Kehadiran UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan posisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan inisiatif dari pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dan khususnya kepada anak. Undang-undangNo. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan dilaksanakan 2 tahun setelah di undangkan artinya tahun 2014 merupakan permulaan lahirnya sistem peradilan pidana anak yang dimaksudkan. Menjadi sebuah tugas besar yang diemban oleh legislator dalam menuangkan ide diversi dan restorativejustice di tengah-tengah sistem peradilan pidana yang masih saja menganut sistem retributif.
Anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara. Perlindungan secara khusus harus diberikan terhadap anak termasuk juga terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dewasa ini kejahatan yang dilakukan oleh anak mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga seringkali menyerupai tindak pidana orang dewasa. Proses peradilan terhadap anak sering kali menimbulkan stigmatisasi dan efek buruk terhadap diri anak, salah satu kelemahannya dikarenakan peraturan perundang-undangan tidak mencegah anak secara dini masuk ke dalam peradilan formal. Undang-UndangNo. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan khusus mengatur hukum acara peradilan anak yang menghadirkan konsepdiversi dan restorativejustice sebagai bentuk penyelesaian perkara anak. Diversi dan restorativejustice bertujuan untuk menghindarkan anak dari sistem retributif yang selama ini dianut serta memberikan pemulihan terhadap anak dan akibat yang dilakukannya. Berdasarkan pokok pemikiran di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana sejarah perkembangan konsepdiversi dan restorativejustice dalam menyelesaikan perkara anak dan bagaimanakah penerapannya dalam Undang- UndangNo. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta apakah yang menjadi kelemahan pengaturan konsep tersebut.
Lahirnya Undang-undangNo. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsepdiversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif ( restorativejustice) . Sedangkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Upaya penanggulan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Konsepdiversi dan restorativejustice merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsepdiversi dan restorative
Perubahan fundamental dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah digunakannya pendekatan restorativejustice melalui sistem Diversi. Peraturan ini mengatur kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan Diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Bagian yang membedakan antara ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah, pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya memungkinkan Diversi dilakukan oleh penyidik berdasarkan kewenangan diskresioner yang dimilikinya dengan cara menyerahkan kembali anak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. 50 Perubahan signifikan lainnya yang dapat dilihat di dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu adanya pengaturan secara tegas mengenai Diversi yang ditujukan untuk menjauhkan dan menghindarkan anak dari proses peradilan sehingga mengupayakan tidak adanya stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan anak dapat kembali ke lingkungan sosialnya dengan normal.
3. Bagaimana kaitan antara program Diversi dan RestorativeJustice dengan asas diskresi. Untuk menjawab permasalahan ini maka digunakan metode penelitian dengan pendekatan dilakukan secara normatif berdasarkan kenyataan di lapangan Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan menggunakan metode deskripsi untuk rnengetahui bentuk bentuk pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum. Penelitian ini Juga menggunakan penelitian Hukum Sosiologis (Sosio-Legal Research) dengan dasar bahwa pendekatan normatif saja tidak dapat melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat tanpa melihat aturan hukum yang berlaku. Sperifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan perspektif yaitu menguraikan secara analisis permasalahan yang dihadapi
Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak maka pemerintah memberikan kebijakan formulasi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) tahun 2010 dengan merumuskan model restorativejustice yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak delinkuensi, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Pemasalahan dalam penelitian ini adalah apakah alasan adanya model RestorativeJustice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dan bagaimanakah model restorativejustice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak.
Hasil kesepakatan sebagaimana dimak- sud dalam Pasal 11 dituangkan dalam ben- tuk kesepakatan Diversi dan disampai kan oleh atasan langsung pejabat yang bertang- gung jawab di setiap tingkat pe meriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (ti- ga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan di- lakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak di terimanya kesepaka- tan Diversi. Penetapan tersebut disampai- kan kepada Pembimbing Kemasy arakatan, Penyidik, Penuntut Um um, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari se- jak ditetapkan. Setelah me nerima pe- netapan Penyidik menerbitkan pe netapan penghentian pe nyidikan atau Penuntut Umum menerbit kan penetapan penghen- tian penuntutan.
Penerapan prinsip restorativejustice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak walaupun secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, namun secara formil pula muncul permasalahan terkait dengan waktu berlakunya undang-undang tersebut yang pada Pasal 108 disebutkan: “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan” yang berarti undang- undang tersebut baru berlaku pada bulan Juli tahun 2014, hal ini tentu akan memunculkan permasalahan bagi penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak, di samping itu kesiapan bagi seluruh aparatur penegak hukum, pemahaman masyarakat, dan sarana serta pra-sarana menjadi faktor pendukung yang tidak dapat dikesampingkan dalam menunjang berlakunya undang-undang tersebut. Ketika faktor pendukung tersebut tidak memadai maka akan menimbulkan permasalahan kembali dan tentunya akan berimbas bagi anak baik langsung maupun tidak langsung.
Kemudian, UU ini tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal sehingga anak mendapatkan stigmatisasi. Sebangun dengan permasalahan ini, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif. Dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak. Sedangkan berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan upaya diversi dan restoratif justice yang dilakukan demi mempertimbangkan kebaikan untuk anak
a. Peranan kepolisian dalam upaya menerapkan konsep keadilan restoratif, dalam praktiknya berlandaskan pada dikresi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian akan melakukan diskresinya dalam menyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan restorativejustice apabila ada persetujuan dari pihak korban dan pelaku atau telah ada kesepakatan dari kedua belah pihak (terlapor dan pelapor). Selama dalam tahap penyidikan, kepolisian akan berupaya untuk mendudukkan korban dalam titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan pelaku dari pemenjaraan melalui proses diversi. 14 b. Untuk menentukan apakah perkara tersebut dapat diselesaikan dengan
Selanjutnya, apabila terpaksa dilanjutkan ke penuntutan, diversi juga harus tetap diupayakan. Dalam konteks ini kejaksaan dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap hak-hak anak. Seorang jaksa harus kembali mengupayakan diversi kepada para pihak dengan tujuan agar kasus tidak berlanjut secara hukum, meskipun upaya ini sudah pernah dilakukan pada tingkat kepolisian. Terakhir jika kasus tetap berlanjut ke persidangan, selanjutnya pihak hakim juga wajib mengupayakan diversi. Misalnya dengan memberikan keputusan untuk mengembalikan kepada orang tua dan atau pada putusan lain yang berprinsip pada konseprestorativejustice. Demikianlah, dengan adanya UU SPPA ini diversi dengan tujuan mendapatkan solusi terbaik untuk nasib anak sangat dimungkinkan pada banyak tingkatan. Tujuannya adalah sedapat mungkin kasus dapat diselesaikan di luar sistem peradilan formal.
Secara umum, perubahan yang ada dalam subtansi UU No 48 tahun 2009, bertujuan untuk mencapai Integrated Justice System atau yang disebut sistem peradilan terpadu di Indonesia. Materi didalam UU yang perlu dicermati dan dibahas mencakup banyak hal dan penekanan perbedaan fungsi dan tugas dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan penambahan penyebutan “Hakim dan Hakim Konstitusi”. Terlebih lagi, materi yang terkandung dalam UU No 48 Tahun 2009 berisi penambahan, melengkapi dari UU No 4 Tahun 2004 yang belum terangkum maupun disesuaikan dengan Peraturan perundang-undangan lain seperti, Peraturan Pemerintah No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma sebagai bagian dari administrasi pengadilan hingga UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Integrated Justice System sebagai cita hukum UU No 48 Tahun 2009, menjadi sebuah obyek yang layak untuk diteliti, terkait permasalahan-permasalahan seperti apakah sebenarnya Integrated Justice System sebagai cita hukum ? bagaimana Sistem Hukum Indonesia memerlukan cita hukum tersebut ? apakah Integrated Justice System benar-benar upaya untuk me-reformasi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa pertanyaan dan masalah yang ada dapat dikerucutkan menjadi beberapa rumusan masalah yang akan menjadi arah analisis penulis.
Terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, bahwa pelakunya harus tetap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan asas equality before the l aw , namun jika dilihat dari kerangka perlindungan anak tentunya tidak bijaksana apabila perlakuan pada anak di bawah umur sama dengan perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi anak-anak masih labil dibandingkan dengan orang dewasa. Diversi adalah proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak di luar pengadilan, namun masih dalam kerangka proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak memberikan cara baru dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Penerapan undang-undang ini menyebabkan terjadinya pergeseran bagi penyidik kepolisian dalam menangani anak pelaku tindak pidana.
Penulisan skripsi ini membahas implementasi diversi pada kasus tindak pidana anak dalam tahap penyidikan di Polres Palu. Kemudian membahas mengena i hambatan-hambatan dalam proses diversi pada ta hap penyidikan di Polres Palu. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu bagaimana implementasi diversi pada tahap penyidikan di Polres Palu dan faktor apa yang menghambat proses diversi di Polres Palu. Dengan metode penelitian yuridis empiris. Hasil penelitian adalah bahwa penyidik Polres Palu dalam mengimplementasika n proses diversi pada perkara anak sudah sesuai dengan apa yang diamanatkan undang-undang Sistem Peradilan pidana Anak dimana diversi yang dilaksanakan merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya diba wah 7 ta hun, adapun banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak namun tidak diselesaikan melalui jalur diversi merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya diatas 7 tahun, penyidik Polres Palu dalam menangani ka sus tindak pidana anak yang berkonflik dengan hukum penyelesaiannya telah dilaksanakan melalui jalur diversi dengan pendekatan restoratif justice system . Hambatan yang dihadapi adalah ketidakpahaman pihak korban mengenai penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui diversi.
Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam undang-undangNo. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan juli 2012, dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Tujuannya adalah agar agar semakin efektifitasnya perlindungan anak dalam sistem Peradilan, demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang terpadu ( “ integrated criminal justice sistem ”) yang dapat mem berikan yang terbaik bagi anak. 3
Restorativejustice memberikan gambaran tentang kepentingan dan peran korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat yang terkait, sehingga terciptanya dasar untuk mendistribusikan tanggungjawab akibat kejahatan sesuai dengan posisi dan peran masing-masing, agar terwujudnya keadilan yang berkualitas memulihkan. Belum efektifnya upaya restoratif justice diterapkan pada penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan anak dikarenakan masih banyaknya pemikiran bahwa anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya juga secara pidana yakni dengan pidana penjara, padahal sanksi penjara sejauh ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak.
Konsep tentang juvenile delinquency menurut Soedarto menganut penggunaan istilah yang di dalamnya meliputi pula tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana anak-anak merupakan bagian dari kenakalan anak-anak/remaja. Terhadap istil ah “ juvenile “ ada dua penafsiran dalam pengertiannya. Pertama pengertian anak-anak untuk pertimbangan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) dalam rangka “menerapkan kebijakan pid ana pada proses peradilan anak. Dari yang pertama ini hanya dimaksudkan untuk membedakan antara pelaku pidana yang masih anak- anak (non adult offender) dengan pelaku tindak pidana yang sudah dewasa (adult offender). Kemudian pengertian yang kedua adalah pengertian sebagai remaja, sebutan ini biasanya didasarkan pada kondisi psikologis seseorang, dimana pada usia belasan tahun sering disebut sebagai remaja. Namun demikian pengertian inipun tidak semua orang dapat menerimanya, karena pengertian “juvenile“ terlalu umum dan mencakup semua orang yang masih muda usianya. 5 Seperti
Penulisan skripsi yang berjudul “ Prinsip RestorativeJustice Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ” dimaksudkan untuk melengkapi tugas-tugas dan persyaratan menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Kristen Satya Wacana. Pembahasan di dalam skripsi ini menguraikan mengenai bagaimana bentuk RestorativeJustice dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Proses restorativejustice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi yang dilakukan oleh aparat penegaran hukum pada sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam kerangka memfungsionalisasikan hukum pidana, hal ini mengandung arti sebagai upaya untuk pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya Polri dalam kerangka menegakkan hukum pidana dengan pendekatan keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana sebagai syarat adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Restorative mensyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan pembahasan menyangkut beberapa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian tesis, antara lain: Pertama, pengaturan terkait restorativejustice di dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, penerapan restorativejustice yang dilakukan Polri di Polres Binjai dalam proses penanganan perkara pidana. Ketiga, hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polres Binjai dalam penerapan restorativejustice pada proses penanganan perkara pidana.
Undang-Undang Lalu Lintas yang saat ini diberlakukan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut diharapkan masyarakat dapat mematuhi serta mentaati keseluruhan aturan hukum mengenai berkendara atau berlalu lintas di Indonesia sehingga dapat terciptanya keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas. Pada praktiknya, kita masih sering melihat banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam lalu lintas baik berupa pelanggaran rambu-rambu lalu lintas bahkan hingga kecelakaan lalu lintas yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Kepolisian pada praktiknya juga seringkali menggunakan cara-cara yang dianggap “menyimpang” atau di luar peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan permasalahan lalu lintas ini. “Penyimpangan” tersebut pada dasarnya bertujuan untuk “mengembalikan” kembali kerugian yang dialami oleh pihak korban, sebisa mungkin hingga kembali seperti keadaan sebelum terjadinya peristiwa tersebut. Hal tersebut dikenal dengan istilah RestorativeJustice.