• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonometrika Pengaruh Belanja Aparatur dan

Hasil analisis ekonometrika pengaruh belanja aparatur dan belanja

publik terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tersaji pada Lampiran

25 sampai 32.

Pengaruh belanja aparatur, belanja publik dan penerapan otonomi

daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disajikan pada Tabel

8. P-value ANOVA sebesar 0,007 lebih kecil dari taraf signifikan (a = 0,05)

menunjukkan bahwa model yang digunakan bersifat signifikan. Koefisien

determinasi sebesar 0,9747 artinya bahwa 97,47 % variasi IPM dapat

dijelaskan oleh variasi variabel-variabel penjelas dalam model. Kedua

indikator tersebut diatas menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup

baik.

Tabel 8. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi

Daerah terhadap IPM pada Periode 1999-2005

Variabel Terikat : IPM

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value Elastisitas

Intersep

66,2047

76,7337

0,0000

-

Belanja Aparatur

0,0001

2,5996

0,0804

0,053

Belanja Publik

0,0001

4,4662

0,0209

0,055

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

-3,0510

-2,6328

0,0781

-

P-Value ANOVA = 0,006762443; R

2

= 0,974743

Tabel di atas menunjukkan bahwa belanja aparatur memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap IPM. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf

signifikan 9 %. Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,0001 artinya

bahwa setiap kenaikan belanja aparatur sebesar Rp. 10 milyar akan

meningkatkan IPM sebesar 1 satuan.

Belanja publik berpengaruh signifikan terhadap IPM pada taraf

signifikan 5 %. Koefisien regresi yang dimiliki sebesar 0,0001 berarti bahwa

setiap kenaikan belanja publik sebesar Rp. 10 milyar akan meningkatkan IPM

sebesar 1 satuan.

Penerapan otonomi daerah menunjukkan pengaruh yang signifikan

terhadap IPM. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf signifikan 8%.

Koefisien regresi variabel dummy tersebut sebesar -3,0510

artinya bahwa

setelah penerapan otonomi daerah, intersep model lebih rendah sebesar

3,05 satuan dibandingkan sebelum otonomi daerah. Seperti hasil analisis

pengaruh penerapan otonomi daerah terhadap PDRB Per Kapita (Sub Bab

4.1), bahwa penerapan otonomi daerah juga menunjukkan pengaruh negatif

terhadap IPM. Penyebabnya diduga karena penerapan kebijakan otonomi

daerah masih relatif baru (2001-2005, lima tahun) sehingga pengaruhnya

terhadap kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM tidak signifikan.

Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur terhadap IPM masing-

masing 0,055 dan 0,053 artinya perubahan belanja publik sebesar 1% akan

meningkatkan IPM 0,055%, perubahan belanja aparatur 1% akan

meningkatkan IPM 0,053%. Masing-masing elastisitas tersebut bersifat

inelastisitas. Semakin inelastisitas maka pengaruh perubahan belanja publik

dan belanja aparatur terhadap IPM semakin kecil. Hal ini diduga karena IPM

merupakan indeks komposit yang disusun oleh indeks pendapatan,

pendidikan dan kesehatan. Indeks pendapatan sebagaian besar dibentuk

karena adanya lapangan kerja yang tercipta dari investasi (sektor swasta)

dan aktivitas wirausaha masyarakat. Sedangkan kontribusi belanja publik

dan belanja aparatur (APBD) terhadap pembentukkan indeks pendapatan

relatif kecil. Begitu juga dalam penyelenggraan pendidikan, baik pendidikan

dasar, menengah maupun perguruan tinggi serta pelayanan kesehatan di

Kota Bekasi sebagian besar dilaksanakan oleh masyarakat (swasta).

41

IPM disusun oleh tiga indeks komposit yang terdiri dari indeks

pendapatan, indeks harapan hidup (kesehatan) dan indeks pendidikan

(Gambar 7). Hasil analisis ketiga indeks penyusun IPM tersebut ditampilkan

pada Lampiran 26-32. Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja

publik serta penerapan otonomi daerah terhadap indeks pendapatan

menunjukkan bahwa P-value ANOVA sebesar 0,0150 (Lampiran 26 dan 29)

lebih kecil dari taraf signifikan (a = 0,05) menunjukkan bahwa model yang

digunakan bersifat signifikan. Koefisien determinasi sebesar 0.9569 artinya

bahwa 95,69% variasi indeks pendapatan dapat dijelaskan oleh variasi

variabel-variabel penjelas dalam model. Kedua indikator tersebut diatas

menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup baik.

Tabel 9. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan Otonomi

Daerah terhadap Indeks Pendapatan pada Periode 1999-2005

Variabel Terikat : Indeks Pendapatan

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value

Elastisitas

Intersep

43,8327

18,1702

0,0004

-

Belanja Aparatur

0,0002

2,5168

0,0864

0,135

Belanja Publik

0,0001

3,1614

0,0508

0,140

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

-9,1624

-2,8277

0,0663

-

P-Value ANOVA = 0,014976179; R

2

= 0.956931172

Tabel di atas menunjukkan bahwa belanja aparatur memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap indeks pendapatan. Pengaruh tersebut bersifat

nyata pada taraf signifikan 9 %. Koefisien regresi yang besangkutan

sebesar 0,0002 artinya bahwa setiap kenaikan belanja aparatur sebesar Rp.

10 milyar akan meningkatkan indeks pendapatan sebesar 2 satuan.

Belanja publik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks

pendapatan. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf signifikan 6 %.

Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,0001 artinya bahwa setiap

kenaikan belanja publik sebesar Rp. 10 milyar akan meningkatkan indeks

pendapatan sebesar 1 satuan.

Penerapan otonomi daerah menunjukkan pengaruh yang signifikan

terhadap indeks pendapatan. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf

signifikan 7 %. Koefisien regresi variabel dummy tersebut sebesar -9,1624

artinya bahwa setelah penerapan otonomi daerah, intersep model lebih

rendah sebesar 9,16 satuan dibandingkan sebelum otonomi daerah.

Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur terhadap indeks

pendapatan masing-masing 0,140 dan 0,135 artinya perubahan belanja

publik sebesar 1% akan meningkatkan indeks pendapatan 0,140%,

perubahan belanja aparatur 1% akan meningkatkan indeks pendapatan

0,135%. Masing-masing elastisitas tersebut bersifat inelastisitas. Semakin

inelastisitas maka pengaruh perubahan belanja publik dan belanja aparatur

terhadap indeks pendapatan semakin kecil. Hal ini diduga karena Indeks

pendapatan sebagaian besar dibentuk karena adanya lapangan kerja yang

tercipta dari investasi (sektor swasta) dan aktivitas wirausaha masyarakat.

Sedangkan kontribusi belanja publik dan belanja aparatur (APBD) terhadap

pembentukkan indeks pendapatan relatif kecil.

Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik serta

penerapan otonomi daerah terhadap indeks kesehatan menunjukkan bahwa

P-value ANOVA sebesar 0,0322 (Lampiran 27 dan 30) lebih kecil dari taraf

signifikan (a = 0,05) menunjukkan bahwa model yang digunakan bersifat

signifikan. Koefisien determinasi sebesar 0,8556 artinya bahwa 85,56%

variasi indeks kesehatan dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel

penjelas dalam model. Kedua indikator tersebut diatas menunjukkan bahwa

model yang digunakan cukup baik.

43

Tabel 10. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan

Otonomi Daerah terhadap Indeks Kesehatan pada Periode

1999-2005

Variabel Terikat : Indeks Kesehatan

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value

Elastisitas

Intersep

69,80914

107,6630

0,0000

-

Belanja Aparatur

-0,00001

-0,2615

0,8107

-

Belanja Publik

0,00004

3,1665

0,0506

0,029

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

0,62059

0,7126

0,5275

-

P-Value ANOVA = 0,032211448; R

2

= 0.855601488

Tabel 10 menunjukkan bahwa belanja publik memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap indeks kesehatan. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada

taraf signifikan 6 %. Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,00004

artinya bahwa setiap kenaikan belanja publik sebesar Rp. 100 milyar akan

meningkatkan indeks kesehatan sebesar 4 satuan.

Variabel belanja aparatur dan penerapan otonomi daerah (dummy)

menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap indeks kesehatan. Hal

ini diduga disebabkan karena :

1. Proyek/kegiatan di bidang kesehatan sebagian besar (98 %) merupakan

proyek/kegiatan belanja publik yang menyentuh langsung terhadap

kebutuhan masyarakat (Tabel 15), sedangkan untuk belanja aparatur di

bidang kesehatan nilainya kecil sehingga pengaruhnya terhadap indeks

kesehatan tidak signifikan.

2. Penerapan kebijakan otonomi daerah masih relatif baru (lima tahun)

sehingga pengaruhnya terhadap indeks kesehatan tidak signifikan.

Elastisitas belanja publik terhadap indeks kesehatan adalah 0,029

artinya perubahan belanja publik sebesar 1% akan meningkatkan indeks

kesehatan 0,029%. Elastisitas tersebut bersifat inelastisitas. Semakin

inelastisitas maka pengaruh perubahan belanja publik terhadap indeks

kesehatan semakin kecil. Hal ini diduga sebagaian besar penyelenggaraan

pelayanan kesehatan di Kota Bekasi dilakukan oleh masyarakat (swasta).

Sedangkan kontribusi belanja publik (APBD) terhadap pelayanan kesehatan

di Kota Bekasi relatif kecil.

Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik serta

penerapan otonomi daerah terhadap indeks pendidikan menunjukkan bahwa

P-value ANOVA sebesar 0,0047 (Lampiran 28, 31 dan 32) lebih kecil dari

taraf signifikan (a = 0,05) menunjukkan bahwa model yang digunakan bersifat

signifikan. Koefisien determinasi sebesar 0,9801 artinya bahwa 98,01%

variasi indeks pendidikan dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel

penjelas dalam model. Kedua indikator tersebut diatas menunjukkan bahwa

model yang digunakan cukup baik.

Tabel 11. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan

Otonomi Daerah terhadap Indeks Pendidikan pada Periode

1999-2005

Variabel Terikat : Indeks Pendidikan

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value

Elastisitas

Intersep

85,11059

229,6502

0,0000

-

Belanja Aparatur

0,00003

2,1760

0,1178

0,021

Belanja Publik

0,00003

5,1049

0,0145

0,022

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

-0,72079

-1,4480

0,2435

-

P-Value ANOVA = 0.004743568; R

2

= 0.980082002

Tabel 11 menunjukkan bahwa belanja aparatur memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap indeks pendidikan. Pengaruh tersebut bersifat

nyata pada taraf signifikan 12 %. Koefisien regresi yang besangkutan

45

sebesar 0,00003 artinya bahwa setiap kenaikan belanja aparatur sebesar

Rp. 100 milyar akan meningkatkan indeks pendidikan sebesar 3 satuan.

Belanja publik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks

pendidikan. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf signifikan 5 %.

Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,00003 artinya bahwa setiap

kenaikan belanja publik sebesar Rp. 100 milyar akan meningkatkan indeks

pendidikan sebesar 3 satuan.

Variabel dummy penerapan otonomi daerah menunjukkan pengaruh

yang tidak signifikan terhadap indeks pendidikan. Hal ini diduga disebabkan

karena penerapan kebijakan otonomi daerah masih relatif baru (lima tahun)

sehingga pengaruhnya terhadap indeks pendidikan tidak signifikan.

Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur terhadap indeks

pendidikan masing-masing 0,022 dan 0,021 artinya perubahan belanja publik

sebesar 1% akan meningkatkan indeks pendidikan 0,022%, perubahan

belanja aparatur 1% akan meningkatkan indeks pendidikan 0,021%. Masing-

masing elastisitas tersebut bersifat inelastisitas. Semakin inelastisitas maka

pengaruh perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap indeks

pendidikan semakin kecil. Hal ini diduga sebagaian besar penyelenggaraan

pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi di Kota

Bekasi dilakukan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan kontribusi belanja

publik dan belanja aparatur (APBD) terhadap penyelenggaraan pendidikan di

Kota Bekasi relatif kecil.

Komponen Indeks pendidikan terdiri dari angka rata-rata lama sekolah

(RLS) dan angka melek huruf (AMH). Hasil analisis pengaruh belanja

aparatur dan belanja publik serta penerapan otonomi daerah terhadap RLS

dan AMH ditampilkan dalam Lampiran 31 dan 32. Hasil analisis pengaruh

belanja aparatur dan belanja publik serta penerapan otonomi daerah

terhadap RLS menunjukkan bahwa P-value ANOVA sebesar 0,0053

(Lampiran 31) lebih kecil dari taraf signifikan (a = 0,05) menunjukkan bahwa

model yang digunakan bersifat signifikan. Koefisien determinasi sebesar

0,9785 artinya bahwa 97,85% variasi RLS dapat dijelaskan oleh variasi

variabel-variabel penjelas dalam model. Kedua indikator tersebut diatas

menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup baik.

Tabel 12. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan

Otonomi Daerah terhadap Rata-rata Lama Sekolah pada

Periode 1999-2005

Variabel Terikat : Rata-rata Lama Sekolah

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value

Elastisitas

Intersep

8,98287

62,0523

0,0000

-

Belanja Aparatur

0,00001

2,3440

0,1009

0,059

Belanja Publik

0,00001

4,1878

0,0248

0,062

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

-0,10394

-0,5345

0,6300

-

P-Value ANOVA = 0.005309388; R

2

= 0.978521234

Tabel 12 menunjukkan bahwa belanja aparatur memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap RLS. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf

signifikan 11 %. Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,00001

artinya bahwa setiap kenaikan belanja aparatur sebesar Rp. 100 milyar akan

meningkatkan RLS sebesar 1 satuan.

Belanja publik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap RLS.

Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf signifikan 5 %. Koefisien regresi

yang besangkutan sebesar 0,00001 artinya bahwa setiap kenaikan belanja

publik sebesar Rp. 100 milyar akan meningkatkan RLS sebesar 1 satuan.

Variabel dummy penerapan otonomi daerah menunjukkan pengaruh

yang tidak signifikan terhadap RLS. Hal ini disebabkan karena penerapan

kebijakan otonomi daerah masih relatif baru (lima tahun) sehingga

pengaruhnya terhadap RLS tidak signifikan.

47

Elastisitas belanja publik dan belanja aparatur terhadap RLS masing-

masing 0,062 dan 0,059 artinya perubahan belanja publik sebesar 1% akan

meningkatkan RLS 0,062%, perubahan belanja aparatur 1% akan

meningkatkan RLS 0,059%. Masing-masing elastisitas tersebut bersifat

inelastisitas. Semakin inelastisitas maka pengaruh perubahan belanja publik

dan belanja aparatur terhadap RLS semakin kecil. Hal ini diduga sebagaian

besar penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah dan

perguruan tinggi serta pendidikan non formal yang menjadi indikator RLS di

Kota Bekasi dilakukan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan kontribusi

belanja publik dan belanja aparatur (APBD) terhadap penyelenggaraan

pendidikan di Kota Bekasi relatif kecil.

Hasil analisis pengaruh belanja aparatur dan belanja publik serta

penerapan otonomi daerah terhadap AMH menunjukkan bahwa P-value

ANOVA sebesar 0,0740 (Lampiran 32) lebih kecil dari taraf signifikan (a =

0,10) menunjukkan bahwa model yang digunakan bersifat signifikan.

Koefisien determinasi sebesar 0,8728 artinya bahwa 87,28% variasi AMH

dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel penjelas dalam model. Kedua

indikator tersebut diatas menunjukkan bahwa model yang digunakan cukup

baik.

Tabel 13. Pengaruh Belanja Aparatur, Belanja Publik dan Penerapan

Otonomi Daerah terhadap Angka Melek Huruf pada Periode

1999-2005

Variabel Terikat : Angka Melek Huruf

Variabel Bebas

Koefisien

t-Hitung

P-Value

Elastisitas

Intersep

97,71632

350,6998

0,0000

-

Belanja Aparatur

0,00000

0,2821

0,7962

-

Belanja Publik

0,00001

2,9326

0,0609

0,007

Penerapan Otonomi Daerah (Dummy)

-0,72806

-1,9454

0,1469

-

P-Value ANOVA = 0.074041971; R

2

= 0.872758238

Tabel 13 menunjukkan bahwa belanja publik memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap AMH. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf

signifikan 7 %. Koefisien regresi yang besangkutan sebesar 0,00001

artinya bahwa setiap kenaikan belanja publik sebesar Rp. 100 milyar akan

meningkatkan AMH sebesar 1 satuan.

Penerapan otonomi daerah memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap AMH. Pengaruh tersebut bersifat nyata pada taraf signifikan 15%.

Koefisien dummy penerapan otonomi daerah sebesar -0,72806 artinya

bahwa setelah penerapan otonomi daerah intersep model berkurang sebesar

0,73 satuan dibandingkan sebelum penerapan otonomi daerah.

Belanja aparatur mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap

AMH. Hal ini diduga karena belanja aparatur adalah belanja yang sebagian

besar dipergunakan untuk membayar gaji pegawai negeri, sedangkan orang

yang tidak melek huruf (buta huruf) adalah orang yang bukan pegawai

negeri. Sehingga antara pegeluaran belanja aparatur dengan upaya

pemberantasan buta huruf tidak ada hubungan secara langsung, berarti

pengaruh belanja aparatur terhadap pemberantasan buta huruf tidak

signifikan.

49

Elastisitas belanja publik terhadap AMH adalah 0,007 artinya

perubahan belanja publik sebesar 1% akan meningkatkan AMH 0,007%.

Elastisitas tersebut bersifat inelastisitas. Semakin inelastisitas maka

pengaruh perubahan belanja publik dan belanja aparatur terhadap AMH

semakin kecil. Hal ini diduga sebagaian besar penyelenggaraan

pemberantasan buta huruf yang menjadi indikator AMH di Kota Bekasi

dilakukan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan kontribusi belanja publik

dan belanja aparatur (APBD) terhadap pelaksanaan pemberantasan buta

huruf di Kota Bekasi relatif kecil.

Dokumen terkait