Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa self esteem memiliki hubungan dengan life satisfaction pada penyintasbencana erupsi gunung Sinabung yang bersuku Karo. Adapun nilai korelasinya (r) sebesar 0,18 dengan p=0,01. Nilai r yang positif menunjukkan bahwa arah hubungan self esteem dan life satisfaction adalah positif, yang berarti semakin tinggi self esteem yang dimiliki maka semakin tinggi pula life satisfaction yang dimiliki,begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Saampet Mahanty dkk (2013) yang menyatakan adanya hubungan antara self esteem dan life satisfaction. Begitu juga dengan hasil penelitian Borzogpour (2013). Namun yang membedakan adalah Saampet Mahanty dkk (2013) dan Borzogpour (2013) menyatakan adanya hubungan significant antara self esteem dan life satisfaction,sementara pada penelitian ini memiliki hubungan yang lemah yaitu dengan nilai r sebesar 0,18. Hasil penelitian ini salah satunya terjadi karena dan budaya dan tabiat (kepribadian) yang melekat pada penyintas yang bersuku Karo.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran spiritualitas pada penyintasbencana Sinabung yang mencakup sembilan dimensi spiritualitas, yaitu dimensi transenden (transcendent dimension), makna dan tujuan dalam hidup (meaning and purpose in life), misi dalam hidup (mission in life), kesucian hidup (sacredness of life), nilai-nilai material (material values), altruisme (altruism), idealisme (idealism), kesadaran akan peristiwa tragis (awareness of the tragic), dan manfaat spiritualitas (fruits of spirituality). Subjek penelitian adalah 303 orang dewasa yang berusia di atas 21 tahun. Mereka berasal dari tujuh desa yang dikenai status relokasi karena tempat tinggalnya merupakan kawasan rawan bencana. Instrumen yang digunakan adalah skala psikologi Spirituality Orientation Inventory (SOI) untuk mengukur kesembilan dimensi spiritualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas pada penyintasbencana Sinabung yang dikenai status relokasi berada pada kategori tinggi (87 %) dan sebagian kecil berada pada kategori sedang (13 %). Berdasarkan faktor-faktor spiritualitas, ditinjau dari usia, gambaran spiritualitas tertinggi adalah pada usia dewasa akhir (94 %), kemudian dewasa madya (88 %), dan yang terendah adalah dewasa awal (82 %). Ditinjau dari faktor agama, semua subjek umumnya menunjukkan spiritualitas yang tinggi dan sebagian kecil menunjukkan spiritualitas tingkat sedang.
Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa. Pada sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya waktu. Namun pada sebagian yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung lebih lama berupa trauma dan problem penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana (Ehrenreich dan McQuaide dalam Retnowati, 2012). Gejala- gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distres dan dapat mempengaruhi kemampuan penyintasbencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam kehidupan dengan baik (Retnowati, 2012).
E. PenyintasBencana Gunung Sinabung yang Dikenai Status Relokasi Bencana Gunung Sinabung menyisakan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya. Para penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin. Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi. Pengungsi yang tempat tinggalnya tidak layak huni lagi akan segera direlokasi. Pengungsi yang akan direlokasi adalah keluarga-keluarga yang berasal dari Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Lahan relokasi berada di Desa Siosar, Kecamatan Tiga Panah. Dari 103 unit rumah yang akan diserahkan bagi warga Desa Bekerah, baru 50 unit yang sudah memasuki tahap penyelesaian akhir. Sisanya baru pengerjaan tahap awal (Damanik, 2015).
termasuk di dalamnya bagaimana seseorang memandang dan menerima dirinya (Dayakisni dan Yuniardi, 2003). Nilai-nilai budaya Jawa yang tercermin dari sikap, pandangan hidup yang dimiliki mayoritas penyintasbencana misalnya pandangan Sikap nrimo ing pandum yang dalam paradigma Jawa diartikan sebagai kemauan menerima segala akibat tanpa dibuntuti perasaan sedu sedan ataupun gerutu (Suwardi, 1992) serta diikuti dengan sikap sabar (Djarwadi, 2011) yang berarti menahan diri dari keluh kesah, memahami keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki dan tidak menginginkan apa yang tidak mungkin ada pada diri). Contoh lain misalnya anggapan bahwa harta, pangkat, dan jiwa yang dimiliki sebagai hanya titipan belaka dari Tuhan yang suatu saat akan diminta (Amrih, 2011) menyebabkan penyintasbencana dapat secara positif menerima berbagai pengalaman yang dialami termasuk pengalaman-pengalaman buruk pasca bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran spiritualitas pada penyintasbencana Sinabung yang mencakup sembilan dimensi spiritualitas, yaitu dimensi transenden ( transcendent dimension ), makna dan tujuan dalam hidup ( meaning and purpose in life ), misi dalam hidup ( mission in life ), kesucian hidup ( sacredness of life ), nilai-nilai material ( material values ), altruisme ( altruism ), idealisme ( idealism ), kesadaran akan peristiwa tragis ( awareness of the tragic ), dan manfaat spiritualitas ( fruits of spirituality ). Subjek penelitian adalah 303 orang dewasa yang berusia di atas 21 tahun. Mereka berasal dari tujuh desa yang dikenai status relokasi karena tempat tinggalnya merupakan kawasan rawan bencana. Instrumen yang digunakan adalah skala psikologi Spirituality Orientation Inventory (SOI) untuk mengukur kesembilan dimensi spiritualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas pada penyintasbencana Sinabung yang dikenai status relokasi berada pada kategori tinggi (87 %) dan sebagian kecil berada pada kategori sedang (13 %). Berdasarkan faktor-faktor spiritualitas, ditinjau dari usia, gambaran spiritualitas tertinggi adalah pada usia dewasa akhir (94 %), kemudian dewasa madya (88 %), dan yang terendah adalah dewasa awal (82 %). Ditinjau dari faktor agama, semua subjek umumnya menunjukkan spiritualitas yang tinggi dan sebagian kecil menunjukkan spiritualitas tingkat sedang.
Shibori merupakan karya seni pengolahan kain dari Jepang yang memiliki teknik sebelum kain diwarnai harus melewati proses pengolahan kain antara lain diperas, dijepit, ditekan, dilipat, diikat atau dipelintir. Mengacu pada proses dan luaran seni shibori yaitu adanya kegiatan bermakna dalam pengerjaannya, menghasilkan perasaan positif, dan adanya potensi ekonomi maka seni shibori dapat dimanfaatkan dalam program psychological first aid penyintasbencana. Penyintasbencana dapat mengalami ketidaknyamanan psikologis dan kehilangan mata pencaharian pasca bencana yang dapat ditangani dengan menggunakan seni shibori. Tulisan berikut menggambarkan tentang pemanfaatan seni shibori sebagai alternatif penanganan penyintasbencana dalam komponen psychological health dan behavioral health dalam psychological first aid. Pemanfaatan shibori dalam program psychological first aid dan proses shibori dibahas lebih lanjut.
Jumlah penyintasbencana Gunung Sinabung tercatat sejak tahun 2010 hingga 30 September 2015 ada sekitar 9.536 jiwa dengan 2.615 KK. Masing - masing berada di posko pengungsi gedung katolik Kabanjahe dengan jumlah 296 KK/988 jiwa, Gedung Serbaguna KNPI Kabanjahe dengan jumlah 334 KK/1193 jiwa, Desa Ndokum Siroga dengan jumlah 422 KK/1525 jiwa, Desa Surbakti dengan jumlah 192 KK/665 jiwa, Tongkoh dengan jumlah 610 KK/2379 jiwa, Jambur Korpri Berastagi dengan jumlah 265 KK/1041 jiwa, Desa Jadi Meriah dengan jumlah 262 KK/950 jiwa, dan yang terakhir Simpang Empat dengan jumlah 158 KK/528 jiwa, (situs Resmi Kabupaten Karo, 2015). Akibat erupsi yang terjadi, kawasan rawan bencana Gunung Sinabung mengalami kerusakan parah dan tercatat dampak bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut telah menimbulkan total kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 1,49 triliun (Prasetyo, 2015). Dibawah ini, terdapat peta posko-posko pengungsi disertai jaraknya dengan Gunung Sinabung.
Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam seperti gempa bumi, angin besar, atau banjir. Hal tersebut tidak salah karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam. Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain seperti bencana nonalam dan bencana sosial seperti yang tertulis di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial timbul dalam bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan teror.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hardiness pada penyintas wanita lebih tinggi daripada hardiness pada penyintas pria di masyarakat Karo. Populasinya adalah semua para penyintas Gunung Sinabung yang berada di posko pengungsian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability sampling yaitu accidental sampling. Skala yang digunakan adalah skala hardiness yang disusun oleh peneliti dengan beberapa perubahan berdasarkan teori dari Kobasa (1979). Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan fasilitas SPSS 18 for windows, dengan teknik analisis t-test, ditemukan bahwa hardiness pada penyintas wanita Karo lebih tinggi daripada hardiness pada penyintas pria Karo. Hasil diskusi dalam penelitian ini adalah wanita Karo lebih tangguh dalam menghadapi suatu masalah karena dalam budaya Karo, wanita dituntut untuk lebih kuat karena banyak dan beratnya tugas dan tanggung jawab yang harus dijalani daripada tugas dan tanggung jawab seorang pria Karo dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hardiness pada penyintas wanita lebih tinggi daripada hardiness pada penyintas pria di masyarakat Karo. Populasinya adalah semua para penyintas Gunung Sinabung yang berada di posko pengungsian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability sampling yaitu accidental sampling. Skala yang digunakan adalah skala hardiness yang disusun oleh peneliti dengan beberapa perubahan berdasarkan teori dari Kobasa (1979). Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan fasilitas SPSS 18 for windows, dengan teknik analisis t-test, ditemukan bahwa hardiness pada penyintas wanita Karo lebih tinggi daripada hardiness pada penyintas pria Karo. Hasil diskusi dalam penelitian ini adalah wanita Karo lebih tangguh dalam menghadapi suatu masalah karena dalam budaya Karo, wanita dituntut untuk lebih kuat karena banyak dan beratnya tugas dan tanggung jawab yang harus dijalani daripada tugas dan tanggung jawab seorang pria Karo dalam kehidupan sehari-hari.
Pada korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah banyak di antara pengungsi yang menunjukkan ketahanan diri yang luar biasa. Para pengungsi masih mampu tersenyum, menunjukkan keramahan, saling membantu di antara sesama korban, memiliki penerimaan diri yang baik dengan lingkungan (Amawidyati dan Utami, 2007). Begitu juga dengan para penyintas Sinabung juga terlihat kembali bekerja, berladang, atau mencari kegiatan agar dapat menghidupi kebutuhan ekonomi untuk keluarga para penyintas, sudah mampu menerima keadaan yang terjadi dan tidak menyesalinya, tidak lagi cemas walau Sinabung terus meletus, dan para penyintas sudah kembali tersenyum, dan mau membantu sesama penyintas yang membutuhkan bantuan (Ginting,2014). Kemampuan bertahan yang ditampilkan dengan munculnya sikap yang positif walaupun mengalami keadaan atau kejadian yang tidak menyenangkan dikenal dengan istilah hardiness.
Bencana Gunung Sinabung menyisakan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya.Para penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin. Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi (Damanik,2015).
Penyintas yang merasakan dampak khususnya yang tinggal di pengungsian memperoleh dan membutuhkan social support dari orang lain dan penyintas dituntut untuk mampu merealisasikan dirinya dengan mengatasi setiap tantangan hidup dan memenuhi setiap kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami social support dan psychological well-being pada penyintasbencana alam Gunung Sinabung, sebanyak enam partisipan perempuan dimana tiga partisipan di relokasi dan tiga partisipan tidak di relokasi. Pekerjaan partisipan yaitu empat partisipan bekerja sebagai petani, satu partisipan bekerja sebagai petani dan wiraswasta, dan satu partisipan bekerja sebagai bidan. Partisipan diperoleh melalui sampel kasus tipikal dengan metode wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memperoleh social support seperti emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. Hasil penelitian juga terlihat bahwa partisipan yang di relokasi lebih membutuhkan emotional or esteem support dan tangible or instrumental support sedangkan partisipan yang tidak direlokasi membutuhkan tangible or instrumental support dan informational support. Hal ini karena kebutuhan dan kehilangan yang dirasakan berbeda. Hasil penelitian juga terlihat bahwa psychological well-being yang cukup baik dimana penyintas memiliki penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup yang jelas namun beberapa penyintas kurang dapat menjalin hubungan yang positif dengan orang lain dan kurang dapat bertumbuh. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, social support dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.
Hasil studi Asian Development Bank (November 1995) menunjukkan bahwa kebijakan dan peristiwa yang sering kali menjadi penyebab dilaksanakannya relokasi adalah: (1) proyek pemerintah yang memerlukan pembebasan lahan untuk keperluan pengembangan dan pembangunan sarana prasarana kota, pembuatan jalan tol dan rel kereta api atau untuk keperluan jaringan listrik dan telepon; (2) kondisi force majour seperti kebakaran, kerusuhan, perang dan bencana alam.
Young, Ford & Watson (2005), hal yang dialami orang dewasa yang bertahan dalam bencana, akan mengalami reaksi stress yaitu: (1) Reaksi emosi ( shock, ketakutan, kemarahan, grief, penolakan, rasa bersalah, tidak berdaya, merasa tidak punya harapan dan mati rasa), (2) Kognitif (binggung,disorientasi, tidak bisa memutuskan, kawatir, kurangnya perhatian, sulit berkonsentrasi, hilangnya ingatan, gangguan memori dan menyalahkan diri sendiri), (3) Reaksi fisik (tegang, capai, kesulian tidur, rasa sakit pada tubuh, mudah terganggu, detak jantung lebih cepat, mual) (4) Reaksi interpersonal (ketidak percayaan, merasa terganggu, menarik diri, diabaikan).
Agustin, R.W., Kartini, S.M., & Pratiwi, C.A. (2012). Perbedaan tingkat post-traumatic stress disorder ditinjau dari bentuk dukungan emosi pada penyintas erupsi merapi usia remaja dan dewasa di Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Indonesia, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat penyintas Desa Sukameriah menyambut positif dan suka direlokasi ke Desa Siosar, masyarakat didesa sebelumnya juga sebagai tetangga dipermukiman baru mereka, sehingga keakraban masih tetap terjalin dengan baik. Relokasi pemukiman ke Desa Siosar merupakan upaya jangka panjang penanggulangan bencana yang dilakukan Pemerintah, yang memberikan dampak positif bagi para penyintas. Matapencaharian mereka ditempat baru sebagai petani tidak berubah dengan perkerjaan mereka di desa sebelumnya, fasilitas yang ada di Desa Siosar belum cukup memadai karena masih dikatakan pemukiman yang baru. Desa Siosar cukup jauh dari pemukiman warga, sehingga penyintas sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Masyarakat penyintas di pemukiman baru berharap dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik di tempat pemukiman yang baru, ketimbangan mereka harus tinggal di penggungsian untuk selamanya.
usia 60 tahun hingga kematian dan ditandai dengan berbagai perubahan- perubahan mulai dari fisik, psikologis dan sosial (Hurlock, 1991). Perubahan- perubahan yang dialami menuntut lanjut usia untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Ketika dalam bencana berbagai keadaan dihadapi oleh para lanjut usia seperti lingkungan yang tidak bersih, tidur bersama dalam satu ruangan, tidak ada pemisah antara lanjut usia dan anak-anak dan makan yang tidak bergizi diposko pengungsian serta tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lanjut usia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut dengan kondisi fisik dan psikologis yang semakin menurun sehingga mengarahkan mereka mengalami beberapa gejala stres seperti gejala perilaku, kognitif, emosi dan fisik.
Selanjutnya adalah nilai perjuangan. Nilai perjuangan dalam peristiwa ini diwujudkan dalam bentuk perjuangan dari kejatuhan, perjuangan untuk bangkit secara personal, ekonomi, maupun sosial. Keadaan ekonomi yang memburuk dan rasa kehilangan dialami oleh Ibu Mur. Melihat kondisinya tersebut, Ibu Mur tidak lalu menyerah. Justru Ibu Mur melihat hal tersebut sebagai sebuah tantangan yang membuatnya semakin hidup, semakin belajar sabar, semakin beriman, dan semakin belajar ikhlas. Demikian halnya dengan Ibu Pur. Dia semakin yakin akan Tuhan dan kekuatanNya. Bahwa manusia bukan apa-apa dan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa. Nilai perjuangan ini membawa Ibu Pur maupun Ibu Mur menjadi lebih optimis mengatasi keadaan diri yang kemudian juga berkaitan erat dengan pengalaman hidup (dalam erupsi) yang memiliki arti tersendiri bahwa bencana dan kesulitan hidup menantang keimanan seseorang. Kondisi keimanan ini kemudian berkaitan erat dengan nilai ketaqwaan dan kepasrahan.