Hasil penelitian menunjukkan keparahan penyakit tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol dengan 10 g F. oxysporum yaitu sebesar 2,60 % dan terendah pada perlakuan control, 18 g Trichodermasp., 24 g Trichodermasp., 18 g Gliocladiumsp. 24 g Gliocladiumsp. yaitu sebesar 0,71 %. Kejadian penyakit tertinggi terdapat pada perlakuan dengan 10 g F. oxysporum sebesar 5,01 % dan terendah pada perlakuan Kontrol, 18 g Trichodermasp., 24 g Trichodermasp., 18 g Gliocladiumsp. dan 24 g Gliocladiumsp. yaitu sebesar 0,71 %. Jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan 24 g Trichodermasp. sebesar 36 helai dan terendah pada perlakuan dengan 10 g F. oxysporum sebesar 29 helai. Sementara tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan 24 g Gliocladiumsp. sebesar 40,20 cm dan terendah pada perlakuan dengan 10 g F. oxysporum sebesar 37,26 cm. Adapun jumlah koloni F. oxysporum terbanyak terdapat pada perlakuan dengan 10 g F. oxysporum sebesar 8,86 %. Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan 24 g Trichodermasp. sebesar 2,34 Ton/Ha dan terendah perlakuan dengan 10 g F. oxysporum sebesar 1,56 Ton/Ha. Ujiantagonisme jamur Trichodermasp. dan Gliocladiumsp. terhadap F. oxysporum menunjukkan pertumbuhan kedua antagonis berkembang lebih pesat sehingga F. oxysporum cenderung menjauhi antagonis pada media di laboratorium.
lama. Patogen ini, umumnya menginfeksi pada bagian akar atau pangkal batang tanaman. Gejala layuFusarium tampak pada bagian atas tanaman. Penyakit tular tanah umumnya, sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan hidup dalam tanah dengan waktu yang lama, serta gejala awal sulit diidentifikasi, akibatnya penyakit sering dapat diketahui ketika serangan sudah lanjut (Djaenuddin, 2011).
Periode inkubasi baru muncul pada 30 hsi yaitu pada perlakuan A1, 45 hsi pada perlakuan A5 dan 60 hsi pada perlakuan A2. Hal ini disebabkan pada perlakuan A1 yang hanya diinokulasi dengan F. oxysporum, sehingga lebih cepat terserang dibandingkan dengan perlakuan A5 (Gliocladiumsp. 12g) dan A2 (Trichodermasp. 12g), karena pada perlakuan tersebut terdapat agens antagonis yang dapat melindungi tanaman serta dapat menghambat pertumbuhan F. oxysporum. Baker & Synder (1970) mengemukakan salah satu jamur yang bersifat antagonis yang banyak ditemukan di dalam tanah adalah Trichodermasp. Jamur ini selain bersifat hiperparasit terhadap beberapa jamur patogen, diketahui pula dapat menghasilkan antibiotik yang dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan jamur patogen. Sedangkan menurut Roseline (2000) Gliocladiumsp. merupakan jamur saprofit yang dapat berperan sebagai agen antagonis yang efektif untuk mengendalikan patogen tanaman, terutama patogen tanah.
Produksi Tanaman Bawang Merah Data Produksi Ton/Ha 15 Hsi Perlakuan Ulangan I Ulangan II Ulangan III Total Rataan A0 1.10 1.30 1.20 3.60 1.20 Transformasi data Arc Sin Perlakuan [r]
Bagian tanaman yang diserang adalah bagian dasar umbi lapis, sehingga pertumbuhan akar dan umbi terganggu. Daun bawang menguning dan terpelintir layu, tanaman mudah tercabut bahkan membusuk akibat serangan Fusarium pada dasar umbi sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan akar. Umbi yang terserang akan menampakkan dasar umbi yang putih karena massa cendawan dan umbi membusuk dimulai dari dasar umbi. Pada dasar umbi terlihat cendawan berwarna keputih- putihan, serangan lanjut tanaman akan mati yang dimulai dari ujung daun kemudian menjalar ke bagian bawah (BP4K, 2011) (Gambar 2).
Rima Yunisa Nasution. 2014. Effectiveness test on antagonist fungi Trichodermasp. and GliocladiumSp. to control fusarium disease (Fusariumoxysporum F.sp capsici) for chilli crop (Capsicum Annuum L.) at screen house. Supervised by Lahmuddin Lubis and Hassanuddin. The goal of the research is to examine antagonist fungi Trichoderma and Gliocladium virens towards F. Oxysporum that lead the fusarium disease for chilli crop at screen house. The research was conducted at Plant Disease Laboratory, Agroecoteknology Program Study, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan from July to November 2014. It was done by using Completely Randomized design (CRD) non factorial with ten treatments and three replications. The result showed all fungi that have used for (Trichoderma virdae, Trichoderma koningii, Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens.) have a potential as biological agents to control fusarium for chilli crop. The best result obtained on T. koningii with disease severity 7.21% for chilli crop at screen house. T. harzianum also improve plant growth with height 59.7 cm.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan Trichodermasp. untuk pengendalian penyakitlayu fusar- ium pisang di rumah kaca. Penelitian meliputi pengujian daya hambat Fusariumoxysporum f.sp. cubense (Foc) in vitro dan kemampuan menekan intensitas penyakit di rumah kaca. Penelitian in vitro meliputi ujiantagonisme dan mekanismenya yang dilakukan secara dual culture. Uji pengaruh Trichodermasp. terhadap penyakitlayuFusarium dilakukan di rumah kaca dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama adalah dosis biakan Tricho- derma sp., dengan tiga aras (0, 25, 50 g/per bibit dalam polibag). Faktor kedua adalah waktu pemberian dengan tiga aras (dua minggu sebelum, bersamaan, dan dua minggu setelah inokulasi dengan Foc). Tiap perlakuan terdiri atas 10 ulangan. Intensitas penyakit diamati dengan sistem scoring (1–4) terhadap kelayuan daun. Biakan Trichodermasp. di- tumbuhkan dalam medium campuran sekam dan bekatul (2:1, g/g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichodermasp. bersifat antagonistik terhadap Foc in vitro dengan daya hambat terhadap perkembangan koloni Foc 86%. Mekanisme penghambatan berupa hiperparasitisme. Hifa Trichodermasp. menempel, melilit pada hifa Foc sehingga terjadi lisis hifa. Lisis hifa Foc terjadi pada tempat persinggungan antara hifa Foc dan hifa Trichodermasp. Hasil pengujian di rumah kaca menunjukkan bahwa penyakitlayuFusarium dapat dihambat dengan pemberian Trichodermasp. dalam medium campuran dedak dan bekatul sebanyak 25 g pada per polibag yang dilakukan bersamaan dengan waktu inoku- lasi Foc.
Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap. Perlakuan adalah 5 kepekatan fungisida (0 ppm, 500 ppm, 1.000 ppm, 2.000 ppm, dan 4.000 ppm), tiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Jamur Foc sebagai inokulum diperbanyak pada medium beras steril dan diinkubasikan selama 2 minggu. Bibit pisang Cavendish sehat umur 4 bulan disiram dengan larutan fungisida 150 ml/tanaman dan di- biarkan 1 minggu. Akar dilukai untuk mempermudah proses penetrasi kemudian ditaburkan Foc isolat A13 yang telah ditumbuhkan pada medium beras sebanyak 25 gr inokulum beras/kg tanah sekitar per- akaran dalam polibag. Leaf Symptom Index (LSI) atau pengamatan gejala layu pada daun dilakukan tiap minggu, delapan kali, dimulai pada satu minggu setelah inokulasi. Rhizome Discoloration Index (RDI) atau pengamatan gejala pembusukan pada rimpang dilakukan pada saat pengamatan terakhir dengan metode Mak et al. (2004).
efektif menekan persentase daun layu sampai 65,90 % dan diskolorasi batang semu sampai 100% (Tabel 5.3), sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dengan efektivitas peningkatan berat kering biomassa 145,85 – 139,26% (Tabel 5.4). Mekanisme penghambatan oleh agens hayati terjadi melalui interaksi antara tumbuhan, agens biokontrol dan lingkungan. Hasil ini lebih baik dibanding hasil penelitian Suharti (2010) sebelumnya dimana aplikasi 3 kombinasi isolat rizobakteria dan FMA pada tanaman jahe yaitu Raa13+Fslk2, Rslk2+Fslk2 dan Rslk7+Fslk2 yang masih terserang masing-masing 16,66 %, 16,66 % dan 33,33 %, maupun dari hasil penelitian Nasrun (1996) dimana aplikasi beberapa isolat P. fluorescens (kelompok rizobakteria) yang berasal dari tanaman trefoil (Medicago lupulina) pada bibit jahe menunjukkan hanya mampu menurunkan serangan R. Solanacearum 18,75 – 56,25 % dibanding kontrol 87,50 %. Dari beberapa penelitian menggunakan agens hayati indigenus untuk pengendalian patogen, pada beberapa tanaman memperlihatkan hasil yang bervariasi. Nurbailis (2007) melaporkan bahwa terjadi peningkatan ketahana tanaman pisang terhadap Fusariumoxysporum menggunakan Trichoderma.
Cabai merupakan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan diusahakan secara komersial dalam skala besar maupun skala kecil. Permintaan cabai setiap tahunnya terus meningkat namun produksi cabai masih rendah. Rendahnya produksi cabai dikarenakan serangan kapang Fusariumoxysporum f.sp. capsici yang meyebabkan penyakitlayu pada tanaman cabai. Penanggulangan penyakitlayufusarium dilakukan dengan fungisida sintetik yang dapat menyebabkan pencemaran bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Pemanfaatan kapang Gliocladiumsp. merupakan alternatif pengendalian serangan kapang Fusariumoxysporum f.sp. capsici tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Senyawa bioaktif dari supernatan biakan kapang Gliocladiumsp. dan mengetahui dosis yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang Fusariumoxysporum f.sp. capsici. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 sampai Desember 2015. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen, menggunkan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan berupa konsentrasi supernatan dari biakan kapang Gliocladiumsp. (P1 konsentrasi supernatan (100%), P2 (90%), P3 (80%), P4 (70%), P5 (60%), dan P6 (50%)) dan fungisida “Dakonil 75WP” sebagai kontrol positif (P0). Parameter yang diamati berupa diameter zona hambat pada berbagai konsentrasi supernatan biakan kapang Gliocladiumsp. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian (ANAVA) pada taraf kepercayaan 95% dan uji lanjut Least Significant Differences (LSD) pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, P0 dan P4 tidak berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P5 dan P6. Pada perlakuan P1 berbeda nyata dengan P5 dan P6 sedangkan untuk P2 dan P3 berbeda nyata dengan P6. Senyawa bioaktif yang terdeteksi pada kapang Gliocladiumsp. adalah senyawa flavonoid dan saponin. Berdasarkan kategori respon hambat dari Alfiah (2015), semua perlakuan tidak efektif sebagai fungisida alami terhadap kapang Fusariumoxysporum f.sp. capsici.
Kemampuan kolonisasi Trichoderma pada akar bibit pisang ditentukan dengan metode yang dikemukan oleh Ozbay and Newman (2004). Keberadaan endofit Trichoderma di dalam jaringan akar diamati dengan metode Giovanetti and Mosse (1980).
Iskandar M., dan W.S. Pinem. 2009. Uji efektifitas jamur ( Gliocladium virens dan Trichoderma koningii ) pada berbagai tingkat dosis terhadap penyakit busuk pangkal batang ( FusariumOxysporumF. Sp. Passiflorae) pada tanaman markisah ( Passiflora Edulis F. Edulis) di lapangan. USU e-Journals (UJ) .
Deli Serdang. Bagian yang terinfeksi seperti pangkal batang dibersihkan dengan air steril, lalu dipotong-potong sebesar 0,5 cm. Setelah itu disterilkan dengan klorox 1 % selama lebih kurang 3 menit dan dibilas 2-3 kali dengan air steril. Selanjutnya potongan tersebut ditanam dalam media PDA dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 minggu. Setelah 1 minggu miselium yang tumbuh dari jaringan terinfeksi dikulturkan kembali pada medium baru sampai diperoleh isolat F. oxysporum f.sp. capsici yang murni.
Rima Yunisa Nasution. 2014. Effectiveness test on antagonist fungi Trichodermasp. and GliocladiumSp. to control fusarium disease (Fusariumoxysporum F.sp capsici) for chilli crop (Capsicum Annuum L.) at screen house. Supervised by Lahmuddin Lubis and Hassanuddin. The goal of the research is to examine antagonist fungi Trichoderma and Gliocladium virens towards F. Oxysporum that lead the fusarium disease for chilli crop at screen house. The research was conducted at Plant Disease Laboratory, Agroecoteknology Program Study, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan from July to November 2014. It was done by using Completely Randomized design (CRD) non factorial with ten treatments and three replications. The result showed all fungi that have used for (Trichoderma virdae, Trichoderma koningii, Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens.) have a potential as biological agents to control fusarium for chilli crop. The best result obtained on T. koningii with disease severity 7.21% for chilli crop at screen house. T. harzianum also improve plant growth with height 59.7 cm.
Penyakit ini terutama menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di dekatnya (Semangun, 1994). Spora Foc dalam tanah berkecambah dan tumbuh menuju akar sekitar tanaman pisang. Infeksi terjadi pada akar sekunder yang lebih halus dan akhirnya menjadi lebih besar dan menginfeksi akar primer melalui pembuluh xilem sebelum ke rimpang. Akar utama dan rimpang tidak tampak jelas terinfeksi langsung oleh patogen. Jaringan xilem terdiri dari serangkaian pembuluh individu dengan ujung berlubang yang mengalirkan getah. Gerakan spora dengan aliran getah yang tersumbat sementara akan tersangkut di akhir dinding. Spora kemudian berkecambah dan hifa tumbuh melalui perforasi kedalam pembuluh selanjutnya. Tanaman ini sering mampu untuk mencegah terjadinya infeksi gerakan yang memasuki rimpang dengan cara memproduksi gel atau tiloses (mekanisme resistensi) untuk menutupinfeksi. Namun beberapa infeksi dapat terjadi selama tanaman hidup dan akan mengarah pada invasi lengkap. Virulensi pada pada pisang Cavendish ras 4 pada daerah tropis menunjukkan bahwa mekanisme resistensi yang digunakan terhadap jenis pisang ini tidak seefektif pada tanaman pisang ras 4 di daerah subtropis.
PenyakitlayuFusarium yang disebut juga dengan penyakit Panama merupakan salah satu penyakit penting pada pisang, penyakit ini disebabkan oleh Fasarium oxysporum f.sp cubense (Foc). Patogen ini dapat menyerang tanaman pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman, baik saat tanaman masih berupa fase bibit, tanaman dewasa ataupun tanaman yang telah berbentuk tandan (Wardlaw, 1961).
Gejala yang klasik dan menyolok dari layufusarium pada awalnya adalah terjadi penguningan tepi daun pada daun-daun yang lebih tua ( gejala ini awalnya sulit dibedakan dari kekurangan kalium, terutama pada kondisi kering atau sejuk). Gejala menguning berkembang dari daun tertua menuju ke daun termuda. Daun- daun yang terserang secara berangsur-angsur layu pada tangkainya atau lebih umum pada dasar ibu tulang daun dan menggantung ke bawah menutupi batang semu. Rata-rata lapisan luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah atau terjadi retakan memanjang pada batang semu. Pada bagian dalam apabila dibelah, terlihat garis- garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar tidak berubah warnanya, namun sering akar tana man sakit berwarna hitam dan membusuk (akan tampak pada tanaman yang berumur 5-10 bulan ). Pada beberapa kultivar, daun-daun pada tanaman yang terinfeksi berwarna sangat hijau sampai daun rebah dan menjadi layu. Daun-daun termuda menampakkan gejala yang paling akhir dan seringkali berdiri tegak. Pertumbuhan tanaman tidak terhenti, daun-daun yang baru muncul berkurang sangat tajam dan nampak berkerut semu. Tidak terdapat gejala patogenik pada buah, akan tetapi serangan penyakit dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah (Semangun 1994; Ploetz & Pegg 2000).