• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. PROGRAM PENGEMBANGAN KEDELAI

8.1. Analisis Kebijakan

Kedelai merupakan salah satu komoditi palawija yang termasuk dalam kebijakan pengadaan pangan melalui upaya peningkatan produksi. Saat ini pemerintah berencana untuk berswasembada kedelai pada tahun 2011. Pemilihan komoditi kedelai dalam kebijakan pangan didasarkan pada kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam produk makanan dengan harga yang relatif rendah, sehingga mampu dibeli oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Kebutuhan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa faktor penyebab meningkatnya kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, membaiknya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi makanan dan berkembangnya industri pengolahan berbahan baku kedelai. Produksi kedelai beberapa tahun belakangan ini cenderung menurun tajam, sejalan dengan menurunnya luas panen setiap tahunnya.

Dalam rangka peningkatan produksi, Pemerintah telah berupaya dengan lakukan berbagai macam program. Implementasi berbagai program tersebut diantaranya program Bimas (Bimbingan Masal), Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum (Intensifikasi Umum), Insus (Intensifikasi Khusus), Supra Insus, kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan sampai tahun 1986. Program berikutnya adalah Gema Palagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Terakhir pada tahun 2004 dilakukan program Pengembangan Kedelai Intensif (Bangkit Kedelai) yang direncanakan pada 2011 Indonesia dapat berswasembada kedelai dengan produksi dapat mencapai + 2 juta ton.

Komoditi kedelai mulai mendapat perhatian lebih besar terutama sejak Pelita IV, yaitu setelah pemerintah mampu berswasembada beras pada tahun 1984 dan

permintaan kedelai dalam negeri terus meningkat, sehingga untuk memenuhi kekurangannya dilakukan impor.

Upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi kedelai melalui :

(1) Intensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui subsidi input produksi dan penggunaan benih unggul.

(2) Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui perluasan areal tanam yang diprioritaskan di lahan sawah irigasi, tadah hujan dan lahan marginal.

(3) Penetapan harga dasar untuk menciptakan harga yang layak dan menarik bagi petani, sehingga petani tertarik untuk meningkatkan produksinya.

Kebijakan intensifikasi secara nasional pernah dilakukan pemerintah, misalnya pada tahun 1985, sehingga pengelolaan lahan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi dilakukan secara intensifikasi. Kebijakan harga dasar pernah dilakukan pemerintah untuk menaikkan harga jual petani, misalnya pada tahun 1980 ditetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70/kg dan tahun 1990 menjadi Rp 165/kg. Kebijakan penetapan harga dasar kedelai dilakukan selama lima Pelita dan dilakukan penyesuaian-penyesuaian, yaitu pada tahun 1969, 1973, 1974, 1978, 1979, 1983, 1984, 1988 dan 1990. Pada tahun 1988 harga dasar kedelai Rp 733/kg menjadi Rp 889/kg pada tahun 1990.

Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, di dalam negeri pemerintah melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya (Amang, 1996). Dengan pengendalian distribusi kedelai impor mampu mengendalikan harga tingkat petani dan distribusinya. Pengendalian ini dilakukan melalui mekanisme pengendalian kedelai impor, karena keunggulan kualitas dan harga, sehingga harganya lebih tinggi. Namun jika harga kedelai impor lebih murah, maka Bulog dapat

mengendalikan harga dengan mengurangi distribusi kedelai impor, sehingga harga kedelai dalam negeri dapat terkendali dengan baik.

Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual (Amang, 1996). Kenaikan harga jual produk-produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional.

Menurut penelitian Siregar (2003), kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, namun mempunyai keunggulan dayasaing dari segi finansial. Terdapat tiga faktor penting yang menentukan daya saing kedelai dari segi finansial, yaitu :

(1) Harga internasional. Titik impas harga internasional (CIF) sebesar US $ 244/ton kedelai akan memberikan dayasaing kedelai lokal, cateris paribus. (2) Nilai tukar dolar terhadap rupiah. Komoditi kedelai akan memiliki dayasaing

finansial jika nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp 7.765/ US $, ceteris paribus.

(3) Produktivitas. Keunggulan finansial dapat ditingkatkan jika produktivitas kedelai juga dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas kedelai sekitar 1.5 ton/ha, ceteris paribus. Sebenarnya kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit dicapai dengan dilakukannya perbaikan teknologi, yaitu dengan penggunaan benih unggul bermutu dan pupuk berimbang.

Produktivitas rata-rata nasional yang dicapai saat ini (2004) masih rendah, yaitu 1.28 ton/ha. Hasil penelitian Puslitbangtan menunjukkan bahwa + 13 varietas yang dilepas mempunyai produktivitas 1.5 – 2.5 ton/ha. Menurut Sudaryanto, dkk. (2004) bahwa rendahnya produktivitas aktual komoditi kedelai yang dicapai diduga disebabkan :

(2) Penghapusan subsidi sarana produksi menyebabkan biaya produksi meningkat.

(3) Sebagian petani tidak mampu menerapkan teknologi usahatani secara baik.

Berdasarkan hasil kajian Sumarno, dkk. (1998) terdapat lima kendala utama yang menunjukkan masih kurangnya ketersediaan teknologi budidaya spesifik lokasi dan rendahnya adopsi teknologi oleh petani dalam pengembangan kedelai di Indonesia, yaitu :

(1) Hama dan penyakit tanaman. Tanaman kedelai sangat rawan penyakit dari awal penanaman sampai dengan waktu panen.

(2) Pemupukan tanaman. Sebagian besar petani belum menggunakan pupuk berimbang.

(3) Kendala genetik. Varietas baru perlu beradaptasi di lingkungan baru.

(4) Manajemen irigasi dan drainase. Tanaman kedelai rentan terhadap kekurangan air dan sekaligus kelebihan air.

(5) Cara tanam. Petani melakukan cara tanam disebar dan tidak secara larikan.

Menurut hasil studi dayasaing yang dilakukan Suryana, dkk. (2005) menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang rendah, baik secara tradisional dan komersial untuk rezim pasar pada perdagangan antar wilayah (IRT), substitusi impor (IS) dan promosi ekspor (EP). Hal ini diperlihatkan oleh nilai RCR (Researce Cost Ratio) yang lebih besar dari satu. Artinya untuk memperoleh penerimaan 1 US $ diperlukan biaya lebih dari US $ 1. Untuk usahatani kedelai secara tradisional, RCR dari IRT 1.52; IS 1.43; dan EP 2.18. Untuk usahatani kedelai secara komersial, RCR dari IRT 1.27; IS 1.18; dan EP 1.91.

Menurut Sudaryanto (2001), untuk mencapai titik impas efisiensi ekonomi (RCR = 1) dibutuhkan peningkatan produktivitas sekitar 70 persen. Upaya peningkatan produktivitas merupakan strategi yang memiliki potensi dan peluang yang harus terus diupayakan. Pengembangan kedelai lebih tepat diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik (substitusi impor) dan arah pengembangannya ke

wilayah luar Jawa. Wilayah pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan faktor sosial ekonomi.

Disamping peningkatan produktivitas, tindakan strategis yang perlu terus diupayakan adalah peningkatan stabilitas hasil dan penekanan kehilangan hasil saat panen dan pengolahan hasil. Pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan manajemen usahatani serta penanganan panen dan pasca panen memiliki potensi dan peluang peningkatan produksi yang cukup besar. Program penyuluhan dan pengembangan kedelai perlu diarahkan untuk ketiga aspek tersebut dalam menunjang keberhasilan pengembangan kedelai.

Untuk memperoleh kemampuan dayasaing yang tinggi, pengembangan kedelai diarahkan pada peningkatan produksi, perbaikan mutu dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan komoditi non kedelai. Disamping itu dibutuhkan dukungan untuk melindungi harga kedelai petani dan kebijakan pemberlakuan tarif impor. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Malian (2004) bahwa pemerintah perlu melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditi yang banyak diusahakan petani agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari dalam negeri untuk jangka menengah dan jangka panjang.

Ketergantungan konsumsi kedelai yang cukup besar berdampak pada ketergantungan terhadap kedelai impor apabila produksi di dalam negeri tidak mengalami peningkatan secara nyata. Sementara itu kedelai impor disinyalir menggunakan teknologi transgenik yang keamanannya bagi kesehatan manusia masih pro dan kontra. Produk transgenik dalam tubuh akan menyebabkan karsinogenik (kanker) (YLKI, 2002). Untuk itu, perlu adanya program dan dukungan nyata bagi peningkatan produktivitas dan produksi kedelai berupa kebijakan-kebijakan strategis. Upaya terobosan sangat diperlukan dalam rangka menghambat laju ketergantungan terhadap impor kedelai. Untuk mencapai hal tersebut perlu disusun strategi kebijakan secara jangka pendek dan jangka panjang.

Strategi kebijakan jangka pendek yang dapat ditempuh antara lain dengan: (1)Penciptaan teknologi spesifik lokasi.

(2)Peningkatan produktivitas dan produksi kedelai. (3)Perbaikan kualitas kedelai lokal.

(4)Pengaturan harga dan efisiensi pemasaran.

(5)Pengaturan keterkaitan harga internasional dan nasional.

Strategi kebijakan jangka panjang adalah mengupayakan tercapainya swasembada kedelai, yaitu produksi kedelai lokal dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

8.2. Strategi Kebijakan Jangka Pendek