• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan

Meskipun era globalisasi akan membentuk persaingan pasar internasional yang terbuka, Indonesia harus dapat mempersiapkan diri agar dapat menjadi salah satu pemeran dalam kawasan Asia Pasifik. Dengan pertumbuhan pesat dan keadaan Batam hingga saat ini, prospek Indonesia untuk dapat berkancah dalam dunia internasional semakin besar. Dengan memanfaatkan lokasi yang strategis pada jalur pelayaran yang ramai di Selat Malaka, disertai dengan fasilitas dan infrastruktur serta sumberdaya manusia yang memadai, Batam dapat menjadi pusat ekspor Indonesia. Eksportir-eksportir Indonesia dapat menggunakan momentum free trade zone Batam untuk berinvestasi di Batam, sebagai langkah awal dalam upaya menjangkau pasar dan persaingan global (Abdulah, 2001).

Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa globalisasi ekonomi dan penunjukan Batam sebagai KPB diprediksi akan berdampak terhadap lingkungan di kawasan tersebut. Selama ini walaupun sejak lama kawasan Batam secara de facto merupakan wilayah perdagangan bebas, tetapi pengendalian lingkungannya masih belum efektif.

2.3. Analisis Kebijakan Pengendalian Lingkungan

Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pengembangan wilayah Batam sebagai kawasan perdagangan bebas menghadapi permasalahan lingkungan yang dapat mengganggu keberlanjutan KPB Batam. Seberapa besar perdagangan bebas akan mempengaruhi lingkungan tergantung pada skala ekonomi yang dilakukan, faktor persaingan, dampak lokasi kegiatan, dan dampak kebijakan (CEC, 2002). Perdagangan bebas meningkatkan aktifitas ekonomi total wilayah dan memberikan tekanan terhadap lingkungan melalui penggunaan sumberdaya alam dan pembuangan limbah dari kegiatan industri, transportasi, dan kegiatan ekonomi lainnya. Faktor persaingan bagi beberapa negara cenderung melonggarkan standar kualitas lingkungannya untuk menarik minat investasi yang lebih besar yang dikenal sebagai kebijakan pollution havens. Dampak lokasi terjadi apabila pemerintah pusat dan pemerintah lokal menetapkan standar kualitas lingkungan yang ketat bagi industri, maka industri cenderung akan memindahkan ke wilayah yang menerapkan kebijakan lingkungan yang lebih longgar untuk menghindari biaya pengolahan limbah yang menjadi beban biaya produksinya.

29 Regulasi lingkungan memiliki peranan penting terhadap perdagangan bebas karena aspek lingkungan saat ini telah dimasukkan di hampir semua perjanjian perdagangan internasional. Apabila pemerintah setempat tidak mengubah kebijakan pengelolaan lingkungannya, pemerintah setempat akan melanggar ketentuan internasional yang telah disepakati (CEC, 2002).

Adanya masalah (lingkungan) tersebut memerlukan kebijakan untuk mengendalikannya karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada dan timbul di dalam suatu komunitas dan mengatur perilaku anggota masyarakat (publik) dalam aktivitas tertentu. Kebijakan disusun dengan suatu tujuan tertentu untuk memecahkan masalah yang ada, didukung oleh seperangkat keputusan publik, dibuat oleh sekelompok orang yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan, sehingga kebijakan yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial. Suatu kebijakan direncanakan dan dilaksanakan untuk menjamin bahwa suatu aksi atau kegiatan akan memberikan kontribusi pada beberapa hasil, tujuan atau sasaran yang diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan juga merupakan preposisi atas preskripsi (rekomendasi atau resep) dari masalah nyata (real world) di masyarakat. Kebijakan dibuat untuk menjawab pertanyaan : What ought to be done? atas isu atau masalah yang mengemuka dalam perbincangan publik (masyarakat). Menurut Ramdan et al.

(2003), suatu kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda (berantai). Suatu kebijakan terkait dengan kebijakan lainnya. Sebagai contoh kebijakan membuka kembali ekspor kayu bulat diduga meningkatkan kegiatan penjarahan kayu di hutan alam Indonesia, sehingga untuk menjaga hal tersebut berlanjut diperlukan kebijakan lain untuk menekan laju penjarahan tersebut.

b. Keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem. Buruknya kondisi sistem politik mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, sehingga perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik. c. Kebijakan mengubah/mempengaruhi sesuatu keadaan yang almost

30 d. Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat.

Informasi/ data yang tidak lengkap dan akurat menimbulkan

misinterpretation, misperception, dan poor guidelines dalam mengimplementasikan kebijakan.

Proses penyusunan kebijakan tertera pada Gambar 3. Studi analisis kebijakan pada prinsipnya menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut (Dunn, 1999) :

a. Apa hakekat dari permasalahan yang akan dianalisis ?

b. Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa akibatnya ?

c. Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah ?

d. Alternatif-alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah-masalah, dan hasil-hasil apa yang diharapkan ?

Masalah dapat timbul sebagai bentuk ketidakpuasan individu atau sekelompok masyarakat terhadap kebijakan yang ada (status quo policy). Masalah dan isu (issue) adalah dua istilah yang dalam prakteknya sering dipertukarkan satu dengan lainnya. Cubbage, et al. (1993) menyatakan bahwa isu menggambarkan lebih dari suatu debat atau kontroversi terhadap situasi tertentu. Terdapat banyak masalah dalam pengelolaan lingkungan, namun hanya sedikit yang dapat dijadikan sebagai isu penting. Isu juga merupakan masalah yang dipertimbangkan dan diperdebatkan oleh publik serta dipandang sebagai hasil gabungan dari kejadian-kejadian dan aksi kelompok masyarakat. Masalah yang dapat dijadikan isu memiliki beberapa ciri, yaitu :

a. Memiliki konflik yang potensial atau konflik sedang berlangsung. b. Memiliki potensi untuk suatu perubahan dalam rencana pengelolaan. c. Memiliki pengaruh terhadap alokasi sumberdaya.

d. Berhubungan dengan kondisi di suatu tempat dan waktu saat ini. e. Dapat dirumuskan dalam bentuk sebuah pertanyaan

f. Dapat diverifikasi melalui keterlibatan publik.

Kebanyakan masalah yang ditemukan dalam pengelolaan lingkungan merupakan masalah yang rumit atau kompleks. Keputusan melibatkan banyak

31 Gambar 3. Proses pembuatan kebijakan (Cubbage, et al.1993)

tinggi menjadikan karakteristik utama yang muncul adalah konflik diantara tujuan-tujuan yang saling bersaing. Cubbage et al. (1993) menjelaskan pertentangan atau konflik yang sering timbul ketika menetapkan suatu tujuan, yaitu :

FORMASI MASALAH Masalah atau diterima dan adanya kebutuhan untuk membuat aksi

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Kebijakan diimpelemtasikan oleh instansi/badan pemerintah yang sesuai, termasuk di dalamnya

pengawasan legislatif dan peran yudikatif AGENDA KEBIJAKAN

Kebutuhan dikenali dan masalah ditempatkan sebagai agenda untuk aksi

FORMULASI KEBIJAKAN Bagian-bagian aksi yang dapat diterima dikembangkan

sesuai dengan masalah

ADOPSI KEBIJAKAN Kebijakan diseleksi untuk

mengatasi masalah dan dibuat sebagai pernyataan kebijakan ( policy statement )

EVALUASI KEBIJAKAN Determinasi informal atau formal dari efektifitas kebijakan

yang dibuat, menyarankan perbaikan kebijakan yang

harus dipertimbangkan Perubahan yang diharapkan

dari perbaikan dalam kebi-jakan yang dikenali dan diformulasikan

Perubahan yang diharapkan dari perbaikan dalam kebi- jakan yang dikenali dan diformulasikan

32 a. Ketidakmungkinan fisik (physical impossibility), misalnya pembuatan

jalan hutan dapat memberikan dampak menurunnya kualitas air.

b. Konflik ekonomi (economic conflicts), misalnya keterbatasan dana yang disediakan oleh pemerintah untuk PSDAL.

c. Konflik atas nilai (value conflicts), misalnya perbedaan pandangan diantara kelompok-kelompok masyarakat terhadap penggunaan dan pelestarian SDA.

d. Perspektif Waktu (time perspectives), misalnya setiap individu atau kelompok memiliki preferensi waktu yang berbeda dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan kepentingan pelestariannya.

Perumusan masalah adalah aspek yang paling penting dalam analisis kebijakan tetapi paling sering sulit dipahami oleh analis kebijakan. Proses perumusan masalah kebijakan seringkali tidak mengikuti aturan yang baku atau jelas, sedangkan masalah itu sendiri seringkali sangat kompleks dan sulit dibuat sistematis. Dalam merumuskan masalah yang spesifik, perlu upaya untuk menjadikan masalah tersebut sebagai informasi yang akan menarik perhatian kelompok pembuat keputusan seperti pemerintah sebelum perubahan kebijakan lainnya terjadi. Dalam tahapan proses sesudah perumusan masalah adalah upaya menjadikan isu atau masalah menjadi agenda (kebijakan) dari pembuat kebijakan. Abidin (2002) menyebutkan bahwa masalah strategis memenuhi empat syarat, yaitu: (a). luas cakupannya; (b). jangka waktu panjang; (c). memiliki keterkaitan yang luas; dan (d). mengandung resiko dan keuntungan yang besar.

Tipe agenda kebijakan dapat bersifat umum atau sistematik. Abidin (2002) menyebutkan bahwa agenda umum dalam mengangkat isu yang belum jelas tujuan khususnya (vague issues) mengakibatkan isu-isu tersebut bersifat umum. Agenda yang sistematik merupakan agenda yang sudah memiliki gambaran yang sangat jelas yang dihasilkan dari suatu diskusi atau perdebatan publik mengenai isu penting. Sebagai contoh, agenda yang sistematik adalah isu polusi udara, keanekaragaman hayati, degradasi lahan, dan sebagainya. Untuk memperoleh perhatian pembuat kebijakan, masyarakat publik harus bersatu, mengorganisasikan diri, dan menghubungi lembaga perwakilannya di dewan perwakilan dengan tujuan untuk memasukkan isu yang telah dirumuskan ke dalam

33 agenda pembuat keputusan. Tekanan publik diperlukan apabila pembuat kebijakan memiliki sikap yang apriori terhadap isu publik yang diangkat. Bentuk tekanan publik dapat dilakukan dengan beragam media, seperti : diskusi, opini di media massa, demonstrasi, dan sebagainya. Namun dengan banyaknya masalah yang berkembang dan potensial untuk dijadikan isu seringkali menyebabkan perlunya penyusunan prioritas dalam mengagendakan isu publik. Semakin penting masalah atau isu yang akan ditempatkan sebagai agenda publik, maka semakin tinggi peringkat perioritas dari isu publik tersebut.

Setelah masalah atau isu dijadikan agenda publik, para pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya secara bersama-sama menyusun formulasi kebijakan yang difokuskan untuk mencari alternatif kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dunn (1999) menyatakan bahwa alternatif kebijakan juga melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan pengadilan, dan tindakan legislatif lainnya. Hasil formulasi kebijakan akan menghasilkan alternatif-alternatif kebijakan baru terhadap kebijakan lama atau yang sedang berlangsung. Untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan, diperlukan upaya untuk menyusun peringkat atau prioritas alternatif kebijakan yang harus diimplementasikan. Alternatif kebijakan yang telah tersusun kemudian diadopsikan dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara eksekutif, dukungan lembaga peradilan, serta diterima oleh mayoritas

stakeholders lainnya.

Kebijakan yang telah diadopsi diimplementasikan oleh unit-unit administrasi dan pelaksana pemerintah, masyarakat, lembaga swasta, dan komponen

stakeholders lainnya. Implementasi kebijakan pun difokuskan untuk memobilisasi sumberdaya yang ada, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Dengan kebijakan yang efektif diharapkan masalah atau isu yang muncul pada tingkat publik akan dapat diselesaikan secara baik, berkeadilan, dan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Implementasi kebijakan harus dievaluasi untuk menguji apakah pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan telah sesuai dengan persyaratan dan aturan yang ada dalam kebijakan yang telah ditetapkan. Beragam kriteria digunakan untuk menganalisis kebijakan tersebut. Kriteria merupakan standar perbandingan yang digunakan dalam pembuatan keputusan

34 tentang kebijakan-kebijakan alternatif. Kriteria dapat menggabungkan fakta dengan keputusan valuatif atau normatif. Dalam mengevaluasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (PSDAL) dibutuhkan standar atau kriteria evaluasi yang menyangkut aspek ekologis, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga secara umum evaluasi PSDAL dikemas dalam perspektif sustainability

(kelestarian). Ukuran efektifitas kebijakan yang perlu diperhatikan adalah (Ramdan, et al., 2003) :

a. Efisiensi. Kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mampu meningkatkan efisiensi penggunan SDA secara optimal. Kebijakan pengelolaan SDA yang tidak mencerminkan efisiensi dapat menimbulkan degradasi lingkungan.

b. Adil (fair). Bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, dimana kepentingan publik tidak terabaikan. Sebagai contoh rusaknya hutan tropis Indonesia disebabkan oleh tidak tercerminnya rasa keadilan publik. Masyarakat lokal selama 32 tahun rejim orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati langsung manfaat hutan yang berada di lingkungannya. Kebijakan konsensi hutan yang tidak fair dalam prakteknya telah memperkaya sekelompok pengusaha (pusat) dan memiskinkan masyarakat lokal. Ketidakadilan ini menyebabkan konflik sosial.

c. Mengarah pada insentif. Perbaikan lingkungan adalah tanggung-jawab bersama karena SDA ini prinsipnya kewajiban bersama yang harus dijaga. Namun untuk menciptakan attitude diperlukan insentif. Oleh karena itu, kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mengarah pada insentif untuk merangsang tindakan dalam perbaikan lingkungan.

d. Penegakan hukum (enforceability). Kebijakan tidak akan efektif berjalan dalam kondisi disorder dan poor law enforcement. Penegakan hukum akan memaksa setiap anggota masyarakat untuk mentaati kebijakan yang ditetapkan.

e. Diterima oleh publik (public acceptability). Kebijakan pengelolaan SDA selalu menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan yang baik harus dapat diterima oleh publik.

35 f. Moral. Kebijakan yang baik tidak akan ada pengaruhnya dalam

perbaikan SDA dan lingkungan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari suatu kebijakan. Moral menjadi spirit of soul dalam pengelolaan SDA. Kerusakan SDA di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral. Oleh karena itu, terjadinya moral hazard menjadi titik awal kerusakan SDA dan lingkungan.