• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Perceraian Masyarakat Hukum Adat Towani Tolotang di Desa Buae Kecematan Watang Pulu Kabupaten Sidrap

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Proses Perceraian Masyarakat Hukum Adat Towani Tolotang di Desa Buae Kecematan Watang Pulu Kabupaten Sidrap"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Kegunaan Peneliatian

TINJAUAN PUSTAKA

Masyarakat Aat Towani Tolotang

Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

  • Perceraian dalam Perundangan
  • Perceraian dalam Hukum Adat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “cerai” berarti: memisahkan; perpisahan sebagai suami istri; perceraian. Mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan, menurut Pasal 1 UU No. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan putusnya hubungan keluarga (keluarga) antara seorang pria dan seorang wanita.

Dalam BW, istilah 'putusnya perkawinan' (ontbinding des huwelijks) diatur dalam Bab X dengan tiga bagian, yaitu dalam kaitannya dengan 'Pemutusan Perkawinan Secara Umum' (Pasal 199), dalam kaitannya dengan 'Pemutusan Perkawinan setelah Pemisahan Meja dan Tempat Tidur' (Pasal 199. Pasal 200-206b), tentang 'Perceraian Nikah' (Pasal 207-232a), dan apa yang tidak diakui dalam hukum adat atau hukum agama (Islam), padahal sebenarnya juga terjadi Bab XI tentang 'Pemisahan Meja dan Tempat Tidur' (Pasal 233-249). Keputusan hakim setelah membagi meja dan tempat tidur serta mencatatkan Status Perdata, sesuai dengan ketentuan bagian 2 bab ini; Jika suami dan istri berbagi tempat tidur dan meja, baik karena salah satu alasan dan alasan yang tercantum dalam Pasal 233, atau atas permintaan kedua belah pihak, dan pembagian itu berlangsung selama lima tahun penuh tanpa persetujuan antara kedua belah pihak, maka masing-masing dari mereka bebas untuk membawa pihak lain ke pengadilan dan mencari pembubaran pernikahan mereka.

Tindakan perceraian harus diajukan di Pengadilan Negeri, yang dalam bidang kuasanya suami/isteri mempunyai kediaman utama, pada saat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 831 Peraturan Acara Perdata, atau tempat kediaman yang sebenarnya jika dia tidak mempunyai rumah induk. kediaman. Sekiranya pada masa memfailkan surat permohonan di atas, pasangan tidak mempunyai kediaman utama atau kediaman semasa di Indonesia, maka tuntutan hendaklah dikemukakan ke Mahkamah Negeri tempat kediaman semasa kakak. Jika ada perkara yang boleh dijadikan asas untuk meminta cerai, suami atau isteri berhak meminta meja dan katil berasingan.

Pada umumnya aturan perkawinan dan perceraian menurut hukum adat dipengaruhi oleh agama masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Apa yang dikemukakan Djojodiguno secara umum menjadi pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, tidak terbatas pada orang Jawa saja. Pada prinsipnya dan sedapat-dapatnya, hal itu berarti bahwa apabila menurut keadaan dan kenyataan perceraian itu tidak hanya untuk kepentingan suami istri saja, tetapi juga untuk kepentingan umum, maka gugatan dapat dilakukan (Muhammad Syaifuddin , Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan 2013: 25).

Hubungan antara suami dan istri setelah menikah bukanlah hubungan perikatan yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu persekutuan. Komunitas ini menurut Djojodiguno disebut komunitas kehidupan yang merupakan tempat terpenting bagi kehidupan masa depan suami istri dan anak-anaknya (Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, 2013: 25). Pemutusan hubungan perkawinan dengan perceraian dipahami dalam hukum adat tidak hanya sebagai bentuk pemutusan ikatan lahir batin antara suami dan istri, tetapi juga pemutusan ikatan lahir dan batin dengan keluarga dan masyarakat di mana suami dan istri tinggal. perempuan menjadi anggota keluarganya dan anggota masyarakatnya (Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan.

Macam-macam Alasan Hukum Perceraian

  • Zina, Pemabuk, Pemadat, Penjudi, dan Tabiat
  • Hukuman Penjara 5 Tahun atau Hukuman Berat
  • Perilaku Kejam dan Aniaya Berat yang
  • Cacat Badan atau Penyakit yang Menghalangi
  • Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus

Oleh itu, jika kesucian dan kesetiaan tidak lagi wujud dalam perkahwinan, suami atau isteri yang suci. Selain itu, selain zina dan mabuk, mabuk juga boleh menjadi alasan undang-undang untuk suami atau isteri mahu bercerai. Kemudian judi juga boleh dijadikan alasan yang sah bagi suami atau isteri ingin bercerai, di samping berzina, mabuk dan mabuk.

Baik zina, mabuk-mabukan, pemadatan, judi dan kebiasaan buruk lainnya adalah niat buruk, perilaku dan sifat atau karakter yang sulit disembuhkan, dan dapat menjadi sumber potensial atau awal dari perbuatan buruk suami atau istri yang menyebabkan kerusakan rumah tangga. harmoni. , yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, sehingga perkawinan mereka tidak dapat dipertahankan (Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan. Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah jelas menunjukkan bahwa suami atau istri tersebut belum memenuhi kewajibannya sebagai suami. atau istri, baik kewajiban lahiriah maupun batiniah Alasan ini harus dipahami sebagai alasan perceraian yang berlaku timbal balik, dalam arti berlaku baik bagi suami maupun istri, yaitu suatu hal perseorangan yang oleh masyarakat hukum adat dianggap sebagai alasan perceraian. Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan.

Namun common law tidak memberikan penjelasan yang konkrit mengenai jangka waktu suami atau istri meninggalkan pihak lain, melainkan hanya bersandar pada lamanya waktu. 9 Tahun 1975 tidak memberikan penjelasan tentang “hukuman berat” yang dapat menjadi dasar hukum perceraian. Alasan hukum perceraian berupa suami atau istri yang telah divonis 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan cukup untuk memajukan putusan turunan hakim dalam perkara pidana, yang menjadi bukti menurut undang-undang untuk mendapatkan surat keputusan cerai dari Hakim Perceraian Sipil (Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan.

Dalam hukum adat, perilaku buruk suami atau istri juga menjadi alasan hukum perceraian, karena perilaku buruk adalah tindakan yang tercela dan tercela bagi keluarga dan kerabat yang bersangkutan. Artinya, pidana penjara atau pidana berat yang dijalani oleh laki-laki atau perempuan merupakan perbuatan hukum. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain dapat menjadi alasan hukum untuk perceraian.

Perbuatan kejam dan penganiayaan berat yang berbahaya adalah perbuatan yang sangat buruk dan tidak menyenangkan terhadap keluarga dan kerabat suami atau istri yang bersangkutan, sehingga perbuatan tersebut juga menjadi dasar hukum perceraian menurut hukum adat (Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, 9 Tahun 1975 mengemukakan bahwa cacat atau sakitnya salah satu pihak akibat tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai suami istri dapat menjadi alasan hukum untuk bercerai, diatur dalam Pasal 39(2) UU No.

Misalnya, seorang pria atau wanita yang memahami pernikahan sebagai sarana untuk memenuhi hasrat seksual saja, atau mengutamakan kebutuhan materialistis saja. Dengan demikian, secara hukum dasar hukum perceraian bersifat alternatif, yaitu seorang laki-laki atau perempuan dapat mengajukan cerai hanya dengan satu dasar hukum.

METODE PENELITIAN

  • Jenis Penelitian
  • Pendekatan Penelitian
  • Lokasi Dan Objek Penelitian
  • Sumber Data
    • Data Primer
    • Data Skunder
  • Teknik Pengumpulan Data
    • Observasi
    • Wawancara
    • Dokumentasi
  • Analisa Data

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sidenreng Rappang yaitu Kecamatan Watang Pulu tepatnya Desa BuaE. Pemilihan lokasi ini berdasarkan data awal yang diperoleh penulis dimana masih banyak kasus perceraian adat. Ada dua jenis data dalam penelitian hukum empiris, yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.

Merupakan data penelitian dasar, yang meliputi data yang diperoleh melalui penelitian lapangan, data yang diperoleh melalui penelitian lapangan diperoleh melalui observasi, wawancara, survei, angket dan angket, dan kami melengkapinya dengan menginventarisasi dan mendokumentasikan semua dokumen yang kami anggap relevan. masalah. tangan. dibahas dalam penelitian (STIH Amsir, 2021:15). Data yang diberikan adalah semua sumber bacaan, baik berupa peraturan perundang-undangan, keputusan lembaga yang dikeluarkan, buku-buku. Peneliti mengamati objek penelitian pada saat itu juga, yang diamatinya dengan panca indera.Peneliti diposisikan sebagai pengamat atau pengamat luar.Pada saat pengumpulan data melalui observasi, peneliti dapat menggunakan catatan atau rekaman.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tanya jawab dengan responden atau informan untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk penelitian. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara meneliti atau menganalisis dokumen. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengandalkan dokumen sebagai sumber data yang digunakan untuk melengkapi. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian data tersebut dideskripsikan secara deskriptif untuk memberikan gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah pada jawaban atas permasalahan yang penulis teliti.

Ada dua faktor yang dapat menyebabkan Perceraian Masyarakat Adat Towani Tolotang, yaitu faktor psikologis dan faktor budaya. Proses perceraian adat masyarakat adat Towani Tolotang di Desa BuaE Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidrap ini agak sulit dilakukan dan terkadang memakan waktu hingga bertahun-tahun, yang sering terjadi adalah ma'lawang (pisah ranjang atau cerai semu). suami istri tidak lagi tinggal serumah atau masing-masing telah kembali ke rumah orang tuanya dan tidak lagi melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh suami istri, tetapi tidak memutuskan perkawinan, beberapa orang mengalami kesulitan untuk bercerai, Hal ini dikarenakan banyaknya perkawinan antar kerabat dan karena bagi suku Indian Towani Tolotang, perkawinan hanya sekali seumur hidup, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian. Ke depan, masyarakat desa BuaE khususnya masyarakat Adat Towani Tolotang meningkatkan kesadaran akan pentingnya kedewasaan dan kedewasaan dalam melakukan pernikahan, sehingga terhindar dari pernikahan dini.

Setiap orang tua harus terlebih dahulu berdiskusi dengan anaknya apakah akan menikah dengannya, agar tidak terjadi perkawinan atas pilihan orang tua karena paksaan (kesepakatan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat Hukum Adat Towani Tolotang Di Tengah

Latar Belakang Desa BuaE

Pelaksanaan Perceraian Secara Adat Masyarakat

PENUTUP

Kesimpulan

Saran

Referensi

Dokumen terkait

Efektivitas Awig-Awig Hukum Adat Desa Kerobokan Dalam Pengelolaan Tanah Untuk Investasi Pariwisata Masyarakat hukum adat di Bali dalam perwujudannya merupakan suatu lembaga, ada