• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa individual dilakukan untuk memaparkan dinamika interaksi ibu

dengan anak retardasi mental secara individu.

a. Subjek A

Grafik 17 menjelaskan dinamika interaksi ibu A dan anak retardasi mental.

Grafik 17. Skor Interaksi Ibu A dan anak retardasi mental pada pra

dan pasca perlakuan, dan tindak lanjut 0 10 20 30 40 50 60 70

Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut

sk o r int er ak si ibu A d an a na k r et ar da si m ent al waktu

A adalah seorang ibu dengan pendidikan terakhir menengah atas. Ananda (P) adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Ibu A adalah ibu rumah tangga yang memiliki kesibukan sebagai petani. Sehari-hari ibu melakukan pekerjaan rumah dan menyiapkan makan untuk beberapa buruh yang membantunya bekerja di sawah. Ibu A sekeluarga tinggal bersama dengan ayahnya. Rumahnya bersebelahan dengan adiknya.

Sebelum diberi perlakuan, interaksi ibu A dengan anak tergolong sedang, dengan skor 51 (grafik 17). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas terungkap bahwa sebelum mengikuti pelatihan bermain pura-pura, ibu A jarang terlihat mengantar anaknya berangkat dan menjemput ke sekolah. Biasanya kakek yang mengantarkan anak ke sekolah. Apabila ada pertemuan kelas, ibu A juga biasa datang terlambat, dan dalam pertemuan wali murid yang terakhir ini ibu A tidak terlihat (wawancara, Desember 17, 2012).

Menurut kakek sikap ibu A terhadap anak sama seperti ibu A pada umumnya; menyuapi anak ketika makan, merapikan mainan anak, atau memberikan sesuatu yang diminta anak. Menurut kakek sikap ibu A yang demikian adalah wajar, karena memang anak ibu A berbeda dengan kedua kakaknya. Menurut kakek sikap anak dari ibu A selama ini memang selalu ingin menang sendiri. Semua orang yang ada di rumah harus menuruti keinginannya. Apabila tidak dituruti, anak akan marah. Kalau sudah marah anak bisa membanting apa saja yang ada di dekatnya (wawancara, Desember 18, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu A terungkap bahwa sebelum diberi perlakuan respons ibu A terhadap perilaku anak masih tidak konsisten. Ibu A merespons perilaku anak tidak berdasarkan pada kebutuhan anak, melainkan berdasarkan pada kecemasan ibu akan penilaian dari lingkungan terhadap perilaku ibu A. Ibu A mengatakan bahwa:

“...Saya pernah mencoba untuk tidak segera memberikan keinginan ananda, tapi tangisannnya mbak....dikiranya anak saya, saya hajar atau bagaimana...”

(wawancara, Desember 19, 2012) Ibu juga mengatakan, “...Daripada saya

merasa malu dan sungkan, saya turuti saja keinginannya.” (wawancara,

Desember 19, 2012).

Ucapan ibu A menunjukkan bahwa ibu A sesungguhnya mengetahui bahwa respons terhadap anak kurang tepat, namun ibu kurang memahami kebutuhan anak, sehingga ibu A menjadi cemas dalam memberikan respons kepada anak. Kekurangpahaman ibu A akan kebutuhan anak mendorong ibu untuk memberikan keinginan anak. Ibu mengatakan: “...Pokoknya harus dituruti.” (wawancara, Desember 19, 2012). Ibu A juga mengatakan,“Daripada nangis, saya kasih aja.” (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi pelatihan dalam berinteraksi dengan anak ibu A kurang menyadari seberapa besar kehangatan yang diberikannya kepada anak. Ibu A menganggap bahwa kerepotan yang dialami ibu bisa jadi membuat ibu A mengabaikan anak secara tidak sengaja.

“Saya itu ibu rumah tangga, tapi saya merasa pekerjaan saya tidak ada

habisnya.Ada saja yang harus saya kerjakan. Mungkin saya tidak menyadari ketika anak saya mengajak tersenyum saya. Tapi kalau dia mengajak bicara saya, sambil tersenyum, saya nggak mengabaikan.” (wawancara, Desember 19,

Kerepotan ibu A ini mendorong anak untuk meminta waktu khusus kepada ibu A untuk memperoleh kehangatan yang dibutuhkan anak. Ibu A mengatakan:“Sukanya ananda mengajak saya keluar rumah, sore hari biasanya saya disuruh menemani dia duduk di teras melihat teman-temannya bermain. Kalo saya masuk biasanya ananda marah.” (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi pelatihan ibu A kurang mampu menangkap perasaan anak, sehingga ibu A kurang tepat di dalam merespons keadaan emosi anak ketika anak merajuk. Keadaan emosi yang ditunjukkan anak kepada ibu A menunjukkan sebuah kebutuhan anak akan perasaan aman. Perasaan kurang aman pada anak ini kurang tertangkap oleh ibu A. Ibu A mengatakan:“Kalo cuman nangis biasa ya nggak tak kasih...kalau nangisnya sampai mbeker-mbeker gitu, nanti ..yo wis... nanti tak beliin, gitu... nangisnya nanti baru diem....” (wawancara, Desember 19, 2012). Respons ibu A terhadap perilaku merajuk anak menjadi tidak konsisten, karena respons ibu A bukan pada rasa kurang aman anak, melainkan pada akibat dari rasa kurang aman anak. Ibu A mengatakan bahwa:

“...biasanya saya bujuk, nanti tak ajak pergi ke mana... atau tak beliin apa...gitu

biasanya nangisnya berhenti.. Saya tuh juga susah...gimana ya...kalau dikasih nanti dia manja. Kalau nggak tak kasih, kadang nangisnya sampai kayak gitu...”

(wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi pelatihan ibu A menjadikan kondisi keterlambatan anak sebagai halangan untuk memberikan penjelasan terhadap perilaku anak yang kurang sesuai dengan harapan lingkungan. Ibu A mengatakan: “Saya tahu kondisi dia yang seperti itu, tapi kalau disuruh mau berangkat,

kalau pas nggak mau berangkat saya diam saja, saya juga nggak pernah tanya macam-macam.” (wawancara, Desember 19, 2012).

Selama pelatihan berlangsung ibu A tampak memperhatikan materi dan penjelasan yang disampaikan fasilitator dengan tatapan mata tertuju ke arah fasilitator. Sesekali ibu A tampak melirik ke arah peserta lain yang sedang bertanya atau menyampaikan aspirasinya kepada fasilitator. Ibu A juga mengerjakan semua tugas yang diperintahkan fasilitator (observasi, Desember 22, 2012).

Selama mengikuti permainan peran, ibu A terlihat kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang kendali permainan. Ibu A tampak canggung di dalam berinteraksi dengan anak, sedangkan anak tampak tidak terpengaruh oleh kehadiran ibu A, karena perhatian anak ada pada permainan. Pada saat permainan diletakkan di hadapan anak, anak segera bermain pasir. Ibu A mengambilkan mainan kepiting, memberikan kepada anak, dan meminta anak untuk mencetak kepiting dengan pasir yang dipegang anak, kemudian ibu A mengambilkan sekop untuk anak, supaya anak mengambil pasir dengan sekop, bukan dengan tangan. Anak tampak menuruti apa yang diinginkan ibu A. Anak juga diam saja ketika ibu A mengambilkan boneka anak laki-laki dan meminta anak untuk mendudukkan boneka tersebut, kemudian ibu A mendudukkan boneka perempuan dewasa di samping boneka anak laki-laki (observasi, Desember 23, 2012).

Setelah diberikan umpan balik oleh fasilitator terjadi perubahan interaksi ibu A dan anak retardasi mental. Perubahan interaksi ibu A dan anak retardasi mental terlihat ketika bermain bersama anak dengan tema satu. Ibu A kini lebih memberikan kesempatan kepada anak untuk mengarahkan permainan. Awalnya anak terlihat ragu. Anak memegang boneka perempuan, kemudian menggerakkannya secara perlahan sambil memandang wajah ibu A, seolah meminta persetujuan. Ibu A segera merespons tatapan mata anak dengan senyuman. Anak melanjutkan keinginannya dengan mengambil ember dan sekop, memasukkan pasir ke dalam ember sambil menunduk. Ibu A merespons perilaku anak dengan bertanya kepada anak sedang bermain apa. Internalisasi nilai berhitung diberikan ibu A kepada anak pada kesempatan ini. Ibu A juga membantu anak berhitung bila anak berhenti (observasi, Desember 23, 2012).

Pelebaran tema dilakukan ibu A setelah anak tidak bergeming pada permainan ember, pasir, dan sekop. Ibu A mengajak anak bermain di pantai dengan menggerakkan boneka perempuan dewasa ke dekat boneka anak laki-laki. Interaksi ibu A dan anak tampak mulai menghangat pada cerita ini. Sesampainya di pantai, ide cerita tidak dimunculkan oleh anak, karena itu ibu A menanyakan kepada anak bahwa anak sedang main apa, namun anak tidak juga menjawab pertanyaan ibu A, sehingga ibu A merangsang respons anak dengan mengatakan. “Itu kura-kura sedang apa?” Pendalaman cerita kemudian terjadi, dan muncul beberapa inisiatif dari anak. Adanya pendalaman cerita dan inisiatif anak ini menjadikan

interaksi di antara ibu A dan anak menjadi semakin hangat dan penuh makna (observasi, Desember 23, 2012).

Pada tema kedua, interaksi diawali oleh ibu A yang mengajak anak bermain bersama. Di awal permainan sudah muncul inisiatif anak untuk membuat sebuah cerita. Ibu A mengikuti arahan anak dan terjadi interaksi timbal balik. Sayangnya pendalaman tidak terjadi dalam cerita ini, karena ibu A terlalu tergesa-gesa melakukan pelebaran cerita dengan mengajak anak untuk mandi. Akhirnya tidak terjadi pendalaman tema dalam cerita ini. Anak mengakhiri aktivitas mandi dengan kembali melakukan aktivitas bermain pasir seperti yang dilakukan sebelumnya (observasi, Desember 24, 2012).

Pada tema ketiga, interaksi terjalin lebih alamiah. Interaksi diawali oleh ibu A dengan mengajak anak bermain bersama. Muncul inisiatif anak untuk menentukan cerita dalam tema ini, dan ibu A mengikuti arahan anak untuk mendudukkan boneka dewasa perempuan di samping boneka anak laki-laki. Pelebaran cerita dilakukan ibu A dengan mengajak anak bermain petak umpet. Di sinilah pendalaman cerita terjadi. Permainan berakhir karena anak beralih pada permainan pasir, dan ketika ibu A berusaha melibatkan boneka anak laki-laki yang lain, anak tidak membalas interaksi ibu A (observasi, Desember 25, 2012).

Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura, skor ibu A meningkat sebanyak 9 poin. Setelah diberi perlakuan ibu A merespons perilaku anak yang sedang merajuk dengan lebih tenang.

“Kalo ngambeg tak diemin aja mbak. Saya pura-pura tidak melihat dia menangis. Nanti lama-lama nangsinya berhenti trus mendekati saya. Kalau udah gitu saya bisa memberikan alasan mengapa saya tidak menuruti keinginan dia. Reaksi dia diam saja, dan mengangguk-angguk.” (wawancara, Desember 26,

2012).

Ibu A mulai menangkap kebutuhan anak dan bersikap konsisten terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan oleh ibu A. Ibu A mengatakan bahwa:

“Kalo sekiranya yang diminta ananda itu berbahaya, misalnya pilek setiap kali minum es, saya tidak akan mengijinkan ananda walaupun dia menangis. Kalau menangis paling...saya diamkan saja, nanti kalo sudah tenang saya beri tahu kalau ananda sering pilek karena minum es, makanya saya tidak mengijinkannya, nanti kalau sakit adik nggak bisa masuk sekolah.” (wawancara,

Desember 26, 2012).

Anak pun mulai bisa menangkap keinginan lingkungan terhadap dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan ibu A“Kadang saya beri langsung, kalo itu baik, misal minta makan. Kalau nggak, misal minta jajan yang berbahaya, nggak langsung saya kasih. Nggak ngambeg, kalau dikasih tahu alasannya dia nggak ngambeg.” Perilaku anak yang mudah merajuk juga mulai berkurang, “Setelah ikut pelatihan itu...ananda jarang ngambeg mbak..kalo minta sesuatu masih suka..., tapi nggak ngrajuk kayak biasanya.” (wawancara, Desember 26, 2012).

Setelah diberi pelatihan, ibu A lebih sering memberikan kehangatan dengan memberikan pujian. Ibu A mengatakan: “Pintar...!” atau “Bagus...!” bila mau makan sendiri, atau bikin susu sendiri.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak pun merespons kehangatan ibu dengan senyuman. Ibu mengatakan: “...Biasanya dia tersenyum kalau saya puji...” (wawancara, Desember 26, 2012).

Ibu A menanyakan keadaan anak, dan merespons permintaan anak secara non verbal. Ibu A mengatakan:

“Saya berusaha untuk menanggapi anak saya, misalnya saat anak saya sedang asyik bermain sendiri saya tanya sedang ngapain? Sambil ngingetin dia atau saat hari sudah siang saya menanyakan sudah makan apa belum? Kalo pas sudah hampir malam saya tanya sudah mandi?” (wawancara, Desember 26,

2012).

Setelah diberi pelatihan ibu A menyisihkan waktu untuk memperhatikan anak dengan merespons permintaan anak. Ibu A mengatakan: “....saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci misalnya, kemudian ananda meminta sesuatu, saya kan nggak pas lihat wajahnya, tapi saya dengar, dan saya menjawab.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak menjadi lebih ceria, penurut, dan tidak mudah merajuk. Ibu A mengatakan:“Saya merasa ananda sekarang ini lebih ceria, tidak ..sebentar-sebentar ngambeg kalau minta sesuatu.” (wawancara, Desember 26, 2012).

Setelah diberi pelatihan perilaku merajuk anak tidak tampak. Ibu A mengatakan: “Sampai saat ini emang ananda belum pernah nangis yang seperti dulu, tapi kalau dia menginginkan sesuatu seperti biasanya, yang dulu pakai nangis mbeker-mbeker, sekarang bisa diajak bicara dan mau mengerti.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak menjadi mengerti keinginan lingkungan dengan menuruti perintah ibu A. Ibu A mengatakan:“Ananda anak penurut. Apabila ananda dimintain tolong, maka ananda akan berangkat.” (wawancara, Desember 26, 2012).

Pada lembar evaluasi, ibu A menuliskan bahwa ibu A merasa senang dengan adanya pelatihan bermain pura-pura ini, karena ibu A

menjadi lebih tahu bagaimana menghadapi anaknya yang sering merengek-rengek ketika meminta sesuatu. Guru juga mengatakan bahwa ibu A pernah mengatakan kepada guru bahwa anak kini lebih mudah diatur daripada sebelumnya. Guru pernah mengatakan bahwa ibu A lebih sering terlihat mengantar dan menjemput anaknya, dibandingkan dengan kakeknya.

Grafik 17 menunjukkan bahwa terdapat kenaikan 2 poin pada pasca perlakuan ke tindak lanjut. Artinya terdapat peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental sebelum dan setelah diberi perlakuan. Menurut ibu A sejak mengikuti pelatihan bermain pura-pura sampai dengan kini, perilaku tantrum anak jarang muncul. Ibu A mengatakan: “Setelah ikut pelatihan itu...ananda jarang ngambeg mbak..kalo minta sesuatu masih suka..., tapi nggak ngrajuk kayak biasanya.” (wawancara, Januari 8, 2013). Meskipun anak masih suka marah apabila keinginanya tidak terpenuhi, namun anak bisa diberi pengertian. Ibu A mengatakan: “...nggak segera saya kasih. Dia mau mengerti, ngambegnya masih....tapi paling sebentar. Nggak lama kayak dulu lagi.” (wawancara, Januari 8, 2013). Ibu A menganggap bahwa anaknya kini lebih ceria dan menurut pada ibu A. Ibu A mengatakan: “Saya merasa ananda sekarang ini lebih ceria, tidak ..sebentar-sebentar ngambeg kalau minta sesuatu. Apalagi setelah saya puji...kayaknya dia menjadi lebih menuruti kata-kata saya.” (wawancara, Januari 8, 2013).

b. Subjek R

Ibu R adalah seorang guru SD. Anak terakhir dari keempat anak ibu R menderita retardasi mental. Grafik 18 menjelaskan dinamika interaksi ibu R dan anak retardasi mental.

Grafik 18. Skor interaksi ibu R dan anak retardasi mental pada pra

dan pasca perlakuan, dan tindak lanjut

Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura interaksi ibu R dan anak retardasi mental berada dalam kategori sedang, dengan total skor sebesar 63 (grafik 18). Menurut guru luar biasa, guru biasa bertemu dengan ibu R hanya pada pertemuan wali murid. Di luar jam pertemuan wali murid, ibu R tidak pernah terlihat di sekolah, sebab anak biasanya berangkat dan pulang ke sekolah sendiri dengan berjalan kaki, meskipun rumah anak agak jauh dari sekolah. Guru menambahkan bahwa anak dari ibu R merupakan anak yang pendiam dan penurut (wawancara, Desember 17, 2012). 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut

sk o r int er ak si ibu R da n a na k re tar da si m ent al waktu

Menurut ibu R, ibu R telah memiliki kesiapan memiliki anak retardasi mental sejak anak berada dalam kandungan. Saat mengandung, ibu R tidak menyadari kehamilannya. Ibu R menyangkan bahwa panas dan flu yang dideritanya disebabkan oleh fisiknya yang sedang melemah, karena itu ibu R segera meminum obat dari dokter umum. Ibu R menyadari bahwa dirinya hamil setelah bulan kelima. Itu pun karena perutnya yang terasa semakin membuncit (wawancara, Desember 19, 2012).

Ibu R melanjutkan bahwa seluruh anggota keluarga sangat menyayangi dan memperhatikan anak, terlebih kakak yang nomor tiga. Kakak selalu menanyakan keberadaan adik, apabila adik tidak ada di rumah. Kakak juga selalu memikirkan adik, apabila adik sedang sakit. Kadang kakak menemani adik bermain, kadang ibu R juga bermain bersama anak, atau hanya menemani anak bermain di dekatnya, sambil tiduran menonton televisi. Biasanya anak bermain pasaran atau boneka (wawancara, Desember 19, 2012).

Suami ibu R juga menjelaskan bahwa seluruh anggota keluarga bisa menerima keadaan anak. Anak sendiri adalah anak yang pendiam. Seandainya anak marah, paling hanya diam saja tidak mau diajak bicara. Pada akhirnya anak akan diam dengan sendirinya apabila anak sudah merasa puas. Biasanya memang kami hanya mendiamkan saja apabila anak marah (wawancara, Desember 19, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu R terungkap bahwa sebelum diberi perlakuan ibu R kurang memahami kebutuhan anak, dan sering merayu anak supaya anak berhenti merajuk. Ibu mengatakan: “Biasanya kalau saya bilang ke dia nanti tak belikan sesuatu atau tak kasih sesuatu dia mau berhenti merajuk.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sikap ibu dalam merespons perilaku anak juga tidak konsisten. Apabila ibu teringat anak bisa menjadi manja apabila ibu memberikan keinginan anak, maka ibu tidak memberikan apa yang diinginkan anak. Ibu mengatakan: “...Takut saya kalau ananda menjadi manja. Jadi kadang kalo ananda meminta uang untuk beli jajan, kadang saya beri, kadang juga tidak.” (wawancara, Desember 19, 2012). Namun bila ibu R teringat dengan kondisi retardasi mental anak ibu akan memberikan keinginan anak. “...Saya merasa kasihan karena ananda berbeda dengan saudaranya yang lain. Pada saat ananda menangis kadang saya teringat hal itu, maka saya akan memberikan apa yang diinginkan ananda.” (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi perlakuan ibu R juga biasa membiarkan anak bermain sendiri. Ibu R mengatakan: “Kalau ananda sudah main sendiri ya sudah. Asyikk dia...” (wawancara, Desember 19, 2012). Setelah diberi perlakuan ibu lebih sering melibatkan diri dalam berinteraksi dengan anak. Ibu R mengatakan: “Kalo pura-pura kesakitan jarang, tapi saya pura-pura menjatuhkan mainannya sering. Maksud saya biar dia menyusun kembali. Puzzle biasanya, atau yang dipasang-pasangkan itu lho. “(wawancara,

Desember 19, 2012). Ibu R juga mau bermain bersama dengan anak. Ibu R mengatakan: “Sekali aja aku biarin mainan sendiri.” (wawancara, Desember 19, 2012). Melalui ini ibu R bisa mengetahui sampai dimana kemampuan kognitif anak. Ibu R mengatakan: “Kadang saja saya menyembunyikan puzzlenya yang sedang dimainkan. Saya pengen tahu apakah adik sadar kalo mainannya ada yang kurang atau tidak.” (wawancara, Desember 19, 2012).

Sebelum diberi perlakuan ibu R kurang dalam melakukan pertukaran emosi dengan anak. Ibu R lebih sering menggunakan emosi yang menyatakan penolakan kebutuhan anak. Rayuan yang digunakan untuk menyampaikan perasaan ibu kepada anak tidak dapat dimengertti anak, dan perilaku anak semakin menjadi, karena kebutuhan anak tidak dapat dimengerti ibu. Ibu mengatakan:

“Kalau ananda menangis..kadang sampai merajuk juga. Saya rayu-rayu dia untuk tidak menangis juga tetap nggak diam... Akhirnya saya tinggal pergi, daripada saya emosi. Saya gemes kalau ananda sudah mulai seperti itu...”

(wawancara, Desember 19, 2012).

Pada saat ibu R bermain peran terungkap keterampilan ibu R dalam bermain dengan anak. Ibu R mengambil boneka dewasa perempuan, berjalan mendekat kepada anak, sedangkan anak tampak asyik menata mainan pantai, sambil menatap boneka dewasa perempuan yang mendekat kepadanya. Anak mengatakan kepada boneka dewasa tersebut bahwa anak ingin bermain kura-kura dengan cara menunjukkan kura-kura ke hadapan boneka dewasa tersebut, kemudian meletakkannya di hadapan boneka dewasa perempuan. Ibu R kemudian mengambilkan mainan kepiting untuk

anak, dan mendudukkannya di samping kura-kura. Anak mengangguk (observasi, Desember 23, 2012).

Setelah diberikan umpan balik oleh psikolog terjadi perubahan interaksi ibu R dan anak retardasi mental ke arah yang lebih baik. Perubahan interaksi ibu R dan anak retardasi mental dapat dilihat pada saat ibu bermain bersama anak. Pada tema satu interaksi diawali oleh ibu R yang menanyakan mainan kepiting berwarna merah yang sedang dipegang anak. Anak menjawab pertanyaan ibu R dengan singkat, “kepiting” dan tetap asyik mengobrak abrik pasir dengan mainan kepiting. Ibu R berusaha menjalin interaksi lebih dalam lagi dengan bertanya kepada anak, “kepitingnya sedang apa?” Anak tidak dapat menjawab pertanyaan ibu R. Ibu R kemudian mengambil mainan kura-kura sambil berkata, “Ayo lomba lari kepiting!‟ Anak melihat kepada ibu R, tersenyum, dan menghentikan kegiatannya yang sedang mengobrak-abrik pasir. Kedalaman cerita menjadikan interaksi antara ibu R dan anak semakin hangat. Di dalam interaksi ini ibu R memberikan rangsang kognitif kepada anak, seperti “Kepiting sama kura-kura jalannya cepat mana?” Percakapan yang melibatkan rangsang kognitif ini berakhir setelah ibu tidak lagi menemukan gagasan (observasi, Desember 23, 2012).

Ibu R kemudian mengambil boneka dewasa perempuan, sambil berkata, “Adik mau mainan apa?” anak memandang ke arah ibu sambil mengambil boneka anak perempuan. Interaksi antara ibu R dan anak semakin dalam dengan percakapan antara ibu R dan anak mengenai

rambut yang rambut anak yang harum karena rajin keramas. Canda dan tawa juga menyertai interaksi ibu R dan anak (observasi, Desember 23, 2012).

Canda dan tawa ibu R dan anak berakhir karena anak mengambil mainan kura-kura dan meletakkan boneka anak perempuan di pojok kota pasir. Kesempatan ini dimanfaatkan ibu R dengan mendekatkan boneka perempuan dewasa ke arah kura-kura dan berkata, “Aku bonceng..!” Anak tampak mengerti maksud ibu, kemudian merespons dengan tersenyum pada ibu R, dan menjawab, “Nanti kura-kuranya tenggelam. Selanjutnya interaksi antara ibu R dan anak terjalin semakin dalam, akrab, dan hangat, disertai dengan canda tawa. Percakapan antara ibu R dan anak melibatkan nilai-nilai kebaikan kepiting yang memberikan pertolongan kepada boneka perempuan dewasa dan kura-kura yang tenggelam. Kepiting membawa boneka perempuan dewasa dan kura-kura ke bibir pantai. Sesampainya di bibir pantai boneka perempuan dewasa mengajak anak bermain pasir. Berakhirlah cerita di tema pertama.

Pada tema kedua, permainan diawali oleh anak yang meminta tolong ibu R untuk membukakan kardus berisi mainan rumah-rumahan. Ibu R segera merespons permintaan anak dengan membukakan kardus, dan memberikan rangsang dengan memberikan internalisasi nilai warna melalui perabotan yang ada di dalam kardus rumah-rumahan. Interaksi yang hangat dan mendalam terjalin melalui percakapan antara ibu R dan anak ketika ibu R dan anak menata perabotan rumah-rumahan. Inisiatif

anak muncul di saat anak menata perabotan mainan, seperti anak

Dokumen terkait