Tempe merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Lama fermentasi yang optimal dalam pembuatan tempe adalah 36-48 jam. Jika tempe tidak terjual dan tidak ada proses pengolahan lebih lanjut akan mengalami over fermented atau terfermentasi lanjut. Salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai ekonomi tempe terfermentasi lanjut adalah dengan mengolah menjadi sambal tumpang. Alternatif pembuatan sambal tumpang ini diharapkan dapat melestarikan warisan makanan tradisional Indonesia agar tidak mengalami kepunahan. Sambal tumpang merupakan sambal berbahan baku campuran tempe terfermentasi lanjut dan tempe segar serta penambahan bumbu-bumbu. Sambal tumpang memiliki lama simpan yang terbatas, untuk memperpanjang umur simpan sambal tumpang perlu disimpan pada suhurendah (5 0 C). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh perbandingan tempe terfermentasi lanjut dan tempe segar serta lama fermentasi tempe terfermentasi lanjut dalam pembuatan sambal tumpang, dan untuk mengetahui karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologis sambal tumpang pada penyimpanansuhurendah (5 0 C) selama tiga minggu.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, masih terjadi perbedaan hasil dalam pengelompokkan sifat benih pepaya. Menurut Sari (2005), mengelompok- kan benih pepaya Arum Bogor sebagai benih ortodoks dilihat dari ketahanan terhadap desikan hingga kadar air (KA) mencapai 6-7%. Beberapa peneliti lainnya mengelompokkan benih pepaya ke dalam benih intermediet seperti, Ellis et al. dalam Wood (2000) mengelompokkan benih pepaya ke tipe intermediet karena adanya indikasi stres akibat desikan pada tingkat kadar air (KA) < 8%. Menurut Wulandari (2009), pepaya Varietas Sukma dan Calina termasuk kedalam benih ortodoks karena benih pepaya tersebut memiliki viabilitas yang cukup baik setelah disimpan selama 3 bulan dengan penyimpanansuhurendah (-20 0 C). Namun, Wulandari (2010) juga menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa pepaya Varietas Arum Bogor (IPB 1) memiliki sifat intermediet karena benih pepaya ini sudah mengalami penurunan viabilitas sejak awal periode simpan sampai akhir periode simpan 3 bulan.
Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran ikan. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah. Sedangkan pada ikan busuk, bola mata terlihat cekung dan lebih keruh. Berdasarkan analisis ragam perlakuan cara mati dan pembuangan isi perut ikan masing-masing memberikan pengaruh nyata terhadap kemunduran mutu mata ikan nila selama penyimpanansuhurendah, tetapi tidak ada interaksi diantara kedua perlakuan tersebut. Hal tersebut dikarenakan perlakuan cara mati lebih berpengaruh hingga fase rigor mortis yang berkaitan kandungan glikogen cadangan. Sedangkan pembuangan isi perut lebih berpengaruh setelah melewati fase rigor mortis yang berkaitan dengan aktivitas bakteri. Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa perlakuan mati ditusuk dan penyiangan merupakan cara yang efektif untuk menghasilkan mutu ikan terbaik. Rata-rata nilai organoleptik mata ikan nila disajikan pada Gambar 5.
Tomat menikmati permintaan komersial terus meningkat karena beberapa ciri kualitas penting seperti bahan kering yang lebih tinggi dan tingkat yang lebih tinggi dari padatan terlarut dibandingkan untuk buah tomat berukuran normal. Selain itu, karena tingkat yang lebih tinggi gula dan asam organik, tomat menunjukkan rasa manis dan aroma yang lebih kaya (Raffo et al., 2002). Tomat pematangan adalah rumit dan dipelajari secara ekstensif proses fisiologis, yang terus selama hidup pasca panen buah-buahan (Adams-Phillips et al., 2004). Akibatnya, pasca panen perawatan dan kondisi penyimpanan bisa memiliki efek dramatis pada konten phytonutrisi dan nilai gizi tomat (Javanmardi dan Kubota, 2006). Selama tomat kehidupan pasca panen, Tingkat Asa antara nutrisi lain yang rentan terhadap pengurangan berat yang mengakibatkan kerugian yang signifikan dari nilai gizi. Data penelitian sangat menyarankan bahwa tindakan harus diambil selama hidup pascapanen buah tomat dalam rangka melestarikan tingkat Asa sampai Konsumsi (Oms-Oliu et al., 2011). Perawatan pasca panen umum buah tomat melibatkan penyimpanan buah-buahan untuk beberapa hari di dekat perkebunan, transportasi truk kulkas di dekat 10C, dan penyimpanan di lemari es domestik sampai konsumsi sekitar 5 C (Kirkland et al., 2009). Sementara penyimpanansuhurendah dapat melestarikan kualitas gizi buah tomat, itu mapan bahwa itu bisa memicu respon stres. Penyimpanan tersebut dapat menyebabkan cedera mengerikan di buah terkait dengan stres oksidatif yang, pada gilirannya, berkorelasi membran pemisahan fasa lipid membran (Gharezi et al., 2012; Malacrida dkk., 2006; Vega-García et al., 2010). Dingin atau pembekuan stres juga terkait dengan produksi ROS, sementara tanaman dingin aklimatisasi dikaitkan dengan ROS-pemulungan aktivitas enzimatik beberapa enzim termasuk APX (Suzuki dan Mittler, 2006). Di Selain itu, telah ditemukan bahwa temperatur rendah juga merangsang Oksidasi Asa melalui aktivitas APX (Hodges dkk., 2004; Ioannidi et al, 2009.; Malacrida et al., 2006). Selain itu, enzim terlibat dalam mekanisme pemulungan ROS, termasuk glutation reduktase (GR, EC 1.8.1.7) aktivitas, en enzim yang berpartisipasi dalam Asa daur ulang (Malacrida et al., 2006) lebih tinggi setelah penyimpanan
Secara ekonomi, penyimpanan kentang segar bertujuan mempertahankan mutu kentang selama waktu tertentu agar harganya tidak berfluktuasi dari satu saat panen ke saat panen berikutnya. Selain itu umbi kentang yang dipanen jumlahnya banyak dan memerlukan waktu untuk dilakukan sortasi sebelum dikirim ke industri pengolahan pangan, akibatnya umbi tersebut tidak dapat langsung menjadi produk olahan dalam satu kali produksi. Umur simpan kentang dapat diperpanjang dengan pendinginan. Pendinginan merupakan satu-satunya cara yang ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi sayuran segar, termasuk kentang. Pendinginan merupakan penggunaan suhurendah (di bawah suhu kamar) dan pada umumnya ditujukan untuk mempertahankan kesegaran bahan. Masalah yang timbul dari penyimpanansuhurendah pada kentang adalah berubahnya menjadi rasa manis dan ini tidak cocok untuk kentang yang diolah karena akan menimbulkan warna coklat (Asgar et al. 2014).
menyebabkan perubahan kimia dan nutrisi dari sari buah apel. Semakin tinggi suhu pemanasan maka sebanding dengan laju evaporasi dan berdampak buruk pada kualitas produk kecuali jika panasnya terkendali. Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan dekomposisi dan perubahan struktur pigmen sehingga terjadi pemucatan dan penurunan stabilitas warna. Untuk sari buah, pada umumnya, yakni memiliki pH < 4,5 tujuan utama pasteurisasi adalah untuk inaktivasi enzim (pektinesterase dan poligalakturonase), membunuh mikroorganisme pembusuk (kapang dan khamir) dengan kondisi minimum 65 0 C selama 30
Bunga pepaya yang dipanen adalah bunga yang belum mengalami antesis kemudian dimasukkan ke dalam cool box untuk segera diekstrak polennya di laboratorium. Polen yang telah diekstrak kemudian dimasukkan ke dalam microtube lalu disimpan dalam 3 lemari pendingin dengan suhu yang berbeda yaitu -20 o C, 5 o C, 10 o C, sedangkan untuk kontrol yaitu polen yang diamati langsung setelah dipanen dari kebun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agustin (2013), sebelum diekstraksi antera dikeringkan dahulu dalam ruangan AC selama 24 jam. Ekstraksi polen dari antera dilakukan dengan menggunakan kain kasa nilon halus dengan ukuran 45 µm dan box yang dimodifikasi sebagai ekstraktor polen.
Pada Gambar 15, tampak bahwa total BAL pada beberapa formula ada yang semakin menurun seiring dengan lama penyimpanan. Jumlah BAL yang ada dalam dadih sapi antara lain sangat dipengaruhi oleh substrat susu yang digunakan untuk media tumbuh BAL. Media tumbuh BAL yang baik adalah media yang memiliki kandungan gizi cukup. Menurut Buckel (1987), faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme meliputi suplai zat gizi, suhu, air dan tersedianya oksigen (untuk mikroorganisme aerob). Bakteri probiotik tidak menghasilkan katalis (enzim) yang dapat merombak hidrogen peroksida sehingga kadar oksigen yang dapat menimbulkan terbentuknya hidrogen peroksida harus dikurangi karena dapat menimbulkan kematian sel.
Pendinginan atau refrigerasi adalah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara - 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu ?2oC sampai + 16oC.
Asam lemak merupakan unit pembangun yang sifatnya khas untuk setiap lemak, disebut juga asam alkanoat atau asam karboksilat. Penelitian ini menggunakan bahan baku buah sawit sisa sortiran untuk menghasilkan asam lemak. Buah sawit sisa sortiran adalah buah sawit yang sudah melewati waktu panen TBS (Tandan Buah Segar) dengan kadar asam lemaknya yang tinggi. Bila buah sawit sisa sortiran ini diolah dengan TBS akan menurunkan kualitas CPO (Crude Palm Oil) yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengaktifkan enzim lipase yang terdapat pada buah kelapa sawit yang akan menghidrolisa trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Buah sawit dipisahkan dari inti buah kemudian diblender dengan volume etanol 40%, 45%, 50%, 55% dan 60% (dari berat sampel). Kemudian dilanjutkan dengan penyimpanan 1, 2, dan 3 hari pada suhu 30C, 35C, 40C, 45C, dan 50C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar asam lemak terbaik yaitu 48,7% didapatkan pada suhu 30C, penambahan etanol 60% dan lama penyimpanan 3 hari, dengan densitas 0,907 gr/ml, bilangan peroksida 13,5 meq/kg dan kadar air 0,07%.
Produk makanan umumnya dikemas dalam suatu aluminium foil, untuk menghindari pengaruh luar (Rahman 1995). Walaupun demikan selama transportasi bisa menimbulkan kerusakan masih bisa terjadi, terutama ketika pendistribusian ke daerah- daerah terpencil. Karena itu, artikel ini menyajikan hasil pengujian bubuk selama pada suhu ruang yang berbeda yaitu 25 dan 40 o C, dalam kondisi kemasan utuh dan kondisi kemasan yang telah rusak.
Gambar 7 dan Lampiran 7 memperlihatkan susut bobot yang tertinggi terjadi pada suhu 10 ° C dengan kadar air 76% sebesar 33.53%, sedangkan untuk susut bobot yang terrendah terjadi pada suhu 5 ° C dengan kadar air 80% sebesar 12.49%. Hasil uji lanjut Duncan 5% pada Tabel 7, terlihat hingga akhir penyimpanan pada suhu 5 ° C dengan kadar air awal 80% memiliki nilai susut bobot yang terrendah dan berbeda nyata dibanding nilai susut bobot dari perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 5 ° C dengan kadar air awal 80% mampu menekan susut bobot hingga akhir penyimpanan, sedangkan suhu 10 ° C dengan kadar 76% tidak mampu menekan susut bobot. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 10 ° C dengan kadar awal 76%. Dari data kerusakan yang tertinggi terjadi pada perlakuan 10 ° C dengan kadar awal 76%, sehingga nilai susut bobot terjadi seiring dengan peningkatan nilai kerusakan dari perlakuan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012), bahwa disamping terjadinya penguapan, penurunan berat umbi juga diakibatkan oleh adanya kerusakan karena umbi bawang merah yang mengalami kebusukan, hampa/kering dan bertunas.
Susu kedelai sangat mudah tercemar mikrobia dan mudah rusak. Untuk meningkatkan daya simpan susu kedelai dapat dilakukan penyimpanan pada suhu ruang yang steril, suhu dingin (suhu refrigerator dan freezer). Suhupenyimpanan tersebut akan mencegah terjadinya kerusakan bahan pangan atau kebusukan (Budiyanto, 2003). Jenis-jenis mikrobia dapat hidup dan berkembang di berbagai tempat ataupun suhu yaitu golongan psikrofil (tumbuh pada suhu dibawah 20ºC), golongan mesofil (tumbuh pada suhu antara 20ºc-45ºC) dan golongan termofil (tumbuh pada suhu di atas 45ºC) (Gaman dan Sherrington, 1994).
Peningkatan kekerasan kulit menjadi semakin cepat jika manggis mengalami kerusakan mekanis yang dapat disebabkan oleh tekanan atau benturan selama proses panen atau selama tranportasi. Total phenolic pada kulit yang rusak jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kulit yang tidak rusak. Sebaliknya, total lignin kulit yang rusak lebih banyak dibandingkan kulit yang tidak rusak. Hasil pengamatan Qanytah (2004) terhadap penampang melintang irisan kulit buah manggis menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan ruang-ruang antar sel jaringan parenkim kulit luar dan tengah manggis terisi oleh cairan, namun pada akhir penyimpanan ruang-ruang antar sel tersebut rusak karena kehilangan cairan dan terjadi penebalan dinding sel yang mengakibatkan kulit menjadi keras. Transpirasi cairan di ruang–ruang antar sel menyebabkan sel menciut sehinggga ruang antar sel menyatu dan zat pektin saling berikatan. Tekstur buah dipengaruhi oleh ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel dan konsentrasi zat-zat osmotik aktif. Difusi yang terus-menerus dapat meningkatkan jenjang energi sel dan mengakibatkan meningkatnya tekanan yang mendorong sitoplasma ke dinding sel dan menyebabkan sel menjadi tegang (Pantastico, 1989) dapat dilihat pada Gambar 4.
menyebabkan kerusakan pada dinding sel. Kadar air bahan makin rendah , maka akan terjadi denaturasi protein terutama pada bahan nabati. Proses ini bersifat irreversible.Pembekuan secara cepat akan menghambat kecepatan difusi air ke ruang ekstra seluler, akibatnya air akan berkristal di ruang intra seluler, sehingga massa kristal es akan terbagi rata dalam seluruh jaringan. Kristal es yang terbentuk berukuran kecil-kecil. Keadaan ini mengakibatkan kehilangan air pada waktu ? thawing ? akan
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami peningkatan kerusakan tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 19.54% (Gambar 19). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami peningkatan kerusakan tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 55.67% (Gambar 20). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami peningkatan kerusakan tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 46.54% (Gambar 21). Kerusakan pada suhu 10°C ini yaitu tumbuhnya tunas dan akar (Gambar 22) pada bawang merah. Adanya pertumbuhan tunas merupakan gejala fisiologis yang normal. Tumbuhnya tunas dapat menjadi awal kerusakan karena adanya proses metabolisme untuk menghasilkan energi bagi pertumbuhannya. Adanya pertumbuhan akar pada bawang merah dapat dipacu oleh kondisi yang berupa kenaikan kelembaban yang dapat mengakibatkan pembusukan yang cepat, pengeriputan, dan kehabisan simpanan makanan terutama pada akar-akar serta umbi-umbian (Pantastico 1986). Kerusakan lain yang terdapat pada suhu 10°C adalah terdapat umbi yang busuk walaupun jumlahnya lebih sedikit daripada suhu ruang. Meningkatnya kerusakan pada suhu 10°C ini sebanding dengan meningkatnya susut bobot.
mengetahui pengaruh suhu dan lama penyimpanan pada kualitas cincau meliputi: 1) Mengkaji pengaruh penyimpanan pada suhu dan lama penyimpanan daun yang berbeda terhadap persentase luasan penguningan, kandungan vitamin C, dan kandungan klorofil daun Stephania hernandifolia Walp. 2) Menentukan karakteristik organoleptik cincau meliputi : warna, aroma, tekstur, kekenyalan, dan rasa cincau setelah mengalami perlakuan penyimpanan pada suhu dan lama penyimpanan yang berbeda. penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan pembuat cincau pada khususnya tentang penanganan dan penyimpanan daun Stephania hernandifolia Walp. sehingga dapat dipertahankan kualitasnya.
Penyebab utama dari chilling injury dianggap kerusakan dalam membran sel. Kerusakan membran sel yang mungkin termasuk produk etilena, respirasi meningkat, fotosintesis berkurang, gangguan energy, akumulasi produksi senyawa beracun seperti etanol dan asetaldehida dan struktur selular yang berubah. Chilling injury tergantung waktu dan suhu. Jika produk trsebut di simpan di bawah temperatur kritis untuk periode singkat, tanaman dapat memperbaiki kerusakan. Jika eksposur berkepanjangan, kerusakan permanen terjadi dan terlihat gejala sering terjadi.
Sari et al. (2010) menyatakan bahwa lama simpan polen dapat ditingkatkan dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Khan dan Perveen (2006) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi viabilitas polen selama penyimpanan adalah suhu. Setiawan dan Ruskandi (2005) juga menjelaskan bahwa tidak semua polen habis dipakai dalam 1 hari pada persilangan buatan, bergantung pada jumlah bunga betina yang sudah siap untuk diserbuki, sehingga polen perlu disimpan dan proses penyimpanan polen akan mempengaruhi viabilitasnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Perveen (2007), mempertahankan kapasitas perkecambahan polen yang disimpan dapat bermanfaat untuk menghemat waktu dalam program pemuliaan dan juga dalam perbaikan tanaman. Perveen et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi polen adalah suhu dengan hasil polen pepaya yang disimpan pada suhu -60 o C menghasilkan viabilitas terbaik yaitu 60% setelah disimpan selama 48 minggu.
Fitriyatmi, I. 1996. Pengaruh SuhuRendah Terhadap Viabilitas Benih Jagung (Zea mays L.) Kedelai (Glycine max (L) Merr.) Rambutan (Nephelium lappaceum) dan Matoa (Pometia pinnata) Setelah Pembekuan Dalam Nitrogen Cair. Skripsi. Program Studi Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal : 2-15.