1
PERANAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DALAM MEMBANGUN KARAKTER SISWA SMAN 1 BANYUKE HULU
Moderasi Beragama Terkait dengan Budaya Anti Kekerasan
Yulius Aryan Yunianta
Program Studi Filsafat & Teologi, STIKAS Santo Yohanes Salib email: bonaven1206@gmail.com
Abstrak
Budaya anti kekerasan menjadi salah satu pilar utama dari moderasi beragama. Penanaman paham dan nilai-nilai yang benar mengenai agama dapat dilakukan melalui pendidikan formal, yakni sekolah. Pendidikan agama katolik yang diajarkan di sekolah-sekolah diharapkan dapat memiliki sumbangan positif bagi membangun karakter para siswa dalam menghayati dan mewujudkan moderasi beragama terkait dengan budaya anti kekerasan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisa budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu secara khusus terkait dengan moderasi beragama. Penelitian akan membahas mengenai pengaruh pendidikan agama katolik dan pemahaman siswa tentang ajaran agama katolik terhadap karakter siswa dalam menghayati serta mewujudkan budaya anti kekerasan di lingkungan sekolah. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif korelasional. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner yang disusun berdasarkan kajian pustaka, wawancara terstruktur terhadap pihak pengelola SMAN 1 Banyuke Hulu, serta observasi terhadap kehidupan siswa di lingkungan sekolah. Analisa data yang dilakukan mendeskripsikan bahwa kualitas penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan terkait dengan moderasi beragama di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu tergolong baik, kualitas pemahaman siswa atas ajaran agama katolik tergolong baik, namun masih perlu diimplementasikan ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama katolik memiliki pengaruh terhadap pembentukan karakter siswa. Secara simultan, kedua indikator memiliki pengaruh terhadap penghayatan budaya anti kekerasan namun tidak secara signifikan. Bisa jadi ada faktor-faktor lain di luar yang dibahas dalam penelitian ini yang juga cukup berperan terhadap karakter siswa dalam menghayati budaya anti kekerasan. Dari hasil penelitian ini diberikan beberapa saran untuk meningkatkan kualitas budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu.
Kata-kata kunci: Moderasi, kekerasan, sekolah, pendidikan, katolik, karakter
1 PENDAHULUAN
Tidak pernah absen dari telinga masyarakat Indonesia melalui pemberitaan di berbagai media massa perihal kekerasan yang terjadi di mana-mana. Indonesia tidak luput juga dari kasus-kasus kekerasan. Seakan-akan perilaku kekerasan sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia, khususnya kekerasan yang dikaitkan dengan isu keagamaan, mengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, etnis, budaya dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan demikian dari satu sisi merupakan suatu bentuk anugerah dan kekayaan bagi bangsa Indonesia
2
(Kementrian Agama RI, 2019).1 Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ini juga memiliki potensi untuk terjadinya perpecahan apabila sikap toleransi yang sudah ada di dalam masyarakat tidak dipupuk dan bahkan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrim tertentu yang ingin memecah belah persatuan.
Tidak semua bentuk kekerasan lahir dari sikap intoleransi beragama, namun kekerasan hampir selalu mengandung sikap intoleran terhadap perbedaan dengan orang lain. Oleh karena ini, berkaca dari peristiwa kekerasan yang kerap mewarnai bangsa ini, perlunya menumbuhkan budaya anti kekerasan dalam setiap lapisan masyarakat dengan membentuk karakter yang memiliki akhlak mulia. Hal tersebut dapat dimulai dari pemberian pendidikan yang tepat terlebih lagi melalui pendidikan formal. Khususnya pendidikan agama katolik yang merupakan pendidikan yang sarat dengan ajaran moral. Pendidikan agama katolik yang diajarkan di sekolah- sekolah diharapkan dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan karakter para generasi muda agar memiliki pemahaman ajaran moral religius yang dapat menuntun para peserta didik untuk semakin memahami serta menghayati budaya anti kekerasan.
Gereja melalui Konsili Vatikan II juga menganggap pentingnya pendidikan katolik diberikan di sekolah-sekolah katolik untuk membentuk insan-insan yang berkepribadian luhur sesuai dengan kehendak Tuhan melalui dokumen Gravissimum Educationis. Membentuk karakter seorang siswa sekolah bukanlah perkara yang mudah, apalagi di sekolah yang bukan katolik. Oleh sebab itu dalam kaitannya dengan pendidikan agama katolik, muncul pertanyaan mengenai: Apakah pendidikan agama katolik yang diterapkan di sekolah negeri memiliki dampak signifikan terhadap karakter siswa dalam menghayati dan mewujudkan budaya anti kekerasan? Jika ada sejauh mana pengaruh itu? Penjelasan akan hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai peranan pendidikan agama katolik di sekolah bukan katolik.
Atas dasar persoalan itu, maka penulis dalam tulisannya akan meneliti peranan pendidikan agama Katolik yang diajarkan di SMAN 1, Banyuke Hulu, Kalimantan Barat terkait dengan pembentukan karakter siswa dalam menghayati dan mewujudkan budaya anti kekerasan.
2 KAJIAN PUSTAKA 1.1 Kekerasan
Memberikan definisi secara universal mengenai kekerasan bukanlah suatu hal mudah, karena pemahaman mengenai kekerasan bersifat relatif, tergantung pada cara pandang seseorang. Misalnya saja beberapa orang menilai jika seorang ayah memukul seorang anaknya dengan tujuan mendisiplinkan anak bukanlah suatu tindakan kekerasan, karena hal ini dilakukan demi mencapai suatu tujuan yang baik;
mendidik karakter si anak agar lebih baik. Bahkan dalam sebuah survei ditemukan bahwa di negara-negara mayoritas muslim hampir semua perempuan merasa dengan bersikap patuh kepada suami merupakan kewajiban dan kekerasan dalam rumah tangga dapat diperbolehkan dalam agama mereka. Jadi menurut pandangan ini, tindakan-tindakan ini tidak dipandang sebagai kekerasan (Ispahani, Juni 2016, p. 2).
1Tercatat data di Badan Pusat Statistik (BPS, 2010), secara keseluruhan Indonesia terdiri dari 1331 suku dan sub suku; meskipun pada 2013 jumlah tersebut telah diklarifikasi oleh BPS sendiri yang bekerja sama dengan Institute of Shoutheast Asian Studies (ISEAS), menjadi 633 kelompok- kelompok suku besar (Kementrian Agama RI, 2019).
3
Jika demikian kekerasan dapat ditafsirkan secara relatif tergantung dengan cara apa seseorang mempersepsikannya.
WHO memberikan patokan pengertian kekerasan sebagai berikut: “Kekerasan merupakan penggunaan kekuatan fisik secara sadar, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap diri sendiri, orang lain, atau kelompok eksklusif, yang dapat menyebabkan luka-luka, kematian, kerugian psikologis, gangguan pertumbuhan, atau hilangnya hak (WHO, 2002, p. 4).”
WHO juga mengidentifikasi empat tingkatan faktor yang membentuk perilaku kekerasan dalam diri seseorang dengan menggunakan model ekologi, yakni faktor individu, relasi, komunitas, dan sosial (WHO, 2002, p. 9). Melalui model ini, agama hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang membentuk perilaku kekerasan dalam diri seseorang. Meskipun demikian, agama sebagai salah satu faktor sosial dapat memengaruhi baik komunitas, relasi, maupun individu sehingga harus mendapat perhatian, khususnya dalam konteks masyarakat religius seperti di Indonesia.
1.2 Agama dan Kekerasan
Pada dasarnya semua agama menyerukan suatu rumusan keselamatan, kedamaian, kebaikan tertentu yang hendak diterapkan dalam hidup harian. Pada masyarakat modern, gagasan bahwa agama secara bawaan bersifat keras telah diterima begitu saja tanpa perlu dijelaskan lagi. Agama dituduh sebagai penyebab dari semua perang besar di dalam sejarah, sehingga muncul istilah “kekerasan beragama” yang kerap digunakan untuk merujuk aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Namun agama bukanlah alasan utama yang menyebabkan kekerasan. Tepatnya bahwa agama dijadikan kambing hitam dari berbagai alasan yang rumit. (Armstrong, 2016).
Meskipun agama dalam hakikatnya tidak mengandung kekerasan dan tidak pernah mengajarkan kekerasan, tidak dapat dipungkiri bahwa agama sedikit-banyak turut memengaruhi pandangan orang terhadap kekerasan (van Aernum, 2014). Akan tetapi, pengaruh ini dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung dari bagaimana orang menafsirkan ajaran agamanya. Jika ditafsirkan secara benar, agama justru akan membawa orang kepada sikap anti kekerasan karena setiap agama menginginkan yang baik bagi manusia dan sesamanya (Huber, 2011). Sebaliknya, agama akan menjadi pemicu kekerasan jika ditafsirkan secara keliru2 dengan sikap eksklusif dan merasa benar sendiri.3
Kekerasan, terutama kekerasan atas nama agama merupakan salah satu indikator kurangnya semangat moderasi beragama dalam individu/masyarakat.
1.3 Moderasi Beragama
Kata “moderasi” berasal dari bahasa Latin moderatio yang berarti sedang- sedang (tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Dalam KBBI, kata “moderasi”
didefinisikan sebagai “pengurangan kekerasan” atau “penghindaran keekstreman”.
Dengan demikian, “moderasi beragama” merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama (Kementrian Agama RI, 2019, pp. 1-2). Keekstreman dalam praktik beragama ini dapat berupa ekstrem kiri
2 Penafsiran teks secara dangkal dapat mengakibatkan aneka tafsiran yang keliru dan berbeda-beda sehingga memicu konflik dan kekerasan (Jubba, 2011).
3 Kekerasan sering kali muncul saat menghadapi perbedaan, di mana orang mengklaim kebenaran secara berlebihan (Lindgren, 2017).
4
(ultra konservatif, menganggap agama sendiri paling benar) maupun ekstrem kanan (ultra liberal, menganggap semua agama sama saja). Moderasi beragama berupaya untuk mengambil sikap yang berimbang dalam beragama, yakni percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya sekaligus terbuka untuk berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama (Kementrian Agama RI, 2019, p. 14). Dengan demikian, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem dalam praktik beragama, dengan cara menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi, dan melakukan kontekstualiasi teks agama di sisi lain (Kementrian Agama RI, 2019, p. 47). Sikap ini dilandasi oleh dua prinsip utama, yakni keadilan (berpihak pada kebenaran) dan keseimbangan (tegas namun tidak keras) (Kementrian Agama RI, 2019, p. 17).
Moderasi beragama menjadi kunci untuk mewujudkan perdamaian di dunia, terutama di daerah-daerah multikultural yang rawan dengan konflik berlatar agama seperti Indonesia. Moderasi beragama berupaya untuk menjaga praktik beragama agar sesuai dengan hakekatnya dan benar-benar menjaga harkat dan martabat manusia (Kementrian Agama RI, 2019, p. 9). Ketika agama dihayati dengan benar, martabat manusia dimuliakan dan hak-haknya dihormati sehingga terciptalah kerukunan dan kedamaian di tengah-tengah perbedaan.
Ada empat indikator yang menunjukkan apakah suatu individu/ masyarakat telah memiliki semangat moderasi beragama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Penelitian ini akan lebih memfokuskan diri pada indikator yang ketiga, yakni anti kekerasan. Sikap anti kekerasan dalam moderasi beragama dapat disamakan dengan sikap anti radikalisme. Radikalisme adalah suatu pandangan/ideologi yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan atas nama agama, baik kekerasan verbal, fisik, maupun pikiran (Kementrian Agama RI, 2019, p. 45).
Sikap anti kekerasan dalam moderasi beragama dapat disamakan dengan sikap anti radikalisme. Radikalisme adalah suatu pandangan/ideologi yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan atas nama agama, baik kekerasan verbal, fisik, maupun pikiran (Kementrian Agama RI, 2019, p. 45). Radikalisme dapat melahirkan aksi-aksi terorisme yang tidak segan- segan menghabisi nyawa orang lain dengan penuh kebencian. Radikalisme ini lahir dari penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama dan persepsi yang keliru terhadap ketidakadilan/penderitaan yang dialami dengan mengambinghitamkan individu/kelompok lain sehingga menimbulkan kebencian yang berujung pada kekerasan (Kementrian Agama RI, 2019, p. 45). Sikap moderasi beragama dapat menangkal kedua kekeliruan ini sehingga orang tidak mudah jatuh pada sikap radikalisme. Oleh karena itu, salah satu syarat untuk terwujudnya sikap moderasi beragama dan anti kekerasan adalah pemahaman/penafsiran yang benar terhadap ajaran agama merupakan .
1.4 Pendidikan Agama Katolik
Merton berpendapat bahwa, pendidikan yang salah akan memengaruhi guru dan anak didik kepada perilaku preman (Assegaf, 2004, p. 13). Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor yang menentukan baik-buruk karakter seseorang. Pendidikan di sini tidak terbatas dalam pendidikan formal, namun juga pendidikan yang diterima dari pengamatan dan pengalaman yang diterima oleh individu dari lingkungan di mana ia tumbuh.
5
Presiden Joko Widodo menggaungkan ‘Revolusi Mental’ melalui gerakan nasional melalui pendidikan karakter sejak tahun 2010 (Koesoema, 2015). Gerakan ini termasuk dalam Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).4 Hal ini didasarkan atas tidak sedikit kasus yang menyangkut perilaku amoral di Indonesia pada pelbagai segi, seperti konflik dan kekerasan antar kelompok, maraknya korupsi, narkoba, masalah keadilan sosial, penyebaran “hoaks”, ujaran kebencian serta masih banyak masalah lain. Istilah ‘Revolusi Mental’ ini berkaitan dengan perubahan transformatif dalam diri individu maupun lembaga, terutama lembaga pendidikan (Koesoema, 2015, p. v). Lembaga pendidikan menjadi lembaga yang bertanggung jawab atas pembentukan karakter para peserta didik, setelah orang tua. Karena lembaga pendidikan menjadi institusi yang paling berpotensi untuk meletakan pemahaman moral yang baik dari segi intelektual dan memiliki lingkungan praktek pembinaan karakter dalam kehidupan bersama para peserta didik. Dapat dikatakan bahwa separuh waktu para peserta didik dihabiskan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu lembaga pendidikan perlu berbenah dan menyusun strategi yang perlu dilakukan untuk melakukan pendidikan karakter dalam setiap program yang dibuat oleh sekolah.
1.5 Pendidikan Karakter melalui Pendidikan Agama Katolik 1.5.1 Karakter
Kata ‘karakter’ memeroleh akarnya dari bahasa Yunani ‘karasso’, yang berarti cetak biru, format dasar, sidik, seperti sidik jari (Koesoema, 2007, pp. 90-91).
Mengacu pada pengertian di atas, dapat dipahami bahwa karakter itu sudah ada pada seseorang dari semula, namun hal itu perlu dikembangkan ke depannya.
Pusat Kurikulum nasional memberikan definisi karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi pelbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Suparno, 2015, p. 28). Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa karakter sama dengan watak. Karakter merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain.
Karakter, lanjut beliau, dapat terjadi karena perkembangan dasar yang telah dipengaruhi oleh pengajaran (Suparno, 2015, p. 28). Maka perkembangan karakter seseorang tergantung pada bakat awalnya dan adanya pengaruh pendidikan yang dialami selanjutnya hingga membentuk watak yang tetap pada diri orang itu. Dua segi inilah yang penting diperhatikan dalam pendidikan karakter, yakni bakat dan pendidikan. Bakat dalam diri seseorang yang sudah ada sejak semula dalam diri seorang anak akan memeroleh bentuk karakter baik atau buruknya di masa mendatang karena dipengaruhi oleh pengalaman atau pendidikan yang mengajarkan demikian.
1.5.2 Pendidikan Karakter
4 Pada tahun 2017 telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Karakter yang dapat memberikan haluan untuk menyiapkan Generasi Emas Indonesia 2045 dalam menghadapi dinamika perubahan di masa depan. Hal ini merupakan penerjemahan dari Rencana Pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 dan telah menetapkan sembilan agenda prioritas, yang dikenal sebagai Nawa Cita. Pada point ke delapan agenda Nawa Cita berbicara tentang penguatan karakter bangsa (Kemdikbud.go.id, n.d., pp. 4-5).
6
Pendidikan karakter berarti pendidikan yang memiliki tujuan untuk membantu para siswa mengalami, memeroleh, dan memiliki karakter kuat yang diharapkan (Suparno, 2015, p. 29). Misalnya saja, kita menginginkan karakter jujur dapat terjadi.
Maka pendidikan karakter di sini berarti usaha membantu siswa agar menjunjung tinggi kejujuran dan karakter jujur itu menjadi miliknya, menjadi bagian hidupnya serta memengaruhi seluruh keberadaannya, cara berpikir, bertindak dalam seluruh sendi kehidupannya. Sehingga kejujuran itu menjadi suatu tabiat anak itu ke manapun ia pergi dan di mana pun ia berada.
Pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan dengan keyakinan bahwa karakter seseorang itu dapat dikembangkan dan dapat diubah (Suparno, 2015, p. 30).
Berangkat dari keyakinan itulah dapat dikatakan bahwa memang pendidikan baik formal maupun informal memiliki tempat penting dalam program pembentukan karakter seorang anak. Tidak dapat dipungkiri, selain di rumah, tempat kedua yang patut mendapatkan perhatian khusus dalam proses merevolusi mental adalah bangku sekolah; tanpa menegasi peran orang tua dalam membentuk karakter seorang anak, maka perlu ada komunikasi dan koordinasi yang baik antara sekolah tempat di mana si anak belajar dengan orang tua mengenai perkembangan si anak. Mengingat bahwa sebagian besar waktu anak banyak dihabiskan di sekolah.
1.6 Gereja dan Pentingnya Pendidikan Agama Katolik
Pendidikan agama memiliki tempat yang penting dalam lembaga pendidikan, mengingat bahwa manusia juga merupakan makhluk religius, secara khusus masyarakat Indonesia mayoritas masih memiliki keyakinan terhadap realitas absolut yang dalam setiap agama monoteis disebut Allah.5
Pendidikan agama Katolik diharapkan apat menyentuh akar hidup sehingga dapat mengubah serta menentukan hidup seseorang. Maka itu, belajar agama bukan sekedar mengetahui apa yang benar atau apa yang salah. Tidak ada gunanya jika hanya berhenti pada pengetahuan semata. Diharapkan dengan menerima pelajaran agama, maka dapat menerapkannya pula dalam kehidupan praktis di lingkungan sosialnya. “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Percuma saja jika seorang anak belajar agama, namun tidak berhasil menerapkan apa yang baik di lingkungan sosialnya sesuai dengan apa yang diperolehnya di kelas (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017, p. iii). Berarti dengan demikian, pendidikan agama Katolik yang diberikan belum mampu ‘menggerakan’ pribadi si anak untuk berbuat hal yang dinilai baik secara agama. Pendidikan di sini menjadi berhenti sampai taraf teori semata.
Melalui Konsili Vatikan II rupanya Gereja Katolik juga cukup menaruh perhatian khusus terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Kristiani melalui salah satu dokumennya yang berjudul Gravissimus Educationis (GE).
Dokumen ini berbicara tentang pentingnya pendidikan Kristen. GE dirumuskan dalam konteks usaha Gereja untuk memberikan sumbangan bagi dunia dalam usahanya menanggapi persoalan dunia modern. Ada tiga sasaran yang hendak dicapai dalam usaha Gereja berkaitan dengan hal tersebut, yakni: pertama, pembaruan rohani dalam terang Injil; kedua, penyesuaian Gereja dengan masa
5 Aliran kepercayaan lain menyebutnya sesuai dengan nama masing-masing. Misalnya di dalam suku-suku di masyarakat adat Dayak-Kalimantan Barat, mereka menyebut realitas absolut ini dengan sebutan ‘Jubata.’
7
sekarang; ketiga, pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristen (Ludiranto, 2013, p. 214).
Menurut GE pendidikan yang benar merupakan yang mengedepankan pembinaan pribadi agar seseorang dapat berkembang bagi dirinya sekaligus bagi kepentingan masyarakat. Anak-anak yang telah dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus telah dijadikan ciptaan baru melalui baptisan dan disebut sebagai anak-anak Allah. Oleh karena itu mereka berhak menerima pendidikan iman yang benar agar perlahan-lahan semakin mendalami misteri keselamatan dan semakin menyadari karunia iman yang telah diperolehnya, sehingga pada akhirnya dapat belajar menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran (bdk. Yoh 4:23) Maka pendidikan Katolik bertujuan untuk mematangkan pribadi mereka yang telah dibaptis, inilah tujuan dari pendidikan itu (GE 2). Gereja berpendapat bahwa pembinaan kepribadian merupakan bagian terpenting dari pendidikan di sekolah katolik, agar peserta didik dapat meraih kepribadian yang utuh demi melahirkan Angkatan muda yang memiliki moral yang baik.
Gereja tidak hanya hadir penyapa peserta didik di sekolah-sekolah katolik, namun juga Gereja harus hadir dengan penuh kasih memerhatikan peserta didik yang tidak sedikit menempuh studi di sekolah-sekolah bukan katolik, yang seringkali pendidikan iman mereka terabaikan. Hal inilah yang menjadi tugas berat Gereja untuk menjalankan kewajibannya dengan tekun mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan bagi putera-puterinya (GE 7). Oleh karena itu diharapkan para peserta didik dapat memeroleh pembinaan melalui kesaksian hidup para pengajar dan pembimbing siswa.
Gereja mengakui bahwa peran sekolah sebagai saran pendidikan sangat penting dalam bertugas mengembangkan kepribadian perserta didik. Seruan ini senada dengan gerakan ‘Revolusi Mental’ yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia melalui program kurikulum sekolah berbasis karakter. Namun perlu diakui bahwa pembentukan karakter atau kepribadian melalui pendidikan di sekolah katolik memiliki kekhasannya sendiri dibandingkan sekolah-sekolah bukan katolik. Karena sekolah-sekolah katolik berusaha menciptakan lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai semangat kebebasan dan cinta kasih injili. Kecuali itu, sekolah katolik sebagaimana sekolah lain pada umumnya yang mengusahakan tujuan-tujuan budaya dan pendidikan manusiawi, semua itu diarahkan kepada warta keselamatan sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik di bangku sekolah mengenai kehidupan diterangi oleh iman (Ludiranto, 2013, p. 215). Oleh karena itu, pendidikan profan yang dilakukan di sekolah-sekolah manapun diharapkan dapat diarahkan kepada tujuan yang luhur, yaitu demi kemuliaan Allah.
3 METODE
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi/pengukuran. Pendekatan kuantitatif menekankan perhatian kepada fenomena-fenomena yang mempunyai karakteristik tertentu di dalam kehidupan manusia, yang disebut dengan variabel (Sujarweni, 2018, p. 39).
Melalui teknik ini, penulis mencoba mengukur fenomena sosial dengan cara mendeskripsikannya ke dalam berbagai komponen masalah, variabel, serta indikator untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang biasanya sering muncul dalam suatu
8
parameter.6 Pada penelitian ini, fenomena sosial yang dimaksud adalah peranan pendidikan agama katolik berkaitan dengan budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu serta pemahaman siswa terhadap ajaran agama yang diberikan yang terkait dengan moderasi beragama dan anti kekerasan. Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah survei, yaitu penelitian dengan pengumpulan data dari suatu populasi dengan menggunakan angket (kuesioner) sebagai instrumen pengumpulan data pokok (Singarimbun, 1989). Selain itu, peneliti menggunakan observasi serta wawancara terstruktur terhadap beberapa guru yang berkaitan erat dengan keperluan penelitian ini guna memperdalam pemahaman peneliti mengenai situasi lingkungan sekolah dan kondisi siswa secara umum agar dapat merumuskan variabel-variabel dalam kuesioner secara lebih tepat. Untuk pengolahan data kuesioner, penulis menggunakan peangkat lunak IBM SPPS versi 25.
3.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Peneliti mengambil populasi dan sampel terhadap siswa aktif SMAN 1 Banyuke Hulu. Jumlah populasi keseluruhan siswa aktif SMAN 1 Banyuke Hulu, merujuk pada tabel 5 berjumlah 433.7 Oleh karena penelitian ini hendak mengukur pengaruh pendidikan agama Katolik dalam penghayatan dan pembentukan karakter siswa berbudaya anti kekerasan, maka siswa yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah siswa yang beragama katolik kelas X, XI dan XII (semua jurusan). Siswa yang beragama katolik seluruhnya berjumlah 286 siswa, namun pengambilan sampel hanya sebanyak 176 saja yang diolah datanya.
3.2 Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yakni: Penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan sekolah, variabel ini diberi nama Y, pemahaman terhadap ajaran agama katolik, variabel ini diberi nama X2, pendidikan agama Kktolik, variabel ini diberi nama X.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
i. Data mengenai bentuk penghayatan budaya anti kekerasan di lingkungan sekolah SMAN 1 Banyuke Hulu,
ii. Peranan pendidikan agama katolik dalam ajaran yang diterapkan terhadap pembentukan karakter siswa dalam menolak kekerasan di lingkungan sekolah SMAN 1 Banyuke Hulu,
iii. Tingkat pemahaman siswa terhadap ajaran agama terkait dengan moderasi beragama dan anti kekerasan dan penerapannya dalam praktek hidup di lingkungan sekolah. Hal ini berkaitan dengan kepribadian, karakter siswa yang terbentuk setelah menerima pelajaran agama katolik.
Data pertama (i) akan didapatkan melalui wawancara terstruktur dengan pihak sekolah; dalam hal ini Kepala Sekolah, guru pengampu Pendidikan Katolik dan guru
6 Dalam bukunya yang berjudul “Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,” Kasiram (2008) menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif merupakan proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan berkaitan dengan apa yang ingin diteliti. Jadi peneliti berusaha memeroleh suatu pengetahuan dari fenomena yang dikonversi ke dalam angka yang kemudian di analisa agar dapat diperoleh suatu kesimpulan/jawaban yang ingin diketahui oleh peneliti.
7 Data ini dibuat per tanggal 26 September 2022.
9
Bimbingan Konseling (BK), serta guru pengampu mata pelajaran lain. Namun penulis juga tetap menggunakan kuesioner dalam menggali data dari para siswa.
Sedangkan data (ii) dan (iii) hanya akan didapatkan melalui kuesioner langsung dengan menggunakan empat skala Linker. Para responden (siswa) akan diminta untuk memilih “sangat setuju”, “setuju”, “tidak setuju”, atau “sangat tidak setuju”
untuk setiap pernyataan yang diberikan.
3.4 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data yang telah dilakukan melalui kuesioner, peneliti menggunakan sarana berupa perangkat lunak IBM SPSS Statistics v. 25. Analisis data akan dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
Pertama, Perlu memberikan bobot nilai pada setiap jawaban dalam kuesioner.
Jawaban akan bernilai positif jika pernyataan tersebut sesuai dengan variabel yang hendak diukur dan negatif jika pernyataan tersebut berlawanan dengan variabel yang hendak diukur:
Pernyataan positif Pernyataan negatif
Jawaban Skor Jawaban Skor
Sangat setuju 4 Sangat setuju 1
Setuju 3 Setuju 2
Tidak setuju 2 Tidak setuju 3
Sangat tidak setuju 1 Sangat tidak setuju 4
Tabel 1 – Skor Jawaban untuk Kuesioner
Skor yang didapat akan dikonversi ke skala 100 dengan rumus berikut: (Gani, 2018, p. 273)
𝑆 = 𝑆𝑟
𝑆𝑀𝑎𝑥 × 100 Keterangan:
S = skor variabel yang sedang diukur Sr = skor yang diperoleh responden
SMax = skor maksimal yang mungkin diperoleh responden Skor tersebut akan dikonversi ke dalam angka skala 100:
Skor Kualifikasi
96-100 Sempurna 86-95 Baik sekali
76-85 Baik
66-75 Lebih dari cukup
56-65 Cukup
46-55 Hampir cukup
36-45 Kurang
26-35 Kurang sekali
16-25 Buruk
10
0-15 Buruk sekali
Tabel 2– Patokan Kualifikasi Skor
Kedua, Melakukan pengjuian asumsi klasik terhadap data yang telah dikumpulkan. Uji yang dilakukan adalah: uji validitas, uji multikolinearitas , uji heterokedastisitas.
Ketiga, Melakukan analisis regresi linear berganda, yakni bertujuan untuk mengalisa keterkaitan antara variabel-variabel, dilakukan dengan cara:
1) Uji ‘t’ parsial, yaitu melihat keterkaitan variabel X atau X2 terhadap variabel Y. Dalam hal ini variabel Pendidikan Agama Katolik (X) berpengaruh secara positif dan signifikansi terhadap penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu. Hal ini dilihat dari signifikan X = 0,000 < 0,05. Sedangkan untuk variabel Pemahaman Agama Katolik X2 secara parsial tidak berpengaruh dengan Y. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikan X2 = 0,969 > 0.005.
Tabel 3 – Koefisien SKOR_Y (IBM SPSS v.25)
2) Uji ‘F’ simultan, yaitu digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan variabel bebas terhadap variabel terikatnya (Y). Apabila variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan terhadap variabel terikatnya (Y). Uji ini dilakukan dengan membandingkan signifikasi nilai Fhitung > Ftabel. Rumusan untuk uji ‘F’ dalam mencari koordinat Ftabel adalah sebagai berikut: Ftabel = f(k;n-k), F=(2;100-2). Maka F = (2;176-2), Ftabel = (2;174). Maka (2;174) merupakan titik koordinat pada Ftabel yaitu sebesar 3,05.
Tabel 4 – Koefisien SKOR_Y (IBM SPSS v.25)
Berdasarkan hasil pengujian pada tabel di atas, maka dapat dilihat pada nilai Fhitung sebesar 27,316 dengan nilai Ftabel adalah 3,05 sehingga nilai Fhitung >
Ftabel (27,316 > 3.05). Sedangkan tingkat signifikansinya adalah 0,000 <
0,05. Variabel Pendidikan Agama Katolik (X) dan Pemahaman Ajaran Agama Katolik (X2) secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics B
Std.
Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 20.608 2.987 6.900 0.000
SKOR_X 0.608 0.087 0.491 6.979 0.000 0.888 1.126
SKOR_X2 -0.005 0.134 -0.003 -0.039 0.969 0.888 1.126 a. Dependent Variable: SKOR_Y
ANOVAa
Model
Sum of Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 561.896 2 280.948 27.316 .000b Residual 1779.354 173 10.285
Total 2341.250 175
a. Dependent Variable: SKOR_Y
b. Predictors: (Constant), SKOR_X2, SKOR_X
11
karakter atau perilaku siswa SMAN 1 Banyuke Hulu dalam menghayati budaya anti kekerasan dalam keterkaitannya dengan moderasi beragama.
3) Kemudian dalam uji koefisien determinasi yang terdapat pada kolom Adjusted R Square sebesar 0,231. Hal ini berarti hendak menjelaskan bahwa kemampuan variabel bebas (X dan X1) dalam menjelaskan variabel terikat (Y) adalah sebesar 23,1%, sisanya 76.9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini, misalnya latar belakang budaya, pengaruh lingkungan keluarga, kondisi demografi penduduk Dayak setempat, dan lain- lain.
4 HASIL PEMBAHASAN
Populasi dan sampel penelitian yang dipilih untuk mengisi kuesioner adalah siswa beragama Katolik dari kelas X-XII. Dari 286 total siswa yang beragama Katolik, hanya sebesar 176 siswa saja yang diambil sebagai sampel dalam pengisian kuesioner.
Jumlah Siswa Berdasarkan Agama
Agama L P Total
Islam 5 5 10
Kristen 78 59 137
Katholik 161 125 286
Hindu 0 0 0
Budha 0 0 0
Konghucu 0 0 0
Lainnya 0 0 0
Total 244 189 433
Tabel 5 – Jumlah siswa berdasarkan agamanya
4.1 Penghayatan dan Perwujudan Budaya Anti Kekerasan di Lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu
Dari hasil kuesioner yang diedarkan, diperoleh skor dari Indikator Penghayatan dan Perwujudan (Y):
Skor total (S) yang diperoleh dari 176 orang responden adalah 11420, sementara SMax adalah 4 (jumlah skor maksimal per pernyataan) x 21 (jumlah pernyataan) x 176 (jumlah responden) = 14.784. Dari sini, skor total untuk perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu dapat dikonversi ke skala 100 sebagai berikut:
𝑆𝑌 = 𝑆
𝑆𝑀𝑎𝑥 × 100 = 11420
14784 × 100 = 𝟕𝟕, 𝟐𝟒
Nilai tersebut berada pada kualifikasi ‘baik’ (76-85). Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan oleh siswa di lingkungan SMAN 1 adalah baik.
SMAN 1 Banyuke Hulu dapat dikatakan telah berhasil menciptakan sebuah budaya anti kekerasan yang baik, di mana para siswa secara umum merasa aman beraktivitas di lingkungan kampus (88%). Suasana non-diskriminatif yang dilakukan oleh sesama tenaga pendidik juga diteguhkan dalam pengalaman mahasiswa, di mana mereka merasa bebas beribadah dan berekspresi menurut agama/kepercayaannya masing-masing (87%). Sebagian besar siswa merasa bahwa ketika guru mereka memberikan sanksi atas perbuatan salah yang mereka lakukan
12
masih dalam batas kewajaran dan bebas dari unsur kekerasan (86%), sehingga para guru di sekolah ini memang memberikan teladan dalam menciptakan budaya anti kekerasan. Rupanya siswa SMAN 1 Banyuke Hulu minim terpapar oleh konten- konten viral tentang keagamaan, seperti halnya yang seringkali terdengar di kota- kota besar (78%). Para siswa rupanya kurang tertarik dengan konten yang berkaitan dengan keagamaan, bisa jadi memang dirasa tidak menghibur. Yang perlu mendapat perhatian adalah kebiasaan Sebagian siswa yang suka merundung siswa lain (67%) dan ada indikasi yang mengarah pada suka dengan perkelahian, walaupun tidak sampai sampai melakukannya (54%), karena jika mereka suka menyaksikan orang berkelahi di lingkungan sekolah hal ini menyatakan bahwa memang pernah ada kasus perkelahian di sekolah. Beberapa siswa pernah melontarkan kata-kata kasar kepada orang lain saat melakukan permainan bersama, (57%) dan hal ini memang sering terjadi di banyak tempat. Untuk masalah kekerasan fisik memeroleh nilai baik (78%), namun hal ini memang tetap harus terus menjadi perhatian pihak pengelola sekolah untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik. Cukup menakjubkan dalam hal toleransi beragama, para siswa Katolik yang mayoritas tetap bergaul bebas tanpa prasangka dengan rekan siswa beragama lain memiliki nilai cukup tinggi (91%). Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh para tenaga pendidik dalam wawancara terstuktur. Di satu sisi potensi kekerasan dapat terjadi, namun saat sebagian besar siswa setelah melakukan pemukulan terhadap orang lain cukup memiliki rasa bersalah (75%). Demikian saat siswa telah melakukan kekerasan secara verbal entah disengaja atau tidak, secara Nurani pada umumnya sudah baik karena adanya rasa bersalah dalam diri mereka, sehingga hal ini akan membantu dalam pembentukan karakter siswa ke arah lebih sempurna.
Meskipun penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 secara umum tergolong baik, masih banyak hal yang perlu diperhatikan bahwa masih ada beberapa skor yang terbilang cukup dan memiliki potensi/pemicu terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah, yaitu perundungan (67%) dan menyukai perkelahian walupun tidak dilakukan oleh dirinya (54%). Hal ini perlu dikaji lebih lanjut karena masih merupakan indikator umum yang sering muncul di banyak tempat dan sering luput dari pihak sekolah. Yang terpenting adalah perlakuan secara tidak adil/diskriminasi memeroleh nilai yang jauh dari sempurna, lebih dari cukup (74%). Sekiranya pihak sekolah kembali mengecvaluasi dalam bentuk apakah perlakuan diskriminasi tersebut (misalnya: cara guru memberi penilaian, bisa juga hal ini terjadi antar siswa).
4.2 Pemahaman Siswa atas Ajaran Agama Katolik Terkait dengan Moderasi Beragama
Skor dari Indikator Pemahaman (X2):
Skor total (S) yang diperoleh dari 176 orang responden adalah 3727, sementara SMax adalah 4 (jumlah skor maksimal per pernyataan) x 7 (jumlah pernyataan) x 176 (jumlah responden) = 4928. Dari sini, skor total untuk pemahaman ajaran agama Katolik dapat dikonversi ke skala 100 sebagai berikut:
𝑆𝑋2 = 𝑆
𝑆𝑀𝑎𝑥 × 100 = 3727
4928 × 100 = 𝟕𝟓, 𝟔𝟑 (dibulatkan = 76)
Nilai yang didapat dari variabel ini berada pada kualifikasi ‘baik’ (76-85).
Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman atas ajaran agama Katolik yang diperoleh oleh siswa baik.
13
Pemahaman tentang ajaran agama Katolik oleh siswa SMAN 1 Banyuke Hulu bisa jadi diperoleh bukan dari pendidikan formal di bangku sekolah saja, namun juga bisa didapatkan dari rumah atau pun lingkungan sosial lain, misalnya ada juga siswa yang aktif dalam kegiatan religius di gereja, seperti misdinar, lektor, aatu pun aktif dalam kegiatan kerohanian di kelompok-kelompok tertentu. Namun melalui hasil skor pada tabel pemahaman akan di deskripsikan berdasarkan skor yang diperoleh.
Sebagian besar siswa paham bahwa martabat manusia semua setara di hadapan Tuhan (94%). Namun tidak sedikit pula siswa yang berpendapat bahwa dunia ini akan jauh lebih baik jika memang ada satu agama saja (67%), bisa jadi dalam kaca mata siswa bahwa jika ada satu agama di dunia maka tidak perlu terjadi konflik antar agama. Pemahaman siswa tentang ajaran agama adalah bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan memiliki skor baik (80%). Perlu mendapat perhatian bahwa pada point pemahaman bahwa setiap orang bebas dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama menurut pemahamannya memiliki nilai paling rendah atau kurang (45%).
Para siswa banyak yang belum paham tentang kesatuan ajaran Gereja Katolik universal. Pemahaman bahwa memperjuangkan keyakinan melalui perang memiliki nilai yang baik (78%). Rupanya siswa juga tahu bahwa agama lain di luar Katolik juga mengandung kebenaran (80%), sehingga para siswa berusaha menghargai siswa lain untuk memeluk agama apa yang diyakininya. Berdasarkan atas pandangan mereka terhadap agama lain, mereka pun tidak mau mempengaruhi teman-teman mereka untuk masuk ke dalam agama Katolik, karena memang itu urusan keyakinan masing-masing pribadi (88%).
Berdasarkan hasil analisa di atas di dapat nilai terendah adalah dalam bidang katekese. Maka perlunya para siswa mendapatkan ajaran agama secara lebih mendalam. Tidak hanya bersumber dari buku-buku resmi di sekolah, namun juga bisa dari kegiatan keagamaan yang positif lainnya seperti retret atau rekoleksi siswa.
Mungkin bisa juga bekerjasama dengan komunitas biara untuk sesekali waktu dijadwalkan pemberian pengajaran agama Katolik kepada para siswa di sekolah dengan mengambil jam mata pelajaran Agama Katolik.
4.3 Peran Pendidikan Agama Katolik
Skor dari Indikator Pendidikan Agama Katolik (X):
Skor total (S) yang diperoleh dari 176 orang responden adalah 5118, sementara SMax adalah 4 (jumlah skor maksimal per pernyataan) x 9 (jumlah pernyataan) x 176 (jumlah responden) = 6336. Dari sini, skor total untuk pendidikan agama Katolik dapat dikonversi ke skala 100 sebagai berikut:
𝑆𝑋 = 𝑆
𝑆𝑀𝑎𝑥 × 100 = 5118
6336 × 100 = 80,78
Nilai tersebut berada pada kualifikasi ‘baik’ (76-85). Maka dapat disimpulkan bahwa materi yang terdapat dalam ajaran agama Katolik kepada siswa di lingkungan SMAN 1 adalah baik.
Dari hasil analisa pada variabel X, pada umumnya siswa telah menyadari bahwa pendidikan agama Katolik yang diterima di sekolah memang penting bagi pembentukan karakter mereka untuk menjadi lebih baik (93%). Mayoritas siswa mengakui bahwa pelajaran agama yang diajarkan kepada mereka di sekolahnya telah membantu siswa dalam membentuk perilaku siswa menjadi lebih baik (91%).
Tingkat toleransi di kelas juga tampak saat para siswa diajak untuk mempraktekan imannya melalui doa pembuka dan penutup pelajaran di kelas sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yang perlu mendapat perhatian adalah skor 60% atau
14
cukup dalam perkataan kasar/kotor yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran agama Katolik.
4.4 Hasil Secara Umum
Sebagaimana yang telah dilakukan dalam uji ‘t’ parsial pada analisa Regresi Linear Berganda bahwa variabel atau indikator pendidikan agama Katolik memiliki pengaruh secara positif secara signifikan terhadap penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu. Hal ini mengindikasikan bahwa pelajaran Agama Katolik memang diperlukan atau dengan kata lain perlu ada di dalam kurikulum sekolah demi perkembangan karakter siswa ke arah yang lebih baik, terutama semakin meminimalisir bentuk-bentuk kekerasan (fisik maupun verbal) di lingkungan sekolah, baik di lingkungan SMAN 1 banyuke Hulu, maupun di sekolah lain. Analisa ini juga mau menunjukan bahwa jika kualitas pendidikan agama katolik yang diajarkan kepada siswa makin naik, maka penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan di lingkungan sekolah semakin tinggi, karena pengaruh yang diberikan bernilai positif.8 Sedangkan untuk pemahaman ajaran agama katolik dalam diri siswa tidak memiliki pengaruh secara signifikan pada pembentukan karakter siswa. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan tentang ajaran agama tidak serta merta ‘menggerakan’ siswa untuk mempraktekkan spenuhnya apa yang menjadi ajaran Gereja Katolik. Hasil analisa ini menunjukan bahwa antara variabel pemahaman tentang ajaran agama katolik tidak dapat berdiri sendiri tanpa variabel pendidikan agama yang dilakukan secara terus secara simultan, bersamaan, atau berbarengan – jika dilihat dari uji ‘F’ simultan. Besaran pengaruh secara simultan pendidikan agama katolik dan pemahaman siswa terhadap perilaku siswa SMAN 1 banyuke Hulu sebesar 23,1%.
Angka 23,1% memang sangat kecil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama katolik yang diajarkan di sekolah belum memberikan sumbangan peran yang tidak terlalu besar terhadap karakter siswa dalam menghayati dan mewujudkan budaya anti kekerasan terkait moderasi beragama. Penghayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan dalam lingkungan SMAN 1 Banyuke Hulu yang terjadi saat ini juga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini, misalnya latar belakang budaya, pengaruh lingkungan tempat tinggal, peran orang tua, kondisi keluarga, faktor psikologis anak, kondisi demografi penduduk Dayak setempat yang mayoritas kristiani, dan faktor-faktor lainnya yang mungkin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Faktor-faktor lain tadi menyumbang sekitar 76,9% dalam membentuk karakter siswa dalam menghayati dan mewujudkan budaya anti kekerasan. Sehingga di sini dapat dilihat bahwa pendidikan agama katolik khususnya di SMAN 1 Banyuke Hulu hanya menjadi bagian kecil dari seluruh faktor yang memengaruhi siswa untuk menghayati dan mewujudkan budaya anti kekerasan di lingkungan sekolah SMAN 1 Banyuke Hulu.
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
Sekolah memiliki peranan penting kedua dalam membantu membentuk karakter para peserta didiknya setelah orang tua. Sekolah menjadi Lembaga yang
‘dibebani’ tanggung jawab dalam hal ini, maka tidak heran jika pemerintah Indonesia sangat menaruh perhatian dalam dunia pendidikan dengan mengeluarkan
8 Variabel X berpengaruh positif terhadap variabel Y, berarti semakin tinggi nilai X maka semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap Y secara signifikan.
15
kurikulum 2013 (K-13). Oleh atas dasar di atas maka pendidikan karakter melalui pendidikan agama dinilai penting untuk menangkal sikap ekstrimis terhadap agama serta bentuk kekerasan lain
Pendidikan agama katolik yang diselengarakan oleh sekolah berbanding lurus dengan dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul Gravissimum Educationis (Pentingnya Pendidikan Kristen). Gereja dalam hal ini memandang pentingnya pendidikan katolik layaknya katekese sebagai kelanjutan dari dari tahap penerimaan iman melalui evangelisasi, bahkan bukan sekedar dilaksanakan di sekolah katolik saja, pun juga mereka yang menimba ilmu di sekolah non-katolik juga berhak memeroleh pendidikan Kristen yang memadai agar pembinaan iman dapat mencapai tujuannya, yakni manusia yang mencapai pemenuhan dan kedewasaan utuh sesuai dengan kepenuhan Kristus.
Pendidikan agama katolik yang diterapkan di sekolah ini cukup memberikan dampak kepada pembentukan karakter siswa walaupun relatif kecil, karena pengayatan dan perwujudan budaya anti kekerasan trutama terkait moderasi beragama yang sudah berjalan selama ini turut disumbang oleh faktor-faktor lain di luar yang dibahas dalam penelitian ini. Melihat bahwa peranan pendidikan agama katolik ini cukup berpengaruh positif, maka jika mutu atau kualitas pengajaran lebih ditingkatkan lagi, maka akan memberikan pengaruh yang lebih signifikan pula terhadap pembentukan karakter siswa dalam menghayati moderasi beragama dan budaya anti kekerasan.
5.2 Saran
Beberapa saran yang dirasa perlu untuk pengembangan pembentukan karakter berbudaya anti kekerasan di SMAN 1 Banyuke Hulu:
1) Sekolah perlu mengkaji ulang mengenai efektivitas penerapan dalam pemberian materi mata pelajaran Agama Katolik kurikulum 2013 (K-13) agar dapat merencanakan program-program yang dapat mendukung pendidikan agama katolik (seperti live in ke lokasi yang lingkungan sosialnya berbeda agama)
2) Adakan bimbingan rohani secara rutin seperti retret dan rekoleksi.
3) Adakan seminar yang memahas tentang moderasi beragama dan anti kekerasan dengan mengundang para pakar di bidangnya (dokter, pskolog, polisi, pemuka agama) dan dikemas dalam dengan acara hiburan yang sesuai dengan usia remaja.
4) Manfaatkan media sosial dan komunikasi untuk menyerukan pentingnya menjaga keberagaman dan melawan segala bentuk kekerasan melalui poster infografik di majalah dinding sekolah atau quotes.
5) Adakan kompetisi dengan mengsung tema budaya anti kekerasan.
6) Adakan acara seminar orang tua dan anak atau kegiatan sekolah yang kepanitiaannya melibatkan tennaga pendidik, orang tua siswa dan OSIS.
Tujuan dari usulan ini yakni supaya setelah siswa menerima teori dari yang telah diterima di kelas dalam pendidikan agama katolik, mereka perlu mempraktekannya dalam lingkungan sosial melalui kegiatan bersama agar para siswa dapat lebih mudah menghayatinya dalam praktik di lingkungan sosial.
16 REFERENSI
Armstrong, K., 2016. Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan. Jakarta: Mizan.
Assegaf, A. R., 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi, kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Gani, E., 2018. Komponen-komponen Karya Tulis Ilmiah. Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Huber, W., 2011. Religion and Violence in a Globalized World. Verbum et Ecclesia, Volume 18.
Ispahani, F., Juni 2016. Women and Islamist Extremism: Gender Rights under the Shadow of Jihad,”. The Review of Faith & International Affairs, 14(2), pp. 101-104.
Kementrian Agama RI, 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
Kementrian Agama RI, 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017. Buku Guru, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas X.
Revisi ed. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Koesoema, D., 2007. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Koesoema, D., 2015. Strategi Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Kanisius.
Ludiranto, F. D., 2013. Peran Pendidikan Kepribadian dalam mendidik Generasi Muda di Sekolah Katolik. Jurnal Teologi Universitas Sanata Dharma, 2(2), pp. 213-226.
Salehudin, A., 2012. Understanding Religious Violence in Indonesia. Journal oF Indonesian Islam, pp. 1-18.
Singarimbun, M., 1989. Metode dan Proses Penelitian. In: M. Singarimbun & S.
Effendi, eds. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pp. 3-15.
Sujarweni, V. W., 2018. Metodologi Penelitian, Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Suparno, P., 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
van Aernum, Z., 2014. Violence in Religion. Verbum, 11(2).
WHO, 2002. World Report on Violence and Health: Summary, Geneva: World Health Organization.