Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa tingkat sukubungaSBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berpengaruh negatif dan siginifikan antara tingkat sukubungaSBI dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Persamaan regresi punya arah koefisien negatif. Pengaruh negatif menunjukkan bahwa hubungan tingkat sukubungaSBI dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah berbanding terbalik. Jika tingkat sukubungaSBI semakin tinggi, maka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin rendah. Terdapat pengaruh yang signifikan tingkat sukubungaSBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas signifikan untuk tingkat sukubungaSBI adalah 0,004 lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil analisis regresi linier ganda, maka dapat diambil suatu justifikasi bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat sukubungaSBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Justifikasi diambil dengan mempertimbangkan kajian teori dan emperis. Berdasarkan teori, hukum besi pasar modal merumuskan bahwa jika tingkat sukubunga umum naik, maka IHSG akan turun dan begitu pula sebaliknya jika tingkat sukubunga umum turun, maka IHSG akan naik (Soedigno dan Nasution, 1997:6). Hal ini sejalan dengan pendapat
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif, berupa data tingkat sukubunga kupon, tanggal jatuh tempo (maturity date), peringkat dan harga transaksi obligasi yang diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal (PRPM) Bursa Efek Indonesia (BEI). Tingkat sukubungaSBI merupakan data sekunder yang diperoleh dari website dan laporan tahunan Bank Indonesia. Peringkat obligasi dan data keuangan berupa Debt to Equity Ratio (DER) perusahaan diperoleh dari Indonesia Bond Book 2006, 2007 dan 2008 Bursa Efek Indonesia dan website PT. PEFINDO.
2487 Indonesia pada tingkat sukubunga serta diumumkan kepada publik (Bank Indonesia, 2013). Perubahan tingkat sukubungaSBI dapat memicu pergerakan di pasar saham karena kenaikan sukubungaSBI akan mendorong investor untuk menginvestasikan dana mereka di sektor perbankan, bukan pada saham yang memiliki risiko yang lebih besar (Purnamawati, 2015). Menurut Amin (2013) perubahan yang terjadi pada sukubungaSBI akan mempengaruhi tingkat sukusukubunga kredit dan tingkat sukubunga deposito di masyarakat sehingga investor akan menarik investasinya pada saham dan mengalihkannya dalam bentuk tabungan dan deposito. Harga saham di pasar akan turun karena berkurangnya permintaan akan saham tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Alam (2009) menyatakan bahwa tingkat sukubungaSBI memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap harga saham. Hasil yang berbeda diperoleh oleh Liauw (2012), Nugraha (2014) dan Aurora (2013) yang menyatakan bahwa sukubungaSBI berpengaruh negatif signifikan terhadap harga saham. Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amperaningrum et al (2011) dan Kewal (2012) menemukan hasil bahwa sukubungaSBI berpengaruh tidak signifikan terhadap harga saham.
Variabel sukubungaSBI pada tabel 4.9 mempunyai nilai signifikan sebesar 0.0074 dan nilai koefisiennya sebesar -0.080405. Penelitian ini alpha (α) yang digunakan adalah 5% (0.05). Variabel sukubungaSBI mempunyai nilai signifikan lebih kecil dibandingkan alpha (α) yaitu 0.0074 < 0.05, maka memberikan penjelasan bahwa variabel sukubungaSBI mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel indeks harga saham sektor properti. Sedangkan nilai koefisien yang bertanda negatif (-) dapat diartikan bahwa variabel sukubungaSBI berpengaruh secara negatif terhadap variabel indeks harga saham sektor properti, dengan demikian menolak Ho dan menerima Ha.
Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia, berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia dengan berusaha menekan laju inflasi pada tahun 1998 sebesar 77,63% melalui penekanan jumlah uang beredar di masyarakat dengan menaikkan sukubungaSBI. Pada saat itu diharapkan uang yang beredar di masyarakat akan terserap oleh bank-bank umum akibat dari tingkat sukubunga perbankan yang juga ikut naik. Sehingga pada tahun berikutnya, tahun 1999, laju inflasi sudah dapat dikendalikan. Pada tahun 2000 dan tahun 2001 inflasi kembali meningkat menjadi 9,40% dan 12,55% yang kemudian turun menjadi 10,04% pada tahun 2002. Tahun 2003 tingkat inflasi sebesar 5,16%. Untuk lebih jelasnya maka perkembangan inflasi di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Berdasarkan Tabel Koefisien determinasi - Model Summary dapat diketahui bahwa nilai Adjusted R Square atau koefisien determinasi sebesar 0,915, hal tersebut dapat diartikan bahwa sebesar 91,5 % Indeks Harga Saham Gabungan dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen; Tingkat SukuBungaSBI,Inflasi, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah terhadap dollar Amerika, Indeks Nikkei 225, Indeks Dow Jones. Sedangkan sisanya (100 % - 91,5 % = 8,5 %) dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya seperti jumlah uang beredar, stabilitas politik dan keamanan, kondisi perekonomian global, pertumbuhan ekonomi, loan debt ratio, pembagian deviden, pengumuman industri sekuritas, regulasi dan deregulasi ekonomi dan faktor-faktor ekonomi.
Dari hasil penelitian, diperoleh persamaan regresi return IHSG adalah Y= -1,218 – 0,176 – 0,015 – 0,182 + ε . Selain itu diperoleh bahwa nilai adjusted R square adalah 0,083 atau sebesar 8,3%, yang berarti bahwa model regresi ini menjelaskan 8,3% pengaruh sukubungaSBI, kurs, dan PDB sebagai variabel bebas terhadap return IHSG sebagai variabel terikat. Hasil uji F menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara sukubungaSBI, kurs, dan PDB secara simultan terhadap return IHSG. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara sukubungaSBI, kurs, dan PBD secara parsial terhadap retutn IHSG.
Penentu utama dari penetapan tingkat sukubungaSBI adalah bank sentral yang dalam konteks di indonesia ini adalah Bank Indonesia yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan kebijakan moneter termasuk menetapkan sukubungaSBI. Bank sentral menggunakan SBI dalam open market untuk ekspansi dan kontraksi money supply. Ketika bank sentral ingin melakukan ekspansi money supply , maka ia akan menyerap bidding lelang SBI di bawah jatuh tempo nya. Sebaliknya jika bank sentral ingin melakukan kontraksi maka dirinya akan menyerap semua bidding. Pengetatan money supply akan menyebabkan tingkat sukubunga pasar akan meningkat dan pelonggaran money supply akan mengakibatkan turunnya tingkat sukubunga. Berikut ialah hasil dari pengolahan data yang bersangkutan.
Hasil peramalan model VAR menunjukkan bahwa sukubungaSBI dan IHSG relatif stabil dari Januari 2006 sampai dengan Mei 2006. Berbeda dengan sukubungaSBI dan IHSG, peramalan sukubunga internasional menunjukkan terjadinya penurunan sukubunga internasional periode Januari 2006 hingga Mei 2006. Evaluasi peramalan untuk peubah sukubungaSBI menghasilkan nilai MAPE yang relatif kecil yaitu sebesar 1,37. Ini menunjukkan bahwa model VAR tersebut efektif digunakan untuk peramalan sukubungaSBI. Sedangkan evaluasi peramalan untuk peubah IHSG dan sukubunga internasional menghasilkan nilai MAPE yang relatif lebih besar yaitu sebesar 14,29 dan 10,68. Nilai MAPE tersebut menunjukkan bahwa penyimpangan nilai ramalan terhadap nilai aktual relatif besar. Hal ini diperjelas melalui gambar 7(b) dan 7(c), dimana hasil peramalan IHSG dan sukubunga internasional dangan menggunakan model VAR menyimpang agak jauh terhadap nilai aktualnya.
PENGARUH SUKUBUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA……..(Rowland Bismark dan Dionysia Kowanda) | 4 tidak selalu memiliki arah yang terbalik, beberapa penelitian tedahulu ada juga yang mengkonfirmasi perihal sebaliknya. Studi yang dilakukan oleh Rivai (2008), Ali (2012), Amin (2012) memberikan informasi yang menarik dimana hasil temuan studi mereka menyatakan bahwa imbal hasil reksa dana saham justru meningkat pada saat sukubungaSBI naik. Lebih lanjut, hasil penelitian Pasaribu dan Firdaus (2013) juga menunjukkan bahwa ternyata tingkat sukubunga BI berpengaruh positif terhadap indeks saham syariah Indonesia.Hubungan positif yang terjadi antara tingkat sukubunga BI dan indeks saham syariah Indonesia mengindikasikan bahwa tidak adanya hubungan substitusi antara sektor perbankan dengan pasar modal. Ini berarti pasar modal bukan merupakan substitusi dari perbankan, akan tetapi merupakan komplementer dari perbankan. Hasil yang sama juga dihasilkan dari penelitian Sutanto, Murhadi, dan Ernawati (2013), Kewal (2013) dan Wijaya (2013)yang menyatakan bahwa SBI berimplikasi positif meski tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Di sisi lain, hasil studi Ariyadi (2005), Mu'minin (2007), Anwar (2010) justru menyatakan bahwa SBI justru tidak berpengaruh signifikan sama sekali terhadap tingkat pengembalian reksa dana saham. Dari latar belakang kondisi tersebut, maka hipotesis pertama penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Sebagai salah satu variabel penting dalam perekonomian Indonesia, sukubunga memegang peranan penting. Tinggi rendahnya nilai sukubunga akan berdampak pada penghimpunan dan penyaluran dana di dunia perbankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum nilai kredit tidak terlalu peka atau inelastis terhadap perubahan sukubungaSBI, namun demikian Kredit Modal Kerja lebih elastis dibandingkan dengan jenis kredit yang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim (1999) dalam Lukman Hakim (2004) menunjukkan hubungan pada model permintaan kredit (LKREDt D ), variabel independen yang berpengaruh positif terhadap variabel dependen adalah variabel sukubunga kredit (LSKRED), dan variabel output riil harga konstan 1993 (LGDPR). Variabel yang mempunyai pengaruh negatif adalah sukubunga obligasi yang diwakili oleh sukubungaSBI (LSBI). Sementara itu, pada model penawaran kredit (LKREDt S ), variabel yang mempunyai hubungan positif adalah variabel output riil (LGDPR), total deposito (LDEP) dan variabel boneka (DUM) yang merupakan representasi dari situasi krisis ekonomi Indonesia mulai periode 1997. Varibel yang mempunyai hubungan negatif adalah sukubungaSBI (LSBI). Volume kredit permintaan dan penawaran di sini benilai sama dan merupakan total kredit dari beberapa kelompok perbankan.
Pengaruh sukubunga LIBOR terhadap sukubunga deposito terjadi hubungan positif yaitu jika tingkat sukubunga LIBOR naik maka tingkat sukubunga naik. Ketika tingkat sukubunga di luar negeri mengalami peningkatan maka para investor akan cenderung memanfaatkan dana yang ada di dalam negeri (Taufik Kurniawan, 2004:453-456). Dalam perekonomian keadaan terbuka terhadap dunia luar, sehingga tidak ada hambatan terhadap aliran modal, dan tingkat bunga di dalam dan luar negeri saling berhubungan, dalam keadaan ini berlaku teori paritas tingkat bunga yaitu teori mengenai penentuan tingkat bunga dalam sistem devisa bebas (penduduk masing-masing negara bebas memperjualbelikan devisa), teori ini dinyatakan oleh Baitz. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2007) yang menyatakan bahwa variabel sukubunga LIBOR berpengaruh positif terhadap tingkat sukubunga deposito berjangka. Ini juga sejalan dengan pendapat Boediono (1990:101) yang menyatakan bahwa ”dalam
Samples of research consist of 15 companies. Data analysis using multiple regression analysis. Partially, this research shows that SBI interest rate, DER a nd NPM have positive impact not significant and price to book value has negative impact not significant. World Oil prices has negative impact significant to return of textile and garment stock. Simultaneously, have significant influence to return of textile and garment stock.
Uji F digunakan untuk menguji pengaruh Tingkat Inflasi, Tingkat SukuBungaSBI, Perubahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS, dan Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG ) apakah secara bersama – sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja Reksadana Saham. Hasil uji F sesuai perhitungan SPSS 11,5 dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang mnemperoleh pinjaman).
mendapatkan sedikit sukubunga atau tidak sama sekali), Keynes mengasumsikan bahwa uang mempunyai tingkat imbal hasil sebesar nol. Obligasi, yaitu satu-satunya alternative asset selain uang dalam kerangka kerja Keynes, mempunyai perkiraan imbal hasil yang sama dengan sukubunga i. ketika sukubunga ini naik (asumsi lainnya tidak berubah), perkiraan imbal hasil dari uang turun secara relative terhadap perkiraan imbal hasil pada obligasi, dan seperti pada teori permintaan asset, hal tersebut menyebabkan uang yang diminta turun. Jika jumlah uang dan yang diminta dan sukubunga seharusnya berhubungan negatif dengan menggunakan konsep biaya peluang (opportunity cost), yaitu jumlah sukubunga (perkiraan imbal hasil) yang dikorbankan dengan tidak memegang asset lainnya dalam hal ini, obligasi. Ketika sukubunga, i , naik, biaya peluang dari memegang uang naik, sehingga uang menjadi kurang disukai dan jumlah uang yang diminta harus turun.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban mengenai pengaruh tingkat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia, tingkat sukubunga deposito dan jumlah uang beredar terhadap Inflasi di Indonesia. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah berapa besar pengaruh tingkat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia, tingkat sukubunga deposito dan Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di Indonesia periode triwulan I 2002 – triwulan IV 2006. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, diduga tingkat sukubungaSBI, tingkat sukubunga deposito dan Jumlah Uang Beredar berpengaruh nyata terhadap Inflasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasrakan model regresi yang telah dilakukan menggunakan software SPSS, dengan langkah multiple regression, maka dapat disaksikan bahwa hubungan antara sukubunga PUAB dan sukubunga Intervensi Rupiah terhadap sukubungaSBI, dapat disimpulkan dari penarikan garis regressi dari tabel coefficient a adalah
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memegang kendali yang sangat strategis dalam menciptakan kebijakan moneter yang stabil dalam perekonomian nasional. Namun dalam perjalanannya kebijakan Bank Indonesia yang dibuat atau kebijakan yang diambil Bank Indonesia menjadi tidak efektif dan bahkan tidak efisien sebagaimana yang dinginkan oleh bank Indonesia terhadap kebijakan tersebut untuk perekonomian. Bank Indonesia harus dapat mengukur peredaran uang, antara lain dengan menentukan tingkat sukubungaSBI, selain itu pemerintah juga memegang peranan penting dalam mengendalikan laju inlasi untuk itu salah satu kebijakannya adalah mengatur pengeluaran untuk pengeluaran rutinnya (government expenditure).