Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengungkapan CSR terhadap costofequity perusahaan. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Sasongko dan Supatmi (2008). Alasan peneliti mereplikasi karena hasil penelitian Sasongko dan Supatmi menemukan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap costofequity (COE) perusahaan, sedangkan hasil penelitian Dhaliwal, Zhen Li, dan Tzang (2011), Gregory dkk. (2010), Sadok El Ghoul dkk. (2010) menemukan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh negatif terhadap COE perusahaan. Perbedaaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel kontrolnya. Di mana variabel kontrol dalam penelitian sebelumnya adalah size dan status perusahaan sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan size dan rasio leverage karena kedua variabel tersebut mempengaruhi costofequity perusahaan (Juniarti dan Yunita, 2003). Variabel status perusahaan tidak digunakan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini karena variabel tersebut pada penelitian terdahulu tidak berpengaruh signifikan terhadap COE perusahaan.
Meythi, Martusa, R., dan Evimonita., (2012), “Pengaruh Pengungkapan Sukarela, Beta Pasar, dan Nilai Pasar Ekuitas Perusahaan terhadap CostofEquity Capital pada Perusahaan Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”, Proceeding Seminar Nasional dan Call for Papers, Fakultas Ekonomi Universitas Stikubank
The result of this research shows that, (1) Asymmetric Information have an influence on CostofEquity Capital, (2) Asymmetric Information have an influence on Earning Management, (3) Earning Management have an influence on CostofEquity Capital, (4) The research prove the role of Earning Management as Intervening Variable on relation between Asymmetric Information and the CostofEquity Capital.
3. Variabel moderasi Kepemilikan Manajerial memiliki tingkat signifikansi 0,971 atau lebih dari 0,05 dan nilai t hitung -0,037 lebih kecil dari nilai t tabel sebesar 2,01537. Hal ini menunjukkan bahwa Kepemilikkan Manajerial tidak berpenggaruh signifikan terhadap CostofEquity Capital. Hal ini dikarenakan masih kurangnya motivasi dari manajemen dalam menigkatkan kinerjanya untuk meningkatkan nilai perusahaan dan lebih ingin menguntungkan dirinya sendirinya. Walaupun dalam hal ini manajer yang ikut serta dalam pengambilan keputusan juga memiliki saham pada perusaha tersebut. Sehingga menimbulkan ketimpangan informasi dengan adanya praktik manajeme laba untuk menguntungkan dirinya sendiri dibanding investor lain. 4. Simultan pertama, Variabel Kepemilikan Manajerial memiliki tingkat
Dalam teori keagenan dikatakan bahwa asimetri informasi timbul ketika manajer (agent) lebih mengetahui informasi intenal dan prospek perusahaan dimasa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya (principal). Ketika timbul asimetri informasi, keputusan pengungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor yang kurang terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan. Hal ini berarti bahwa semakin kecil asimetri informasi yang terjadi diantara partisipan pasar modal maka akan semakin kecil kos modal sendiri (costofequity capital) yang ditanggung oleh perusahaan.
Average coefficients obtained from firm- specific estimations of Equation (5) are reported in Table 8 (Model 2). Results show that stock returns are not affected by the distortion of graphs includ- ed in the annual report. The coefficient of the RGDFAV factor is negative but it is insignificant- ly different from zero. Hence, we find support for our hypothesis H3. Results (unreported) are simi- lar when we construct the RGDFAV factor relay- ing on favourably distorted graphs representing financial variables. Although these variables might exert a higher influence on users’ decisions than non-financial variables, results show that stock re- turns are not affected by the distortion of financial graphs. These results are in accordance with the EMH and suggest that decision makers (at the ag- gregated level) are able to see through distortion. Their decisions cannot be biased by means of ‘rosy’ graphs depicting a much more favourable view of corporate performance than that reflected in the fi- nancial statements. Nonetheless, results presented in the previous section show the existence of a negative and significant relationship between favourable graph distortion and the ex-ante meas- ure of the costofequity. One way to explain these apparently contradicting findings is that individu- als’ perceptions can be biased because of distorted graphs, but the aggregation process performed by the stock market leads to unbiased decisions. Prior research shows that the aggregation of individual’s predictions leads to higher levels of accuracy (e.g. Solomon, 1982 and Chalos, 1985). Furthermore, Table 8
Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi investor dalam menentukan tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan, karena ukuran perusahaan merupakan ukuran ketersedian informasi. Penelitian Lisa dan Yasser (2015) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap costofequity capital, yaitu semakin besar ukuran perusahaan maka akan menurunkan costofequity capital perusahaan tersebut. Perusahaan besar biasanya memiliki total aktiva yang besar sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Selain investor kreditur juga lebih percaya untuk meminjamkan modalnya kepada perusahaan besar karena risiko atas kegagalan kredit akan semakin kecil, sedangkan dalam penelitian penelitian Purwaningtias dan Surifah (2015) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap costofequity capital. Ini menunjukkan semakin besar perusahaan maka akan semakin tinggi costofequity capital. Hal tersebut disebabkan karena ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap costofequity capital, perusahaan berskala besar akan lebih mudah memperoleh pinjaman dibandingkan dengan perusahaan kecil. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena terdapat hasil yang tidak konsisten.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela berbasis reputasi dapat menurunkan costofequity capital artinya pengungkapan sukarela berbasis reputasi ditangkap sebagai signal yang digunakan untuk mengestimasi parameter return sehingga sehingga investor berkeyakinan memberikan penilaian positif terhadap emiten tersebut dan menurunkan tingkat return yang dimintanya. Artinya antara pengungkapan berbasis reputasi berhubungan langsung dengan costofequity capital. Pengungkapan berbasis reputasi juga menurunkan asimetri informasi dan sekaligus meningkatkan likuiditas saham. Tetapi hubungan antara asimetri informasi dengan costofequity capital tidak dapat dibuktikan sehingga hubungan tidak langsung antara pengungkapan sukarela berbasis reputasi dengan costofequity capital melalui asimetri informasi tidak terjadi. [ Kata Kunci: Informasi privat, informasi publik,
Meythi et al. (2012) meneliti pengaruh pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap costofequity capital pada perusahaan keuangan yang terdaftar di BEI. Hasil penelitiannya adalah tidak ditemukannya pengaruh signifikan antara pengungkapan sukarela terhadap costofequity capital. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Meythi et al. (2012) mengemukakan hal tersebut dikarenakan informasi yang disampaikan manajemen dalam laporan tahunan perusahaan masih belum sesuai dengan kebutuhan investor, atau dengan kata lain informasi tersebut masih belum dapat membantu investor untuk lebih memahami risiko investasi yang akan dihadapi oleh investor kedepannya. Alasan yang kedua dikarenakan pasar modal Indonesia tergolong dalam pasar modal efisien bentuk lemah, investor Indonesia masih belum sepenuhnya menggunakan informasi yang dipublikasikan, termasuk dalam laporan tahunan. Keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan oleh Meythi et al. (2012) adalah perhitungan model costofequity capital dengan model CAPM memiliki kelemahan. CAPM mengasumsikan variasi cross sectional dalam beta pasar saja yang memicu variasi costofequity capital sehingga CAPM mungkin tidak dapat menunjukkan variasi costofequity capital akibat pengungkapan.
Menurut Ross et al. dalam menentukan costofequity capital, terdapat dua pendekatan, yaitu The Dividend Growth Model Approach dan The SML (Security Market Line) Approach atau CAPM (Capital Asset Pricing Models) (Juniarti, 2003:154). Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu The SML (Security Market Line) Approach, yang lebih dikenal dengan istilah CAPM (Capital Asset Pricing Models). Alasannya adalah pembahasan mengenai pengaruh pengumuman right issue terhadap biaya ekuitas juga tidak terlepas dari faktor risiko didalamnya dan penggunaan pendekatan ini tidak dibatasi oleh pertumbuhan dividen yang konstan, sehingga dapat diterapkan pada lingkungan yang lebih luas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh internet financial reporting terhadap costofequity dengan asimetri informasi sebagai variabel intervening. Internet financial reporting dalam penelitian ini dikaji dari dua bagian penting yaitu tingkat pengungkapan informasi website serta lingkup pelaporan internet. Penelitian ini turut menyertakan ukuran perusahaan dan profitabilitas sebagai variabel kontrol. Metode analisis yang digunakan ialah analisis jalur. Populasi penelitian ini melibatkan perusahaan di luar sektor keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014. Sampel dipilih melalui purposive sampling adalah 136 perusahaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tingkat pengungkapan informasi website memiliki pengaruh negatif terhadap asimetri informasi. Penelitian ini menunjukkan pula terjadinya pengaruh tidak langsung antara tingkat pengungkapan informasi website terhadap costofequity dengan asimetri informasi sebagai variabel intervening. Sementara itu, lingkup pelaporan internet tidak berpengaruh terhadap asimetri informasi dan terhadap costofequity baik secara langsung maupun tidak langsung.
lxvi rasio akrual modal kerja dengan penjualan, sedangkan costofequity capital dihitung berdasarkan tingkat diskonto yang dipakai investor untuk menilai- tunaikan future cash flow. Variabel kontrol yang digunakan adalah variabel risiko sistematis saham (risiko beta) dan ukuran perusahaan. Penelitian ini menggunakan periode jendela 3 hari, yaitu satu hari sebelum, pada saat, dan satu hari setelah pengumuman laporan keuangan untuk meminimalkan compounding affect. Penelitian Utami (2005) ini memberikan bukti empirik bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap costofequity capital, artinya semakin tinggi tingkat akrual semakin tinggi pula costofequity capital. Praktik manajemen laba yang tinggi akan diantisipasi investor dengan meminta return yang diharapkan yang lebih tinggi.
Variabel komposisi dewan komisaris independen dalam penelitian ini berpengaruh negatif signifikan terhadap costofequity capital. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris yang berasal dari luar, fungsi pengawasan yang mereka lakukan akan semakin efektif sehingga dapat mengurangi costofequity capital perusahaan. Hasil dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashbaugh et al. (2004), Boediono (2005), Chtourou et al. (2001), Klein (2002), Midiastuty dan Machfoedz (2003), Xie et al. (2003), dan Cornett et al. (2006) yang menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan untuk mengurangi manajemen laba dengan meningkatkan efektivitas pengawasan dewan terhadap manajemen dalam proses pembuatan laporan keuangan.
Secara teoretis manfaat dari penelitian ini dapat memperkuat penelitian sebelumnya sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengaruh IFRS terhadap costofequity capital. Bagi investor penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bahwa dengan mengadopsi IFRS, costofequity capital semakin menurun sehingga investor perlu memahami jika dikemudian hari terdapat perbedaan pengembalian investasi saham. Bagi perusahaan dapat memberikan manfaat sebagai tambahan referensi dalam mengevaluasi biaya modalnya. Selain itu bagi perusahaan yang belum terdaftar di BEI bisa mempertimbangkan kembali untuk ikut mengadopsi IFRS dalam pembuatan laporan keuangannya sehingga bisa ikut bersaing secara global.
bahwa penelitian teoritis yang mendukung hubungan negatif antara tingkat pengungkapan dan costofequity capital didukung oleh dua aliran penelitian. Pertama, pengungkapan yang lebih luas menaikkan likuiditas pasar saham, dengan demikian menurunkan costofequity capital, baik melalui menurunnya biaya-biaya transaksi atau melalui meningkatnya permintaan sekuritas perusahaan. Aliran penelitian ini diikuti oleh Demsetz, (1968), Copeland dan Galai, (1983), Glosten dan Milgrom, (1985), Amihud dan Mendelson, (1986) dan Diamond dan Verrecchia, (1991). Aliran penelitian kedua menyatakan bahwa pengungkapan yang lebih luas menurunkan risiko estimasi (estimation risk) yang timbul dari estimasi investor mengenai parameter asset’s return . Dengan demikian, ada ketidakpastian yang besar mengenai parameter yang ‘benar’ pada saat kurangnya informasi. Apabila
Pada pelitiannya, Suhardjanto dan Wardhani (2010) menemukan bahwa praktik pengungkapan intellectual capital di indonesia hanya sebesar 35%. Pengungkapan intellectual capital yang masih bersifat sukarela di Indonesia mengakibatkan perusahaan memiliki level pengungkapan yang berbeda-beda dalam laporan tahunan. Orens et al. (2009) meneliti mengenai pengaruh web- based intellectual capital disclosure terhadap costof capital pada perusahaan- perusahaan di Eropa dan menemukan adanya pengaruh negatif. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai pengungkapan intellectual capital dalam annual report menjadi relevan sebagaimana itu mungkin memiliki pengaruh yang negatif pada costofequity capital.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Murni (2004), Botosan (1997), dan Gulo (2008) yang menyatakan bahwa biaya modal ekuitas (costofequity capital) perusahaan semakin besar dengan semakin meningkatnya beta saham perusahaan yang berarti beta saham berpengaruh positif terhadap biaya modal ekuitas (costofequity capital). Kemungkinan yang menyebabkan beta saham berpengaruh negatif adalah adanya bias dalam biaya modal ekuitas serta bias dalam mengestimasikan beta saham perusahaan karena karakteristik pasar modal yang sedang berkembang. Bias pada saat perhitungan beta saham dikarenakan menggunakan indeks harga saham gabungan dalam perhitungan return pasarnya dimana penelitian ini hanya dilakukan pada perusahaan manufatur. Agar tidak terjadi bias, dalam perhitungan return pasar untuk menentukan nilai beta menggunakan indeks harga saham sektoral untuk perusahaan manufaktur sehingga diperoleh hasil yang sesuai.
risk premium on to the costofequity for every emerging market company, notwithstanding its exposure to emerging market risk. Thus, Embraer would have been valued with a costofequityof l7.34% even though it gets only 3% of its revenues in Brazil. As an investor, which of the following consequences do you see from this approach?
Modal terdiri dari modal sendiri (ekuitas) berasal dari para pemegang saham, dan utang dari para kreditor atau pemegang obligasi perusahaan. Besarnya tingkat biaya modal ditentukan brdasarkan rata-rata tertimbang (weighted average costof capital) dari biaya modal sendiri (costofequity) dan biaya utang setelah pajak sesuai dengan proporsi modal sendiri dan utang dalam struktur modal perusahaan.
It is sometimes said that the dividend growth model does not consider risk, but risk is implicit in the share price used by the model to calculate the costofequity. A moment’s thought will indicate that share prices fall as risk increases, indicating that increasing risk will lead to an increasing costofequity. What is certainly true is that the dividend growth model does not consider risk explicitly in the same way as the capital asset pricing model (CAPM). Here, all investors are assumed to hold diversified portfolios and as a result only seek compensation (return) for the systematic risk of an investment. The CAPM represent the required rate of return (i.e. the costofequity) as the sum of the risk-free rate of return and a risk premium reflecting the systematic risk of an individual company relative to the systematic risk of the stock market as a whole. This risk premium is the product of the company’s equity beta and the equity risk premium. The CAPM therefore tells us what the costofequity should be, given an individual company’s level of systematic risk.