Tujuan umum dari penelitian ini adalah : membuktikan adanya efek antijamur pada perasanbawangputih (Allium sativum) sebagai salah satu tanaman obat. Sedangkan tujuan khususnya adalah : 1). Mengetahui daya hambat perasanbawangputih dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. 2). Mengetahui perbedaan antara konsentrasi perasanbawangputih (Allium sativum) 100%, 50%, 25%, dan 12,5% dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.
Penelitian eksperimental laboratories tentang daya hambat perasanbawangputih (Allium sativum) terhadap Candida albicans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi perasanbawangputih (Allium sativum) dalam mempengaruhi daya hambat pertumbuhan Candida albicans. Rancangan penelitian yang digunakan adalah post test only control group design dengan teknik random sampling. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suspensi Candida albicans serta perasanbawangputih dengan konsentrasi 100%, 50%, 25%, dan 12,5% yang ditanam pada media agar Sabouraud yang diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0 C dengan melihat pertumbuhan koloninya. Koloni Candida albicans yang tumbuh dibandingkan dengan aquadest steril sebagai kontrol negatif dan dibandingkan juga antar tiap konsentrasi untuk mengetahui perbedaannya. Hasil yang didapatkan bahwa pada masing-masing konsentrasi perasanbawangputih (Allium sativum) dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans, namun tiap-tiap konsentrasi tersebut mempunyai daya hambat yang berbeda-beda. Pada perasanbawangputih (Allium sativum) dengan konsentrasi 100% mempunyai daya hambat tertinggi, sedangkan pada perasanbawangputih (Allium sativum) dengan konsentrasi 12,5% mempunyai daya hambat yang terendah. Perbedaan daya hambat pertumbuhan Candida albicans oleh masing- masing konsentrasi perasanbawangputih disebabkan komponen zat aktif yang dikandung oleh masing-masing konsentrasi berbeda. Semakin tinggi konsentrasi, maka komponen zat aktif yang dikandungnya semakin banyak. Komponen zat aktif perasanbawangputih yang berperan sebagai antimikroba adalah allicin, allin, dan minyak atsiri.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanyadengan rahmad, hidayah dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Efek Antimikroba Air PerasanBawangPutih (Allium sativum L.) Terhadap Pertumbuhan Koloni Bakteri Shigella dysenteriae ” sebagai persyaratan untuk menyelesaikan studi Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Berdasarkan kerangka konseptual diatas yaitu bawangputih (Allium sativum L.) diambil umbinya kemudian dibuat perasanbawangputih (Allium sativum L.). Beberapa kosentrasi perasanbawangputih (Allium sativum L.) bertingkat yang sudah ditentukan kosentrasinya diantaranya yang digunakan 5%, 10%, 15%, dan 20%. Menggunakan metode difusi yaitu metode disc diffusion (tes Kirby-bauer) dengan kultur swab, perasanbawangputih (Allium sativum L.) ini selanjutnya digunakan sebagai uji antijamur dimana pada isolat murni jamur Malassezia furfur penyebab panu (Tinea versicolor). Suspensi jamur Malassezia furfur dioleskan menggunakan kapas lidi steril pada media Sabaraund Dextrose Agar (SDA). Kemudian cakram kertas direndam terlebih dahulu dalam larutan masing-masing kosentrasi perasanbawangputih (Allium sativum L.), kontrol positif dan negatif selama 15 menit. Kemudian cakram kertas tersebut di letakkan pada permukaan media yang telah diolesi suspensi jamur Malassezia furfur.
Dalam Karya Tulis Ilmiah dengan judul ”Pengaruh PerasanBawangPutih ( Allium Sativum L. ) terhadap pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus ”, Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna sehingga segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk menambah pengetahuan dimasa yang akan datang. Semoga KaryaTulis ini member manfaat untuk kita semua.
Hasil penelitian dan pembahasan: Hasil penelitian KHM (Kadar Hambat Minimum) pada konsentrasi 3,125%, sedangkan KBM (Kadar Bunuh Minimum) pada konsentrasi 3,125%. Hasil uji one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara perlakuan 0,000<p(0,05) pada jumlah koloni. Analisis korelasi Pearson didapatkan(r=-,894) artinya peningkatan konsentrasi air person bawangputih akan menurunkan jumlah koloni, nilai korelasinya kuat.
Salah satu obat tradisional yang sering digunakan adalah bawangputih karena khasiatnya yang begitu banyak dan harganya yang terjangkau. Bawangputih telah digunakan sejak zaman dahulu di India dan China dengan efek yang menguntungkan untuk jantung dan sirkulasi, penyakit kardiovaskular, dan penggunaan bawangputih secara teratur dapat mencegah kanker, mengobati malaria, serta meningkatkan imunitas. Bawangputih juga dianjurkan untuk mengobati asthma, kandidiasis, demam, diabetes, dan efek antibakterial terhadap kuman patogen dalam makanan seperti Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus aureus (Daka d., 2009).
Sumber : Data Primer Terolah, 2014 Hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok anjing perlakuan dengan pemberian perasanbawangputih dapat menurunkan jumlah telur cacing Toxocara canis. Dosis 0,5; 1; dan 1,5 % dapat menurunkan telur cacing Toxocara canis pada hari ke-3 setelah perlakuan. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis perasanbawangputih yang diberikan kepada anjing yang terinfeksi cacing Toxocara canis maka semakin rendah jumlah telur cacing Toxocara canis yang ditemukan pada feses anjing. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian perasanbawangputih dengan dosis sekali pengobatan pada hari pertama terhadap penurunan jumlah telur cacing gelang anjing (Toxocara canis) secara in vivo. Dosis sekali pemberian pada hari pertama perasanbawangputih yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0,5; 1; dan 1,5%. Dosis tersebut engacu pada penelitian sebelumnya tentang efek antihelmintik perasanbawangputih terhadap cacing Toxocara canis pada anjing secara in- vitro. Hasil penelitiannya menunjukkan
Bawangputih (Allium sativum) memiliki penghambatan yang berbeda antara mikroflora pencernaan yang menguntungkan dan Enterobacter yang memiliki potensi berbahaya. Aktivitas antibakteri bawangputih secara umum diakibatkan oleh allicin. Allicin berbentuk cairan dengan bau yang khas bawangputih dan bersifat mengiritasi kulit, bila direbus atau disuling akan mengalami dekomposisi (Sudarsono dkk., 1996; Harris et al., 2001).
Kandungan Alliin yang terdapat pada bawangputih, bila bergabung dengan enzim allinase akan bereaksi sebagai antibakteri. Adanya kandungan allicin dalam bawangputih, telah dilaporkan bahwa bawangputih lebih efektif daripada penisilin terhadap penyakit tifus dan mempunyai efek yang baik terhadap Streptococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, Vibrio cholerae dan mikroorganisme yang berpengaruh dalam menyebabkan disentri dan enteritis (Anonymous, 2004).
Penelitian ini dilakukan dengan metode waktu perdarahan ekor tikus. Waktu perdarahan adalah waktu sejak terjadinya luka pada pembuluh darah hingga terbentuknya sumbat primer yang belum stabil, ditandai dengan berhentinya perdarahan. Dosis asetosal yang digunakan sebesar 325 mg dikonversikan kepada dosis untuk tikus sebesar 29,25 mg/kg BB dan dosis perasanbawangputih terdiri dari 3 peringkat dosis. Digunakan 56 ekor hewan uji yang dibagi sama banyak dalam 8 kelompok uji, yaitu: kelompok kontrol negatif CMC 1%, kelompok perlakuan suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 32,81 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 46,87 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 60,94 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 32,81 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 46,87 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 60,94 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB. Pemberian bahan uji dilakukan dengan cara per oral. Data dianalisis secara statistik menggunakan metode ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% diikuti dengan uji Scheffe. Data disajikan dalam nilai rata-rata ± standar error (X ± SE).
Penelitian ini dilakukan dengan metode waktu perdarahan ekor tikus. Waktu perdarahan adalah waktu sejak terjadinya luka pada pembuluh darah hingga terbentuknya sumbat primer yang belum stabil, ditandai dengan berhentinya perdarahan. Dosis asetosal yang digunakan sebesar 325 mg dikonversikan kepada dosis untuk tikus sebesar 29,25 mg/kg BB dan dosis perasanbawangputih terdiri dari 3 peringkat dosis. Digunakan 56 ekor hewan uji yang dibagi sama banyak dalam 8 kelompok uji, yaitu: kelompok kontrol negatif CMC 1%, kelompok perlakuan suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 32,81 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 46,87 mg/kg BB, kelompok perlakuan bawangputih dosis 60,94 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 32,81 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 46,87 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB, kelompok antaraksi praperlakuan bawangputih dosis 60,94 mg/kg BB diberi suspensi 1% asetosal dalam CMC 1% dosis 29,25 mg/kg BB. Pemberian bahan uji dilakukan dengan cara per oral. Data dianalisis secara statistik menggunakan metode ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% diikuti dengan uji Scheffe. Data disajikan dalam nilai rata-rata ± standar error (X ± SE).
Pada Gambar 7 terlihat bahwa kadar air meningkat seiring dengan penambahan bawangputih segar ke dalam adonan bubuk bawang. Hal ini disebabkan oleh kandungan air dalam bawang segar yang lebih tinggi daripada ampas bawang. Ampas bawangputih yang merupakan hasil pengepresan sari bawang telah mengalami penurunan kadar air sebesar 48,73% dari kondisi awalnya. Dari hasil uji keragaman, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk penambahan bahan pengisi, konsentrasi ampas dan interaksi keduanya terhadap kadar air. Hal ini disebabkan karena adanya proses pengeringan yang berupa pengurangan air dalam bahan, baik bahan tambahan maupun bahan baku. Kadar air dalam produk tergantung pada kadar air awal, sehingga dengan waktu dan suhu pengeringan yang sama akan menyebabkan perbedaan kadar air akhir.
Perunan nilai TPC dalam perlakuan bawangputih selama penyimpanan yang mungkin disebabkan karena aksi antimikroba bawangputih yang mempunyai zat aktif seperti allicin, sulfida Diallyl, dll Diallyl disulfida. Nilai TPC sosis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara 0 sampai 3 hari penyimpanan. Namun terjadi peningkatan nyata dalam TPC pada hari ke-7 dan seterusnya. Peningkatan TPC disebabkan karena terjadi peningkatan jumlah mikroorganisme selama penyimpanan. Tidak ada bakteri koliform adalah semua perlakuan dan kontrol. Hal ini mungkin penanganan pembuatan sosis sudah higienis dan juga pemasakan sekitar 60° C sehingga kolifom mengalami kematian karena titik kematian dari organisme koliform adalah 57 ° C.
World Health Organization mencatat hingga saat ini sekitar 50 juta kasus demam dengue ditemukan setiap tahun, dengan jumlah kematian sekitar 25.000 pertahunnya hingga tahun 2010, terutama pada daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Bawangputih diketahui mengandung allicin, saponin dan flavonoid yang dapat menghambat daya tetas telur Aedes aegypti sehingga dapat mengendalikan populasi vektor penyakit ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak bawangputih efektif sebagai ovisida Aedes aegypti.
5 Suatu hari ayah BawangPutih harus pergi berdagang ke negeri yang jauh dan meninggalkan BawangPutih. Sejak saat itu Bawang Merah dan Ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap BawangPutih. BawangPutih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang Merah dan Ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun BawangPutih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat Ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Selain itu, ekstrak etanol bawangputih dengan konsentrasi bawangputih konsentrasi 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1% juga menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan kontrol positif, yang berarti bahwa ekstrak etanol bawangputih memiliki efek larvisida lebih rendah daripada Temephos 1%. Hasil analisis LSD dapat dilihat pada Tabel 4.2. Perhitungan dilanjutkan dengan Probit Analysis untuk mengetahui nilai LC 50
diisolasi dari udang dogol (Metapenaeus monoceros), udang lobster (Panulirus sp), dan udang rebon (Mysis dan Acetes). Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental di laboratorium dengan rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial yang terdiri dari dua faktor dan 2 ulangan. Bakteri uji sebanyak 8 isolat, isolat Gram negatif adalah Clostridium sp, Corynebacterium sp, Plesiomonas sp, dan Vibrio sp, sedangkan isolat Gram positif adalah Bacillus sp, Streptococcus sp, Staphylococcus sp dan Erysilopethrix sp. Ekstrak bawangputih yang digunakan adalah Ekstrak Murni Bawangputih yang dilarutkan dalam air dan etanol, Ektrak air bawangputih dan ekstrak etanol bawangputih. Rentang dosis yang digunakan adalah 25, 50, dan 75 % berdasarkan berat/berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawangputih dengan berbagai pelarut dengan pengenceran tertinggi 75 % lebih memberikan pengaruh terhadap bakteri-bakteri Streptococcus sp (28.25 mm), Clostridium sp (27.75 mm) dan Plesiomonas sp (22.25 mm).
Minyak atsiri dapat diperoleh dari bawangputih dengan cara penyulingan. Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Jumlah minyak atsiri yang menguap bersama-sama air ditentukan oleh tiga faktor, yaitu besarnya tekanan uap yang digunakan, berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak, dan kecepatan minyak yang keluar dari bahan.
Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia diketahui telah memusnahkan berbagai jenis hama dan juga sebagian agen pengendali hayati. Oleh karena itu perlu adanya pestisida pengganti yang bersifat ramah lingkungan [7]. Tanaman atau tumbuhan yang memiliki potensi sebagai pestisida nabati umumnya memiliki karakteristik rasa pahit karena mengandung alkaloid dan terpen, selain itu juga berbau busuk dan berasa agak pedas [1]. Menurut Sastrodihardjo [7] tanaman atau tumbuhan yang dapat berpotensi sebagai pestisida untuk pengendalian hama, salah satunya adalah mahoni (Swietenia spp). Selain mahoni, bawangputih juga memiliki potensi sebagai pestisida alami atau nabati.