I. PENDAHULUAN
3.4. Metode
3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P.
3.4.2.4. Analisis data
a. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan menghitung nilai kerapatan mutlak (KM), frekwensi mutlak (FM), dan dominasi mutlak (DM). Penetapannya dilakukan dengan menggunakan formula menurut Cox (2002) sbb :
Jumlah individu suatu spesies
KM (i) = ……… (7)
Jumlah total luas areal contoh Kerapatan mutlak spesies i
KR (i) = x 100% ………... (8)
Kerapatan total seluruh spesies
Jumlah petak contoh yang diduduki spesies i
FM (i) = ………... (9)
Jumlah banyaknya petak yang dibuat
Frekwensi mutlak spesies i
KR (i) = x 100 % ……….. .… (10)
Frekwensi total seluruh spesies
DM (i) = Jumlah penutupan spesies i ……… (11)
Jumlah dominasi spesies i
DR (i) = x 100 % ………. (12) Jumlah dominasi seluruh spesies
Untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) setiap spesies digunakan rumus sebagai berikut :
INP = Kerapatan Relatif (KRi) + Frekwensi Relatif (FRi) + Dominasi
Relatif (DRi) ………. (13)
Indeks nilai penting memiliki satuan mencapai 300 %, nilai persentasi yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD ditetapkan dengan rumus :
(%) 3
INP
NJD ……… (14)
Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel. Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1)
membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2) menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas sagu alami di P. Seram.
b. Analisis asosiasi interspesifik
Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan asosiasi antara spesies sagu dengan tumbuhan lain dalam komunitas sagu di P. Seram. Analisis dilakukan berdasarkan data kehadiran-ketidakhadiran (data biner) seluruh petak pengamatan pada tiga wilayah sampel, yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT secara sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menganai asosiasi vevetasi dalam komuitas sagu di P. Seram. Khusus untuk spesies sagu dilakukan pada tingkatan klasifikasi terendah yaitu yaitu varietas/subvarietas menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997). Pengujian asosiasi interspesifik ditentukan melalui dua tahap uji yaitu 1) menentukan adanya asosiasi antar spesies secara simultan (menyeluruh), dan 2) mengukur kekuatan asosiasi diantara dua pasangan spesies. Seluruh rangkaian analisis asosiasi hanya dilakukan terhadap spesies
penyusun utama, yaitu spesies yang memiliki INP ≥ 10 %. Tahapan analisis
asosiasi interspesifik sebagai berikut :
1. Membuat matriks data mengenai kehadiran dan ketidakhadiran suatu spesies dalam sejumlah unit sampling (US). Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan nilai 0 (Tabel 7). Tabel 7. Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N
unit sampling
Spesies Sampling Unit (SU) Total
Spesies (1) (2) (3) (...) (N) (1) 1 1 0 0 n1 (2) 1 0 1 1 n2 (3) 0 1 0 1 n3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... (S) 0 0 1 1 ns Total SU T1 T2 T3 TN
2. Melakukan analisis asosiasi spesies secara simultan. Meskipun semua kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi dihitung, namun mereka tidak akan bebas. Oleh karena itu Schluter (1984 dalam Ludwig and Reynolds
1988) mengusulkan suatu pendekatan baru yaitu menggunakan Variance Ratio
(VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji keberartian (signifikansi) asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data kehadiran-ketidakhadiran (Tabel 4). Tahapan analisisnya sebagai berikut : -Menghitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel
menggunakan rumus : δT2 = pi pi S i 1 1 ………. (15) dimana pi = ni/N
-Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus :
ST2= 2 1 1 t T pi N j N j ………. (16)
Dimana t adalah rata-rata jumah spesies per sampel unit. -Menghitung Variance Ratio (VR) menggunakan rumus :
VR = ST2/ δT2 ……...……….. (17)
VR merupakan indeks asosiasi antar seluruh spesies. Kriterianya sebagai berikut :
Bila : VR = 1 maka tidak ada asosiasi
VR > 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi positif VR < 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi negatif
3. Melakukan analisis asosiasi spesies berpasangan menggunakan tabel
kontingensi 2 x 2 (Tabel 8). Untuk mengetahui adanya asosiasi antara dua spesies digunakan rumus Chi-square (Ludwig and Reynolds 1988) dan Soegianto (1994) : harapan Nilai harapan Nilai observasi Nilai Xi 2 2 ( ) ……….. (18)
Dimana Xi2merupakan penjumlahan semua sel pada tabel kontingensi 2 x 2. Nilai harapan dihitung sebagai berikut :
E(a) = N mr ; E(b) = N ms ; E(c) = N nr ; E(d) = N ns
Selanjutnya uji statistik Chi-square menjadi :
) ( ) ( ... ) ( ) ( 2 2 d E d E d a E a E a Xi
Tabel 8. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan
Spesies A
Spesies B
Ada Tidak ada
Ada a b m = a+b
Tidak ada c d n = c+d
r = a+c s = b+d N = a+b+c+d
Keterangan :
a = jumlah petak dimana spesies A dan spesies B ditemukan
b = jumlah petak dimana terdapat spesies A, namun tidak terdapat spesies B c = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A, namun terdapat spesies B d = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A dan B
N = jumlah total unit sampling (petak pengamatan)
Setelah nilai Xi2diketahui, maka dibandingkan dengan dengan Xtabel2 dengan derajat bebas (df) = (r-1)(c-1), α = 0,05 (tingkat siginifikan 5 %). Karena
pengujian dilakukan terhadap dua spesies berpasangan, maka df = 1. Dengan α
= 0,05 diperoleh Xtabel2 = 3,84. Jika X2 hitung > 3,84, maka hipotesis bahwa terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima, dan sebaliknya ditolak. 4. Menetapkan tipe asosiasi dengan kriteria sebagai berikut :
Bila : a > E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat positif a < E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat negatif. 5. Menentukan kekuatan (tingkat) asosiasi. Analisis ini dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya tingkat asosiasi spesies yang berpasangan menggunakan indeks Jaccard (JI) (Ludwig and Reynolds 1988) dengan rumus :
JI = c b a a ………... (19)
Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum. Indeks Jaccard dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988) merupakan indeks tidak bias (unbiased).
c. Analisis komponen utama
Dalam pertumbuhan sagu terdapat interaksi antara sagu dengan komponen abiotis. Komponen abiotis yang dimaksud adalah faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Untuk menjelaskan interaksi antara tumbuhan sagu dengan komponen abiotis, maka dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis / PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis komponen utama merupakan suatu teknik mereduksi data/variabel menjadi lebih sedikit, tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal. Reduksi data/variabel dilakukan dengan menggunakan statistik uji KMO (Kaiser- Meyer-Olkin) dan MSA (Measured sampling adequacy) dengan kriteria statistik >0,5. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot. Diagram ini digunakan untuk menjelaskan interaksi antar variabel melalui korelasi diantara variabel-variabel itu. Interpretasi sifat korelasi (positif dan negatif) tergantung sudut yang dibentuk oleh garis loading plot dua variabel. Apabila sudut yang terbentuk garis loading plot berbentuk lancip, maka korelasi bersifat positif. Jika sudut yang terbentuk tumpul, maka korelasinya bersifat negatif (Setiadi 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan peningkatan variabel pasangannya. Sebaliknya apabila korelasinya bersifat negatif, maka penambahan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel yang lain.
Dengan mempertimbangkan eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi suatu faktor (Dewi 2005 dan Marzuki 2007). Dalam konteks ini dapat ditentukan kontribusi faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Habitat sagu yang dimaksudkan adalah berupa besarnya peran faktor-faktor tersebut di atas dalam menentukan, dapat tumbuh atau tidaknya sagu pada suatu tempat
(kesesuaian habitat sagu) di P. Seram. Melalui pendekatan ini dapat diketahui kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap habitat sagu. Dengan demikian dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap habitat sagu.
Dalam pertumbuhan sagu dengan komponen abiotis, dapat memunculkan pengaruh dari setiap faktor (iklim, tanah, dan kualitas air rawa) terhadap parameter sagu. Untuk menjelaskan pengaruh faktor tersebut dapat didekati dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis ini merupakan pengembangan dari analisis komponen utama, dikombinansikan dengan analisis regresi klasik (Gasperz 1995). Dalam analisis regresi klasik, asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain adalah tidak terdapat korelasi diantara variabel bebas (multikolinieritas). Dengan kata lain antara variabel yang satu dengan yang lain bersifat ortogonal (saling bebas). Dalam melakukan analisis dengan variabel banyak (multivariate) seringkali tidak dapat dihindari terjadinya multikolinieritas ini. Oleh karena itu pendekatan statistika yang sesuai adalah dengan menggunakan analisis regresi komponen utama (Principal Component Regression Model). Sebagaimana dalam analisis regresi pada umumnya, dikenal variabel bebas (X) dan variabel tak bebas (Y). Dalam kaitan itu, maka model ini dipergunakan untuk menguji pengaruh komponen abiotis iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa dijadikan sebagai variabel bebas, sedangkan variabel tak bebas parameter sagu yakni jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Menurut Gaspersz (1995) model regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, dilakukan analisis dengan model berikut :
v K w K w K w w Y o 1 1 2 2... m m ……… (20)
dimana : Y = variabel tak bebas
Kj = vartiabel bebas komponen utama yang merupakan kombinasi
linier dari semua variabel baku Z (j = 1, 2, …, m) wo = konstanta
wj= parameter model regresi (koefisien regresi), (j = 1, 2, …, m)
Dalam proses analisis semua variabel bebas ditransformasi ke dalam variabel baku Z. Transformasi data ini diperlukan karena terdapat perbedaan satuan diantara variabel bebas. Transformasi data menggunakan rumus :
) ( i i i s x x Z ………. (21)
dimana : Zi = variabel bebas ke-i dalam bentuk baku
xi= variabel bebas ke-i dalam bentuk asli
x= nilai rata-rata dari variabel bebas xi
si = simpangan baku (standard deviation) dari xi
Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan
regresi dalam bentuk variabel asli ’X’, sebagai berikut : p
p
o bx b x b x
b
Y 1 1 2 2... ……….. (22)
dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable)
xi = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,, …, p
bo = konstanta (intersep)
bi = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2, …, p.
3.4.3. Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku
Fokus studi ini dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu, karena diduga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku, maupun istilah spesies yang banyak dianut di Indonesia. Dalam studi ini dilakukan pula kajian yang berkaitan dengan biodiversitas sagu berdasarkan tingkat keanekaragamannya. Secara teoritis atas dasar tingkatannya, keanekaragaman hayati terbagi atas tiga tingkatan yaitu : 1) keanekaragaman tingkat komunitas, 2) keanekaragaman tingkat spesies, dan 3) keanekaragaman tingkat genetik. Dalam hubungan itu, maka uraian mengenai keanekaragaman atau biodiversitas tumbuhan sagu disetarakan ke dalam tiga kategori tingkatan tersebut. Tahapan penelitian biodiversitas tersaji dalam Gambar 8.
Dalam hubungannya dengan studi ini, maka tumbuhan sagu diletakkan pada tataran vegetasi, merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh bersama jenis tumbuhan
yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat. Ukuran petak pengamatan disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi. Untuk jenis vegetasi bawah (seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu (sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon 20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi :
Gambar 8. Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu
1. Spesies tumbuhan, dilakukan di lapangan dengan menggunakan buku panduan identifikasi spesies. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi di lapangan diambil bagian tumbuhan (herbarium) untuk diidentifikasi di laboratorium.
2. Jumlah tiap spesies, untuk keperluan penentuan kerapatan spesies. 3. Kedapatan pada setiap unit contoh untuk menentukan frekwensi spesies.
3. Luas tutupan (coverage). Parameter ini dilakukan dengan cara mengukur panjang jari-jari tutupan tajuk vegetasi. Kemudian luas tutupan tajuk suatu spesies ditetapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan-(4). Pengukuran ini dimaksudkan untuk menentukan dominasi spesies.
Pengamatan vegetasi
Pengamatan Spesies
Klarifikasi Spesies
Analisis Kemiripan Komunitas
Analisis Keanekaragaman Spesies
3.4.3.1. Biodiversitas komunitas
Dalam rangka menjelaskan keanekaragam komunitas tumbuhan sagu di dalam wilayah P. Seram Maluku, maka didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas. Suatu wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas sagu. Untuk menentukan kemiripan komunitas antara satu wilayah sampel dengan wilayah sampel yang lain, maka dilakukan analisis kemiripan komunitas menggunakan indeks similaritas (IS) (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989). Penetapannya dengan menggunakan rumus berikut :
% 100 ) ( 2 x b a w IS ………. (23) dimana :
IS : Indeks similaritas (kemiripan)
a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua
w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua tegakan yang diamati
Untuk menentukan tingkat kemiripan antar komunitas, dalam konteks ini antara satu komunitas sagu dengan komunitas yang digunakan kriteria sebagai berikut : kemiripan sangat tinggi bila IS > 75 %, kemiripan tinggi bila 50 % < IS < 75 %, kemiripan rendah bila 25 % < IS < 50 %, dan kemiripan sangat rendah bila IS < 25 % (Krebs 1999).
3.4.3.2. Biodiversitas spesies
Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies pada setiap komunitas sagu. Pada setiap komunitas sagu dilakukan analisis untuk mengetahui keanekaragaman spesies di dalamnya. Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan biodiversitas spesies dalam komunitas sagu. Pendekatan yang dilakukan melalui indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk menjelaskan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu di P. Seram Provinsi Maluku dilakukan perhitungan nilai indeks keaneragaman Shannon-Wiener (H’). Penetapan nilai indeks Shannon ini menggunakan input data nilai penting pada setiap wilayah sampel sebagai suatu komunitas tumbuhan sagu. Besarnya nilai
indeks keanekaragaman spesies (Shannon-Wiener H’) ditetapkan dengan formula berikut ini (Ludwig dan Reynolds 1988) :
H’ = - [(n.i/N)log(n.i/N)] ……… (24)
dimana :
H’ : Indeks keanekaragaman
n.i : nilai penting dari setiap jenis N : total nilai penting
Secara teoritis nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) biasanya berkisar antara 0 - 7. Jika nilai H’ ≤ 1, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat rendah, jika 1 < H’ ≤ 2 termasuk dalam kategori rendah, jika 2 < H’ ≤ 3 termasuk dalam kategori sedang (medium), jika 3 < H’ ≤ 4
termasuk dalam kategori tinggi, dan jika H’ > 4, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat tinggi (Soegianto 1994).
3.4.3.3. Biodiversitas genetik
Sifat genetik dilakukan melalui analisis molekuler. Untuk mempelajari variasi karakteristik genetik masing-masing jenis sagu dalam studi ini digunakan melalui analisis isozim. Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaatkan dalam membedakan spesies/varietas tanaman yang secara taksonomi sukar dibedakan hanya berdasarkan sifat morfologinya. Isozim sebagai penanda biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar atau jenis tumbuhan. Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi (Marzuki 2007).
Menurut Hartana (2005) isozim atau isoenzim mempunyai bentuk polimorfik dalam suatu organisme atau spesies tanaman yang sama tetapi mengkatalisator reaksi metabolisme yang berbeda. Polimorfisme isozim berupa molekul-molekul protein yang berbeda fenotipenya dapat ditampakkan dalam bentuk pola pita yang berbeda dengan menggunakan elektroforesis gel pati yang diwarnai dengan pewarna yang spesifik untuk setiap enzim.
Untuk keperluan analisis ini diambil beberapa helai daun muda yaitu daun ketiga dari pucuk tunas (leaf index). Daun-daun terpilih kemudian dimasukkan
dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST).
Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku No. Nama daerah Nama spesies secara
umum*
Nama spesies menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997)
Spesies Varietas Subvar.
1. 2. 3. 4. 5. Sagu tuni Sagu Makanaru Sagu ihur Sagu durirotan Sagu molat M. rumphii Mart. M. longispinum Mart. M. sylvestre Mart. M. micracanthum Mart. M. sagu Rottb. M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. M. sagu Rottb. Micracanthum Becc. Micracanthum Becc. Sylvestre Becc. Rotang Becc. Molat Becc. Tuni Makanaro - - - Sumber : * Haryanto dan Pangloli (1992), Louhenapessy (2006), Bintoro (2008),
58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN