• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neraca air lahan dianalisis dengan menggunakan Metode Thornthwaite-Mather dimana hasil perhitungannya tersusun dalam basis data tabular yang tersusun atas parameter-parameternya. Parameter tersebut yaitu nilai curah hujan (P), suhu udara (t), evapotranspirasi potensial (PE), water holding capacity (WHC), selisih nilai P – PE, accumulated potential water loss (APWL), kelengasan tanah/storage (St), perubahan kelengasan tanah (∆St), evapotranspirasi aktual (AE), kekurangan lengas tanah/moisture deficiency (D) serta kelebihan lengas tanah/moisture surplus (S).

Analisis neraca air lahan dilakukan untuk setiap lokasi stasiun cuaca pada kedua daerah penelitian dan untuk selanjutnya dihitung nilai rerata wilayahnya. Untuk lebih mempermudah dan mempercepat perhitungan neraca air lahan pada setiap lokasi, dalam penelitian ini proses perhitungan masing-masing parameternya dibantu dengan menggunakan aplikasi program perhitungan neraca air berbasis bahasa program Visual Delphi 5 yang dikembangkan oleh UPT Hujan Buatan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Beberapa contoh aplikasi program perhitungan neraca air dapat dilihat pada Lampiran 2.

Nilai neraca air lahan di DAS Citarum Hulu dan wilayah Pantura diperhitungkan dengan masukan nilai rerata aritmatik wilayah untuk parameter curah hujan (P), suhu udara (t), dan nilai water holding capacity (WHC) pada kedua daerah penelitian, sementara untuk parameter lain sisanya dihitung ulang dengan menggunakan bantuan program perhitungan neraca air. Perhitungan neraca air dianalisis untuk periode bulanan dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan peta.

Perhitungan neraca air lahan Thornthwaite-Mather membutuhkan data masukan berupa data curah hujan dan suhu udara. Data curah hujan yang digunakan adalah nilai rerata curah hujan bulanan. Jika terdapat data curah hujan yang hilang atau tidak tercatat terlebih dahulu dilengkapi dengan rumus sebagai berikut (Harto, 1993) :

Px = {(PA/dx A2)+ (PB/dxB2)+(PC/dxC2)}/{(1/dxA2)+(1/dxB2)+(1/dxC2)}…(7) dimana :

Px : tebal hujan yang akan dilengkapi pada stasiun x (mm) PA, PB, PC : tebal hujan pada stasiun di sekitar stasiun x (mm). dxA, dxB, dxC : jarak dari stasiun x ke masing-masing stasiun A, B, C (km)

20 Misalkan: data curah hujan stasiun Cirata untuk bulan November tahun 2001 tidak tercatat (rusak), maka data yang kosong tersebut diisi dengan pendekatan melalui nilai curah hujan dari 3 (tiga) stasiun terdekat di sekitarnya, yaitu Darangdan (di sebelah timur laut), Cimeta (selatan), dan Cikundul (barat), seperti yang terlihat dalam Gambar 4 (contoh perhitungan disajikan pada Lampiran 3).

Gambar 4. Lokasi Stasiun Cirata, Stasiun Darangdan, Stasiun Cimeta dan Stasiun Cikundul Seperti halnya data curah hujan, data suhu udara yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai rerata suhu udara bulanan. Nilai suhu udara diperlukan untuk menghitung nilai evapotranspirasi potensial, dimana nilai evapotranspirasi potensial sendiri ditentukan dengan rumus Thornthwaite-Mather (1957) berdasarkan persamaan :

 

a x t I PE 16 10 / ... (8) f PE PEx... (9) dimana :

PEx: Evapotranspirasi potensial yang belum disesuaikan dengan faktor koreksi (f) PE : Evapotranspirasi potensial (mm)

t : suhu rerata bulanan (oC)

f : faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu

I : jumlah nilai i (indeks panas) dalam setahun; dengan i = (t/5)1.514....(10)

a = (0.675 . 10-6 . I3) – (0.77 . 10-4 . I2) + 0.01792.I + 0.49239 ...(11)

Bila tidak terdapat data pengamatan suhu udara pada stasiun yang bersangkutan, dilakukan pendugaan dengan teknik interpolasi dari stasiun terdekat yang mempunyai data

21 suhu udara dengan memperhitungkan faktor ketinggian tempat dengan persamaan Mock (1973, dalam Sudibyakto, 1985).

1 2

006 . 0 z z t     … (12) dimana :

∆t : perbedaan suhu udara antara stasiun pengukuran dengan yang dianalisis. (oC) z1 : elevasi stasiun pengukuran suhu udara (m)

z2 : elevasi stasiun yang dianalisis (m)

Prinsip dari persamaan Mock adalah mencari beda suhu udara terhadap perbedaan ketinggian pada dua lokasi. Data suhu udara yang digunakan sebagai acuan dalam interpolasi diambil dari stasiun Jatisari (di daerah Pantura), stasiun Kalijati (daerah antara DAS Citarum Hulu dan Pantura) dan stasiun Geofisika Bandung (di DAS Citarum Hulu).

Kapasitas tanah dalam menyimpan air atau water holding capacity (WHC) adalah tebal air (mm) pada setiap kedalaman lapisan tanah. Dapat juga diartikan sebagai kapasitas maksimum tanah menyimpan air. Nilai WHC tergantung pada jenis tanah (tekstur) dan kedalaman perakaran tanaman. Nilai WHC diperoleh dengan bantuan tabel pendugaan yang mengkombinasikan kedalaman perakaran pada berbagai tekstur tanah (Tabel 2). Tabel 2. Pendugaan Water Holding Capacity Berdasarkan Kombinasi Tipe Tanah dan Vegetasi

Tipe Tanah Air tersedia /

available water (mm/m)

Panjang Zone perakaran (m)

Lengas tanah tertahan/WHC (mm) Tanaman berakar dangkal :

Pasir halus

Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat 100 150 200 250 300 0.50 0.50 0.62 0.40 0.25 50 75 125 100 75 Tanaman berakar dalam :

Pasir halus

Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat 100 150 200 250 300 1.00 1.00 1.25 1.00 0.67 100 150 250 250 200 Orchard : Pasir halus

Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat 100 150 200 250 300 1.50 1.67 1.50 1.00 0.67 150 250 300 250 200 Hutan tua tertutup :

Pasir halus

Lempung berpasir halus Lempung berdebu Lempung berliat Liat 100 150 200 250 300 2.50 2.00 2.00 1.60 1.17 250 300 400 400 350 Sumber: Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985).

22 Selanjutnya dari nilai curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (PE), nilai parameter lainnya yaitu APWL, St, ∆St, AE, D dan S dapat dihitung. Detail persamaan untuk menghitung masing-masing parameter neraca air Thornthwaite-Mather diuraikan dalam Lampiran 3.

Neraca Air Waduk Jatiluhur dan Sungai Citarum

Selain neraca air lahan, penelitian ini juga memperhitungkan neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum. Perhitungan neraca air Waduk Jatiluhur dilakukan dengan mengacu pada konsep umum penelusuran hidrologi berdasarkan rumus Wilson (1989) sebagai berikut : 1 2 2 1 2 1 2 2 t S S O O t I I   ...(13)

dimana ; I = Inflow waduk (m3/detik) O = Outflow waduk (m3/detik) t = Interval waktu (hari) S = Storage waduk (m3)

Subskrip 1 dan 2 menunjukkan awal dan akhir interval waktu. Parameter I dapat dirinci lebih lanjut, yaitu selain debit inflow (air masuk) dari sungai-sungai, ada juga parameter curah hujan yang langsung jatuh ke waduk. Parameter O, selain debit outflow (air keluar) dari turbin dan bottom outlet, ada juga parameter penguapan dan limpasan yang langsung keluar dari permukaan waduk.

Data mengenai neraca air Sungai Citarum diperoleh dari PJT-II. Data ini diperlukan untuk mengetahui potensi ketersediaan sumberdaya air Sungai Citarum yang dialirkan melalui Waduk Jatiluhur dan besarnya potensi aliran tambahan dari beberapa anak sungai yang melintas di sepanjang Saluran Tarum. Air ini nantinya dimanfaatkan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan di daerah hilir, khususnya kebutuhan air irigasi pada lahan pertanian beririgasi di wilayah Pantura Jawa Barat.

Indeks Kekeringan

Perhitungan Indeks Kekeringan dilakukan dengan menggunakan Metode Palmer (1960, dalam Sudibyakto, 1985) berdasarkan rumus :

Ia = 100 D / PE ...(14) dimana :

Ia = indeks kekeringan (aridity index; %)

D = kekurangan lengas (moisture deficiency; mm). PE = evapotranspirasi potensial (mm)

23 D dan PE adalah total tahunan, PE dihitung berdasarkan evapotranspirasi potensial bulanan yang dihitung dengan rumus Thornthwaite. Selanjutnya hasil perhitungan Indeks Kekeringan diklasifikasikan menurut kriteria seperti yang tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kelas Indeks Kekeringan

Indeks Kekeringan (%) Kriteria

< 16,7 16,7 - 33,3 > 33,3 Kekeringan ringan* Kekeringan sedang Kekeringan berat

Sumber: Sudibyakto (1985); *dengan modifikasi

Kebutuhan Air Irigasi dan Efisiensi Irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur

Kebutuhan air irigasi pada lahan pertanian irigasi Waduk Jatiluhur di daerah Pantura diperhitungkan dengan menggunakan bantuan program CropWat for Windows versi 8.0, yang dikembangkan oleh Land and Water Development Division of Food and Agriculture Organization – the United Nations (FAO) bekerjasama dengan Institute of Irrigation and Development Studies (IIDS) dari Universitas Southampton, Inggris. Program ini menggunakan metode Penman – Monteith dari FAO (Allen et al, 1992) untuk memperhitungkan evapotranspirasi dan kebutuhan air tanaman.

Tahapan perhitungan kebutuhan air dengan menggunakan program CropWat for Windows versi 8.0 adalah sebagai berikut :

a) Melakukan estimasi nilai Evapotranspirasi (ET0) yang diperoleh dari analisis beberapa masukan data cuaca (diambil dari stasiun Jatisari), yaitu data (1) rerata temperatur maximum dan minimum ; (2) kelembaban udara ; (3) kecepatan angin pada ketinggian 2 m ; dan (4) intensitas penyinaran matahari harian.

b) Melakukan estimasi nilai curah hujan total dan curah hujan efektif bulanan. Perhitungan curah hujan efektif dalam program CropWat for Windows menggunakan nilai curah hujan dengan peluang 80%. Nilai curah hujan diestimasi untuk setiap golongan pemberian air irigasi yang ada di DI Jatiluhur. Nilai curah hujan pada golongan I diambil berdasarkan rerata aritmatik curah hujan dari stasiun Ciasem, Karawang dan Walahar; golongan II dari stasiun Salamdarma dan Leuweungsemut; golongan III dari stasiun Bendung Cikarang dan Jatisari; golongan IV dari stasiun Batujaya dan golongan V dari stasiun Pedes. Pemilihan lokasi stasiun cuaca yang mewakili masing-masing golongan tersebut ditentukan berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis melalui proses identity.

24 Contoh aplikasi program CropWat for Windows versi 8.0 untuk menghitung kebutuhan air tanaman dapat dilihat pada Lampiran 4. Program Cropwat for Windows versi 8.0 juga memberikan keluaran berupa besaran kebutuhan air irigasi (IR) yang diperhitungkan dari selisih curah hujan efektif (RE) dan kebutuhan air tanaman (ETc). Jumlah air yang hilang karena proses perkolasi dan infiltrasi (P&I) serta kebutuhan air selama pengolahan tanah (Pd) belum diperhitungkan dalam program ini, sehingga masih perlu ditambahkan untuk mengetahui total kebutuhan air irigasi.

Besarnya perkolasi dan kebutuhan air selama pengolahan tanah dihitung berdasarkan tetapan nilai perkolasi (Tabel 4) dan nilai kebutuhan air untuk pengolahan tanah (Tabel 5) di daerah irigasi Jatiluhur seperti yang tercantum dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTSA/2010.

Tabel 4. Nilai Kc dan perkolasi untuk tanaman padi dan palawija pada berbagai tingkat umur di DI Jatiluhur No

Padi Palawija

Tingkat Umur Tanaman Faktor

Tanaman Perkolasi (mm/hari) Tingkat Umur Tanaman Faktor Tanaman Rendeng Gadu 1 Tanam/Tandur (0-15 hari) Tanam/Tandur (0-15 hari) 1,02 3,50 Pertumbuhan bibit 0,40 2 Pertumbuhan I (16-30 hari) Pertumbuhan I (16-30 hari) 1,02 3,00 Pertumbuhan vegetatif (16-45 hari) 0,55 3 Pertumbuhan II (31-60 hari) Pertumbuhan II (31-45 hari) 1,02 3,00 Pertumbuhan vegetatif (31-60 hari) 0,70 4 Pembungaan I (61-75 hari) Pembungaan I (46-60 hari) 1,32 2,50 Pematangan (61-75 hari) 0,30 5 Pembungaan II (76-90 hari) Pembungaan II (61-75 hari) 1,40 2,00 6 Pematangan I (91-105 hari) Pematangan I (76-90 hari) 1,35 1,50 7 Pematangan II (106-120 hari) Pematangan II (91-105 hari) 1,24 1,50 Sumber : Perum Jasa Tirta II (2010)

Tabel 5. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah selama MT Rendeng dan Gadu di DI Jatiluhur (mm/hari)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun

I II I II I II I II I II I II

8,0 8,0 8,0 8,1 8,2 8,2 8,2 8,3 8,3 8,4 8,4 8,4

Jul Ags Sep Okt Nov Des

I II I II I II I II I II I II

8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 8,5 Sumber : Perum Jasa Tirta II (2010)

Nilai perkolasi pada Tabel 4 dan nilai kebutuhan air untuk pengolahan tanah pada Tabel 5 adalah nilai harian. Untuk mengetahui volume air yang dibutuhkan untuk perkolasi dan pengolahan tanah maka nilai harian tersebut dikalikan dengan jumlah hari selama periode fase umur tanaman tertentu dan luas areanya. Kolom I dan II pada Tabel 5 menandakan periode 15 harian dalam setiap bulannya, sesuai dengan interval waktu pemberian air irigasi untuk tiap golongan di daerah irigasi Jatiluhur. Dengan diketahuinya

25 volume kebutuhan air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur dan kemudian dibandingkan terhadap volume air yang dialokasikan oleh PJT-II untuk memenuhi kebutuhan irigasi, maka nilai efisiensi pengaliran air irigasi dapat dihitung.

Analisis Spasial

Analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan program ArcView versi 3.3 dilakukan untuk memberikan gambaran distribusi keruangan dari kondisi curah hujan, neraca air lahan dan indeks kekeringan di daerah penelitian. Masing-masing parameter tersebut dibuat peta tematiknya dalam periode bulanan maupun total tahunan. Selanjutnya ketiga peta tematik tersebut saling ditumpangsusunkan (overlay) untuk mengidentifikasi daerah yang perlu diprioritaskan untuk diberi pasokan air irigasi, ditinjau dari aspek hidro-klimatologinya. Masing-masing tema diklasifikasikan menjadi 5 kelas dan diberi harkat tertentu. Daerah-daerah dengan curah hujan rendah, simpanan lengas tanah sedikit dan indeks kekeringan yang tinggi diberikan harkat dengan nilai tinggi; sebaliknya pada daerah-daerah yang semakin tinggi curah hujannya, makin banyak kandungan lengas tanahnya dan semakin kecil indeks kekeringannya diberikan harkat dengan nilai yang semakin rendah.

Peta curah hujan dibagi menjadi 5 kelas dengan klasifikasi sebagai berikut : daerah dengan curah hujan tahunan lebih dari 2200 mm/tahun diberi skor 1, daerah dengan curah hujan tahunan 2000-2200 mm/tahun diberi skor 2, daerah dengan curah hujan tahunan 1800-2000 mm/tahun diberi skor 3, daerah dengan curah hujan tahunan 1600-1800 mm/tahun diberi skor 4 dan daerah dengan curah hujan tahunan kurang dari 1600 mm/tahun diberi skor 5. Peta neraca air lahan dibagi menjadi 5 kelas dengan klasifikasi sebagai berikut : daerah yang memiliki selisih curah hujan (P) dan Potensial Evapotranspirasi (PE) tahunan lebih dari 400 mm/tahun diberi skor 1, antara 200 sampai dengan 400 mm/tahun diberi skor 2, antara -200 sampai dengan 200 mm/tahun diberi skor 3, antara -400 sampai dengan -200 mm/tahun diberi skor 4 dan lebih kecil dari -400 mm/tahun diberi skor 5. Peta indeks kekeringan hanya dibagi menjadi 2 kelas dengan klasifikasi sebagai berikut : daerah dengan indeks kekeringan kurang dari 33 % diberi skor 3 dan daerah dengan indeks kekeringan lebih dari 33 % diberi skor 5.

Peta hasil overlay selanjutnya diberi skor kembali berdasarkan perkalian nilai dari ketiga peta tematik penyusunnya. Dari skor hasil perkalian masing- masing tema tersebut, kemudian diurutkan dan diklasifikasikan kembali menjadi 5 kelas. Skor dengan nilai tertinggi merupakan daerah yang paling membutuhkan air secara klimatologis, sebaliknya

26 skor dengan nilai terendah merupakan daerah yang secara relatif paling tercukupi kebutuhan airnya. Kelas I diberikan untuk daerah dengan nilai skor lebih dari 100, selanjutnya kelas II diberikan untuk nilai skor antara 80 sampai dengan 100, kelas III diberikan untuk nilai skor antara 60 sampai dengan 79, kelas IV diberikan untuk nilai skor 25 sampai dengan 59 dan kelas V diberikan untuk nilai skor kurang dari 25.

Penentuan prioritas selanjutnya ditentukan dengan dua skenario dari sudut pandang yang berlawanan. Skenario pertama, jika ketersediaan air di Waduk Jatiluhur diasumsikan mampu mencukupi untuk kebutuhan air irigasi di hilir, maka daerah yang paling membutuhkan air secara klimatologis tersebut perlu diprioritaskan paling dahulu untuk diberikan pasokan air. Skenario kedua, jika ketersediaan air di Waduk Jatiluhur diasumsikan terbatas dan dirasakan tidak mampu mencukupi kebutuhan air irigasi di daerah hilir, maka daerah yang paling membutuhkan air secara klimatologis tersebut dapat ditinggalkan (bera) dan mendahulukan daerah yang relatif lebih sedikit membutuhkan pasokan air irigasi.

Secara ringkas, tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat dalam diagram alir penelitian pada Gambar 5.

27 Garis utuh dalam Gambar 5 menandakan rangkaian alur tahapan pelaksanaan penelitian secara keseluruhan. Garis titik-titik yang menghubungkan kotak bernomor menandakan rangkaian proses perhitungan masing-masing parameter tersebut yang dikerjakan secara computerize menggunakan aplikasi program perhitungan neraca air berbasis bahasa program Visual Delphi 5. Angka (1) sampai dengan (11) menunjukkan urutan tahapan proses perhitungannya. Garis putus-putus menandakan aliran data yang digunakan sebagai masukan dalam tahap análisis yang dikerjakan dalam penelitian.

28

Dokumen terkait