Top PDF KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945
Menurut sejarahnya pun dalam hal ini sejarah ketatanegaraanIndonesia, system Bikameral telah dikemukakan pada tahun 1919 dalam kongres Sarekat Islam IV, yang merancang DPR terdiri dari dua (2) Kamar yaitu kamar pertama (earste Kamer) terdiri dari wakil – wakil serekat sekerja dan kamar Kedua (tweede Kamer) terdiri dari anggota partai yang dipilih oleh Rakyat 13 .Pengertian yang mungkin sama dirumuskan tentang struktur parlemen Indonesiamenurut konstitusi RIS yang dianalisis berdasarkan fungsi Legislasi Parlemen yang dibatasi hanya dalam hal pembentukan Undang – Undang ( fungsi Legislasi dalam arti sempit ), yaitu dibahas mengenai mekanisme hubungan antar kamar dalam pembentukan UU pada pada parlemen, maka RIS merupakan Negara yang menggunakan Weak Bicameralism 14 .
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD NRI 1945. Proses selanjutnya apabila putusan MK membenarkan usul DPR maka diteruskan ke MajelisPermusyawaratanRakyat (MPR) yang memutuskan dapat atau tidaknya Presiden dan/atau Wakil Presiden dimakzulkan
Sri Soemantri dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama-tama kedaulatan tersebut menyangkut kedaulatan ke dalam, dari rumusan di atas, juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan MPR terhadap individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat negara tersebut terbatas dalam batas yurisdiksinya, artinya adalah MPR berkuasa menetapkan bermacam-macam putusan yang ditujukan kepada siapa pun yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan RI. 90 MPR adalah lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi. Kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif melainkan enunsiatif yang bersumber pada Pasal 1 ayat (2) itu sendiri. Dengan demikian Majelis mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara lembaga-lembaga negara lainnya. MPR inilah yang mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negaramenurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris” dari Majelis, ia wajib menjalankan putuan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. 91
Tidak dipungkiri ada hal yang mengganjal mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam perspektif UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Namun berkaitan dengan mekanisme pemakzulan sebagaimana dijelaskan di atas, Indonesia cenderung tidak menunjukkan karakternya sebagai negara hukum secara sempurna, yaitu tidak terdapat penguatan terhadap supremasi hukum, seperti keputusan hukum Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat sesuai degan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI Tahun1945, akan tetapi proses akhir dilaksanakan berdasarkan kesepakatan politik di MPR. 16 Hal ini menjadikan adanya perbedaan terkait sifat putusan dalam Pasal 24C Ayat (1) dengan Pasal 24C Ayat (2) UUD NRI Tahun1945 mengenai putusan final dan mengikat hanya diperuntukkan untuk mengadili perkara sesuai dengan Ayat (1) atau juga termasuk perkara dalam Ayat (2).
Sedangkan dari dua kali pemilihan umum yang telah diselenggarakan di bawah UUD 1945, boleh dikatakan bahwa MPRRI (periode 1972-1977 dan periode 1977-1982) diproses dan dibentuk oleh pemilihan umum. Memang secara yuridis, MPRRI adalah hasil pemilihan umum, namun perlu diketahui bahwa hingga Pemilu 1999 masih ada anggota MPRRI hasil pengangkatan dan penunjukan Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan masa itu pun, MPR masih merupakan lembaga yang lemah dibanding lembaga eksekutif yang posisinya lebih kuat. Karena saat itu belum pernah MPRRI sebagai Lembaga Tertinggi Negara meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden yang diangkat, padahal MPR berwenang untuk itu 47
The amendment of 1945 Indonesian Constitution took many changes, one of them is the existence of the regulation about the dismissal of President and/or Vice President in his/her term of office (deposing). This event certainly made Indonesia becoming more determided for carrying out the law-state principle due to the involvement of Contitutional Court (Indonesian: Mahkamah Konstitusi, MK) in the decision-making process. Therefore, hopefully there would be no more dismissal of President and/or Vice President by political reason. This study aims at analysing the mechanism of dismissal the President and/or Vice President in his/her term of office (deposing), and then to interpretate the final verdict which was uses for the dismissal of the President and/or Vice President. This study is a normative legal research, using qualitative descriptive analysis, and using hermeneutics interpretation of the law. This result of this research showed that dismissal of the President and/or Vice President shall be proposed by the House of Representatives (Indonesian: Dewan Perwakilan Rakyat, DPR) to the People’s Consultative Assembly (Indonesian: MajelisPermusyawaratanRakyat, MPR). Prior to the filing of the dismissal to the People’s Consultative Assembly, House of Representatives must first submit an application to the Contitutional Court. However, the mecanism of 1945 constitution bore many fissure for the dismissal of persident and/or Vice President by political reason. Where the final decision lies in the hands of People’s Consultative Assembly (Indonesian: MajelisPermusyawaratanRakyat, MPR) through the plenary meeting with the final decision comes through majority voice model.
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Neg[r]
Amandemen Undang-UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945 membawa banyak perubahan, salah satunya adalah adanya aturan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pemakzulan). Hal ini tentu menjadikan Indonesia semakin mantap dalam menjalankan prinsip negara hukum karena dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam pengambilan putusan. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan alasan politik. Namun ternyata mekanisme dalam Undang-UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945 masih terdapat celah untuk melakukan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan alasan politik. Di mana keputusan akhir berada di MPR melalui rapat paripurna dengan pengambilan keputusan menggunakan model suara mayoritas. Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan normatif serta dibahas lebih mendalam menggunakan metode penafsiran hermeneutika hukum.
UUD 1945 setelah perubahan telah merubah sistemketatanegaraanIndonesia yang sebelumnya pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan dengan menerapkan prinsip cheks and balances, hal ini sesuai dengan kesepakatan BP- MPR untuk melakukan pemurnian sistem pemerintahan presidensial dalam perubahan UUD 1945. KedudukanMPR berubah yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara yang sederajat. Keadaan ini telah mengurangi kewenanganMPR, saat ini MPR mempunyai kewenangan: (i) mengubah dan menetapkan UUD; (ii) melantik presiden dan/atau wakil presiden; (iii) memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatan; dan (iv) memilih presiden dan/atau wakil presiden dalam mengisi lowongan jabatan. MPR tidak lagi menetapkan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden, akibatnya tidak satupun kewenanganMPR yang bersifat tetap. Melalui penelitian normatif dengan pendekatan sejarah dan perundangan, penelitian ini bertujuan melihat implikasi yang ditimbulkan pada perubahan kewenanganMPR. Hasil penelitian ini melihat bahwa perubahan kewenanganMPR berimplikasi pada: perubahan struktur ketatanegaraanIndonesia serta kedudukanMPR, komposisi MPR berubah, perubahan pola hubungan MPR antar lembaga tinggi negara sederajat, produk hukum MPR, dan penambahan substansi pada seluruh kewenanganMPR.
Ide awal pembentukan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen di Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double -ch eck” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPD. Eksistensi DPD sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat mengambarkan bahwa dalam parlemen Indonesia terdiri dua majelis atau dua kamar (bicameral system). Penentuan apakah sistem parlemen satu kamar, dua kamar tidak dapat didasarkan pada landasan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan bentuk sistem pemerintahan, melainkan oleh sejarah ketatanegaraannegara. Pasca amandemen, pemebentukan DPD sebagai lembaga negara yang baru, diatur di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 22D dan Pasal 22D UUD 1945. Penelitian ini berjudul “ Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Kelembagaan Legislatif Menurut UUD 1945 ”, dengan rumusan masalah: Bagaimana kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Kelembagaan Legislatif menurut UUD 1945? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui untuk mengatahui Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Kelembagaan Legislatif di Indonesiamenurut UUD 1945! Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, Kedudukan Dewan Perwakilan dalam sistemketatanegaraan Republik Indonesia adalah merupakan lembaga negara utama (main state organ) yang disebutkan dan diberikan kewenangannya secara langsung oleh UUD 1945, sehingga kedudukannya sebagai lembaga negara adalah sederajat/sejajar dengan lembaga-lembaga negara konstitusional lainnya. Kedudukan DPD secara kelembagaan adalah wujud representasi daerah yang memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah. Akan tetapi bila melihat kenyataan yang ada maka kedudukan DPD tidak berimbang/sederajat dengan kedudukan DPR. Meskipun kedua lembaga negara tersebut ditentukan secara konstitusional sebagai lembaga legislatif menurut UUD 1945. Namun, ketidak seimbangan itu tetap nampak dari tugas, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh DPD.
Dari uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada keterkaitan (relasi) antara politik dan pendidikan Islam di Indonesia. Terbukti kebijakan politik menentukan arah dan nasib pendidikan Islam di negeri ini. Begitu pula sebaliknya, pendidikan Islam melahirkan banyak tokoh politik dan negarawan yang menyebar di berbagai bidang dalam pemerintahan. Beberapa produk kebijakan politik pendidikan Islam selama ini bias dirunut dalam berbagai kebijakan pemerintah dari Orde ke Orde. Kebijakan politik ternyata juga membuat dampak seperti terjadinya dikotomisasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum yang selalu terjadi. Tapi belakangan, berkat kebijakan politik pula, dikotomisasi itu relatif bisa diminimalisasi. Namun begitu bukan berarti tidak menyisakan masalah signifkan. Pertanyaan terakhir itu diantaranya, mau dibawa kemana (quo vadis) kebijakan politik pendidikan Islam di Indonesia saat ini dan akan datang. Akankah pendidikan Islam diintegrasikan seratus persen atau bagaimana?***
Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan dengan saksama dan sungguh- sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 37 Undang-UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945, MajelisPermusyawaratanRakyat Republik Indonesia mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, pasal 25E, Bab X, pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945 sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
pun kita cantumkan ketika satu generasi memang sudah bertekad untuk mengubah toh terjadi. Pada saat kita mau mengubah Undang-UndangDasar ini mulai dengan perubahan pertama, sebetulnya andai kata ketentuannya harus 90% Anggota MPR setuju, jalan juga. Karena memang semangat pada waktu itu adalah semangat tanda kutip pemberontakan terhadap Penjelasan terhadap jaman. Sehingga sekaligus juga menempatkan soal Penjelasan, pemberontakan dalam tanda kutip tadi kan terjadi juga terhadap pikiran-pikiran dasar gagasan-gagasan dasar yang sebetulnya menjiwai Undang-UndangDasar yang ada pada Pembukaan, itu sebabnya kita membongkar pikiran-pikiran yang mengatasnamakan semangat penyelenggara negara, misalnya kita merasa itu tidak cukup. Karena itu kalau kita mengatakan bahwa secara substansial Penjelasan kita ingin pindahkan, itu artinya bukan mentah-mentah karena sudah ada pemberontakan, sudah ada pengingkaran terhadap pikiran-pikiran Soepomo yang ada di dalam Penjelasan. Dan karena itu pula, di dalam kerangka kita memindahkan substansi Penjelasan ke pasal-pasal, memang bahasanya Pak Andi tadi yang sesuai dengan Perubahan. Artinya sesuai dengan semangat tanda kutip pemberontakan yang kita lakukan. Tapi mungkin dengan bahasa yang lebih jauh yang lebih semangat demokratisasi, semangat pembaharuan yang ingin kita lakukan.
Kristiyanto, Eko Noer, 2013, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Impeachment of President of the Republic of Indonesia after the amendment of Constitution) , Jurnal Rechtsvinding, Volume 2, Nomor 3.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaran Negara Republik Indone[r]
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – sekarang setidaknya telah dua kali terjadi modifikasi ajaran pemisahan kekuasaan dalam ketatanegaraanIndonesia, yaitu sebelum amandemen dan sesudah amndemen. Sebelum amandemen Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasan, namun setelah amandemen Indonesia memiliki kecenderungan menganut sistem check and balances. Ajaran pembagian kekuasaan dapat ditunjukan dalam pasal 5, pasal 14, pasal 21 dan pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Menurut Moh Kusnardi , dengan mendasarkan pada UUD 45 paling tidak ada 3 alasan pemerintahan Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan, yaitu:
Tidak semua bekas jajahan Inggris tergabung dalam Commonwealth karena keanggotaannya bersifat sukarela. Ikatan Commonwealth didasarkan pada perkembangan sejarah dan azas kerja sama antaranggota dalam bidang ekonomi, perdagangan (dan pada negara-negara tertentu juga dalam bidang keuangan). India dan Kanada adalah negara bekas jajahan Inggris yang semula berstatus dominion, namun karena mengubah bentuk pemerintahannya menjadi republik/ kerajaan dengan kepala negara sendiri, maka negara-negara itu kehilangan bentuk dominionnya. Oleh karena itu persemakmuran itu kini dikenal dengan nama“Commonwealth of Nations”. Anggota-anggota persemakmuran itu antara lain: Inggris, Afrika Selatan, Kanada, Australia, Selandia Baru, India, Malaysia, etc. Di sebagian dari negara-negara itu Raja/ Ratu Inggris diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal, sedangkan di ibukota Inggris, sejak tahun 1965 negara-negara itu diwakili oleh High Commissioner.
(c) Mengubah penomeran pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang- UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-UndangDasarNegara Republik IndonesiaTahun1945 menajdi Pasal 25A;
(3)�� Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, MajelisPermusyawaratanRakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai habis masa jabatannya.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.