ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK DI PERAIRAN SUNGAI DUA LAUT, KECAMATAN SUNGAI LOBAN
KABUPATEN TANAH BUMBU
Putri Syintia Rahmi¹, Ira Puspita Dewi², Baharuddin³
¹Mahasiswa Program Studi S-1 Ilmu Kelautan, ULM
²Dosen Tetap Prodi S-1 Ilmu Kelautan, ULM ABSTRAK
Kawasan pesisir di perairan Sungai Dua Laut, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini lah yang membuat wilayah kawasan perairan Sungai Dua Laut, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu rentan mengalami kerusakan. Kesesuaian lahan tambak merupakan hal yang paling penting dalam budidaya udang untuk mempertahankan tingkat produksi dan memastikan pengembangan usaha budidaya tambak yang lebih baik. Tujuan dari penulisan jurnal ini ialah untuk menganalisis kesesuaian lahan budidaya tambak di wilayah perairan Sungai Dua Laut, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu
Kata Kunci: Budidaya Tambak, Kesesuaian Lahan, Sungai Dua Laut
ABSTRACT
The coastal area in the waters of Sungai Dua Laut, Angsana District, Tanah Bumbu Regency has biodiversity that can be used by humans. This is what makes the waters of Sungai Dua Laut, Angsana District, Tanah Bumbu Regency vulnerable to damage. The suitability of pond land is the most important thing in shrimp farming to maintain production levels and ensure the development of better pond cultivation businesses. The purpose of writing a journal is to analyze the suitability of pond cultivation land in the waters of Sungai Dua Laut, Angsana District, Tanah Bumbu Regency.
Keywords: Pond Cultivation, Land Suitability, Two Seas River
BAB 1. PENDAHULUAN Usaha perikanan secara umum dapat dinyatakan sebagai kegiatan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan serta lingkungan dengan menambahkan masukan energi, materi dan teknologi dan atau unsur lainnya, yang bertujuan untuk memanen biomasa hidup dan kehidupan manusia (Sutrisno Anggoro, 2001).
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Batulicin di Kabupeten Tanah Bumbu memiliki luas lahan tambak potensial sebesar 5.166,24 Ha dan baru termanfaatkan 1.744,98 Ha atau baru sebesar 33,78% dari luas lahan peruntukan budidaya tambak dan dilihat dari tingkat produksi budidaya tambak sebesar 609,67 ton atau 0,17% dari total produksi perikanan darat dengan nilai produksi sebesar Rp.23.399.700,- atau sebesar 81,54%
pada tahun 2003 (BPS Kab.Kotabaru,2003). Bila dilihat dari tingginya nilai produksi tersebut dibandingkan budidaya di kolam (16,53%) dan di karamba (1,93%), maka sudah sepantasnya budidaya udang di tambak menjadi alternatif unggulan setelah perikanan tangkap.
Hampir seluruh tambak yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu oleh masyarakat setempat diusahakan untuk budidaya udang windu hal ini dikarenakan masyarakat di kabupaten tersebut telah terbiasa dalam pengelolaan tambak dengan komoditi ini. Sebagai kabupaten baru, Tanah Bumbu yang dulunya termasuk dalam wilayah Kabupaten Kota Baru telah ditetapkan sebagai suatu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), berdasarkan Kepres Nomor 11 Tahun 1998 tanggal 19 Januari 1998 (Anonim 2004b), tentang penetapan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu dan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Dari uraian di atas, maka perlu adanya suatu evaluasi terhadap pembangunan yang telah dicapai, khususnya usaha budidaya tambak udang yang meliputi aspek kesesuaian lahan, pemanfaatan lahan dan aspek ekonomis. Hal ini berguna untuk membantu pemerintah daerah dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan perikanan budidaya di Kapet Batulicin yang berada di Kabupaten Tanah Bumbu.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Tata Ruang
Seperti dinyatakan dalam Undang-undang no.26 tahun 2007, tentang penataan ruang, maka ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta melihara kelangsungan hidupnya.
Dimana Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
2.2. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir
Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), berdasarkan keputusan menteri Kelautan dan Perikanan nomor 32/Men/2002, tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, batas wilayah pesisir adalah pertemuan antara daratan dan lautan; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian darat, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut,
angin laut dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor Kep 10/Men/2003 tentang Pedomanan Perencanaan Pengelolaan Pesisir terpadu. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan 1/3 dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota dan kearah darat batas administrasi Kabupaten/kota. Dengan kondisi batas di atas maka wilayah pesisir memiliki karakteristik yang khas (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002) yaitu :
a. Merupakan wilayah pencampuran atau pertemuan antara laut, darat dan udara. Bentuk wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur alam tersebut.
b. Wilayah pesisir dapat berfungsi sebagai zona penyangga dan merupkan habitat bagi berbagai jenis
biota, tempat pemijahan, pembesaran, mencari makan dan tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut dan pantai.
c. Wilayah pesisir memiliki perubahan sifat ekologi yang tinggi dan pada skala yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berbeda.
d. Pada umumnya wilayah ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam suatu siklus rantai makanan di laut.
2.3. Kualitas Air a. Salinitas
Salinitas di perairan tambak menjadi penting hal ini didasari pendapat Sutrisno Anggoro (1993), bahwa hubungan salinitas dan pertumbuhan udang sangat erat kaitannya dengan tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas perairan, maka semakin tinggi pula tekanan osmotiknya. Tekanan osmotik inilah yang akan mempengaruhi kehidupan udang windu di dalam tambak, sebab tekanan osmotik lingkungan perairan akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh udang.
Menurut Ibnu Dwi Buwono (1993), salinitas yang terlalu tinggi akan menghambat terjadinya Moulting sebagai indikator adanya pertumbuhan udang windu, salinitas yang terlalu tinggi sering terjadi pada musim kemarau sedangkan pada musim hujan salinitas terlalu rendah, untuk mengatasi tersebut persedian sumber air tawar dan asin sangat bermanfaat.
b. Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)
Tersedianya oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan udang.
Rendahnya kadar oksigen dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Dimana fungsi oksigen di tambak selain untuk pernafasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di tambak (Ibnu Dwi Buwono,1993). Dimana menurut Anonim (2007d), kandungan oksigen terlarut dalam tambak yang optimum untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang windu adalah 4 – 8 mg/l.
c. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) tambak sangat dipengaruhi tanah atau dasar tambak dapat memberikan dampak pada udang Nilai pH rendah disebabkan oleh keasaman tanah dan memberikan pengaruh langsung terhadap udang windu berupa kulit udang menjadi kropos dan lembek dan bila pH tinggi menyebabkan peningkatan amoniak di perairan sehingga tidak langsung membahayakan udang di tambak.
Kisaran normal pH air untuk kehidupan udang windu berkisar antara 7,5 – 8,5 (Ibnu Dwi Buwono, 1993).
d. Amoniak (NH³)
Menurut Boyd (1981) Amoniak merupakan hasil katabolisme yang diekspresikan oleh organisme dan merupakan salah satu hasil dari penguraian zat organik oleh bakteri. Tingkat keseimbangannya sangat dipengaruhi oleh pH air, suhu, salinitas dan kadar Ca. Kadar NH3 akan meningkat pada pH dan suhu tinggi serta kadar garam rendah.
Kadar amoniak tinggi dalam air secara langsung dapat mematikan organisme perairan, mengurangi
konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen dalam jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen. Sebagian besar pakan yang dimakan oleh udang dirombak menjadi daging/jaringan tubuh, sedangkan sisanya dibuang berupa kotoran padat (faces) dan terlarut (amonia) dimana produksi amonia terlarut dikeluarkan melalui insang. (Ibnu Dwi Buwono, 1993).
e. Nitrit (NO²)
Boyd (1981) menjelaskan bahwa nitrit merupakan hasil dari oksidasi amoniak dalam proses nitrifikasi oleh bakteri autotropik nitrosomonas, yang menggunakan amoniak sebagai sumber energi.
Toksisitas nitrit terhadap udang terutama dalam transpor oksigen dan kerusakan jaringan. Nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi methemoglobin yang tidak mampu mengikat darah.
e. Suhu
Suhu yang tinggi bisa diatasi dengan memaksimalkan kincir untuk menghindari pelapisan (blooming) plankton dan kontrol pemberian pakan secara ketat sesuai estimasi SR
dikarenakan nafsu makan udang di suhu tinggi akan meningkat. Selain itu, Petambak juga bisa memasang waring untuk mengurangi suhu panas.
Sedangkan, suhu rendah bisa diatasi dengan mengusahakan air tidak terlalu dalam dan plankton lebih pekat (25 cm). Plankton juga perlu dijaga agar tidak mengalami drop ketika hujan. Selain itu, Bapak/Ibu bisa memaksimalkan pemberian kapur jika suhu turun akibat hujan lebat dan mengurangi pemberian pakan karena ada potensi nafsu makan udang menurun.
f. Fosfat
Parameter fosfat (P) yang tepat untuk budidaya lahan tambak sangat penting untuk memastikan pertumbuhan yang optimal dari organisme yang dibudidayakan.
Fosfat adalah salah satu nutrisi makro yang dibutuhkan oleh fitoplankton dan tanaman air yang merupakan dasar dari rantai makanan di ekosistem tambak. Kadar fosfat yang disarankan untuk lahan tambak umumnya berkisar antara:
Konsentrasi fosfat (P-PO4) di air tambak: 0,1 - 0,5 mg/L. Konsentrasi ini dianggap cukup untuk mendukung pertumbuhan fitoplankton tanpa
menyebabkan eutrofikasi yang berlebihan. Namun, kebutuhan spesifik bisa bervariasi tergantung pada jenis organisme yang dibudidayakan, kondisi lingkungan, dan metode budidaya yang digunakan. Pemantauan rutin dan pengelolaan yang tepat sangat penting untuk menjaga keseimbangan nutrisi di lahan tambak.
BAB 3. METODE PENELITIAN Penelitian lapang ini dilaksanakan pada pada November 2023 di Desa Sungai Dua Laut, Kecamatan Sungai Loban, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Analisis kualitas air dilaksanakan pada tanggal 6 s.d. 9
November 2023 di
Laboratoriumkualitas air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini
meliputihandrefractometer, botol sampel, coolbox, ember, hand GPS, grap sampler, layang-layang arus, batu duga,camera water sampler, plankton net, secchi disk, water quality checker, tabung reaksi, pipet tetes, spektrofotometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
aquades, reagent. Penentuan lokasi sampling dilakukan untuk memetakan distribusi spasial status mutu perairan Sungai Dua Laut, yakni distribusi spasial secara horizontal dan vertikal yang meliputi data in-situ dan ex-situ. Pengambilan sampel parameter fisika sebagai berikut:
• Pengambilan kedalaman perairanmenggunakan GPS mapsounder,dengan menggunakan perangkat transduser yang tersambung yang hasilnya akan terlihat pada display.
• Pengukuran suhu dilakukandengan menggunakan waterquality checker dengan caramencelupkan water qualitychecker tersebut kedalam airselama beberapa menit/detik.
• Kecerahan dapat menggunakan secchi disk dengan cara memasukkan kedalam kolomperairan, mengamati berapa jarak batas sampai alat terlihat samar.
• Substrat permukaan dasar perairan menggunakan grab sampler, dengan cara menurunkan alat sampai ke permukaan dasar perairan, lalu mengambil sedikit substrat, setelah itu substrat disimpan dan di teliti di laboratorium.
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti secara langsung kepada objek penelitian di lapangan, baik melalui pengamatan (observasi) langsung maupun wawancara (interview) serta penyebaran angket/kuisioner, sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan peneliti dengan cara tidak langsung ke objek penelitian tetapi melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian (Singarimbum et al., 2008).
Analisis Data
Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara spasial, dengan terlebih dahulu melakukan interpolasi untuk mengubah data yang dalam bentuk titik menjadi area (polygon). Cara interpolasi ini menggunakan pendekatan Nearest Neighbour (Burrough & McDonnell, 1998).
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Untuk Tambak
Analisis kesesuaian kawasan tambak dimaksudkan untuk mengetahui
kesesuaian lahan dan perairan pesisir (fisik, kimia, dan biologi) peruntukan budidaya tambak. Analisis ini akan dilakukan dengan mengukur beberapa parameter lingkungan yang menjadi persyaratan ekologis bagi pengembangan pertambakan. Secara matematis, nilai kesesuaian lahan dituliskan dalam rumus :
Keterangan :
N = Nilai total kesesuaian lahan Wi = Bobot (Weight)
Si = Nilai (skor)
Nilai pembobotan dan skoring dari parameter yang telah ditentukan berdasarkan nilai kelas kesesuaian lahan untuk kawasan Budidaya tambak yang kemudian disesuaikan dengan metode budidaya di kelompokkan sebagai berikut (Utojo
& Mustafa 2016) :
Sangat Sesuai (S1) : 100%
Sesuai (S2) : 75 – 99%
Sesuai Bersyarat (S3) : 50 – 74%
Tidak sesuai permanen (N) : <50%
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak
Analisis kesesuaian lahan pada daerah perairan Sungai Dua Laut menunjukkan hasil yang sesuai bersyarat, dikarenakan ada beberapa parameter kualitas air yang tidak sesuai dan harus menjadi pertimbangan kembali.
Hasil pengukuran kualitas air di perairan Sungai Dua Laut menunjukkan perairan nya dalam kisaran Cukup Sesuai untuk melakukan budidaya tambak.
a. Salinitas
Nilai salinitas perairan di Sungai Dua Laut berkisar antara 30 – 33 ppt. Nilai ini memenuhi kriteria sangat baik (sangat sesuai.
b. Suhu
Suhu yang terukur dilokasi berkisar antara 30 – 33°C. Menurut Kusuma et al. (2017), suhu alami permukaan laut dari hasil pengamatan satelit Aqua/Terra MODIS di Indonesia berada di kisaran 27,91 – 30,46˚C.
c. Keasaman (pH)
Nilai derajat keasaman (pH) yang terukur dilokasi kajian berkisar antara 8.
Nilai ini berada pada kategori S2 (sesuai) berdasarkan matrix kesesuaian lahan tambak yang digunakan yaitu berada pada rentang
6,1 – 8,0. Nilai pH diatas 7 (pH>7) artinya perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Umumnya perairan laut maupun pesisir memiliki pH dengan kisaran sempit dan bersifat basa atau disebut alkali.
d. Fosfat
Hasil pengukuran fosfat pada Lokasi penelitian masih banyak yang tidak sesuai. Kadar fosfat yang disarankan untuk lahan tambak umumnya berkisar antara: Konsentrasi fosfat (P- PO4) di air tambak: 0,1 - 0,5 mg/L.
Sedangkan di Perairan Sungai Dua Laut berkisar 0,04 – 0,2.
e. Amoniak
Hasil pengukuran amoniak pada lokasi penelitian berkisar antara 0,01 – 0,16. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28 tahun 2004 tentang pedoman umum budidaya udang di tambak, aturan baku mutu effluent tambak yang memberikan range <0,1 mg/L, kandungan amonia 0,45 mg/L dapat menghambat laju pertumbuhan udang sampai dengan 50%, sedangkan pada tingkat amonia 1,29 mg/L dapat membunuh beberapa udang jenis Penaeus, kandungan amonia 0,05-0,2 mg/L mempengaruhi terjadinya gangguan pertumbuhan secara umumnya organisme aquatik (Boyd, 1990).
f. Nitrit
Hasil pengukuran kadar nitrit di lokasi penelitian yaitu berkisar antara 0,05 – 0,1. Hasil menyebutkan bahwa perairan Sungai Dua Laut masih sesuai.
g. Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)
Hasil pengukuran DO di Perairan Sungai Dua Laut berkisar antara 5 – 6 mg/l. Hail menunjukkan masih sesuai.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesesuaian Lahan: Berdasarkan hasil penelitian, lahan di perairan Sungai Dua Laut tergolong dalam kategori
"Sesuai Bersyarat" (S3) untuk budidaya tambak. Ini berarti bahwa lahan memiliki potensi untuk budidaya tambak namun membutuhkan perhatian dan pengelolaan lebih lanjut terhadap beberapa parameter kualitas air yang kurang sesuai. Parameter Kualitas Air: Salinitas: Nilai salinitas di perairan berkisar antara 30 – 33 ppt, yang berada dalam kategori "Sangat Sesuai" (S1) untuk budidaya tambak.
Suhu: Suhu di lokasi penelitian berkisar antara 30 – 33°C, masih berada dalam kisaran yang sesuai untuk budidaya tambak. Keasaman (pH): Nilai pH berkisar antara 8, yang masuk dalam kategori "Sesuai" (S2).
Perairan memiliki sifat basa yang mendukung aktivitas budidaya tambak. Fosfat: Konsentrasi fosfat di perairan berkisar antara 0,04 – 0,2 mg/L, berada dalam batas yang tidak optimal namun masih bisa diterima dengan manajemen yang baik.
Amoniak: Kadar amoniak berkisar antara 0,01 – 0,16 mg/L, memenuhi standar baku mutu namun perlu perhatian khusus untuk mencegah dampak negatif pada pertumbuhan udang. Nitrit: Konsentrasi nitrit berkisar antara 0,05 – 0,1 mg/L, menunjukkan perairan masih sesuai untuk budidaya tambak. Dissolved Oxygen (DO): Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5 – 6 mg/L, menunjukkan perairan memiliki oksigen yang cukup untuk mendukung kehidupan udang.
Rekomendasi Pengelolaan:
Meskipun parameter-parameter dasar menunjukkan kesesuaian, ada beberapa aspek yang membutuhkan pengelolaan lebih lanjut, terutama dalam hal pemantauan dan pengelolaan kadar fosfat dan amoniak untuk memastikan kondisi perairan yang optimal bagi pertumbuhan udang. Penggunaan teknologi dan praktik manajemen yang baik, seperti pengaturan suplai air tawar dan air asin, serta pemantauan kualitas air secara rutin, sangat dianjurkan untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem tambak.
Kebijakan Pengembangan:
Penelitian ini memberikan data yang berguna bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan perikanan budidaya di wilayah Kapet Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu.
Pengembangan budidaya tambak udang dapat menjadi alternatif unggulan dengan potensi ekonomi yang signifikan, namun harus didukung dengan pengelolaan lahan dan perairan yang berkelanjutan.
Kesimpulan ini menyarankan bahwa meskipun perairan Sungai Dua Laut memiliki potensi yang baik untuk budidaya tambak, perhatian khusus terhadap beberapa parameter kualitas air sangat penting untuk memastikan keberhasilan dan keberlanjutan budidaya udang di wilayah ini.
5.2. Saran
Saran penulis adalah haru selalu memperhatikan tiap pengambilan data, agar tidak ada kesalahan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Awanis, A. A., Prayitno, S. B., &
Herawati, V. E. (2017).
Kajian kesesuaian lahan tambak udang vaname dengan menggunakan sistem
informasi geografis di Desa Wonorejo, Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina, 6(2), 102-109.
Adiprima, K. P., & Sudradjat, A.
(2012). Kajian Kesesuaian Lahan Tambak, Konservasi Dan Permukiman Kawasan Pesisir Menggunakan Sistem Informasi
Geografis. Pangandaran, Jawa Barat. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Ikbal, M., Agussalim, A., &
Fauziyah, F. (2019). Evaluasi status kesesuaian lahan tambak udang vaname (Litopenaeus vannamei) menggunakan sistem informasi geografis (SIG) di Tambak Bumi Pratama Mandira Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Maspari Journal:
Marine Science
Research, 11(2), 69-78.
Pantjara, B., Utojo, U., Aliman, A., &
Mangampa, M. (2016).
Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Kecamatan Watubangga Kabupaten
Kolaka, Sulawesi
Tenggara. Jurnal Riset Akuakultur, 3(1), 123-135.
Ristiyani, D. (2013). Evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan tambak di pesisir kendal. Geo-Image Journal, 2(1).
Syaugy, A., Siregar, V. P., & Arhatin, R. E. (2012). Evaluasi kesesuaian lahan tambak udang di kecamatan Cijulang dan Parigi, Ciamis, Jawa Barat. Jurnal teknologi
perikanan dan kelautan, 3(2), 43-56.
Setianingrum, D. R., & Suprayogi, A.
(2014). Analisis Kesesuaian Lahan Tambak Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Undip, 3(2), 69-80.