Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada pembangunan pertanian secara khusus dan pembangunan ekonomi secara umum, sub sektor pertanian tanaman pangan mempunyai posisi yang strategis sebagai penghasil bahan makanan pokok untuk ketahanan pangan nasional. Untuk itu perlu diupayakan melalui peningkatan produksi beras terutama yang dihasilkan dari lahan sawah. Namun pulau jawa yang merupakan wilayah produksi beras terbesar terus mengalami penyusutan luas areal sawah akibat konversi yang terus meningkat. Hal ini menuntut alternatif wilayah lain yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya adalah lahanrawa, terutama rawalebak yang tersebar di beberapa pulau besar di Indonesia. Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah salah satu yang memiliki lahanrawalebak yang luas dan potensial untuk dikembangkan. Namun dalam pengembangan budidaya pertanian di lahanrawalebak harus diperhatikan keseimbangan ekosistem agar keberlanjutan budidaya tetap terjaga.
Indonesia mempunyai lahanrawa seluas 33,40 juta hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawalebak dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawalebak seluas 35 436 hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%. Secara umum, pemanfaatan rawalebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala fisik lahan maupun non fisik. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor non fisik sebagai penyebab sehingga pengusahaan rawalebak masih jauh dari harapan dan belum memberikan hasil yang maksimal, antara lain 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsistem petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Penelitian bertujuan (1) untuk mengidentifikasi karakteristik rawalebak dan petani yang memanfaatkan rawalebak, (2) menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawalebak, (3) menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawalebak, (4) mengetahui indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawalebak, (5) mengetahui variabel-variabel dominan model pengelolaan rawalebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, dan (6) merumuskan model pengelolaan lahanrawalebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan.
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kotadaro 1 pada lahanrawalebak dangkal dan Kotadaro 2 pada lahanrawalebak tengahan, Kecamatan Rantau Panjang, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dimulai pada musim kemarau 2014. Tujuan dari kegiatan ini untuk mengevaluasi daya hasil varietas inpari dan sifat agronomis sesuai dengan tipologi rawalebak dangkal dan tengahan. Jumlah varietas yang diperagakan sebanyak 4 varietas yaitu Inpari 1, Inpari 4, Inpari 6 dan Inpari 13. Persemaian dilakukan 2 kali pindah. Bibit yang ditanam berumur 30 hari setelah semai (HSS). Sistem tanam legowo 4:1 (50 x 25 x 12,5 cm) dan jumlah bibit 2-3 bibit/lubang. Pupuk yang digunakan 150 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan dilakukan 2 kali yaitu pada umur 1 minggu setelah tanam (MST) dengan takaran 75 kg urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha dan pada umur 4 minggu setelah tanam (MST) dengan takaran 75 kg urea/ha. Data yang dikumpulkan meliputi: tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, dan produksi. Metoda yang digunakan adalah pengamatan di lapangan. Data yang diperoleh disusun secara tabulasi dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman dari varietas Inpari yang diperagakan tergolong pendek baik yang ditanam di rawalebak dangkal maupun lebak tengahan. Jumlah anakan produktif varietas Inpari yang diperagakan tergolong sedang (11,4-13,2 batang/rumpun) di rawalebak dangkal begitu juga di rawalebak tengahan yaitu 14,6-16,8 batang/rumpun. Produksi gabah varietas yang diuji di rawalebak tengahan rata-rata 6,95 ton gkp/ha lebih tinggi dari rawalebak dangkal rata-rata 6,45 ton gkp/ha. Produksi gabah tertinggi dicapai oleh Inpari 6, Inpari 4 dan Inpari 1 dan Inpari 13 berturut-turut yaitu 7,7 ton gkp/ha, 7,4 ton gkp/ha, 6,6 ton gkp/ha dan 6,1 ton gkp/ha di rawalebak tengahan.
Lahanrawalebak adalah rawa yang dipengaruhi oleh adanya genangan dengan lamanya waktu genangan lebih dari 3 bulan dan tinggi genangan lebih dari 50 cm. Penciri utama lahanrawalebak adalah tinggi dan waktu terjadinya genangan. Lahanrawalebak menurut jangkauan pengaruh pasang dan intrusi air laut termasuk ke dalam zone III (lampiran 1) atau peraiaran air tawar pedalaman yang bebas dari pengaruh pasang, fluktuasi muka air dipengaruhi oleh curah hujan dan banjir kiriman. Berdasarkan lama dan tingginya genangan wilayah rawalebak dibagi dalam empat tipologi, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam (Balitbangtan 2013). Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahanrawalebak adalah pH tanah yang rendah-sedang, ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah.
1. Kondisi sosial ekonomi wanita tani dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumahtangga dan luas lahan adalah sebanyak 92,5 persen wanita tani berumur di kisaran usia produktif, 87,5 persen berpendidikan rendah hanya sebatas Sekolah Dasar (SD), wanita tani yang mempunyai anggota keluarga lebih dari 5 orang sebanyak 55 persen dan luas garapan untuk usahatani padi rata-rata seluas 1,2 hektar. 2. Ketahanan pangan rumahtangga wanita tani padi di lahanrawalebak dilihat dari sisi
Indonesia mempunyai lahanrawa seluas 33,40 juta hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawalebak dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawalebak seluas 35 436 hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%. Secara umum, pemanfaatan rawalebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala fisik lahan maupun non fisik. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor non fisik sebagai penyebab sehingga pengusahaan rawalebak masih jauh dari harapan dan belum memberikan hasil yang maksimal, antara lain 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsistem petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Penelitian bertujuan (1) untuk mengidentifikasi karakteristik rawalebak dan petani yang memanfaatkan rawalebak, (2) menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawalebak, (3) menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawalebak, (4) mengetahui indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawalebak, (5) mengetahui variabel-variabel dominan model pengelolaan rawalebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, dan (6) merumuskan model pengelolaan lahanrawalebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan.
Perbedaan waktu tanam padi di sawah lahanrawalebak berdampak terhadap tinggi- rendah genangan air yang diperoleh padi, dan untuk petak sawah yang ditanam padi pada bulan april minggu pertama menghasilkan perbedaan penampilan tanaman padi yang ditanam pada minggu ketiga. Perbedaan waktu tanam dua minggu antar petak pada bulan april ternyata menyebabkan lama genangan air yang tidak sama, dan untuk petak A mengalami penggenangan air sampai panen padi, dan untuk petak B ternyata genangan air sampai fase pengisian padi. Selanjutnya, waktu tanam padi di sawah rawalebak yang berbeda bulan menyebabkan lama genangan air di sawah juga berbeda, dan untuk tanam padi pada bulan juni ternyata air genangan sampai fase anakan produktif. Perbedaan waktu tanam dengan umur bibit yang sesuai dengan rekomendasi ternyata belum dapat memperbaiki kondisi kecukupan air dalam satu siklus hidup padi di lahanrawalebak. Air sangat berperan dalam menciptakan kondisi lumpur sehingga proses absorbsi air dan hara oleh akar padi dapat berjalan optimal. Pola penggenangan air yang tidak sama terutama lama waktu basah dan kering permukaan tanah sawah dapat berakibat seperti pengaruh prequensi pemberian air terhadap padi. Kurang air di lahan sawah menyebabkan daun padi banyak yang menggulung dan akan menurunkan laju fotosintesis padi yang selanjutnya menurunkan akumulasi fotosintat dan hasil padi (Sulistyono, 2012). Perbedaan lama air yang berkecukupan di lahan sawah akan menghasilkan penampilan pertumbuhan dan hasil padi yang menjadi berbeda, dan dalam banyak kasus tanaman padi rawalebak pematang yang ditanam pada bulan mei dan juni mengalami tidak cukup air sehingga tanah sawah menjadi kering. Kekurangan air yang lama pada padi dapat memperlambat pembungaan, pengisian gabah dan juga hasil tanaman (Fischer and Fukai. 2003).
Bagi sebagian besar petani yang memiliki lahanrawalebak bukan sebagai sumber penghasilan utama keluarga. Motivasi utamanya adalah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, umumnya mereka mengandalkan penghasilan dari perkebunan karet dan sawit baik sebagai pemilik maupun sebagai buruh (sadap karet dan mendodos sawit), atau sumber penghasilan lain yang cukup terbuka. Diversifikasi usahatani belum terjadi, karena lahannya belum ditata yang memungkinkan. Seperti ditata sebagai surjan sehingga tanaman yang dapat diusahakan lebih beragam, atau ditata sehingga memungkinkan untuk menerapkan pola usaha mina tani (Tanaman-ikan). (N. I. Minsyah, Busyra dan Araz Meylin. 2014).
faktor ke-tiga : Pupuk hayati penambat N dan Pelarut P yaitu tanpa pupuk hayati, pakai pupuk hayati. Data penelitian dianalisis sidik ragam dengan uji F, apabila terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk melihat perbedaan ant ar perlakuan pada taraf α 0.05. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kedelai varietas Tanggamus pada lahanrawalebak dangkal dengan budidaya jenuh air pada tingkat kesuburan tanah sedang mencapai 4 ton ha -1 . Penerapan pengelolaan air dengan sistem budidaya jenuh air, pengelolaan hara sesuai kebutuhan tanaman dan waktu tanam yang tepat pada lahanrawalebak akan menghasilkan produksi kedelai yang optimal.
Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada pembangunan pertanian secara khusus dan pembangunan ekonomi secara umum, sub sektor pertanian tanaman pangan mempunyai posisi yang strategis sebagai penghasil bahan makanan pokok untuk ketahanan pangan nasional. Untuk itu perlu diupayakan melalui peningkatan produksi beras terutama yang dihasilkan dari lahan sawah. Namun pulau jawa yang merupakan wilayah produksi beras terbesar terus mengalami penyusutan luas areal sawah akibat konversi yang terus meningkat. Hal ini menuntut alternatif wilayah lain yang potensial untuk dikembangkan, salah satunya adalah lahanrawa, terutama rawalebak yang tersebar di beberapa pulau besar di Indonesia. Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah salah satu yang memiliki lahanrawalebak yang luas dan potensial untuk dikembangkan. Namun dalam pengembangan budidaya pertanian di lahanrawalebak harus diperhatikan keseimbangan ekosistem agar keberlanjutan budidaya tetap terjaga.
Dalam konteks budidaya tanaman, perlakukan khusus juga perlu dilakukan mengingat tingginya muka air di lahanrawa yang kadang-kadang tidak dapat diprediksi. Waluyo dan Supartha (1992) menyebutkan bahwa petani yang menanam varietas padi lokal melakukan pembibitan selama 50 – 90 hari sebelum dipindahkan ke tempat penanaman, namun demikian produksi padi di lahanrawalebak optimal dengan satu kali pembibitan dan dengan periode bibit 35 – 50 hari (Waluyo et al., 1992). Hasil penelitian Suwignyo et al. (1998) menunjukkan bahwa varietas padi memberikan respon yang berbeda terhadap perbedaan metode pembibitan tersebut. Varietas Si Putih menghasilkan pertumbuhan dan produksi tinggi melalui dua kali periode pembibitan, yaitu 21 hari pembibitan pertama dan 14 hari pembibitan kedua. Sedangkan galur B 5565 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dengan sistem pembibitan tiga tahap dan periode pembibitan 50 hari setelah semai.
Lahanrawalebak juga dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya pengaruh sungai sekitarnya. Lahanrawalebak yang genangannya dipengaruhi oleh sungai sekitarnya disebut lebak sungai, sedang lahanlebak yang bebas atau tidak dipengaruhi oleh sungai disebut lebak terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996). Walaupun rawalebak dipandang sebagai wilayah marginal, tetapi potensi sumber daya lahan dan air rawalebak sebagai sumber pertumbuhan produksi pertanian, perikanan dan peternakan cukup besar apabila dikelola dengan baik dan tepat. Komoditas pertanian yang dapat dibudidayakan dilahan rawalebak umunya padi, sayuran dan hortikultura , tanaman tahunan (jeruk, mangga, kelapa, rambutan, duku, durian). Untuk perikanan lahanrawalebak merupakan sumber perikanan tangkap terutama untuk jenis ikan sepat siam, gabus, toman. Untuk peternakan seperti itik pegagan dan kerbau rawa.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani melalui introduksi varietas unggul baru (VUB) di lahanrawalebak dangkal. Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Rantau Pajang, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan pada musim kemarau (MK) 2014. Kegiatan pengkajian dilaksanakan di lahanrawalebak dangkal di lahan petani (on farm research) bekerja sama dengan petani sebagai menyediakan lahan pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Ogan Ilir, BPP, PPL dan BPTP sebagai pemandu teknologi. Teknologi utama yang dikaji adalah varietas unggul Inpari 1, Inpari 13; Inpari 15; Inpari 20, dan Situbagendit, dengan mengunakan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) rawalebak. Penanaman dilakukan dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 (25 cm x 12,5 cm x 50 cm) dengan luas tanam 2,0 ha. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas unggul memberikan produktivitas masing-masing 5,0 t/ha; 6,9 t/ha; 5,4 t/ha; 6,0 dan 5,4 t/ha. dan diperoleh pendapatan finansial masing- masing Rp 9.200.000 (Inpari 1); Rp 15.850.000,- (Inpari 13); Rp 10.600.000,- (Inpari 15); Rp 12.700.000 (Inpari 20) dan Rp 10.600.000,- (Situbagendit). Penggunaan varietas unggul yang adaptif layak dikembangkan di lahanrawalebak dangkal.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui karakteristik sosial ekonomi wanita tani padi rawalebak, (2) mengkaji tingkat ketahanan pangan rumahtangga wanita tani padi rawalebak dan (3) menjajaki pengaruh karakteristik sosial ekonomi wanita tani dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani padi rawalebak. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode purposive, yaitu di Desa Lebung Jangkar dan Desa Sembadak, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Adapun jumlah sampel yang diambil dengan metode simple random sampling sebanyak 60 responden. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sosial ekonomi wanita tani padi lahanrawalebak di Kecamatan Pemulutan dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumahtangga dan luas lahan adalah sebanyak 90 persen wanita tani berumur di kisaran usia produktif, 75 persen berpendidikan rendah hanya sebatas Sekolah Dasar (SD), wanita tani yang mempunyai anggota keluarga lebih dari 5 orang sebanyak 58,33 persen dan luas garapan untuk usahatani padi rata-rata seluas 1,275 hektar. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga wanita tani padi rawalebak di Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yaitu sebanyak 40 persen tahan pangan; 16,67 persen rentan pangan; 41,67 persen kurang pangan dan 1,67 persen rawan pangan. Adapun faktor sosial ekonomi wanita tani dan faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani di lahanrawalebak adalah umur, jumlah anggota keluarga, jumlah konsumsi beras dan harga telur.
Kendala tersebut dapat terjadi dari petani sebagai pengguna dan pengusaha sebagai penyedia. Sedangkan permasalahan yang dihadapai oleh petani, antara lain ; lahannya sempit, produktivitas lahan rendah, belum adanya jaminan pasar yang mantap dari produk petani, dan kerjasama antara kelompok tani dan kelembagaan desa masih sangat rendah, kondisi seperti ini berakibat pendapatan petani rendah. Sedangkan dari pihak pengusaha yang akan menginvestasikan modalnya dibidang pertanian disebabkan kurangnya informasi tentang potensi desa dan bunga kredit untuk mengusahakan alat mekanis pertanian masih terlalu tinggi.
Selanjutnya lahan ditanami padi, waktu penanaman dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan September. Usahatani padi di lahanlebak hanya dilakukan satu kali musim tanam dalam setahun. Penyemaian tanaman padi dilakukan ketika bulan Mei dan dapat dipanen setelah 4-5 bulan setelah disemai. Ketika pemanenan padi dilakukan, penyemaian cabai dimulai. Hal ini disebabkan untuk mengefisienkan waktu agar petani mendapatkan keuntungan yang besar. Benih cabai yang telah berumur 15-17 hari atau telah memiliki 3 atau 4 daun, siap dipindah tanam pada lahan yang ada. Sayuran cabai dapat dipanen pertama kali pada umur 70-75 hari setelah tanam. Artinya, pada bulan November tanaman cabai sudah ditanam di lahan dan berumur 2 bulan. Pada bulan Februari, tanaman sayuran cabai sudah dapat dipanen. Pemanenan sayuran cabai berikutnya dapat dilakukan 3 sampai 4 hari sekali atau paling lambat seminggu sekali. Kemudian setelah pemanenan cabai selesai ada masa bera selanjutnya untuk menanam kangkung dan padi. Masa bera yaitu pada bulan Maret selama 1 bulan. Selanjutnya setelah 1 bulan, tanah ditanami kangkung dan padi kembali.
Pelaksanaan kegiatan m-P3BI lahanrawa (padi rawalebak) dan lahan kering (integrasi kopi-sapi potong) akan dilaksanakan secara bertahap dengan menggunakan pendekatan Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC), yaitu; pengembangan diseminasi berdasarkan pendekatan strategi atau model yang mampu memperluas jangkauan dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan pemangku kepentingan ( stakeholder) terkait sesuai karakteristik masing-masing pelaku, sehingga dapat didistribusikan secara cepat kepada pengguna (petani dan kelompok, pemerintah daerah, penyuluh dan swasta) melalui berbagai media secara simultan dan terkoordinasi. I mplementasi kegiatan ini di lapang berbentuk unit percontohan berskala pengembangan berwawasan agribisnis, bersifat holistik dan komprehensif meliputi aspek perbaikan teknologi produksi, pengolahan limbah usahatani, aspek pemberdayaan masyarakat tani dan pengembangan maupun penguatan kelembagaan sarana pendukung agribisnis.
Jika dilihat dari luasannya maka lahanrawalebak di Provinsi Bengkulu memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung swasembada beras khususnya untuk provinsi ini. Namun rawalebak mempunyai kendala dan hambatan yang harus diatasi. Umumnya lahan ini mempunyai rejim air yang fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan lahanrawalebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal.
Petani di lahanlebak pada umumnya masih menggunakan gejala- gejala alam sebagai indikator dalam meramalkan iklim dan menentukan kesuburan tanah dalam usahatani mereka hingga saat ini. Pengetahuan ini mereka peroleh melalui belajar dari orang tua mereka. Pengetahuan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi selama mereka masih menekuni usaha pertanian. Pemuda di desa Tambangan yang mengusahakan semangka dan kacang tanah telah menguasai dan menggunakan pengetahuan lokal ini dalam menjalankan usahanya. Sebaliknya pemuda di desa Pakan Dalam yang tidak tertarik lagi dengan sektor pertanian sudah tidak lagi mengetahui mengenai gejala alam yang menjadi indikator peramalan iklim ini. Sebagian pemuda di Mentaas masih mengetahui pengetahuan lokal ini, walupun anak- anak yang beranjak dewasa sudah tidak lagi terlibat dalam usahatani padi. Mereka lebih menyukai usaha penangkapan ikan karena dapat memperoleh uang secara tunai setiap hari.
Kearifan budaya lokal (indegeneus knowledge) yang telah dilakukan selama ratusan tahun telah mengajarkan kepada petani lokal tradisional di Kalimantan Selatan untuk melakukan penyiapan lahan secara konvensional menggunakan alat tradisional yang dinamakan tajak. Alat ini berfungsi menebas gulma dan membalik sedikit lapisan top soil tanpa menyebabkan terangkatnya pirit (minimum tillage). Namun demikian pengoperasian alat ini sangat sulit dan berbahaya, serta hanya dapat digunakan dengan baik oleh operator yang berpengalaman. Oleh karena itu, studi ergonomi pada pengoperasian tajak perlu dilakukan. Sehingga tajak dapat dioperasikan dengan aman, nyaman dan efektif. Hasil studi ergonomi ini diharapkan menjadi dasar pengembangan alat yang lebih modern dan sesuai dengan antropometri masyarakat setempat.