• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Teologi Aksara Tattwa Sangkaning Dadi Janma,

N/A
N/A
yuni

Academic year: 2025

Membagikan "Tugas Teologi Aksara Tattwa Sangkaning Dadi Janma,"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Teologi Aksara

Teologi Akṣara dalam Lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma

Dosen Pengampu:

Hari Harsananda, S.Ag., M.Ag.

I Kadek Swamanjaya 2012101004 Ni Ketut Sinta 2012101006

Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

2023

(2)

i DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

BAB I ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 2

BAB II ... 3

2.1 Struktur Aksara Dalam Lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma ... 3

2.2 Makna dari Akṣara dalam Lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma ... 8

BAB III ... 17

3.1 Kesimpulan ... 17

Daftar Pustaka ... 18

(3)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk hidup yang diberikan sistem tubuh yang kompleks, baik jasmani maupun rohani. Tentu setiap makhluk hidup memiliki pemikiran dalam menerapkan kehidupannya, namun manusia dijadikan sebagai makhluk kompleks karena ia mampu mengembangkan pemikiran dengan akal – budinya sehingga menciptakan beragam sistem, bentuk yang ada di dunia. Bentuk- bentuk yang dibuat berguna bagi manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan, baik individu, antar individu maupun antar kelompok. Salah satu hasil dari bentuk, sistem itu adalah budaya.

Budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa yang dibuat, digunakan, dan dimaknai oleh manusia. Dalam teori C. Kluckhohn disebutkan mengenai unsur-unsur kebudayaan universal yakni: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, kesenian (Widyosiswoyo, 2004: 33). Dalam hal ini budaya akan sangat berpengaruh dalam setiap aktivitas manusia, tak terkecuali tentang religi atau agama.

Agama merupakan suatu sistem yang mengatur keyakinan dan peribadahan kepada Tuhan. Ketika dikatakan sebagai sistem maka manusia memerlukan budaya sebagai instrumen dalam berhubungan kepada-Nya dengan menciptakan suatu simbol.

Simbol menurut Charles Sanders Pierces adalah tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial (Hoed, 2014: 10). Maka simbol hanya akan berlaku ketika manusia yang tergabung dalam konvensi dan/atau meyakini suatu simbol dari hasil representasi suatu objek. Dalam praktek keagamaan, simbol dipergunakan sebagai sarana dalam meyakini dan merepresentasikan keberadaan

(4)

2 Tuhan yang telah disepakati oleh umatnya, baik secara fisik maupun nonfisik. Salah satu dari agama yang kaya akan budaya adalah Hindu.

Hindu dikatakan sebagai agama universal karena dapat berakulturasi dengan situasi, keadaan, manusia. Maka dari itu, pada setiap daerah, Hindu secara fisik akan dilihat berbeda namun secara nilai/esensi tetaplah sama, salah satunya aksara. Simbol aksara dalam Hindu dipergunakan sebagai representasi dari Tuhan sehingga ia memiliki makna-makna religi. Wujud fisik dari aksara akan berbeda pada setiap daerah karena ia merupakan produk dari budaya seperti aksara Devanagari akan berbeda dengan aksara Bali, begitu juga dengan aksara Bengal dan lainnya. Jika aksara tersebut dipadukan dengan unsur-unsur religi atau keagamaan maka ia diyakini sebagai aksara suci yang mewakili suatu entitas. Terdapat berbagai macam teks yang termuat dalam lontar dan/atau telah dibukukan menjelaskan eksistensi dari aksara suci ini, salah satunya di Bali dengan lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma sebagai contohnya.

Dalam teks ini akan dijelaskan mengenai aksara-aksara yang memiliki fungsi dan makna di dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana struktur akṣara dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma?

1.2.2 Bagaimana makna dari akṣara dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui struktur akṣara dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma.

1.3.2 Untuk mengetahui makna dari akṣara dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma.

(5)

3 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Struktur Aksara Dalam Lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma

Dalam lontar-lontar yang ada di Bali tentu tulisannya menggunakan aksara Bali. Aksara Bali dalam perkembangannya hingga terbentuk demikian tidak terlepas dari aksara Devanagari yang mempergunakan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa dengan bahasa Pallawa. Dari kedua bahasa ini, menghasilkan aksara Kawi yang akan berkembang dari Kawi menjadi aksara Jawa, Bali, Makasar dan lainnya. Di Bali, aksara Devanagari dipergunakan untuk menulis naskah berbahasa Sanskerta dan aksara Bali dipakai untuk menuliskan tulisan berbahasa Bali atau Bali Kuna. Aksara yang terus berkembang di Bali hanya aksara Semi Pallawa, berkembang menjadi aksara Kediri Kwadrat, kemudian menjadi aksara Jawa dan Bali. Ada juga yang mengatakan bahwa aksara Jawa dan Bali ada berdasarkan legenda yang diciptakan oleh Raja Aji Saka (tahun 78 masehi) khusus dibut untuk memperingati gugur/kematian kedua prajurit yang berkelahi satu sama lain akibat kedua-duanya sama-sama setia kepada raja (Nala, 2006: 3-4).

Berdasarkan bentuk dan fungsi, aksara Bali terbagi dua jenis yakni aksara biasa terdiri dari aksara wreastra dan swalalita; serta aksara suci yakni aksara wijaksara/bijaksara dan modre. Aksara wreastra dipergunakan untuk menulis masalah kehidupan sehari-hari, seperti menulis berbagai catatan, kesusastraan, ilmu hukum, perjanjian, surat-menyurat dan lain-lain; sedangkan aksara swalalita dipergunakan dalam kesusastraan Kawi, seperti untuk menulis kekawin, parwa, dan lainnya. Aksara wijaksara/bijaksara (bija=benih, biji) dan aksara modre jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena diyakini memiliki kekuatan gaib atau magis religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu yang biasanya digunakan dalam praktek keagamaan (Nala, 2006: 5-7, 27).

(6)

4 Aksara wijaksara/bijaksara terdiri atas sejumlah aksara swalalita ditambah aksara amsa (‚ˆ„ =ž) atau berupa ulu candra, kecuali aksara ah (° ° ° ° Á°; ) seperti eka aksara (Ongkara), dwi aksara (dwyaksara), tri aksara (tryaksara), panca aksara, dasa aksara (dasa aksara), catur dasa aksara, dan sad dasa aksara. Aksara modre lebih berfungsi dan bersifat sebagai lambang, simbol atau niasa dibandingkan penggunaannya sebagai aksara untuk berkomunikasi (Nala, 2006: 27-28).

Dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma terdapat aksara-aksara suci seperti:

1. Eka Akṣara

Eka akṣara berarti satu aksara suci, satu huruf atau satu suku kata. Eka akṣara suci tersebut adalah aksara þ (Oṁ-kara) yang berbeda dengan O O-kara, aksara suara, huruf hidup atau huruf vokal. Aksara O O-kara dijadikan sebagai akṣara wianjana (konsonan, huruf mati) sehingga menjadi akṣara þ Ong. Akṣara O O-kara merupakan penggabungan dari dua akṣara, yakni: akṣara ° Á A-kara dan ú U-kara (a + u = o) sedangkan þ Oṁ-kara (Ong-kara) terdiri dari tiga bagian, yaitu Á A-kara, ú U-kara dan ° m M/ma-kara yang digabungkan (A+U+M) menjadi aum atau oṁ.

Dalam bentuk penulisan akṣara þ Oṁ-kara, terdiri dari dua bagian yakni O dan ž . Dikatakan bahwa akṣara þ (Oṁ-kara) berbentuk seperti angka 3 O akṣara Bali karena terdiri dari atas tiga buah akṣara yakni Á ú° m. Sedangkan pada ž atau ulu candra (amsa) ditulis berurutan atas ke bawah memiliki beberapa bagian yakni „ yang

(7)

5 berbentuk seperti segitiga, ˆ berbentuk lingkaran, dan ‚ berbentuk seperti setengah lingkaran (Nala, 2006: 141-142).

Penjelasan mengenai struktur þ (Ong-kara) dijelaskan juga dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma menjelaskan mengenai beberapa bagian-bagian seperti pada ulu candra (amsa) ž: „ disebutkan sebagai Nadha yang diletakkan di atas ˆ dengan nama Windu sedangkan ‚ adalah Ardhacandra. Ongkara disebut sebagai Sang Hyang Sapta Pranawa atau tujuh aksara Pranawa dimana pembagiannya merupakan penggabungan dari Nadha, Windu, Ardhacandra, O-kara, Ma-kara dan U-kara dan A- kara. Dalam penjelasan lain, Ongkara dalam lontar disebutkan ada dua macam yakni Ongkara Ngadeg adalah Ongkara yang tegak lurus atau Ongkara biasa (þ) dan Ongkara Sumusang ( )

2. Dwi Akṣara

Dwi Akṣara terdiri dari dua buah akara yakni dua buah akara A-kara swalalita yang dilengkapi dengan panganggenya sehingga menjadi akara wijakṣara Ang ö° dan Ah Á°; . akara Ang ö° dan Ah Á°; dikatakan sebagai perwujudan dari Rwa Bhineda yang disebut sebagai Ardhanareśwari. Adapun kutipan lontar tersebut:

…………. Ringkana patěmuning bayu. Sangkaning hana sastra muni, Ang, Ah. Ingkana kang winastu Rwa Bhineda. Ya Ardhanareśwari ngaran…….

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) þ

(8)

6 Terjemahan:

…………. Disanalah bertemunya tenaga. Menimbulkan adanya akara yang berbunyi Ang, Ah. Disanalah terwujudnya Rwa Bhineda. Yang disebut Ardhanareśwari (Tim Penyusun, 2008: 12).

3. Tri Akṣara

Tri Akṣara merupakan penyebutan dari gabungan tiga akṣara Á° A-kara, ú U-kara, dan m Ma-kara mendapat akṣara ž ulu candra (amsa) maka menjadi akṣara wijakṣara:

ö Ang°, û Ung, ½ Mang. Selain ketiga akṣara ini, disebutkan pula mengenai Tri Akṣara lain yakni A A I. Adapun kutipannya:

………….Muah hanata Triyakṣara ngaran. Lwirnya; A U Ma……

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

………….Dan ada pula yang disebut Tri Akṣara. Yaitu; A U Ma………….(Tim Penyusun, 2008: 36)

…………. Hana muwah Triyakṣara waneh; A A I………….

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

…………. Ada lagi Tri Akṣara yang lain………….(Tim Penyusun, 2008: 36)

(9)

7 4. Pañca Brahma & Pañca Akṣara

Dalam lontar kedua macam akṣara ini sama-sama memiliki pembagian lima akṣara. Pada Pañca Brahmā terdapat akara Sa, Ba, Ta, A, I sedangkan Pañca Akṣara memuat akara Na, Ma, Śi, Wa, Ya.

Secara struktur penggabungan diantara akṣara - akṣara ini seperti mengalami siklus dimana berawal dari akṣara Ongkara berakhir kembali ke Ongkara. Adapun urutannya yakni:

°

Disebutkan bahwa dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma menyebutkan bahwa Sang Hyang Ongkara sebagai awal dimana dari-Nya menurunkan Pañca

s b t Á ÷

° y w

þ

n m

ö û

Á°;

½

ö

þ

Sang Hyang Ongkāra

Pañca Brahmā

Pañca Akṣara

Tri Akṣara

Dwi Akṣara

Eka Akṣara

´ø

(10)

8 Brahmā yang berbunyi: Sa, Ba, Ta, A, I. Dari Pañca Brahmā menciptakan Pañca Akṣara dengan akṣara Na, Ma, Śi, Wa, Ya. Dari Pañca Akṣara melahirkan Tri Akṣara berakṣara Ang, Ung, Mang. Dari Tri Akṣara menurunkan Dwi Akṣara yakni: Ang, Ah dan dari Dwi Akṣara melahirkan Eka Akṣara yakni Ong. Seperti yang dikatakan bahwa dan sesuai dengan bagan diatas bahwa akṣara Ong yang merupakan awal akan kembali kepada Ong. Adapun kutipan pada lontar yakni:

……Sang Hyang Ongkāra amětwakěn Pañca Brahmā; ngaran: Sa, Ba, Ta, A, I. Pañca Brahmā amětwakěn Pañcākṣara, ngaran; Na, Ma,Śi, Wa, Ya.

Pañcākṣara amětwakěn Tryakṣara, ngaran; Ang, Ung, Mang. Tryakṣara amětwakěn Dwiyakṣara, ngaran; Ang, Ah. Dwiyakṣara amětwakěn Ekākṣara ngaran Ong……

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

……Sang Hyang Ongkāra melahirkan Pañca Brahmā, yaitu: Sa, Ba, TA, A, I. Pañca Brahmā melahirkan Pañcākṣara, yaitu: Na, Ma, Śi, Wa, Ya.

Pañca Akṣara melahirkan Tri Akṣara, yaitu: Ang Ung Mang. Tri Akṣara melahirkan Dwi Akṣara, yaitu: Ang, Ah. Dwi Akṣara melahirkan Eka Akṣara, yaitu Ong……(Tim Penyusun, 2008: 16-17)

2.2 Makna dari Akṣara dalam Lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma

Pada akṣara yang merupakan simbol seperti pembahasan diatas ia akan dimaknai sesuai pada manusia yang memberikan makna. Dalam penggunaannya terhadap agama maka segala yang materi akan diyakini sebagai hal yang religi dimana segala sesuatu akan tertuju kepada-Nya. Begitu juga dalam guna akṣara yang dalam lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma merupakan representasi dari segala yang berhubungan dengan Śiwa dan manifestasi-Nya yakni Ongkāra serta akṣara wijakṣara

(11)

9 lainnya. Tidak hanya sebagai simbol perwujudan-Nya, namun akṣara juga menjadi simbol dari Ia yang ada dalam badan manusia dimana penggunaannya untuk mencapai kamokṣan.

Berawal dari Eka akṣara yakni Ongkāra dinyatakan jelas sebagai perwujudan- Nya dan badan manusia. Dalam badan terdapat dua Ongkāra yakni Ongkāra Ngadeg dan Ongkāra Sumusang, disebut sebagai Sang Hyang Adumuka. Adapun gambarnya sebagai berikut:

Sang Hyang Adumuka merupakan jalan manusia untuk mencapai kelepasan.

Adapun dijelaskan ketika ajal telah tiba, maka harus diikuti dengan menurunkan yang ada di dahi hingga ke bawah serta menurunkan Sang Hyang Ongkāra hingga menyatu ke pangkal hati. Maka seperti pada gambar di atas, dapat diambil maksud bahwa Sang Hyang Ongkāra yang berada pada pangkal alis (kepala) diturunkan hingga menyentuh

(12)

10 pada Sang Hyang Ongkāra yang ada di hati sehingga Nadha yang di atas dan bawah bertemu. Dalam lontar ini disebutkan jika ia menyatu maka manusia itu akan mendapatkan kelepasan. Namun patut diwaspadai ketika ujung Nadha Sang Hyang Ongkāra dipertemukan pada pangkal tenggorokan. Adapun kutipannya yakni:

Nihan Sang Hyang Adumuka, kālaning urip apagěh tan salah genah.

Yan těkaning pati iringan, pingsorakěna kang ring rahi den mingsor, dudu tungtunge ring witning gulu, puing sorakena Sang Hyang Ongkāra dadi tunggal haneng witning hati. Yan kawaśa denta, muktakěna den mukta ngke, ring jroning aww. Aww ngaran hapadnag…

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

…Inilah Sang Hyang Adumuka, dalam keadaan hidup bugar dan tidak salah tempat. Kalau ajal telah tiba, ikutilah, turunkanlah yang ada di dahi hingga ke bawah, turunkanlah Sang Hyang Ongkāra hingga menyatu pada pangkal hati. Kalau itu didapat engkau kuasai, seketika mendapatkan kelepasan, di dalam Aww. Aww adalah terang benderang…(Tim Penyusun, 2008: 5)

……Kewala dening angadu tungtunging nāda Sang Hyang Ongkāra, ring witning gulu, den prayatnakěn……

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

……Jika mempertemukan ujungnya Nāda Sang Hyang Ongkāra, pada pangkal tenggorokan, hendaknya hati-hati dan waspada……(Tim Penyusun, 2008: 6)

Dalam teks juga menjelaskan mengenai Sang Hyang Ongkāra yang masing- masing bagian ada pada badan yang dijelaskan secara mudah dalam tabel dibawah:

(13)

11 Sapta Pada

(Tujuh Tahap) Dalam Badan Warna Akṣara Saptātma Sapta Dewatā Sinar

Parama Kewalya Pada

Dua belas jari jauhnya dari ujung rambut

- Śūnyātma Paramaśiwa Sejuta

Kewalya Pada Ubun-ubun

Cemerlang seperti kristal

ˆ Niṣkālatma Sadāśiwa Seratus ribu

Turyyānta Pada Antara kedua alis

Sinar matahari baru terbit

Atyātma Sadārudra Sepuluh

ribu

Turyya Pada

Tujuh lubang (2 lubang mata –

telinga – hidung, 1 lubang mulut)

Kuning O Nirātma Mahādewa Empat ribu

Supta Pada Pangkal

tenggorokan Putih m Parātma Īśwara Tiga ribu

Swapna Pada Hati Hitam ú Antarātma Wiṣṇu Dua ribu

Jagra Pada Pusar Merah Á Ātma Brahmā Seribu

Dalam keterangan tabel diatas disebut sebagai Sang Hyang Sapta Pranawa, simbolisasi dari eksistensi Beliau. Selain Nadha dan Windu bertempat di 12 jari jauhnya dari ujung rambut dan ubun-ubun, Ia juga ada di kepada bagian tengah – seluruh bentuk kepala („) dan seluruh kepala (ˆ). Dalam penjelasan mengenai Sang Hyang Sapta Pranawa pada bagian tahapan Parama Kewalya Pada, tidak disebutkan mengenai akṣara yang dimiliki, namun dalam penjelasan berikutnya dikatakan bahwa Paramaśiwa memiliki śastra/ akṣara yang berupa „ Nadha. Adapun kutipan lontarnya:

(14)

12

……Waneh yeki, , Nadha. Śastranya ya Paramaśiwa ngaran……

(Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

……Lain lagi, „ , Nadha. Sastra itu adalah Paramaśiwa……

(Tim Penyusun, 2008: 32)

Selanjutnya, dinyatakan bahwa badan merupakan pangkal dari Tri Nādi. Tri Nādi merupakan tiga jalannya tenaga, suara dan pikiran serta jalannya sari-sari makanan dan air. Tri Nādi terdiri Idā, Pinggalā, Susumnā. Nādi Idā dijelaskan merupakan urat tempat bergeraknya sari-sari makanan pada bagian kanan, Nādi Pinggalā, urat tempat mengalirnya air di sebelah kiri sedangkan Nādi Susumnā merupakan urat tempat mengalirnya tenaga di bagian tengah badan.

Penjelasan lain juga menyatakan bahwa Tri Nādi merupakan asal mula jalannya tenaga, suara, dan pikiran; jalan kecil, menengah, dan utama atau utpati: lahir, sthiti:

hidup, praliṇa: kematian. Nādi Idā adalah jalan suara yang datang dari hati menuju ke paru-paru. Nādi Pinggalā; tempat mengalirnya tenaga yang datang dari empedu, dan Nādi Susumnā; sebagai jalannya pikiran yang bertempat di pangkal lubang hati. Jalan yang berada di tengah ini ialah tempat pertemuan tenaga sehingga menghasilkan adanya Dwi Akṣara yakni ö Ang dan Á°; Ah yang mewujudkan Rwa Bhineda, juga disebut Ardhanareśwari. Akṣara ö Ang, Á°; Ah dinyatakan sebagai simbolisasi dari

(15)

13 Prabhū (ö) yang bersetana di pusar dan Wibhūh (Á°; ) bersetana di ubun-ubu serta ö adalah simbol dari Ātma dan Á°; simbol dari Bhaṭāra.

Dalam Tri Nādi juga terdapat Tri Akṣara pada masing-masing bagian, diantaranya; Pada bagian Nādi Idā disebut sebagai Brahmā Loka memiliki mantra dengan aksara ö Ang. Dikatakan bahwa ketika jalan ini ditempuh oleh manusia maka ia akan kembali pada Alam Brahmā dan jika menjelma menjadi manusia maka menjadi Brāhmaṇa. Pada Nādi Pinggalā adalah jalan dari Wiṣṇu Loka dengan mantra û Ung.

Diterangkan bahwa ketika manusia dapat menempuh jalan ini maka ia menuju Alam Wiṣṇu dan jika menjelma menjadi manusia maka wujud Kṣatriya didapat. Nādi Susumnā merupakan Īśwara Loka dalam badan yang bermantrakan ½ Mang. Manusia yang mampu mencapai ini maka ia menuju Kelepasan (Kamoktan). Ia tidak lagi menjelma dan bebas dari samṣara.

Selain Tri Akṣara (ö Ang û Ung ½ Mang) tertuju kepada Tri Murti, Ia juga berkaitan dengan aspek Tri Puruṣa dimana tidak ada ž ulu candra (amsa) yakni Á A, ú U, m Ma. Á A adalah Śiwa Yoga, Śiwa Tattwa, Śiwa Mantra. ú U adalah Sadāśiwa Yoga, Sadāśiwa Pūja, Sadāśiwa Tattwa dan m Ma adalah Paramaśiwa Pūja dan Paramaśiwa Tattwa. Tri Akṣara lain seperti Á A, Á A, ÷ I juga berkaitan dengan aspek Tri Puruṣa seperti Á A adalah Śiwa, Á A adalah Sadāśiwa, ÷ I adalah Paramaśiwa. Terdapat juga Tri Akṣara (ö Ang û Ung ½ Mang) dalam badan dimana

(16)

14 ö Ang bertempat di leher dan pusar, û Ung bertempat di langit-langit mulut, ½ Mang bertempat di kening serta ada di tangan. Tri Akṣara (ö Ang û Ung ½ Mang) juga ada pada bawah, tengah, atas.

Dalam Pañca Brahma yang terdiri dari ° s¸° ° ¸ Sang, b¸° Bang, t¸ Tang, ö Ang, ÷¸

Ing merupakan simbolisasi dari Īśwara (s¸° ° ¸ Sang), Brahmā (b¸° Bang), Mahādewa (t¸

Tang), Wiṣṇu (ö Ang), Śiwa (÷¸Ing). Nala (2008: 110) juga menjelaskan mengenai Pañca Brahma terdiri dari Sadyojāta, Vāmadewa/madewa, Tatpuruṣa, Aghora, Īśāna dimana sesuai huruf vokal depan mewakili akṣara pada dewata sesuai dengan lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma. Pañca Brahma juga mewakili aspek Pangider Bhuwana yakni s¸° ° ¸ Sang berada di timur, b¸° Bang di selatan, t¸ Tang di barat, ö Ang utara, ÷¸ Ing di tengah. Dalam badan hanya akṣara ÷¸Ing ada pada dada dan pangkal leher dan t¸ Tang pada empedu.

Wiṣṇu (ö Ang)

Brahmā (b¸° Bang)

Mahādewa (t¸ Tang) Śiwa (÷¸Ing) Īśwara (s¸° ° ¸ Sang)

(17)

15 Pada Pañca Akṣara yang terdiri dari °° n° ° Na, m Ma, ´ø Śi, w Wa, y Ya. Jika digabungkan (nama śiwaya) maka memiliki makna hormat kepada Śiwa. Dalam makna ketuhanan akṣara ´ø Śi, w Wa, y Ya memiliki arti ´ø Śi adalah Śiwa Tattwa (hakekat Śiwa), w Wa adalah Sadāśiwa Tattwa (hakekat Sadāśiwa), y Ya adalah Paramaśiwa Tattwa (hakekat Paramaśiwa). Dalam Pangider Bhuwana, Pañca Akṣara ditempatkan pada bagian ° n¸ tenggara, ° m¸ barat daya, °° ´ø¸ barat laut, ° w¸ timur laut, ° y¸ tengah atas serta pada bagian tubuh ada pada hati (n¸), kepala (° m¸) ( w¸), ujung rambut (°° ´ø¸), dan mata (° y¸).

Selain pemaknaan terhadap aspek Ketuhanan dimana Ia berada pada setiap bagian tubuh manusia serta pada seluruh ruang (luar) dan pencapaian kelepasan, pemaknaan juga ditujukan kepada aspek penyucian diri serta penolak segala penyakit dan bahaya pada manusia. adapun kutipannya:

……Yan ikang mantra Pañcākṣara, mwang (ˆ) Windu, tantrakěna ring bhaṣmā, ring toya. Karo dadi pawitra mwang panulak sarwa rogha, sarwa upadrawa, sarwa duṣṭa, sarwa śatru……

° w¸ (Wang)

° m¸ (Mang)

°° ´ø¸ (Śing)

n¸ (Nang) Wiṣṇu (ö Ang)

Brahmā (b¸° Bang)

Mahādewa (t¸ Tang) Śiwa (° y¸ Yang) Īśwara (s¸° ° ¸ Sang) (÷¸Ing)

(18)

16 (Tattwa Sangkaning Dadi Janma) Terjemahan:

……Tentang hal mantra Pañca Akṣara, dan juga ˆ Windu, sebagai sarana dalam bhaṣmā (abu suci), dan air suci. Kedua hal tersebut sebagai penyuci dan penolak segala macam penyakit, segala malapetaka, segala kejahatan, segala musuh…… (Tim Penyusun, 2008: 36)

(19)

17 BAB III

PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Akṣara merupakan salah satu wujud budaya yang dibuat, digunakan dan dimaknai oleh manusia. Ketika segala sesuatu materi tergabung pada unsur religi atau agama maka ia memiliki makna yang religi atau suci. Seperti halnya pada Akṣara Bali yang masuk kedalam ranah lontar-lontar keagamaan seperti lontar Tattwa Sangkaning Dadi Janma. Akṣara yang digunakan berjenis akṣara suci seperti Eka Akṣara Oṁ- kara (Ong-kara)), Dwi Akṣara (ö Ang dan Á°; Ah), Tri Akṣara (ö Ang û Ung ½ Mang dan Á A, Á A, ÷ I ), Pañca Akṣara (° s¸° ° ¸ Sang, b¸° Bang, t¸ Tang, ö Ang, ÷¸

Ing), Pañca Akṣara (n° ° Na, m Ma, ´ø Śi, w Wa, y Ya). Ke seluruh akṣara tersebut bertempat pada masing-masing organ dan ruang manusia. ketika manusia mampu mempergunakan akṣara - akṣara ini secara cermat maka ia akan terbebas dari segala macam gangguan luar-dalam, penyucian hingga mencapai kelepasan (kamoktan).

(20)

18 Daftar Pustaka

Hoed, B. H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (3rd ed.). Komunitas Bambu.

Nala, N. (2006). Aksara Bali dalam Usada. Pāramita.

Tim Penyusun. (2008). Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Krama Pura, Putru Pasaji, Tattwa Sangkaning Dadi Janma, Dewa Ruci, Catur Yuga. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Widyosiswoyo, M. M. S. (2004). Ilmu Budaya Dasar. Ghalia Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait