Tafsir bil ra’yi
Oleh : Yulia Pramusinta, M.Pd.I
Pengertian Tafsir Bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi ialah pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-
kaidah bahasa dan adat istiadat orang arab dalam mempergunakan bahasanya
Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf
sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin
maju dan berkambang, sehingga
berkembanglah berbagai madzhab dan aliran
di kalangan umat islam. masing – masing
golongan berusaha menyakinkan umat islam
dalam rangka mengembangkan paham
mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli
tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin
ilmu, maka pada proses penafsiran mereka
cenderung memasukkan hasil pemikiran serta
pembahasan tersendiri yang berbeda dengan
penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung
pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) ,
pembahasan aspek hukum syariah (imam al-
Qurtuby) karena individulisme seperti inilah
banyak penafsir yang sampai
mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya
karena sibuk memasukkan ide nya masing-
masing
Tafsir bir – Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut :
Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir
Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab
Menghindari penafsiran pasti (qath’i)
Karena ada dua pandangan
dalam hukum tafsir bir –ra’yi, maka kiitab – kitab tafsir bir-
ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud
(diperbolehkan) dan yang
Mazhmum (terlarang /tercela).
Contoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)
Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)
Contoh kitab yang Mazhmum (tercela /Dilarang)
Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al- Kazarani) dari golongan Syi’ah
Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah
Hukum Tafsir bil Ra’yi
Tafsir Bil Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan
atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini seperti seperti yang di kutip oleh Drs. Mudzakir
“dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ :36).
“katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ;
(mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan
) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf :33).
Contoh Tafsir Bi ra`yi
Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman.
“Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha
Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatar belakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hukum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika
‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya,
jika tidak ada ‘ilat, maka hukumnya berdasarkan
kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat
kondisional
Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang diulurkan dari atas
hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita
Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :
“Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.”
Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab,
“Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi,
“Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.”
(HR at-Tirmidzi)