Dari hasil analisis multivariate diperoleh bahwa p value <0,05 adalah variabel umur (p=0,04), dan riwayat keluarga (p=0,02) memiliki nilai bermakna terhadap kejadian DMtipe II pada pasien rawat jalan di Pus- kesmas Panjatan II secara statistik sedang- kan aktifitas fisik (p=0,36) tidak memiliki kemaknaan secara statistik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Zahtamal (2007) terhadap 152 responden yang me- nunjukkan bahwa hubungan antara umur dengan kejadian DMTipe2 pada pasien rawat jalan di RSUD Arifin Achmad Pro- vinsi Riau bermakna secara statistik (p=0,00), dimana orang yang berumur >45 tahun memiliki risiko 6 kali lebih besar terkena penyakit DMTipe2 dibanding-
Pada wanita menopause setelah ovarium berhenti memproduksi hormon, hormon estrogen diproduksi secara eksklusif dari androstenedion yang dihasilkan glandula adrenal dan mengalami aromatisasi menjadi estron dalam proses konversi extraglandula perifer. Transformasi tersebut terjadi terutama di dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan wanita postmenopause memiliki jaringan lemak yang lebih banyak dan terjadi perubahan komposisi tubuh pada wanita menopause. Akumulasi lemak viscera yaitu terutama lemak abdomen sentral pada wanita menopause berpengaruh pada produksi protein adiponektin yang berkurang. Adiponektin bekerja dengan cara membuat sel-sel tubuh lebih sensitif terhadap aksi insulin. Kadar adiponektin dalam serum yang rendah berhubungan dengan kondisi resistensi insulin yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan akhirnya berkembang menjadi DMtipe2 (Lee, 2009).
Diabetes yang tidak terkontrol, mengacu pada kadar glukosa yang melebihi batasan target dan mengakibatkan dampak jangka pendek langsung (dehidrasi, penurunan BB, penglihatan buram, rasa lapar) serta jangka panjang (kerusakan pembuluh darah mikro dan makro). Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DMtipe-II diantaranya genetik, umur, riwayat lahir dengan BBLR. Serta faktor yang meningkatkan risiko penyakit yakni aktivitas fisik atau gaya hidup, pola makan, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan stress. DM dapat diperparah dengan komplikasi yang dapat mengakibatkan timbulnya depresi pada penderita. Depresi dapat mempengaruhi kadar gula dalam darah. Dampak yang ditimbulkan dari depresi yakni naiknya gula darah disebabkan meningkatnya glikogenolisis dihati dan peningkatan glukagon terhambat pengambilan glukosa oleh otot dan berkurangnya pembentukan insulin pankreas (PERKENI, 2006; Azmi, 2003).
Peningkatan jumlah penyandang DM di negara berkembang termasuk Indonesia sangat besar. Hal ini terjadi karena peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup menyebabkan peningkatan penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dislipidemia dan penyakit jantung koroner (PJK) (Suryono,2009). Perubahan pola hidup yang salah yaitu pola makan dan aktivitas menyebabkan obesitas yang merupakan faktorrisiko terjadinya DM. Faktor urbanisasi juga berperan terhadap meningkatnya penderita DM (Suryono, 2009).
Pasien dengan DM dapat terjadi kondisi hipoglikemia yang timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat atau obat yang meningkatkan produksi insulin seperti sufonilurea. Hampir semua pasien yang mendapat terapi insulin dan sebagian besar pasien yang mendapat terapi sulfonilurea pernah mengalami kondisi hipoglikemia. Episode berulang dari hipoglikemia yang berat telah dikaitkan sebagai kemungkinan penyebab GFK pada penderita DM. Kondisi hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa dalam jumlah yang sedikit, maka fungsi otak sangat tergantung pada kadar glukosa dalam sirkulasi (Soemadji, 2006). Hipoglikemi mungkin mempunyai efek terhadap fungsi kognitif, tetapi hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa GFK disebabkan oleh hipoglikemia (Cukierman dkk, 2005).
Telah diperlihatkan bahwa aktivitas fisik secara teratur menambah sensitivitas insulin dan menambah toleransi glukosa. Baru-baru ini penelitian prospektif juga memperlihatkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan berkurangnya risiko terhadap DMtipe2. Penelitian ini lebih lanjut mengusulkan ada gradien risiko dengan bertambahnya aktivitas fisik. Lebih lanjut aktivitas fisik mempunyai efek menguntungkan pada lemak tubuh, tekanan darah, dan distribusi lemak tubuh/ berat badan, yaitu pada aspek ganda sindroma metabolik kronik, sehingga juga mencegah penyakit kardiovaskuler. Hubungan antara inaktivasi fisik dengan DM masih terlihat, bahkan setelah di-adjusted dengan obesitas, hipertensi, dan riwayat keluarga DMtipe2. Dengan demikian olahraga memiliki efek protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan melalui bertambahnya aktivitas fisik. Pada penelitian ini aktivitas olahraga < 3 kali /minggu selama 30 menit menunjukkan risiko menderita DM lebih tinggi dari pada aktivitas olah raga yang rutin. Hal ini sesuai dengan penelitian- penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kurangnya olah raga memperlihatkan perbedaan prevalensi DMtipe-2 hingga 2-4 kali lipat. Diabetes Melitus Tipe2 berasal dari interaksi genetik dan berbagai faktor mental. Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Penelitian di Jepang yang melibatkan 359 penderita DMtipe2 dari 159 keluarga, mendukung bahwa penyakit ini berhubungan dengan kromosom 3q, 15q, dan 20q, serta mengidentifikasi 2 loci potensial, yaitu 7p dan 11p yang mungkin merupakan risiko genetik bagi DMtipe-2 pada masyarakat jepang. Dalam penelitian ini, orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM lebih berisiko daripada orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM. Hal ini selaras dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan terjadinya DMtipe-2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini.
Penelitian sebelumnya yang terkait status gizi pada pasien DM yang dilakukan oleh Sugiani (2011) yang menyatakan bahwa meningkatnya obesitas dapat menyebabkan terjadinya komplikasi. Purnawati (1998) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara IMT dengan terjadinya DMTipe2. IMT yang lebih tinggi memiliki faktorrisiko lebih tinggi terkena DMTipe2. Pada pasien yang didiagnosis DMTipe2 dan hiperglikemia akan berimplikasi pada komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler pada penderita DMTipe2 yang berkaitan dengan hipertensi juga (Barnett, 2004).
hiperglikemia pada keadaan puasa dan ada yang bekerja pada hiperglikemia postprandial. Penting juga diperhatikan efek samping dan interaksi masing- masing obat. Keuntungan dari pemakaian obat kombinasi adalah kita memberi obat dengan mekanisme kerja yang berbeda, yang bersifat potensiasi (seperti diketahui patofisiologi DMtipe2 adalah kompleks; efek samping dari masing- masing obat akan berkurang karena dosis obat yang diberikan lebih kecil. Disamping pengobatan yang bertujuan mengendalikan glukosa darah, pada pasien DMtipe2 perlu juga diperhatikan koreksi berbagai faktorrisiko penyakit pembuluh darah yang sering terjadi pada resistensi insulin, hiperinsulinemia dan diabetes mellitus tipe2 misalnya pengobatan hipertensi, koreksi dislipidemia dan sebagainya (Arifin, 2011).
Faktor Risiko Perilaku yang Berhubungan dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Tipe 2 di RSUD Kabupaten Karanganyer, Skripsi; 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. Komplik[r]
12 Berdasarkan hasil pengamatan pada indeks penyakit DM di RSUD Tugurejo Semarang, untuk jumlah pasien rawat inap JKN dengan diagnosis utama DM yang dirawat mulai dari bulan Januari sampai dengan Maret (triwulan I) tahun 2014 tercatat sebanyak 87 pasien. Persentase jumlah pasien DM pada triwulan I paling banyak terdapat pada bulan Februari sebanyak 39 dan paling sedikit terdapat pada bulan Maret sebesar 23 pasien, sedangkan untuk bulan Januari sebanyak 25 pasien. Hal ini berarti Pada bulan Maret jumlah pasien DM mengalami peningkatan yang cukup banyak sebesar 21,87%, namun pada bulan Maret kembali menurun jumlahnya sebanyak 25,81%. Kasus DM paling banyak menyerang kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebesar 34,48% dan kelompok umur 41 – 50 tahun yaitu sebesar 26,45%. Hal ini menggambarkan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa mulai pada kelompok usia >45 tahun keatas menjadi faktor resiko DM, khususnya pada tipe2. (Dian Aristika, 2014)
Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Tengah pada tahun 2012, prevalensi kasus DMtipe II, telah mengalami penurunan dari 0,63% pada tahun 2011 menjadi 0,55% pada tahun 2012. Prevalensi tertinggi yakni Kota Magelang sebesar 7,93% (Dinkes Jateng, 2012). Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), prevalensi DMtipe II yang tertinggi terdapat di Kota Surakarta dan Salatiga sebesar 2,21%.
Tingkat pendidikan yang rendah telah diketahui sebagai faktorrisiko yang kuat untuk terjadinya GFK. Pada penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk (2010), untuk mencari efek dari DM terhadap MCI mendapatkan hasil bahwa subyek dengan tingkat pendidikan rendah (< 8 tahun) berhubungan dengan kejadian MCI pada penderita DM (OR= 2,13; IK 95%= 1,15-3,15). Manly (2005), yang meneliti insiden MCI pada penduduk usia lanjut daerah urban di Manhattan Amerika Serikat mendapatkan bahwa MCI lebih banyak dijumpai pada usia lanjut yang memiliki masa pendidikan formal 9 tahun ke bawah. Bruce dkk (2008b), melakukan penelitian dengan menggunakan data yang digunakan pada Fremantle Diabetes Study (FDS) untuk menghetahui prediktor-prediktor terjadinya gangguan fungsi kognitif pada penderita DM usia lanjut (>70 tahun). Dari analisis multivariat, didapatkan bahwa tingkat pendidikan di bawah pendidikan dasar merupakan satu satunya faktor independen terhadap kejadian GFK pada penderita DMtipe2 usia tua (p<0,001).
World Health Organization (WHO) (dalam Hill Jo, 2003 ) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko di negara berkembang. Obesitas adalah stimulator utama untuk terjadinya berbagai penyakit terutama Sindroma Metabolik (SM), Diabetes Melitus tipe2 (DMtipe2) dan hipertensi. Penyakit tersebut merupakan faktorrisiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Menurut WHO 40-60% pasien obesitas akan berkembang menjadi DMtipe2 dan memiliki tekanan darah tinggi (Pusparini, 2007). Salah satu cara mendeteksi apakah seseorang menderita obesitas dapat diukur dengan rumus Indeks Massa Tubuh (IMT).
DMtipe 1 sering dikatakan sebagai Diabetes “ Juvenile onset ” atau “ Insulin dependent ” atau “ Ketosis prone ”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah “ Juvenile O nset” sendiri diberikan karena onset DMtipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun. Sedangkan istilah “ Insulin dependent ” diberikan karena penderita Diabetes Mellitus sangat bergantung dengan tambahan insulin dari luar. Ketergantungan insulin tersebut terjadi karena terjadi kelainan pada sel beta pankreas sehingga penderita mengalami defisiensi insulin. Karakteristik dari DMtipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin (Omar dalam Poretsky, 2010).
Pengecapan merupakan komponen penting fungsi oral, namun sejauh ini penurunan kepekaan rasa (PKR) ma- nis pada diabetes mellitus (DM) tipe2 kurang dianggap sebagai suatu rintangan yang serius bila dibanding- kan dengan penurunan pendengaran dan penglihatan. Sejumlah faktor seperti jenis kelamin, usia, kadar glukosa darah (KGD), durasi DMtipe2, merokok, status nutrisi dan medikasi telah dikaitkan dengan PKR manis pada DMtipe2. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktorrisiko yang berperan dalam PKR manis pada DMtipe2. Penelitian ini terdiri dari 120 penyandang DMtipe2 (67 laki – laki dan 53 wanita), berusia ≥ 40 tahun yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta dari bulan Juli 2013 - Oktober 2013. Skrining pasien dilakukan berdasarkan rekam medis. Data tentang faktor-faktorrisiko PKR manis diperoleh dari anamnesis, pengukuran dan pemeriksaan laboratorium. Evaluasi fungsi pengecapan menggunakan gustometri kimia. Data dianalisis dengan uji chi- square dan uji multipel regresi logistik dengan tingkat signifikansi 95% (p < 0,05). Analisis statistik menunjukkan durasi DMtipe2 dan usia secara signifikan sebagai faktorrisiko yang berperan dalam PKR manis pada DMtipe2 (p<0,05), tetapi tidak untuk KGD, jenis kelamin, status nutrisi, merokok, dan medikasi (p>0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, durasi DMtipe2 dan usia merupakan faktorrisiko PKR manis pada DMtipe2.
Prevalensi DMtipe2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari angka orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya, misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol seperti Singapura. Kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indiana Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indiana, Canada, Cina di Mauritius, Singapura, dan Taiwan (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 38).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa overweight merupakan faktorrisiko kejadian hipertensi pada penderita DM (hipertensi-DM). Orang yang mengalami overweight berisiko terhadap kejadian tekanan darah tinggi (hipertensi) pada penderita DM. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Chew et al.,[1] bahwa orang dengan DMtipe2, yang berusia tua dan overweight menyebabkan tekanan darah mereka tidak terkontrol. Orang dengan diabetes cenderung malas untuk datang ke klinik untuk mengontrol tekanan darah. Hal ini karena rendahnya pengetahuan mereka bahwa mengkonsumsi anti hipertensi cukup untuk mengontrol tekanan darah.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sebagian besar pasien menggunakan obat yang berasal dari golongan sulfonilurea. Meskipun algoritma terapi DMtipe2 menunjukkan obat dari golongan biguanid sebagai lini pertama dalam pengobatan DMtipe2, setelah dilakukan pemeriksaan 2-3 bulan selanjutnya, kondisi kadar glukosa darah pasien masih berada di atas normal dan beberapa pasien mengeluhkan gangguan gastrointestinal saat menggunakan metformin, sehingga obat selanjutnya yang digunakan adalah obat yang berasal dari golongan sulfonilurea. Meskipun beberapa literatur menyebutkan bahwa kondisi lansia berpotensi mengalami hipoglikemia setelah pemberian sulfonilurea, hal ini dapat dicegah dengan menginformasikan kepada pasien
Faktorrisiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya diabetes mellitus tipe2 adalah riwayat keluarga dengan diabetes melitus, obesitas (berat badan ≥ 20 % dari berat badan ideal atau IMT ≥ 25 kg/m2), aktivitas fisik yang kurang, gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa darah puasa sebelumnya, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg), dislipidemia (HDL- kolesterol ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL). Di samping itu, juga perlu diperhatikan riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir > 9 pound dan mempunyai riwayat penyakit vaskular.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi pada penderita DMtipe2 di RSUP. Haji Adam Malik, Medan. Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Untuk menilai derajat keparahan depresi, dibagikan kuesioner BDI (Beck Depression Inventory) kepada 115 orang sampel dengan metode consecutive sampling. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square dan Regresi Logistik untuk mencari faktor mana yang paling dominan.