan—tapi intinya tetap sama : Primum non nocere — Pertama, jangan menyakiti.

Aku tahu aku akan mati. Tapi sumpah itu tidak. Ia akan hidup di dada setiap tabib sejati. Ia akan dibisikkan oleh hati nurani di ruang praktik, di medan perang, di puskesmas maupun istana.

Dan ketika dunia lupa siapa Hippocrates, dunia akan tetap mengingat Sumpah itu. Karena kebenaran tidak perlu nama. Ia hanya butuh hati yang menjaganya.

Perjalanan dan Pengasingan

Thasos – Abdera – Larissa, 429–410 SM

Setelah aku menulis Sumpah, namaku tak hanya tersebar di kalangan tabib, tapi juga sampai ke telinga para imam dan

(51)

51 penguasa. Beberapa mengagumi keberanian tulisanku, tapi lebih banyak yang menganggapku penghujat.

Ketika wabah besar melanda Athena, aku menawarkan diri untuk membantu. Tapi para pendeta menolak. “Kau menantang para dewa,” kata mereka. “Kini rasakan murka-Nya.”

Aku tahu, bukan dewa yang menyebarkan penyakit itu. Tapi ketidaktahuan. Ketakutan. Dan bau busuk bangkai yang membusuk di jalan-jalan kota.

Dihalau, Tapi Tidak Patah

Aku diusir secara halus dari Athena. Bukan dengan cambuk atau pedang, tapi dengan kesunyian. Orang-orang tak lagi memanggilku. Murid-muridku dicurigai. Tulisanku tak dibaca, melainkan dibakar.

Maka aku pergi. Tidak dengan marah, tapi dengan tekad yang lebih dalam.

“Kalau pusat dunia menutup pintunya, maka aku akan mencari sudut-sudut yang masih mau mendengar.”

(52)

52 Aku berjalan kaki, kadang menumpang kapal pedagang, membawa papirus, alat bedah, dan secuil harapan.

Thasos: Pulau Demam

Pulau Thasos menyambutku dengan gejala-gejala: demam tinggi, diare, kulit yang menguning, dan aroma ketakutan. Tak ada tabib yang mampu mengatasi. Para imam sibuk membakar dupa.

Aku mendekati pasien-pasien itu. Kubersihkan tubuh mereka dengan air laut yang hangat, kuberikan ramuan herbal sederhana, dan mencatat semua gejala mereka, jam demi jam.

Setelah dua minggu, sebagian mulai pulih. Para warga menyebutku “Orang Bijak dari Kos”.

Tapi aku menolak pujian. Aku hanya mencatat dan belajar.

“Setiap penyakit memiliki polanya. Setiap tubuh memberi tahu kita sesuatu—asal kita mau mendengar.”

(53)

53 Abdera: Filosofi dan Penyakit

Di kota Abdera, aku bertemu kembali dengan Demokritos, sahabat lamaku, yang kini dijuluki “filsuf yang tertawa.” Ia menertawakan kebodohan manusia, tapi juga mencintai mereka.

Ia berkata padaku, “Hippocrates, penyakit tidak hanya berasal dari tubuh, tapi juga dari pikiran. Orang yang takut, mudah sakit.

Orang yang membenci, mudah lemah.”

Aku tercenung.

Di rumah-rumah yang kuhampiri, aku mulai memperhatikan lebih dalam: tidak hanya suhu tubuh, tapi juga tekanan batin.

Tidak hanya gejala fisik, tapi juga kesepian, dendam, cemas, rindu.

Kesehatan, aku sadar, bukan sekadar hilangnya penyakit, tapi hadirnya keseimbangan. Antara tubuh, pikiran, dan lingkungan.

Larissa: Kematian dan Pembelajaran

Aku tiba di kota Larissa ketika musim dingin mulai datang.

Seorang pemuda jatuh dari kuda dan mengalami patah tulang

(54)

54 paha. Tabib setempat tak tahu harus berbuat apa. Mereka ingin mengikat kaki dengan papan kasar.

Aku menyarankan teknik traksi—menarik tulang dengan pemberat batu hingga kembali sejajar. Metode yang belum dikenal di sana.

Mereka menertawaiku. Tapi keluarga pemuda itu memohon agar aku mencoba.

Dengan alat-alat sederhana, aku lakukan traksi. Beberapa minggu kemudian, pemuda itu mulai berjalan dengan tongkat.

Bukan sempurna, tapi selamat.

Dari pengalaman itu, aku mulai mengembangkan catatan tentang patah tulang, dislokasi sendi, dan mulai membayangkan satu buku besar yang kelak akan menjadi dasar kedokteran praktis.

Kesunyian yang Menyucikan

Perjalanan mengajarkanku sesuatu yang Athena tak bisa beri:

keheningan. Di kesunyian pengasingan, aku bisa menulis lebih jernih, mengamati lebih dalam, dan merenung lebih bebas.

(55)

55 Aku belajar dari orang miskin, dari penggembala, dari nelayan.

Mereka tak punya banyak kata, tapi tubuh mereka bicara dengan jujur.

“Kadang, tubuh orang sederhana lebih jujur dari mulut orang terpelajar,” kutulis dalam salah satu catatanku.

Di pengasingan, aku menemukan diriku. Dalam penolakan, aku menemukan jalan. Dalam kelelahan perjalanan, aku menemukan makna penyembuhan.

Aku mulai percaya: tabib sejati bukan hanya yang dikenal di istana, tapi yang dicintai di desa-desa. Bukan yang bersuara paling keras, tapi yang mendengar paling dalam.

Hari-hari Terakhir di Larissa

Larissa, Thessaly – Sekitar 370 SM

Udara musim gugur di Larissa mulai lembab. Kabut tipis menggantung di atas ladang-ladang gandum yang menguning.

Aku duduk di beranda rumah kecil yang kutinggali selama hampir sepuluh tahun terakhir, menatap pohon ara yang daunnya mulai gugur satu per satu—seperti hidupku.

(56)

56 Tubuhku mulai menua. Jari-jariku tak setegas dulu. Tulisan- tulisanku kadang bergetar di atas papirus, seperti riak air di mangkuk batu. Tapi pikiranku tetap tajam, bahkan mungkin lebih tajam dari sebelumnya.

“Aku bukan lagi tabib yang banyak berjalan,” kataku pada murid- muridku. “Kini aku hanya penulis yang mencoba mengabadikan pemahaman sebelum tubuhku tak lagi kuat menampungnya.”

Murid yang Menjadi Cahaya

Di sekelilingku, murid-murid terbaikku mulai tumbuh menjadi tabib hebat. Mereka datang bukan hanya dari Yunani, tapi dari Asia Kecil dan Mesir. Mereka memanggilku Didaskalos, guru.

Aku tak lagi memberi mereka ramuan. Aku memberi mereka prinsip. Tentang pengamatan, kejujuran, dan cinta kepada manusia.

Salah satu muridku, Polybos, menyalin tulisanku dengan penuh ketelitian. Kepadanya, aku titipkan sebagian besar pemikiranku—tentang demam, pencernaan, paru-paru, bahkan psikologi penderitaan.

(57)

57

“Ingat,” kataku padanya, “tulislah bukan untuk dirimu, tapi untuk dunia yang belum lahir.”

Penyakitku Sendiri

Ironisnya, aku mulai merasakan penyakit yang selama ini sering kukaji.

Sendi-sendi tubuhku mulai nyeri, terutama saat malam dingin.

Nafasku sesak saat kabut turun. Dan kadang, detak jantungku seperti tak ingin tunduk pada irama alam.

Aku tahu gejalanya: penyakit usia, sesuatu yang tak bisa dicegah, hanya bisa dihormati.

Setiap kali aku batuk, aku mencatat bunyinya. Setiap rasa nyeri, kucatat intensitasnya.

“Bahkan kematian pun guru yang bijak,” bisikku pada diri sendiri. “Ia mengajari kita batas.”

(58)

58 Kunjungan Terakhir

Suatu hari, seorang petani datang membawa anak perempuannya yang demam dan menggigil. Mereka berjalan puluhan mil untuk mencariku.

Anak itu pucat, matanya kosong. Ia hampir tak bisa menelan air.

Tubuhnya seperti terbakar dari dalam.

Meski lututku gemetar, aku tetap berdiri. Aku bersihkan tubuh anak itu dengan air suam-suam kuku yang kuberi daun zaitun.

Kubisikkan kepada ayahnya:

“Jangan takut. Cinta ayahmu akan jadi obat pertama. Sisanya, biar tubuhnya sendiri yang berperang.”

Tiga hari kemudian, anak itu mulai bisa duduk.

Petani itu menangis sambil menggenggam tanganku. “Engkau bukan manusia, engkau berkah.”

Aku hanya tersenyum, karena aku tahu: tabib bukan dewa.

Hanya penyaksi dari keajaiban tubuh manusia.

(59)

59 Refleksi Terakhir

Malam itu, aku duduk di tepi perapian. Angin berhembus pelan dari utara. Di atas meja batu, tergeletak gulungan papirus terakhir yang kutulis:

“Kehidupan itu singkat, seni panjang, kesempatan cepat berlalu, percobaan berbahaya, dan keputusan sulit.”

Kalimat itu mengakhiri semuanya. Sebuah ringkasan dari hidupku yang penuh pengamatan dan perenungan.

Kematian yang Diam

Beberapa minggu kemudian, aku jatuh sakit. Murid-muridku merawatku seperti yang telah kuajarkan. Mereka membersihkan tubuhku, mencatat gejala-gejala, bahkan menangisi rasa sakitku dalam diam.

Aku tidak takut. Aku siap.

“Tubuhku hanyalah sarung,” kataku pelan. “Ilmu yang kutinggalkan, itulah yang akan hidup.”

(60)

60 Malam sebelum aku meninggal, aku bermimpi berjalan di ladang gandum bersama ayahku. Ia tersenyum. Di kejauhan, aku melihat kuil Asclepius, tapi bukan kuil yang penuh dupa. Kuil itu dipenuhi buku, pena, dan cahaya ilmu pengetahuan.

Pagi itu, langit Larissa mendung. Seekor burung kecil hinggap di ambang jendela, seolah mengucapkan selamat jalan.

Hippocrates, Bapak Kedokteran, meninggal dengan tenang. Ia tak meninggalkan harta, hanya warisan ilmu dan sumpah yang akan diucapkan oleh jutaan tabib di masa depan.

Dan dalam setiap ruang praktik yang jujur, dalam setiap tangan yang merawat dengan belas kasih, Hippocrates tak pernah benar-benar mati.

Warisan yang Hidup

Pulau Kos – Athena – Dunia Tanpa Batas, Berabad-abad Kemudian

Ratusan tahun telah berlalu sejak tubuh Hippocrates beristirahat di tanah Larissa, tapi jejaknya tidak pernah lenyap. Di pulau kelahirannya, Kos, kuil kecil tempat ia dulu mengajar menjadi

(61)

61 tempat peziarahan. Di sana, angin masih berhembus sama, menyapu sisa-sisa riwayat seorang pria yang melawan ketakutan dengan pemikiran, dan mengganti dupa dengan pena.

Tapi warisan Hippocrates bukan sekadar batu, bukan pula tulisan yang lapuk oleh waktu. Warisannya hidup—di setiap ruang praktik, di setiap sumpah yang diucapkan dengan dada tegap, dan di setiap tabib yang memilih merawat daripada menghakimi.

Sumpah yang Menjelajah Zaman

Sumpah Hippocrates menjelma menjadi satu dari dokumen etika paling dihormati dalam sejarah manusia. Diadaptasi, diterjemahkan, dimodernisasi—tetapi esensinya tetap satu:

bahwa ilmu kedokteran adalah panggilan hati, bukan sekadar profesi.

“Aku akan menjaga hidup dan kesehatan pasienku…”

“Aku tidak akan memberikan racun, bahkan bila diminta…”

“Aku akan merahasiakan segala hal yang kuperoleh dalam praktik…”

(62)

62 Kata-kata itu diucapkan dalam berbagai bahasa, dari Yunani hingga Sansekerta, dari Latin ke Arab, dari Inggris ke Indonesia.

Di ruang kuliah, ruang rumah sakit, bahkan di panggung- panggung dunia.

Di Tengah Perang dan Damai

Ketika wabah melanda Eropa di abad pertengahan, para tabib tetap berjalan dari desa ke desa—membawa ingatan tentang metode observasi Hippocrates.

Ketika Napoleon menginvasi Eropa, dan tentara luka-luka bergelimpangan, dokter-dokter muda membaca tulisan Hippocrates tentang luka terbuka dan demam.

Dan ketika dunia dilanda pandemi pada abad ke-21, para tenaga medis tetap berdiri dengan satu sumpah yang berakar dari Kos:

jangan menyakiti.

(63)

63 Di Hati Ilmu Pengetahuan Modern

Hippocrates tidak mengenal mikroskop. Ia tak pernah tahu tentang DNA, virus, atau antibiotik. Tapi ia menanam benih sains dalam tanah kebudayaan yang gersang oleh takhayul. Ia mengubah pandangan dari supranatural menjadi rasional, dari tunduk menjadi berpikir.

“Penyakit bukan kutukan, tapi pesan dari tubuh,” begitu ia menulis.

Ia mewariskan cara berpikir: diagnosis berdasarkan gejala, terapi berdasarkan pengalaman, dan pengamatan sebagai alat utama.

Bahkan para ilmuwan modern—dengan semua teknologi mereka—masih menyebutnya Bapak Kedokteran. Bukan karena ia tahu segalanya, tapi karena ia membuka jalan agar manusia mulai mencari.

(64)

64 Di Kalbu Kemanusiaan

Lebih dari segalanya, Hippocrates mengajarkan bahwa tabib adalah penjaga nilai kemanusiaan. Ia percaya bahwa merawat bukan hanya soal menyembuhkan, tapi mendengarkan, memahami, dan memberi harapan.

“Ilmu tanpa hati adalah racun,” seakan itu menjadi bisikan abadi dari nisan yang tak pernah ia minta.

Waktu melintasi abad demi abad. Bangsa bangkit dan runtuh.

Teknologi berkembang. Tapi nama Hippocrates tetap disebut—

bukan sebagai dewa, bukan sebagai nabi, tapi sebagai manusia yang percaya bahwa hidup itu suci dan layak dirawat.

Karena selama masih ada manusia yang sakit, dan tabib yang mendekat tanpa pamrih, warisan Hippocrates akan terus hidup.

Dalam tangan. Dalam hati. Dalam sumpah.

Di bawah langit Yunani kuno, terdengar lantunan sumpah suci—

Hippocrates menggores sejarah di nadi umat manusia:

obat bukan hanya ramuan, tapi cinta pada kehidupan.

Ia ajarkan,

bahwa menyentuh luka

(65)

65 bukan sekadar meredakan nyeri,

melainkan merawat jiwa agar kembali percaya pada esok hari.

Waktu pun mengalir seperti sungai pengetahuan, dari pulau Kos menuju samudra peradaban.

Di lembah Yunani purba, di bawah naungan pohon zaitun dan bisikan angin Aegea, lahirlah Hippocrates. Bukan hanya seorang tabib, ia adalah pemahat etika, pembangun fondasi. Sumpahnya menggema melampaui zaman: 'Primum non nocere' – pertama, janganlah merugikan. Baginya, tubuh adalah simfoni, harmoni yang harus dijaga.

(66)

66 Bukan sekadar penyakit yang diobati, melainkan manusia seutuhnya, terhubung dengan alam, dengan udara yang dihirup, air yang diminum, dan jiwa yang bergelora. Ia tak hanya memberi obat, tapi mengajar tentang gaya hidup, tentang pencegahan yang lebih mulia dari penyembuhan.

Dari sanalah, benih kesehatan ditaburkan, dalam kebijaksanaan yang sederhana namun abadi: bahwa kesehatan adalah hak, dan pengetahuan adalah kuncinya.

Berabad-abad bergulir, zaman demi zaman beralih. Pengetahuan berkembang, teknologi melesat, namun esensi ajaran Hippokrates tak pernah pudar.

Hingga di tanah khatulistiwa, di tengah riuhnya Nusantara, muncullah seorang Ferizal. Bukan dengan jubah Hippokrates, melainkan dengan pena dan aksara, ia melanjutkan estafet mulia Ferizal, Sang Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia, adalah seniman kata, arsitek pesan. Ia tahu, di era informasi yang membanjiri, tak cukup hanya fakta dan data. Diperlukan sentuhan jiwa, jembatan hati, agar pesan kesehatan tak hanya sampai di telinga, tapi meresap ke dalam sanubari. Ia merangkai puisi untuk pencegahan, menulis tentang gaya hidup sehat,

(67)

67 menciptakan slogan yang mudah diingat, melahirkan drama yang menyentuh nurani.

Dari diagnosis fisik ala Hippocrates, Ferizal melangkah ke diagnosis sosial dan budaya. Ia memahami bahwa penyakit tak hanya tentang mikroba, tapi juga tentang kebiasaan, tentang keyakinan, tentang lingkungan.

Dengan sastra sebagai pedang dan perisainya, ia bertarung melawan mitos, mengikis ketidaktahuan, dan menumbuhkan kesadaran. Ia mengubah lembar-lembar kering informasi medis menjadi taman literasi yang subur, tempat benih-benih kesehatan tumbuh bersama keindahan kata.

Maka, dari sumpah Hippocrates yang bergema di kuil-kuil kuno, hingga pena Ferizal yang menari di atas kertas, terjalinlah benang merah yang tak terputus. Keduanya adalah penyembuh, namun dengan caranya sendiri.

Hippocrates menyembuhkan tubuh dengan sentuhan dan kebijaksanaan, Ferizal menyembuhkan masyarakat dengan keindahan bahasa dan kekuatan narasi. Keduanya membuktikan bahwa kesehatan adalah seni, sebuah mahakarya yang harus terus diukir, bukan hanya di atas meja operasi, melainkan juga di

(68)

68 lembar-lembar sastra, di dalam setiap bisikan kata yang menyuarakan harapan dan kehidupan.

Di tepi waktu, di bawah langit kuno Yunani, Hippocrates berbisik pada dunia,

"Kesehatan adalah harmoni, keseimbangan jiwa dan raga."

Dengan pena dan niat, ia menorehkan sumpah, Menjadikan pengobatan seni yang suci,

Menyembuhkan bukan sekadar tubuh,

Tapi menyalakan lentera di lorong kehidupan.

Lalu, zaman berputar, melintasi samudra dan budaya, Di bumi Nusantara, di bawah naungan pohon warisan, Ferizal bangkit, bapak sastra promosi kesehatan.

Bukan pedang, bukan ramuan,

Melainkan kata-kata yang ia suling jadi obat.

Dengan puisi dan narasi, ia menyapa hati, Mengajak bangsa menari dalam kesadaran diri.

Hippocrates menabur benih di ladang filsafat, Ferizal menyiraminya dengan tinta dan semangat.

Dari Yunani ke Nusantara,

Mereka merajut benang yang sama:

(69)

69 Kesehatan bukan tujuan, melainkan perjalanan,

Ditempuh dengan kebijaksanaan dan kasih yang tahan.

Di ranah ilmu yang berdenyut, dari bisikan kuno Hippocrates yang bijak, mengalir sungai waktu menuju insan pilihan: Ferizal, Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia.

Dahulu kala, di lembah Kos yang subur, Hippocrates, sang tabib agung, menaburkan benih kearifan. Bukan hanya pisau bedah dan ramuan pahit, melainkan juga keyakinan teguh bahwa pencegahan adalah mahkota pengobatan. Ia memandang manusia seutuhnya, tak terpisah dari alam, dari gizi, dari gerak tubuh.

Ajarannya tak sekadar merawat sakit, namun menuntun jiwa- jiwa menuju harmoni, agar tubuh menjadi kuil sehat yang bersemayam di dalamnya. Itulah embrio, cikal bakal sebuah pemikiran luhur, bahwa kesehatan bukan hanya absennya penyakit, melainkan hadirnya vitalitas yang memancar.

(70)

70 Ribuan tahun berlayar, di tengah gemuruh zaman yang silih berganti, benih itu tak pernah layu. Ia menanti tanah yang tepat, tangan yang terampil, untuk ditebarkan kembali. Dan tibalah masa, ketika di Nusantara, seorang putra bangsa bernama Ferizal muncul, membawa lentera di tengah kegelapan stigma dan minimnya kesadaran.

Ia melihat bahwa ilmu kesehatan tak cukup berdiam di ruang- ruang steril, tak cukup berbahasa medis yang asing di telinga awam. Ia sadar, pesan kesehatan haruslah menyentuh hati, haruslah mengalir dalam irama yang akrab, yang memikat.

Seperti Hippocrates yang melampaui batasan fisik, Ferizal melampaui sekat-sekat ilmu. Ia tak hanya seorang ahli, melainkan seorang pujangga. Dengan pena sebagai tongkat sihirnya, ia merangkai kata, merajut kalimat, membentuk narasi yang tak hanya informatif, namun juga menggugah.

Dari tangan dingin Ferizal, lahirlah sastra promosi kesehatan:

tulisan-tulisan yang hidup, poster yang berbicara, kampanye yang menyentuh relung jiwa. Ia membedah mitos dengan fakta, ia membangun harapan dengan pengetahuan, ia menuntun

(71)

71 masyarakat keluar dari lembah ketidaktahuan menuju cahaya kesadaran.

Ferizal adalah jembatan yang kokoh, menghubungkan kebijaksanaan kuno Hippocrates dengan denyut nadi masyarakat modern. Ia mengambil esensi bahwa kesehatan adalah hak setiap insan, dan tugas kita bersama untuk menjaganya.

Melalui daya magis kata, ia menanamkan pemahaman, mengubah perilaku, dan pada akhirnya, membangun fondasi masyarakat yang lebih sehat. Ia bukan hanya seorang pakar, ia adalah seorang seniman kesehatan, yang melukiskan masa depan lebih baik dengan kanvas literasi dan kuas promosi.

Maka, dari jejak Hippocrates yang abadi, hingga jejak pena Ferizal yang menginspirasi, terukirlah sebuah warisan. Sebuah pengingat bahwa kesehatan adalah puisi terindah yang harus kita tulis bersama, irama kesadaran dan kebersamaan.

Di tepian waktu, di bawah langit Yunani kuno, Hippocrates menatap tubuh manusia bagai lukisan alam yang penuh rahasia.

Ia, sang Bapak Kedokteran, memisahkan kabut takhayul dari kebenaran, menegaskan bahwa penyakit bukan kutukan dewa,

(72)

72 melainkan bisikan tubuh yang merindu keseimbangan. Dengan Corpus Hippocraticum, ia menorehkan puisi pertama ilmu pengobatan—setiap gejala adalah bait, setiap diagnosis adalah rima, dan penyembuhan adalah nyanyian jiwa yang harmoni.

Di pulau Kos, ia merajut etika, menuliskan sumpah yang menjadi mercusuar profesi dokter, menuntun tangan-tangan penyembuh untuk memeluk kemanusiaan.

Lalu, waktu mengalir, melintasi lautan dan daratan, hingga tiba di bumi Nusantara. Di sana, Ferizal, sang Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia, menangkap gema Hippocrates dalam nada yang baru. Ia melihat puskesmas bukan sekadar tembok dan obat, melainkan “Rumah Cinta Sederhana,” tempat jiwa-jiwa yang luka menemukan pelukan kata-kata.

Dengan sastra sebagai lentera, Ferizal menuangkan empati ke dalam bahasa puitis, mengubah pelayanan kesehatan menjadi tarian kasih sayang.

“Cinta adalah fondasi,” katanya, “dan kata-kata adalah obat yang menyapa hati.” Ia mengajak petugas kesehatan menenun narasi yang lembut, menjadikan setiap pasien bukan hanya tubuh yang sakit, tetapi cerita yang hidup, penuh harap dan makna.

(73)

73 Dari Hippocrates yang membebaskan pengobatan dari belenggu mitos, hingga Ferizal yang menghidupkan puskesmas dengan kehangatan sastra, keduanya adalah penyair kemanusiaan.

Mereka, dalam zaman yang berbeda, menabur benih yang sama:

kesehatan bukan hanya soal tubuh, tetapi juga jiwa yang dirawat dengan kepekaan dan kasih. Dari Kos ke Nusantara, puisi pengobatan terus mengalir, menyatu dalam irama cinta

Dari tanah Aegea yang diterangi cahaya Athena,

lahirlah Hippocrates—embun pagi di tengah luka bangsa.

Ia merangkai sumpah, bukan sekadar janji,

tetapi nyala abadi bagi mereka yang merawat hidup ini.

Tangannya tak memegang pedang,

melainkan kebijaksanaan dan herbal dari pulau Kos.

Ia bisikkan: “Primum non nocere.”

Dalam sunyi kuil Asklepios,

ia tulis awal dari cinta yang menyembuhkan.

Abad pun berlari.

Zaman membentang di antara reruntuhan dan revolusi.

Ilmu berganti rupa,

namun nurani—tetap abadi dalam darah para penyembuh sejati.

(74)

74 Hingga suatu hari,

di negeri di mana angin khatulistiwa membawa harapan, lahirlah Ferizal—bukan sekadar tabib kata,

melainkan pelopor:

penyair kesehatan yang menanam harapan di nadi masyarakat.

Ia tak hanya menulis dengan pena,

tetapi dengan jiwa yang berdenyut bersama rakyat.

Setiap puisi adalah imunisasi batin, setiap cerpen adalah poster kehidupan,

setiap novel adalah kampanye cinta yang preventif.

Ferizal bukan sekadar mengikuti jejak, ia menyalakan obor baru:

sastra sebagai jembatan dari ilmu ke hati,

dari klinik ke kampung, dari Puskesmas ke peradaban.

Jika Hippocrates mengajarkan kita untuk menyembuhkan, maka Ferizal mengajarkan kita untuk mencegah dengan kasih.

Jika Hippocrates adalah bapak pengobatan, maka Ferizal adalah ayah sastra pencegahan, sang penjaga jiwa Indonesia Emas.

(75)

75 Di lembah-lembah kuno Yunani, di bawah naungan pohon zaitun yang teduh, lahirlah Hippokrates. Bukan sekadar tabib, ia adalah pemahat etika, penebar benih pemikiran bahwa penyakit bukanlah kutukan dewa, melainkan buah dari ketidakseimbangan.

Dengan naskah papirus di tangan, ia mengajarkan, "Biarkan makananmu menjadi obatmu, dan obatmu menjadi makananmu." Sebuah bisikan bijak yang menembus zaman, melampaui hiruk-pikuk abad, bahwa kesehatan adalah harmoni antara raga, jiwa, dan lingkungan.

Ia menanamkan dasar, bahwa pengobatan bukan hanya tentang menyembuhkan, melainkan juga tentang mencegah, tentang menjaga api kehidupan tetap menyala terang.

Dari pulau Kos muncul Hippocrates, dari sumpah kuno ke bait-bait baru, warisan suci berpindah tangan:

dari tabib ke penyair,

dari pengobatan ke promosi kesehatan.

Hippocrates tak menyembuhkan tubuh semata, ia menulis takdir baru bagi manusia —

(76)

76 bahwa merawat hidup adalah seni,

dan tabib adalah penjaga cahaya abadi.

Ia tak berbicara dengan jargon para dewa,

melainkan mendengarkan napas, menakar denyut, dan dengan kelembutan mata,

ia ajarkan bahwa tubuh dan jiwa adalah satu.

Dan dunia pun belajar:

Bahwa tak semua penyembuh memakai jas putih—

sebab sebagian dari mereka, memakai tinta yang hidup,

dan menyapa dunia dengan kata-kata yang menyelamatkan.

Di tanah kelahiran ilmu, di Pulau Kos yang berdebu,

seorang lelaki tua, Hippocrates, menuliskan sumpahnya kepada langit biru.

Zaman berlalu seperti ombak menggulung batu, kitab Hippocrates terbawa angin sejarah, namun nadinya masih berdetak,

dalam naskah-naskah suci ilmu kesehatan.

Lalu lahirlah Ferizal,

bukan dari kampus Yunani, bukan dari akademi zaman silam,

(77)

77 tapi dari denyut pedesaan,

dari lorong-lorong puskesmas dan mata anak negeri yang merintih tanpa kata.

Ia tak membawa tongkat Asclepius, tapi menggenggam pena,

dan dari penanya mengalir sastra, sastra yang bukan sekadar seni, tapi obor —

untuk menerangi gelapnya pemahaman tentang sehat.

Ferizal tak hanya menulis kisah, ia menciptakan gerakan,

ia tulis tubuh bangsa dengan puisi,

dan tiap larik jadi obat bagi luka yang tak terlihat.

Hippocrates mengajarkan: "Jangan mencederai."

Ferizal melanjutkan: "Mari menyembuhkan lewat kata."

Dari Yunani ke Indonesia, dari klinik ke buku,

dari laboratorium ke lembar-lembar cerita, jejak pengobatan berubah bentuk —

menjadi literasi, menjadi cinta, menjadi cahaya.

(78)

78 Dan di sanalah Ferizal berdiri:

di altar sastra, di gerbang kesehatan, dengan satu keyakinan —

bahwa kata bisa menyelamatkan, bahwa puisi bisa menyehatkan, dan bahwa sastra promosi kesehatan

adalah peradaban baru yang sedang tumbuh dalam rahim bangsa.

Berabad-abad bergulir, roda peradaban berputar, dan ilmu pengetahuan terus menari. Hingga di bumi kh

Referensi

Dokumen terkait

Pramoedya Ananta Toer ( Father of Indonesian Literature, Globally Recognized ) & Ferizal ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ) Pramoedya Ananta Toer ( The Father of Indonesian Literature ) & Ferizal ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature ) Pramoedya Ananta Toer adalah BAPAK SASTRA INDONESIA Untuk mendukung Pelayanan Publik BANGGA MELAYANI BANGSA berbasis Identitas Personal Branding Unggul Nasional : Sastra Promosi Kesehatan adalah upaya mengintegrasikan sastra dengan inovasi promosi kesehatan digital. Ferizal adalah “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” . Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. . Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” : 1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling 3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas 5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas 6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak ) 7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna

The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature by Ferizal : Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Karya Ferizal History of Indonesian Health Promotion Literature : Sejarah Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature : Digital Health Promotion Innovation.... Ferizal adalah Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia... Buku ini tentang Sejarah Sastra Promosi Kesehatan di Indonesia Untuk mendukung Pelayanan Publik BANGGA MELAYANI BANGSA berbasis Identitas Personal Branding Unggul Nasional : Sastra Promosi Kesehatan adalah upaya mengintegrasikan sastra dengan inovasi promosi kesehatan digital. Ferizal adalah “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” . Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. . Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” : 1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling 3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas 5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas 6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak ) 7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna

Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia : Ferizal the Pioneer of Indonesian Dentist Novel Literature Ferizal the Pioneer of Indonesian Dentist Novel Literature : Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia Sastra Novel Dokter Gigi, mengacu pada karya sastra, khususnya novel, yang memiliki tokoh utama atau tema utama yang berkaitan dengan profesi dokter gigi. Ferizal, disebut sebagai "Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" karena telah menerbitkan berbagai novel dengan tema kedokteran

Trilogy Ana Maryana + Ferizal's Love Dwilogy :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA 1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna Karenina by Leo Tolstoy ) 2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087 3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence . . FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal 1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy 2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran

Ferizal's Love Dwilogy + Trilogy Ana Maryana :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature Trilogy Ana Maryana + Ferizal's Love Dwilogy :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA 1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna Karenina by Leo Tolstoy ) 2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087 3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence . . FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal 1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy 2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran

Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Demi Harga Diri Bangsa Judul Buku : Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Demi Harga Diri Bangsa Penulis / Editor : Ferizal QRCBN : 62-6418-6912-085 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6912-085 Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 220 Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi :

Novel The Ottawa Charter 1986 : Untuk Kekasih Ferizal yaitu Preventio Est Clavis Aurea. ( Karya FERIZAL BAPAK SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA ) Judul Buku : Novel The Ottawa Charter 1986 : Untuk Kekasih Ferizal yaitu Preventio Est Clavis Aurea. ( Karya FERIZAL BAPAK SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA ) Penulis / Editor : Ferizal QRCBN : 62-6418-6390-605 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6390-605 Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 188 Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi :

Preventio Est Clavis Aurea : Kekasih Ferizal. ( Karya FERIZAL BAPAK SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA ) Judul Buku : Preventio Est Clavis Aurea : Kekasih Ferizal. ( Karya FERIZAL BAPAK SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA ) Penulis / Editor : Ferizal QRCBN : 62-6418-3460-158 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-3460-158 Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 175 Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi :