Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substansi dari pemeriksaantindakpidanaringan dan keberadaan acarapemeriksaantindakpidanaringan dalam KitabUndang-undangHukumAcaraPidana masih relevan di masa sekarang dan masa mendatang. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, maka dapat disimpulkan: 1. Substansi dari AcaraPemeriksaanTindakPidanaRingan adalah sebagai acarapemeriksaan untuk kejahatan dan pelanggaran yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling tinggi Rp7.500,-, termasuk di dalamnya juga kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven). 2. Keberadaan AcaraPemeriksaanTindakPidanaRingan masih relevan dengan keadaan sekarang ini maupun di masa mendatang, sebab merupakan perwujudan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil”. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a undang-undang ini ditentukan bahwa perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, atau yang menurut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3) bab b dianggap diancam dengan hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, begitu juga kejahatan “penghinaan ringan” yang dimaksud dalam Pasal 315 KUHPidana, diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali Jaksa itu sebelumnya telah menyatakan keinginan untuk menjalanklan pekerjaannya pada sidang itu.
Indonesia sebagai Negara hukum yang secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 4 Ruang lingkup proses penegakan hukum di Indonesia secara jelas diatur dalam Undang- UndangNomor8Tahun1981 (UU No. 8Tahun1981), tentang HukumAcaraPidana. Dimana disebutkan: Bahwa Negara Republik Indonesia ialah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjunghukum dan pemerintahannya dengan tiada kecualinya. 5
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ida Ratnawati hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, mengatakan bahwa: Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukumacara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus serta hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan / menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor penting dalam menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan.
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : a) Kebijakan Pembuktian dalam UU TPPU pada prinsipnya telah memenuhi formulasi pembentukan hukum, namun dalam hal input terdapat suatu hambatan yaitu tidak terdapatnya feedback yaitu ketercapaian out comes yang dihasilkan, karena UU TPPU terlalu didominasi oleh komponen politik sebagai komponen utama, dan kurang memperhatikan komponen ekonomi dalam hal ini adalah kerugian yang diderita negara sebagai akibat TPPU.Dalam formulasi suatu peraturan hendaknya memperhatikan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga dalam tataran pelaksanaan dapat terwujud tujuan dari hukum tersebut, b) Konsekuensi dan implikasi dari terdapatnya persamaan dan perbedaan pengaturan pembuktian antara KUHAP dan UU TPPU yaitu persamaannya adalah bahwa kedua undang-undang tersebut sama sama menggunakan sistem pembuktian dan alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam KUHAP tidak diatur sistem pembuktian terbalik dan alat bukti elektronik yang merupakan suatu perluasan alat bukti dalam UU TPPU. c) Dalam hal pembuktian TPPU terdapat kelemahan berupa disamakannya kekuatan alat bukti elektronik disamakan dengan alat bukti petunjuk sehingga dapat dengan mudah dikesampingkan oleh alat bukti lain sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP. Sedangkan dalam pembuktian terbalik terdapat kelemahan karena adanya asas retroaktif, berkenaan dengan asas yang pada hakekatnya hukum tidak boleh berlaku surut, kurangnya pengaturan alat bukti elektronik, adanyastruktur penegak hukum yang kurang memahami secara komprehensif tentang pembuktian, serta terbenturnya pembuktian dengan sistem birokrasi, serta surat fiktif tentang harta kekayaan yang seakan-akan sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti surat.
Fungsi dan tujuan bantuan hukum di negara berkembang khususnya di Indonesia, merupakan hal yang menarik karena bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat di pisahkan dari nilai-nilai moral, budaya, pandangan politik, dan filosofi hukum di Indonesia. Bantuan hukum bagi kaum miskin mempuyai kedudukan strategis dalam sistim peradilan pidana di Indonesia yang menganut sistem akusatur (due process of law) atau penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum, tetapi dalam praktik sehari-hari sistem inkuisitur (crime control arbitrary process) masih dijalankan sehingga fakir miskin sering menjadi sasaran penyiksaan, perlakuan didakwa melakukan tindakpidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Sementara dalam Ayat (2) nya dinyatakan setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Namun harus diakui, ketentuan ini masih mengandung kelemahan. KUHAP hanya menyebutkan tersangka atau terdakwa yang diperiksa oleh pejabat aparat penegak
Penelitian ini mengkaji tentang praperadilan atas status tersangka dalam perkara pidana dihubungkan dengan Undang-UndangNomor8Tahun1981 Tentang KitabUndang-UndangHukumAcaraPidana. KitabUndang-UndangHukumAcaraPidana memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan dan penyitaan dan sebagainya. Upaya paksa yang dilakukan penyidik terhadap seseorang yang disangka melakukan tindakpidana dapat dikontrol melalui praperadilan. Tujuan utama dari praperadilan adalah sebagai perlindungan bagi setiap tersangka untuk mengetahui sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti kerugian dan rehabilitasi. Salah satu kasus berkenaan dengan praperadilan di Indonesia yaitu kasus Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan ( selanjutnya disebut Budi Gunawan) yang mengajukan praperadilan atas status tersangka atas dugaan korupsi yang di dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan tentang praperadilan atas status tersangka berdasarkan Undang-UndangNomor8Tahun1981 Tentang HukumAcaraPidana dan akibat hukum dari putusan praperadilan atas status tersangka menurut ketentuan hukumacarapidana di Indonesia.
Studi dokumen adalah pengumpulan data yang mengidentifikasi semua data dalam bentuk berkas perkara kasus tindakpidana pemalsuan uang, dan jumlah tindakpidana pemalsuan uang yang disidik oleh penyidik dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yang diperoleh selama penelitian pada instansi Kepolisian Daerah Provinsi Sumatera Barat. Dalam hal ini penulis juga menggunakan metode purposive sampling 25 , dimana data/ berkas yang diambil, dikualifisir terlebih dahulu menurut jenis tindakpidana pemalsuan uang, kemudian dari beberapa sampel diambil 1 (satu) berkas terkait yang akan dijadikan sebagai bahan acuan penelitian.
adalah pelaku tidak dikenakan upaya paksa berupa penahanan dalam proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan dan hukumacara yang digunakan adalah hukumacara dengan acarapemeriksaan cepat. Perbedaan dalam lingkup hukumpidana materiil antara lain adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tidak sepenuhnya mengubah ketentuan mengenai tindakpidanaringan. Sedangkan perbedaan dalam lingkup hukumpidana formil antara lain adalah pelaku dalam perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan dikenakan penahanan apabila nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara lebih dari Rp. 250,-. Sedangkan setelah berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 pelaku dalam perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan dikenakan penahanan apabila nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara lebih dari Rp. 2.500.000,-.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pembuktian terhadap kesaksian melalui video conference dilihat dari perspektif hukumacarapidana dan pemeriksaan dengan menggunakan video conference menuruthukumacarapidanaUndang-undangNomor8tahun1981 tentang KUHAP, dengan menggunakan metode penelitian normatif, yang mengkaji beberapa pendekatan yaitu, pendekatan Perundang- undangan, Pendekatan konseptual dan Pendekatan Kasus. Untuk mengisi kekaburan norma maka dilakukanlah penafsiran ekstensif atau memperluas arti kata, atau pelebaran norma untuk memperoleh kekuatan pembuktian kesaksian melalui video conference tersebut, karena dalam KUHAP hanya mengatur tentang saksi yang hadir langsung dimuka persidangan namun tidak mengatur dengan jelas tentang kesaksian melalui video conference.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui. Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menuruthukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Fenomena lain, terjadi di tahanan Polres Jakarta Barat, bahwa berdasarkan pengaduan Advocat Cinta Tanah Air (ACTA) kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengadukan dugaan dan potensi pelanggaran HAM terkait kasus Rubby Peggy pada 2017. Beredar kabar bahwa tahanan tidak boleh mengenakan celana panjang meskipun sedang menunaikan sholat bagi yang muslim. ACTA juga akan mengadakan pertemuan lanjutan dengan Polres Jakarta Barat. Pertemuan ini adalah tindak lanjut dari tuduhan yang ACTA layangkan terkait tindak kekerasan psikologis Rubby Peggy. Ketua ACTA Kris T. Wahyudi mengatakan, pihaknya melihat melalui CCTV, beberapa tahanan menunaikan shalat menggunakan celana pendek. Namun tidak ada yang melihat secara langsung Rubby melakukan hal yang sama (http: //nasional.republika.co.id/
Menetapkan seseorang menjadi tersangka merupakan hal yang cukup mudah di Indonesia. Cukup dengan sebuah laporan polisi dan satu alat bukti yang sah saja, seseorang bisa langsung menyandang status tersangka. Beberapa waktu ini, marak pemberitaan tentang penangkapan seorang pejabat negara yang diduga melakukan suatu tindakpidana umum. Peristiwa ini kemudian menjadi polemik dan menarik perhatian publik yang cukup luas. Pemberitaan atas penangkapan seperti ini seharusnya memberikan muatan materi hukumacarapidana sehingga masyarakat pun memperoleh kesempatan untuk mengetahui bagaimana penerapan hukumacarapidana di Republik ini. Seringkali, hukumacarapidana diterapkan berdasarkan penafsiran hukum yang berbeda-beda oleh oknum penegak hukum.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan asas legalitas terhadap suatu tindakpidana dalam hukumacarapidana dan bagaimana para pihak yang terlibat dalam hukumacarapidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka disimpulkan: 1. Asas o P o]š o Z ZŒ}Z[ •ebagai pembatas dari kekuasaan negara yang sangat luas dan untuk mencegah adanya pelanggaran HAM terhadap warga negara yang diduga melakukan tindakpidana, maka dengan asas legalitaslah untuk melindungi hak-hak fundamental warga negara (hak individu; sama kedudukan di hadapan hukum), dan para penegak hukum hanya dapat melaksanakan tugasnya sesuai perintah
Meskipun Undang-undangNomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukumacarapidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat ketentuannya.
penelitian hukum normatif, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Wewenang Kejaksaan dalam menangani Tindakpidana Korupsi terlihat jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku baik sebagai penyelidik, penyidik maupun penuntut umum, selain lembaga kejaksaan lembaga Kepolisian dan Lembaga Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi juga berwenang dalam menangani tindakpidana korupsi di Indonesia. 2. Mengenai kewenangan Penuntutan dari Kejaksaan Republik Indonesia ternyata dimiliki oleh institusi lain yang memiliki kewenangan yang sama di bidang penuntutan. Ini
Menurut penulis dimana dalam tindakpidana pencucian uang pasif dapat menggunakan pembuktian terbalik dimana seorang tersangka tindakpidana pencucian uang pasif sudah dianggap bersalah, sehingga ia harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya bukan dari hasil tindakpidana pencucian uang. Seperti yang sudah diatur di dalam Undang-UndangNomor8Tahun 2010 dalam pasal 77 dan 78 ayat 1 dan 2. Dalam pasal tersebut diatur ketentuan bahwa terdakwa harus mampu membuktikan asal-usul dana yang dimiliki, namun melalui penetapan hakim. Di pasal 77 dan 78 itu dikatakan bahwa terdakwa harus bisa membuktikan asal usul dana yang dimiliki, sedangkan pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan itu. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni. Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindakpidana pencucian uang, kalau semata-mata hanya masalah korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaannya adalah pencucian uang. 45
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
tersebut dalam ayat l. 6 Kedua pasal tersebut meletakkan kewajiban hukum kepada seseorang untuk melapaorkan kepada pejabat kepolisian apabila ia mengetahui adanya permufakatan jahat atau niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang disebutkan dalam kedua pasal itu, antara lain tindakpidana dalam Pasal 104 KUHPidana. Dalam Pasal-pasal 164 dan 165 KUHPidana itu, tersirat kewajiban hukum untuk menjadi saksi, sebab orang yang melaporkan peristiwa itu dengan sendirinya adalah saksi untuk peristiwa yang dilaporkannya.