Pedoman ini dibuat karena pedoman perencanaan teballapistambah dengan metoda lendutan yang menggunakan alat Falling Weight Deflectometer (FWD) belum dibuat NSPM nya sedangkan Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam (01/MN/B/1983) dipandang perlu direvisi karena ada beberapa parameter yang perlu penyesuaian. Salah satu penyesuaian yang perlu dilakukan adalah pada grafik atau rumus teballapistambah/overlay. Rumus atau grafik overlay yang terdapat dalam pedoman dan manual tersebut berbentuk asimtot dan lendutan setelah lapistambah terbatas sebesar 0,5 mm. Hal ini tidak realistis terutama untuk perencanaan dengan cara mekanistik (teori elastis linier) yang mengatakan bahwa kebutuhan kekuatan struktur perkerasan yang dicerminkan dengan besaran lendutan sejalan dengan akumulasi beban lalu lintas rencana, maka makin banyak lalu lintas yang akan dilayani, lendutan rencana harus makin kecil.
Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa dengan pembagian jumlah segmen yang lebih beragam menunjukkan hasil teballapistambah yang cukup seimbang antar segmen. Terdapat perbedaan sebesar sebesar 23% dari besaran terkecil 9 cm dan terbesar 13 cm. Hal ini sangat berbeda bila segmen hanya dibagi kedalam dua segmen saja. Hasil yang diperoleh untuk segmen I adalah 7 cm dan hasil yang diperoleh untuk segmen II adalah 20 cm, terdapat perbedaan sebesar 53.8%. Dengan kata lain, pembagian segmen yang lebih beragam dalam satu ruas akan menghasilkan nilai teballapistambah yang ekonomis.
Untuk menghitung teballapistambah (overlay) pada dasarnya hampir sama dengan yang dilakukan dengan metode Pd T-05-2005-B, khususnya pada pengambilan data lendutan di lapangan. Namun terdapat beberapa perubahan dalam perhitungan, seperti pengaruh suhu maksimum, hal ini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. (Bina Marga, 2013).
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menganalisis pengaruh kondisi bonding pada interface diantara lapisan AC overlay – lapis permukaan terhadap perencanaan teballapistambah (overlay) menggunakan metoda AUSTROADS 2011. Desain lapistambah (overlay) menggunakan data lendutan FWD (Falling Weight Deflectometer) sebagai masukan (input) dalam metoda AUSTROADS 2011. Proses backcalculation dilakukan untuk menentukan nilai layer moduli menggunakan program ELMOD. Data lalu lintas digunakan untuk mencari nilai beban rencana dalam metoda AUSTROADS 2011 dengan dua kriteria yaitu kriteria kerusakan fatigue (DSAR5) dan permanent deformation (DSAR7). Dari hasil studi kasus di lapangan didapatkan hasil tebal overlay maksimum berdasarkan pemodelan 3 – lapis dan 4 – lapis menunjukan bahwa pemodelan 3 – lapis menghasilkan teballapistambah (overlay) yang lebih tipis yaitu saat kondisi full bonding ialah ± 10 mm, intermediate bonding ialah ± 10 mm dan no bonding ialah ± 20 -50 mm sedangkan pemodelan 4 – lapis yaitu saat kondisi full bonding ialah ± 10 – 20 mm, intermediate bonding ± 20 mm dan no bonding ialah ± 50 mm. Dari hasil analisis teballapistambah (overlay) dengan mempertimbangkan kondisi bonding dapat disimpulkan bahwa perencanaan overlay yang mempertimbangkan kondisi bonding (tidak full bonding) menghasilkan tebal overlay yang lebih tebal dibandingkan dengan kondisi full bonding.
Ruas jalan yang telah habis masa layannya membutuhkan penanganan agar dapat kembali berfungsi dengan baik. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan teballapis aspal tambahan (overlay) pada perkerasan tersebut. Perencanaan overlay yang tidak tepat dapat menyebabkan jalan cepat rusak (under-design) atau menyebabkan konstruksi tidak ekonomis (over-design). Oleh karena itu diperlukan metode untuk mendapatkan perencanaan overlay yang baik. Penelitian ini menggunakan dua metode overlay yang telah menggunakan data lendutan dalam perhitungannya, yaitu Metode Lendutan Pd T-05-2005-B dan Metode Software Desain Perkerasan Jalan Lentur (SDPJL). Data yang digunakan adalah data lendutan Benkelman Beam dan kondisi ruas jalan Pakem-Prambanan, CBR tanah, RCI, LHR, dan temperatur/Iklim. Dengan repetisi beban rencana sebesar 11.395.015 maka perhitungan menghasilkan teballapistambah untuk metode Pd T-05-2005-B dan SDPJL berturut-turut adalah 6,73 cm dan 5,5 cm.
Pertumbuhan alat transportasi darat dari tahun ke tahun semakin meningkat berimbas kepada perkerasan jalan yang menjadi rusak akibat terus menerus mendapatkan beban. Perlu adanya metode perbaikan yang baik agar sistem transportasi menjadi baik, prasarananya menjadi aman, nyaman, dan efisien. Salah satu pedomannya adalah dengan cara overlay. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui teballapistambah dari metode overlay untuk ruas jalan Klaten- Prambanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Pd-T-05-2005-B dan metode SDPJL. Kedua metode tersebut adalah metode overlay yang menggunakan data lendutan dari alat FWD. Metode Pd-T-05-2005-B adalah metode perhitungan manual, sedangkan metode SDPJL adalah perkembangan dari metode Pd-T-05-2005-B yakni dengan menggunakan software, tanpa perhitungan manual. Dalam penelitian ini selain data lendutan, variabel yang digunakan adalah LHR, RCI, CBR, Temperatur. Teballapistambah yang dihasilkan dari penelitian yakni metode Pd-T-05-2005-B adalah sebesar 16 cm dengan rincian sebagai berikut; 4 cm AC-WC, 12 cm AC-BC, sedangkan metode SDPJL sebesar 13 cm dengan rincian sebagai berikut; 4 cm AC-WC dan 9 cm AC-BC.
Jalur yang berada di Pantai Utara Pulau Jawa merupakan salah satu jalan strategis perekonomian nasional dalam mendorong industri barang dan jasa. Dengan adanya pergerakan lalu lintas barang dan jasa di wilayah tersebut kecenderungan mengalami kerusakan secara struktural yangdialamatkan pada beban kendaraan berat yang berlebih (overloading). Mengingat beban kendaraan memliki daya rusak yang paling besar, secara otomatis akan merugikan pemakai jalan yang menyebabkan terhambatnya aktivitas bagi pengembang ekonomi yang melintasi jalur tersebut. Melihat kenyataan yang terjadi, maka diperlukan upaya penanganan serta pemeliharaan dalam meningkatkan kualitas jalan secara optimal dari segi struktural. Salah satu upaya yang dilakukan ialah adanya pelaksanaan lapistambah (overlay) yang berdasarkan pada data hasil pengukuran alat Falling Weight Deflectometer (FWD). Hal ini dilakukan untuk mengetahui parameter-parameter yang menyebabkan perbedaan teballapistambah (overlay) dari hasil analisis dengan menggunakan kedua metoda.
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Evaluasi Perencanaan TebalLapisTambah Metode PD T-05-2005-B dan Metode SDPJL Menggunakan Program Kenpave pada Jalan Nasional di Yogyakarta guna memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pedoman ini menetapkan kaidah-kaidah dan tata cara perhitungan lapistambah perkerasan lentur berdasarkan kekuatan struktur perkerasan yang ada yang direportasikan dengan nilai lendutan. Pedoman ini memuat deskripsi berbagai faktor dan parameter yang digunakan dalam perhitungan serta memuat contoh perhitungan. Perhitungan teballapistambah yang diuraikan dalam pedoman ini hanya berlaku untuk konstruksi perkerasan lentur atau konstruksi perkerasan dengan lapis pondasi agregat dengan lapis permukaan menggunakan bahan pengikat aspal. Penilaian kekuatan struktur perkerasan yang ada, didasarkan atas lendutan yang dihasilkan dari pengujian lendutan langsung dengan menggunakan alat Benkelman Beam (BB). Benkelman Beam (BB) merupakan suatu alat untuk mengukur lendutan balik dan lendutan langsung perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan. Dan teballapistambah (overlay) merupakan lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi perkerasan yang ada dengan tujuan meningkatkan kekuatan struktur perkerasan yang ada agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun waktu yang akan datang.
Untuk perbaikan jalan yang telah rusak ada beberapa metode, salah satunya adalah penambahan teballapistambah atau overlay yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan struktur perkerasan. Dalam perencanaan penambahan tebal lapisan perkerasan atau overlay terdapat beberapa metode perhitungannya. Salah satu metode yang dapat dipakai yakni Metode Lendutan Pd-T-05-2005-B. Metode Lendutan Pd-T-05-2005-B sudah sangat dikenal dan sering digunakan pada pekerjaan overlay saat ini. Namun untuk perencanaan teballapistambah dengan Metode Lendutan Pd-T-05-2005-B memerlukan banyak tahapan perhitungan dikarenakan metode ini masih menggunakan cara manual untuk penyelesaiannya. Sehingga perlu adanya perbaikan atau cara yang lebih praktis dan mengikuti perkembangan teknologi dalam melakukan perencanaan tebal perkerasan.
Pedoman yang digunakan untuk analisis adalah Pedoman Perencanaan TebalLapisTambah Perkerasan Lentur Dengan Metode Lendutan, No. Pd T-05-2005-B dan RSNI3 2416- 2008, Cara Uji Lendutan Perkerasan Lentur dengan Alat Benkelman Beam.
Masing-masing parameter tersebut diatas mencakup data-data baik yang diperoleh dari lapangan melalui survey dan pengukuran dilapangan ataupun data yang ditentukan oleh perencana atau hasil perhitungan dari laboratorium. Dan dari berbagai parameter diatas terdapat beberapa parameter tertentu yang langsung berkaitan dengan perumusan tebal overlay dan kerusakan pada permukaan struktur perkerasan yakni: tekanan roda, modulus lapisan dan beban lalu lintas.
Secara struktural kinerja perkerasan harus dipelihara agar tetap mempunyai masa layan atau umur rencana yang sesuai dengan yang dirancang sebelumnya sehingga perkerasan tersebut masih mampu menahan beban lalu lintas. Sedangkan secara fungsional, dapat diukur atau dilihat dari tingkat pelayanan suatu perkerasan. Hal ini berkaitan dengan kenyamanan para pengguna jalan tersebut. Kedua kondisi ini harus dikoordinasikan dengan baik agar kinerja perkerasan jalan dapat bekerja dengan baik (Paus, 2016). Berdasarkan hal diatas, maka pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian evaluasi kondisi struktural ini adalah dengan menggunakan alat Falling Weight Deflectometer (FWD), alat ini akan mengukur lendutan yang kemudian adanya proses backcalculation menghasilkan teballapistambah atau overlay.
Sedangkan untuk Metode Bina Marga 2013, langkah pertama dalam evaluasi adalah dengan melakukan analisis pemilihan jenis penanganan yang didasarkan pada tiga nilai pemicu yaitu: Pemicu Lendutan, Pemicu IRI, dan Pemicu Kondisi, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan teballapistambah (overlay) melalui pendekatan desain mekanistik dengan cara grafis dan Prosedur Mekanistik Umum (GMP). Perbandingan kedua metode menunjukkan bahwa teballapistambah (overlay) perhitungan Bina Marga 2013, lebih tipis dibandingkan dengan perhitungan AASHTO 1993 untuk asumsi pemodelan yang sama, hal ini dikarenakan metode Bina Marga 2013 menggunakan cara analitis dengan bantuan program CIRCLY sehingga analisa tegangan regangan sebagai respon struktural perkerasan dapat diketahui lebih teliti dan mewakili kondisi yang sebenarnya dilapangan, dibandingkan cara anali- tis-empiris yang digunakan pada metode AASHTO 1993.
Aplikasi ini diimplementasikan menggunakan lima kelas, yaitu kelas administrator, kelas jalan, kelas kendaraan, kelas CBR dan kelas pertimbangan D1D2. Kelas administrator merupakan kelas yang mengatur manajemen data administrator dan mengautentikasi data administrator yang akan mengakses form ubah data. Kelas jalan merupakan kelas yang menyimpan data tebal lapisan, bahan, ITP dari sebuah jalan. Kelas jalan ini memiliki fungsi menghitung teballapis pondasi bawah dan besar ITP. Kelas kendaraan merupakan kelas yang menyimpan jumlah kendaraan, jenis kendaraan, konfigurasi sumbu, jumlah hari pengamatan, lama waktu pengumpulan data, dan persentase peningkatan kendaraan. Kelas kendaraan mempunyai fungsi menghitung LHRi, Ei, Ci, hitung LEA dan hitung LER. Kelas CBR hanya berfungsi sebagai collection untuk mengisi data CBR. Kelas Pertimbangan D1D2 hanya berfungsi sebagai collection untuk menampilkan hasil penghitungan D1 maksimum dan D2 maksimum.
a. Pada SKBI 1987, perhitungan perencanaan didasarkan pada kekuatan relatif masing-masing lapisan perkerasan jangka panjang, dimana penentuan tebal perkerasan dinyatakan oleh ITP, yang diperoleh dengan menggunakan rumus. Sedangkan pada Pt T-01-2002-B, perhitungan perencanaan tebal perkerasan dalam pedoman ini didasarkan pada kekuatan relatif masing- masing lapisan perkerasan, yang dinyatakan oleh ITP yang dan disini kualitas drainase dapat dipertimbangkan. Nilai ITP dapat diperoleh dengan menggunakan dua rumus yang berbeda, tetapi salah satu diantaranya terlalu rumit karena banyak menggunakan parameter yang tidak diketahui nilainya sehingga harus ditentukan dengan melihat gambar/nomogram.
Pada saat menentukan teballapis perkerasan, perlu dipertimbangkan keefektifannya dari segi biaya, pelaksanaan konstruksi, dan batasan pemeliharaan untuk menghindari kemungkinan dihasilkannya perencanaan yang tidak praktis. Dari segi keefektifan biaya, jika perbandingan antara biaya untuk lapisan pertama dan lapisan kedua lebih kecil dari pada perbandingan tersebut dikalikan dengan koefisien drainase, maka perencanaan yang secara ekonomis optimum adalah apabila digunakan teballapis pondasi minimum. Tabel 3.9 memperlihatkan nilai tebal minimum untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat. Tabel 3.9. Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat (inci)
1. Untuk melakukan studi lanjutan dengan menggunakan limbah plastik sebagai bahan tambahlapis permukaan perkerasan jalan pada campuran aspal lainya, seperti Lapis Aspal Pasir (Latasir), Hot Rolled Sheet (HRS) dan lain-lain.
Tulangan yang dipasang pada plat satu arah digunakan untuk menahan serta mendistribusikan retak akibat susut dan perbedaan suhu. Tulangan susut atau tulangan temperatur atau biasa dikenal dengan “ tulangan pembagi “ dipasang untuk mereduksi kontraksi beton yang terjadi ke semua arah dan dipasang tegak lurus terhadap tegangan momen. Tulangan pembagi ini harus dipasang pada plat struktur bila tulangan utamanya membentang dalam satu arah. Jarak tulangan pembagi tidak boleh melebihi 5 kali tebal plat
Dari hasil perhitungan diketahui bahwa teballapis permukaan ( surface course ) dengan metode Bina Marga 1987 lebih besar dibandingkan metode AASHTO 1986 yaitu sebesar 15 cm, lapis pondasi atas ( base course ) 20 cm dan lapis pondasi bawah ( subbase course ) 20 cm. Sedangkan dengan metode AASHTO lapis permukaan sebesar 13 cm, lapis pondasi atas 17,5 cm dan lapis pondasi bawah 17,5 cm. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan untuk masing-masing negara adalah berbeda-beda. Pekerjaan lapis tambahan ( overlay ) pada umur rencana terjadi pada tahun ke 15 yaitu sebesar 6,5 cm dengan metode Bina Marga dan 3,0 cm dengan metode AASHTO 1986.