Pada cacatan yang diberikan pada Putusan MA No 943 K/Sip/1987, 1987, 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Kita kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini. Pemberian hak melakukan perubahan gugatan sepanjang atau selama proses pemeriksaan, apalagi sampai putusan dijatuhkan ; dianggap merupakan kesewenanga- wenangan tergugat. Dari segi lain, kebolehan yang demikian, secara nyata dan objektif dapat menghambat penyelesaian perkara. Misalnya, pada saat putusan hendak dijatuhkan, penggugat mendadak mengajukan perubahan gugatan yang memerlukan pembelaan dari pihak penggugat. Tindakan tersebut jelas menghambat penyelesaian serta mengandung kesewenang-wenangan dari pihak penggugat. Oleh karena itu, sangat beralasan memodifikasi ketentuan itu ke arah jangka waktu yang layak dan realistik.
Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan, maka perbuatan sekehendaknya sendiri harus dihindarkan. Jika kita melaksanakan hukum materiil itu sendiri menurut kehendak sendiri atau pihak yang bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah “Main Hakim Sendiri”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan oleh kita semua, sebab dengan keadaan demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak akan terjamin lagi, sedangkan ketertiban ini merupakan salah satu tujuan daripada hukum. Maka dari itu, apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.
3. Petitum (hal yang diinginkan diminta oleh penggugat agar diputuskan/ditetapkan dan diperintahkan oleh hakim). Petitum harus lengkap dan jelas (misal, mengenai sita jaminan maka dimohonkan untuk dinyatakan sah dan berharga). • Pada asasnya, gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat (asas aqtor sequitor
Gugatan ini dimungkinkan dua hal. Bisa saja oleh pihak yang berkepentingan langsung yang dirugikan dan mewakili kelompok yang sama maupun oleh lembaga tertentu. Secara rinci gugatan perwakilan diatur dalam Perma No 1 Tahun 2002 tentang acaragugatan perwakilan kelompok.
- Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat. Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh Penggugat.
Contoh lain, yaitu seorang istri yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Seorang istri mohon agar diperkenankan untuk meninggalkan tempat tinggal bersama selama proses berlangsung. Hakim yang memeriksa akan menjatuhkan putusan sela atas permohonan untuk meninggalkan tempat tinggal bersama tersebut. Putusan provisional selalu dapat dilaksanakan terlebih dahulu (Pasal 180 HIR).
1. Gugatanperdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
_______________, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Hernoko Agus Yuda, Hukum Perjanjian As[r]
Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg..
Salah satu tujuan pokok sistem rekonvensi adalah untuk menyederhanakan proses serta sekaligus untuk menghemat biaya dan waktu. Sehingga memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan gugatan rekonvensi, tidak akan menyederhanakan proses pemeriksaan karena memerlukan perlakuan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, agar tujuan yang diamanatkan dalam sistem rekonvensi ini (Pasal 132 huruf (a) HIR) tidak menyimpang dari arah yang dicita-citakan, sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas yang substansial dan relevan dengan gugatan konvensi. Namun, prinsip ini tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar terlepas kaitannya dengan gugatan konvensi.
Perbandingan Sistematika Hukum Perdata menurut Ilmu Pengetahuan Hukum dan KUHPerdata Ilmu Pengetahuan Hukum KUHPerdata Hukum Perorangan Buku I tentang Orang Hukum Kekeluargaan Absolu[r]
Dalam proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri terdapat beberapa acara pemeriksaan dimuka hakim, diantaranya pengajuan gugatan oleh penggugat, kemudian pada sidang-sidang selanjutnya dilanjutkan dengan pembacaan gugatan oleh penggugat, pengajuan jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan sampai dengan putusan hakim dan menjalankan putusan tersebut.
Apa yang tersebut pada sub a dan b merupakan syarat mutlak untuk syahnya penetapan penyerahan. Kelalaian tentang hal ini diancam dengan pembatalan oleh Pengadilan Tinggi. Ayat (5) menentukan bahwa apabila tertuduh dihadapkan kepengadilan karena tuduhan suatu peristiwa pidana yang ada ancaman pidana mati, dan tertuduh menghendakinya, maka untuk membela tertuduh dengan percuma di depan pengadilan, ketua menunjuk seorang anggota pengadilan negeri atau seorang pegawai pada pengadilan negeri itu, atau orang lain yang ahli hukum yang bersedia dengan percuma melakukan pembelaan itu (ayat (6) pasal 250). Dalam hubungan ini perlu disebutkan bahwa menurut pasal 35 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970 setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Pelaksanaan hak ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Instruksi Pangkopkamtib No: Ins.03/Kopkam/XI/1978. Ayat (7) menentukan, bahwa pada surat penyerahan perkara itu hakim selanjutnya menetapkan hari persidangan dan memerintahkan untuk menyuruh panggil saksi-saksi pada hari itu, yang dipandangnya perlu bagi pemeriksaan pengadilan. Sudah barang tentu yang dipanggil itu hanyalah saksi-saksi yang sungguh-sungguh penting bagi pembuktian kesalahan tersangka. Tersangka diberitahu isi surat penyerahan itu dengan perintah untuk menghadap pada hari yang telah ditetapkan itu di persidangan pengadilan.
Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkanya.
Fundamentum petendie (posita) adalah dasar atau dalil gugatan yang berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara (penggugat dan tergugat), yang terdiri dua bagian (a) uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa- peristiwa (eitelijke gronden) dan (b) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden)
Pengaturan class action ke dalam hukum materiil teinspirasi dari pengaturan class action di Amerika pada Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure yang telah menentukan persyaratan antara lain numerasity, commonality, typicality dan adequation of representation. Ketentuan hukum materiil di Indonesia belum dilengkapi dengan hukumacara tentang class action. Perkembangan berikutnya untuk lancarnya proses peradilan dan mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 HukumAcaraGugatan Perwakilan Kelompok. Dengan digantinya UU No. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009, penerapan gugatan class action berpedoman pada PERMA tersebut. Pengaturan class action dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dalam penerapannya masih banyak kekosongan hukum. Proses awal/sertifikasi sangat menentukan sekali apakah gugatan tersebut dapat diterima/masuk sebagai gugatan class action karenanya peran hakim aktif termasuk advocat/kuasa sangat memegang peranan sehingga sambil menunggu UU, hakim berkewajiban menambal sulam PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karena PERMA No. 1 Tahun 2002 AcaraGugatan Perwakilan Kelompok (class action) pengaturannya sangat sumir, hakim dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, khusus dalam proses awal/atau sertifikasi perlu melakukan studi komparasi ke negara-negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon yang sudah lama menerapkan class action tersebut. Segala konsekwensi terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Adanya beberapa lingkungan badan peradilan dalam kekuasaan kehakiman sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman adanya kopetensi yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan (pengadilan negeri) sudah tentu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus bijak terhadap hal tersebut.