• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keberlanjutan Pembangunan Perikanan di Selat Bali

5.1.2 Analisis Leverage

Setelah ordinansi Rapfish selesai dilakukan dengan ditemukannya nilai KP2, selanjutnya dilakukan analisis leverage/analisis sentivitas terhadap atribut- atribut pengukuran keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali.

Dimensi Ekologi

Dimensi ekologi terdiri dari 10 atribut pertanyaan, dimana atribut yang nilai RMS (root mean square) relatif kecil yakni keragaman tangkapan dan jumlah ikan tertangkap sebelum dewasa. Tingkat keragaman hasil tangkapan nelayan Muncar dan Pengambengan relatif kecil karena hampir 75-80% adalah ikan lemuru. Hanya pada masa paceklik lemuru, biasanya muncul ikan lain dalam jumlah besar yakni ikan layang dan tongkol. Sementara kebiasaan nelayan yang masih mau menangkap ikan sebelum dewasa (ikan ukuran sempenit dan protolan), walaupun tahu kalau hasil tangkapannya nilai jualnya akan murah. Kebiasaan tersebut sebenarnya paling banyak dilakukan oleh nelayan bagan tancap dan

46,17 36,72 46,82 45,4 52,89 0 100 Ekologi Ekonomi Sosial Teknik Etik

71 nelayan payang dimana ukuran mata jaring <0,5 inchi. Ikan ukuran kecil tersebut memang banyak ditangkap di area fishing I (bagian utara Selat Bali).

Menurut data yang diperoleh dari nelayan bahwa dari tahun ke tahun ada kecenderungan penurunan ukuran ikan yang tertangkap. Dimana pada tahun 80-an rata-rata ikan yang tertangkap ukuran lemuru kucing (18 cm) sering diperoleh, pada era 90-95 an semakin kecil ukuran ikan yang tertangkap yakni ikan lemuru (15-18) cm, sejak 10 tahun yang lalu (1996) sangat jarang sekali kedua ukuran tersebut diperoleh namun yang banyak tertangkap adalah ikan lemuru protolan (11-15 cm). Bahkan dalam musim-musim tertentu, karena para nelayan sangat tidak selektif terhadap ukuran ikan yang ditangkap maka ikan lemuru sempenit (<11 cm) terutama pada bulan Agustus-Desember. Alasan klasik mengapa nelayan mau menangkap ikan yang sebenarnya sangat tidak layak untuk ditangkap yakni karena desakan ekonomi. Disamping itu, ada kesalahan fatal pada ukuran mata jaring 0,5 inch, karena menurut SKB Gubernur Propinsi Jawa Timur dan Gubernur Propinsi Bali No: 238 Tahun 1992/674 Tahun 1992 dalam pasal 3 disebutkan bahwa ukuran panjang jaring maksimal 300 meter dan ukuran lebar jaring minimal 60 meter serta ukuran mata jaring bagian kantong 1 (satu) inch (lihat Lampiran 6).

Perilaku nelayan tersebut di atas, menyebabkan ketersediaan ikan lemuru dewasa di perairan Selat Bali semakin sedikit yang berakibat makin rendahnya kemampuan reproduksi ikan. Kondisi tersebut mengakibatkan laju reproduksi ikan lemuru lebih kecil daripada laju penangkapan. Lemuru sempenit dan protolan adalah fase kritis sumberdaya sebelum mengalami proses matang gonad. Jika ikan yang ditangkap belum mempunyai kesempatan untuk bereproduksi maka penambahan baru (recruitment) akan terhambat yang menyebabkan terjadinya "recruitment over-fishing". Dengan munculnya hasil tangkapan ikan lemuru sempenit dan protolan dalam secara bersamaan memberikan indikasi terjadinya tekanan berlebihan terhadap stok sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Alternatif penerapan model manajemen musim terhadap ikan lemuru mungkin bisa menghindari tekanan penangkapan terhadap sumberdaya.

Gambar 5.3 menunjukkan tiga atribut utama dimensi ekologi yang mempengaruhi keberlanjutan yakni tingkat eksploitasi, gejala penurunan jumlah

72 tangkap, dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) dengan nilai RMS masing–masing 2,40; 2,90; dan 2,95.

Atribut tingkat eksploitasi (skor 2,40) dinilai mempengaruhi keberlanjutan dari dimensi ekologi. Laju eksploitasi berbanding terbalik dengan ketersedian stok ikan di perairan. Eksploitasi berlebihan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah armada tangkap, jumlah trip, dan jumlah alat tangkap.

Atribut kedua yang juga sangat mempengaruhi keberlanjutan dari dimensi ekologi yakni gejala penurunan jumlah tangkap ikan yang sebenarnya sudah sangat dirasakan oleh para nelayan sejak tahun 1990 (lebih detail akan dibahas dalam subbab 5.5). Penyebab utama terjadinya penurunan dan fluktuasi produksi yang sangat tajam sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, gejala penurunan ini merupakan early warning bagi seluruh stakeholders untuk mengantisipasi dengan memperbaiki sistem pengelolaan dan merubah perilaku terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan yang lebih ramah lingkungan.

Keberadaan Daerah Perlindungan Laut/Kawasan Lindung Laut (Fish Sanctuary) sebagai kawasan lindung dalam upaya konservasi dan pengelolaan

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Tingkat Eksploitasi Keragaman Tangkapan Perubahan Tropik Level DPL Gejalan Penurunan Jumlah Ikan Ukuran Ikan Jumlah Ikan Tertangkap Sebelum Dewasa Tangkapan Ikan Non Target Jumlah Spesies yang tangkap Produksi Primer A tt ri but e

Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

73 sumberdaya ikan beserta biota lainnya dalam suatu kawasan tertentu dengan mengikuitsertakan partisipasi masyarakat secara aktif dan merupakan lokasi yang bebas dari kegiatan ekstraktif dan destruktif. Kawasan Lindung Laut yang telah dibentuk berada di lokasi Kayu Aking Perairan Muncar seluas 289,23 hektar yang telah ditetapkan dalam Perda No. 35 Tahun 2003 tanggal 17 Desember 2003. Sebagai upaya untuk mengimplementasikan Sistem Pengawasan Masyarakat (Siswasmas), sejak tahun 2000 telah dibentuk suatu kelompok masyarakat yang dikenal dengan istilah Pemanfaatan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK). Dimana kelompok tersebut beranggotakan nelayan, juragan, birokrat dan LSM yang peduli terhadap kelestarian sumberdaya perikanan. Fungsi utama PSBK yakni membantu secara aktif untuk mengelola dan mengidentifikasi apabila ada pelanggaran pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan Selat Bali. Sampai dengan penelitian ini dilaksanakan, hanya sebagian kecil saja dari masyarakat nelayan yang menyadari akan manfaat fish sanctuary baik untuk saat ini dan yang akan datang. Dibutuhkan rekayasa sosial secara kontinu dan berkelanjutan guna merubah pola pikir dan perilaku seluruh stakeholders akan keselamatan Selat Bali melalui pendidikan masyarakat dan pendampingan.

Dimensi Ekonomi

Dilihat dari dimensi ekonomi, ada tiga atribut utama yang berperanan penting dalam kelestarian SDI di Selat Bali yakni nilai pasar usaha perikanan, penerimaan keuntungan, dan sumber pendapatan lainnya yang nilai RMS masing- masing 7,42; 4,79; dan 4,11 (lihat Gambar 5.4). Basis utama aktivitas ekonomi di wilayah Muncar yang bergerak di sektor perikanan mulai dari usaha penangkapan ikan, industri pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil perikanan. Sektor perikanan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah Kecamatan Muncar utamanya pada saat musim ikan melimpah.

74

Nilai penjualan ikan lemuru pada tahun 2004 di Jawa Timur sebesar Rp 67,16 milyar dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 38.589,70 ton (DKP Propinsi Jawa Timur 2004). Besarnya hasil tangkapan ikan lemuru di daerah kerja Muncar mencapai 44,89% dari jumlah total produksi hasil tangkapan ikan lemuru Propinsi Jawa Timur. Dilihat nilai produksi hasil tangkap ikan lemuru Muncar memberikan nilai sebesar 0,9% dari nilai total produksi perikanan Propinsi Jawa Timur. Selain ikan lemuru, hasil tangkapan ikan layang dan tongkol memberikan nilai produksi perikanan laut yang cukup besar. Ikan lemuru dengan kualitas baik diolah dalam bentuk ikan kaleng (sarden), sedangkan yang berkualitas rendah (termasuk sempenit) diolah menjadi tepung ikan dengan produk samping (by product) berupa minyak ikan. Industri pengalengan skala menengah dan besar di wilayah Muncar sebanyak 11 unit yang menghasilkan produk ikan sarden dan ikan tuna kaleng. Sebagian besar produk ikan kaleng, minyak ikan, dan tepung ikan tersebut merupakan produk ekspor dan hanya sebagian kecil saja untuk pasar domestik. Beberapa tahun terakhir ini banyak berkembang industri cold storage,

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Profitabilitas Konstribusi thd PDB Pasar Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan Sumber Pendapatan Lainnya Sektor Ketenagakerjaan Penerima Keuntungan Tingkat Subsidi thd Sektor Perikanan Pembatasan Jumlah Nelayan Nilai Pasar Usaha Perikanan

A

ttr

ib

u

te

Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

75 khusus untuk ikan lemuru biasanya banyak digunakan untuk mensuplai kebutuhan industri parawisata pancing sebagai bahan baku umpan.

Usaha penangkapan ikan lemuru merupakan motor penggerak ekonomi (multiplier effect) wilayah masyarakat nelayan di Muncar. Pada saat panen raya nampak sekali mobilitas manusia dan barang bergerak sangat cepat, namun sebaliknya pada saat musim paceklik maka semua usaha yang terkait lainnya juga ikut lesu. Penangkapan dan pengolahan hingga pemasaran ikan lemuru memberikan konstribusi yang nyata sebagai sumber penghidupan bagi 12.352 nelayan atau 1.771 keluarga nelayan. Disamping itu masih banyak orang/usaha kecil yang berperan sebagai industri pendukung lainnya antara lain: industri es, BBM, alat tangkap, onderdil, perahu, dan mesin penggerak.

Usaha kecil dan mikro yang bergerak dalam pengolahan ikan antara lain: pemindangan, penepungan tradisional, pengasinan, minyak ikan. Usaha pemindangan ikan biasanya menggunakan bahan baku ikan tongkol, cakalang, layang, dan tembang. Usaha penepungan tradisional menggunakan ikan lemuru dan limbah padat pabrik (potongan kepala, isi perut ikan, dan sisik). Usaha pengolahan minyak ikan berasal dari hasil mengambil/mengais limbah minyak yang lepas di selokan pengeluaran limbah pabrik penepungan ikan. Biasanya minyak ikan direbus untuk memisahkan dari air yang tercampur. Instalasi perebusan ini biasanya berjejer di sepanjang selokan disamping pabrik penepungan ikan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan tidak ada satupun industri pengolahan ikan di Muncar yang menggunakan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL). Selama ini, limbah yang dihasilkan langsung dibuang ke laut tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Kotoran yang dibuang ke laut sebagian besar berupa darah ikan dan zat kimia sehingga sangat berpotensi terjadinya pencemaran organik dan kimiawi yang sangat merusak lingkungan perairan. Menurut DKP (2007) bahwa parameter BOD, COD, NH3N, dan Sulfida (S2) air

limbah cair dari perusahaan di Muncar sudah melampuhi nilai ambang mutu limbah, berdasarkan SK Menteri LH No. Kep. 51/MENLH/10/1995. Hal ini menunjukkan bahwa bau menyengat di kawasan industri di Muncar tersebut

76 diakibatkan oleh proses pembusukan dan degradasi dari limbah buangan yang menghasilkan amoniak (NH3) dan sulfida (S2).

Dimensi Sosial

Atribut sosial yang sangat dominan menentukan arah kelestarian sumberdaya perikanan di Selat Bali ada tiga atribut yakni: tingkat keterlibatan nelayan, tingkat kependidikan, dan status konflik, dimana nilai RMS masing- masing 2,35; 1,89; dan 1,68 (lihat Gambar 5.5).

Tingkat keterlibatan nelayan dalam upaya pelestarian SDI relatif rendah hal ini dapat dilihat dari keikutsertaannya jumlah nelayan yang aktif dalam kegiatan pertemuan, pelatihan, sistem pengawasan masyarakat (SISWASMAS), pengamanan laut lindung, penanaman dan pemeliharaan mangrove. Permasalahan klasik adalah tingkat kesadaran masyarakat nelayan dan pengetahuan tentang kelestarian SDI yang masih rendah. Keterlibatan nelayan hanya nampak pada saat pelaksanaan proyek saja, namun setelah pasca proyek hampir semua kegiatan macet. Secara swadaya membangun dan mengelola potensi diri baik secara

Gambar 5.5 Analisis leverage dimensi sosial

0 0,5 1 1,5 2 2,5

Sistem Sosial Usaha Perikanan Tingkat Pertumbuhan Komunitas Perikanan Jumlah Rumah Tangga Perikanan Pengetahuan LH dan Perikanan Tingkat Pendidikan Status Konflik Tingkat Keterlibatan Nelayan Tingkat Pendapatan Usaha Partisipasi Keluarga A tt ri but e

Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)

77 perorangan maupun kelompok masih relatif rendah. Walaupun Jumlah nelayan laut sebanyak 10.707 orang atau 8,5% dari jumlah penduduk Kecamatan Muncar, namun yang berperan aktif untuk pelestarian SDI paling banyak 5-7% dari jumlah nelayan.

Atribut pendidikan merupakan kendala utama untuk pengembangan sumberdaya manusia perikanan. Jenjang pendidikan nelayan mulai dari Juragan Laut, Juragan Darat, dan anak buah kapal (ABK) hampir 95% berpendidikan SD (≤6 tahun) dan hanya 5% saja yang berpendidikan SMP-SMA. Bahkan ada beberapa Direktur Utama industri pengolahan dan juragan laut/darat yang tidak lulus SD (berpendidikan kurang dari 6 tahun). Keragaan pendidikan masyarakat pantai yang masih rendah tersebut merupakan salah satu kendala yang sangat siginifikan terhadap kecepatan difusi inovasi baik dalam pengembangan ekonomi, kelembagaan sosial, dan teknologi, dan norma-norma dalam pelestarian SDI.

Atribut status konflik juga cukup dominan menentukan arah keberlanjutan pembangunan perikanan. Konflik yang terjadi antar stakeholders dalam intern masyarakat nelayan Muncar maupun dengan masyarakat pendatang (nelayan andon). Nelayan andon tersebut berasal dari Tuban dan Lamongan. Migrasi nelayan tersebut diakibatkan terjadinya degradasi di fishing ground Laut Jawa.

Terjadinya konflik yang sering terjadi diakibatkan oleh dua faktor utama: (a) kecemburuan sosial, dan (b) degradasi sumberdaya ikan di sekitar perairan Selat Bali. Faktor kecemburuan sosial antara nelayan andon dengan nelayan setempat sudah berlangsung sejak tahun 1997. Awalnya jumlah nelayan andon hanya 11 unit kapal, kemudian terus berkembang bahkan pada tahun 2001 mencapai 140 kapal. Kapal nelayan andon jauh lebih modern baik dari kemampuan kapal yang lebih besar serta jenis alat tangkap yang sejenis trawl/pukat harimau yang sebenarnya dilarang oleh pemerintah. Kemampuan jelajah kapal bukan hanya berada di fishing ground Selat Bali saja, namun bisa mencapai ke perairan ZEE. Tentu saja hasil tangkapannya jauh melimpah dibandingkan nelayan lokal. Disamping itu, nelayan andon bukan lagi one day trip seperti yang dilakukan kebanyakan nelayan lokal, namun bisa 3-5 hari per trip. Kondisi tersebut mendorong protes nelayan lokal akibat ketidakberdayaan bersaing dengan nelayan andon yang lebih modern, bahkan dalam beberapa tahun

78 terakhir terjadi kasus pembakaran kapal dan pengusiran secara paksa terhadap ABK kapal andon.

Penurunan kemampuan SDI ikan di Selat Bali sebagai akumulasi kegagalan pengelolaan sumberdaya perikanan secara bijaksana oleh seluruh stakeholders. Pengendalian nelayan andon dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan sebenarnya sudah diatur sebagaimana tertuang di dalam Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor: Kep.13/MEN/2004 Tanggal 8 April 2004, dan juga dalam Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Timur Nomor: 9 tahun 1983 tanggal 13 Januari 1983. Dalam perda tersebut secara tegas bahwa Selat Bali

tertutup bagi nelayan andon yang menggunakan alat purse seine (lihat Lampiran 6). Namun realisasi di lapangan menunjukkan masih maraknya pelanggaran oleh nelayan andon di perairan Selat Bali sebagai akibat kurangnya upaya penerapan dan penegakan hukum secara tegas dan kontinu. Konflik akan muncul dan memuncak biasanya pada saat paceklik ikan yang biasanya nelayan lokal tidak dapat melaut sementara nelayan andon masih dapat melaut karena kemampuan dan alat tangkap kapal yang lebih besar.

Nelayan purse seine lokal (two-boat system) kalah bersaing dengan purse seine Tubanan (one-boat system). Disamping itu, nelayan Tubanan/andon juga menerapkan lampu dengan kapasitas tinggi sebagai perangkap/penarik pengumpul ikan maka tingkat produktivitas dan efektifitas alat tangkap lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan lokal. Sehingga diprediksikan keberadaan nelayan andon sebagai penyebab terjadinya degradasi stok ikan di Selat Bali. Akibatnya hasil tangkapan nelayan lokal menurun drastis, sehingga wajar jika kemudian "protes keras" bahkan sampai terjadi pembakaran atas kapal nelayan andon di tengah laut saat beroperasi.

Dimensi Teknologi

Atribut utama yang menentukan arah kelestraian dan keberlanjutan pembangunan perikanan di perairan Selat Bali yakni: Pemanfaatan alat tangkap aktif, penanganan di kapal, dan tempat pendaratan dimana nilai RMS masing 2,41; 2,29; dan 1,99 (lihat Gambar 5.6).

79

Gambar 5.6 Analisis leverage dimensi teknologi

Alat tangkap yang digunakan nelayan Muncar dan Pengambengan adalah purse seine (pukat cincin) dan jenis perahu yang digunakan adalah perahu motor tempel (outboard motor) (atau dikenal dengan nama lokal: perahu slerek) (lihat Lampiran 4). Perahu purse seine merupakan alat tangkap aktif/dinamis yang mulai diperkenalkan sejak tahun 1963 dengan ukuran perahu hanya dengan panjang 7 meter dan masih menggunakan dayung dengan hasil tangkap hanya mampu 3 kuintal per trip. Tahun 1972 ukuran alat tangkap 29x100 meter. Untuk memperkuat data terakhir perkembangan ukuran perahu yang beoperasi di Selat Bali, maka dilakukan pengukuran terhadap 15 pasang perahu yang terdiri dari perahu pemburu dan perahu jaring. Ukuran perahu pemburu dan perahu jaring hampir sama yakni rata-rata panjang 21 meter lebar 4,9 meter dan kedalaman 1.7 meter (lihat Lampiran 5). Motor penggerak yang digunakan masing-masing sebanyak 4 unit @24-30 HP. Ukuran alat tangkap rata-rata panjang 262 meter dan kedalaman 67 meter dengan ukuran mata jaring satu inchi di bagian sayap dan 0,5 inchi di bagian kantong, hal ini tidak sesuai dengan patokan dalam SKB Gubernur Jawa Timur dan Bali Tahun 1992 (lihat Lampiran 6). Kapasitas tangkap

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Panjang Trip Tempat Pendaratan Penanganan Pasca Panen Penanganan di Kapal Pemanfaatan Alat Tangkap Aktif Selektifitas Alat FADS Ukuran Kapal Kemampuan Alat Tangkap Efek Samping A ttr ib u te

Root M ean Square Change % in Ordination when Se lected Attribute Re moved (on Status scale 0 to 100)

80 perahu slerek mampu sampai 30-35 ton per trip. Jumlah ABK perahu slerek bervariasi antara 35-42 orang yang dipimpin oleh seorang juragan laut.

Daerah operasi alat tangkap purse seine yang dilakukan nelayan Muncar adalah Tanjung Wringinan, Teluk Banyubiru (Sengrong), Tanjung Keben, Tanjung Kucur, Karang Ente, Batu Mandi, sampai ke wilayah Grajagan di bagian Selatan (Paparan Jawa dalam Selat Bali). Untuk daerah penangkapan pada paparan Bali dimulai dari Candi Kusuma, Pengambengan, Prancak, Candi-1 (Pura), Tanjung Antab, Candi-2 (Pura), sampai daerah Bukit (Tanjung Mebulu). Sedangkan daerah penangkapan bagian utara: Tanjung Pasir, Celukan Bawang, dan Tanjung BungKullan (Paparan Bali Utara).

Sampai saat ini, nelayan Muncar dan Pengambengan dalam operasi penangkapan ikan masih belum melakukan upaya penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal guna menjaga kualitas ikan dengan cara pemberian es di palka kapal. Alasan utama mengapa para nelayan belum menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system) karena mengingat proses penangkapan hanya one day trip sehingga kalau sistem rantai dingin itu diterapkan akan menambah beban biaya operasional, sementara margin kenaikan harga jual relatif kecil. Padahal berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dari jumlah ikan yang didaratkan sudah mengalami penurunan kualitas yakni hampir 25-35% hasil tangkapan masuk kategori sebagai bahan baku tepung ikan. Kategori ikan tersebut nilai jualnya rendah yang berakibat pendapatan nelayan juga menjadi rendah. Makin banyak persentase ikan yang rusak diprediksikan akan semakin besar jumlah ikan yang akan dieksploitasi dari Selat Bali.

Jumlah purse seine Muncar yang beroperasi di Selat Bali berkembang pesat yang mendorong timbulnya kecemburuan antar wilayah dalam mengeksploitasi SDI di Selat Bali. Sehingga dilakukan kesepakatan dalam bentuk SKB antara Gubernur Jawa Timur dengan Gubernur Bali pada tahun 1977, 1978, 1992 dan SKB antara Dinas Kelautan dan Perikanan kedua propinsi tersebut guna pengendalian/pengaturan penggunaan purse seine di Selat Bali (lihat Gambar 5.7). Kecepatan penambahan purse seine melebihi quota khususnya di Muncar sampai dengan tahun 1977-1983 diprediksi mempercepat terjadinya penurunan stok dalam periode singkat (lihat Lampiran 6).

81

Sumber: Data sekunder diolah 2007

Perlabuhan perikanan yang ada di Kecamatan Muncar sebanyak 4 tempat yakni: Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang dilengkapi Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kalimoro, PPI Tratas, dan PPI Sampangan. Keberadaan pelabuhan perikanan tersebut sangat bermanfaat untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan dari perairan Selat Bali. Pelabuhan perikanan tersebut, sementara ini hanya berfungsi hanya sebagai tempat pendaratan ikan saja sedangkan transaksi pelelangan ikan tidak pernah dilaksanakan. Khususnya sarana dan prasarana fisik di PPN sebenarnya sudah cukup memadai untuk melaksanakan sistem pelelangan ikan karena PPN Muncar yang merupakan pelabuhan perikanan dengan klasifikasi "cukup baik" (Lubis etal. 2005). Namun sistem administrasi pencatatan hasil tangkapan, jumlah kapal, ABK, jenis ikan, harga jual, tidak dilakukan pencatatan secara tertib dan baik. Padahal dalam sistem lelang memiliki beberapa keuntungan yakni: (a) pihak nelayan sangat diuntungkan dari segi harga jual sesuai dengan kualitas hasil tangkapan, (b) bagi produsen mampu bermain dengan harga beli yang bersaing, kondusif, dan terbuka, (c) data administrasi aktivitas penangkapan dapat diperoleh dengan mudah, (d) dapat mendukung

Gambar 5.7 Perkembangan jumlah purse seine di Selat Bali

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 197 4 197 5 197 6 197 7 197 8 197 9 198 0 198 1 198 2 198 3 198 4 198 5 198 6 198 7 198 8 198 9 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 Tahun J um lah P u rs e S ei ne (u ni t)

82 peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi yang dikenakan kepada angkutan darat, tambat labuh, dan transaksi lelang.

Berdasarkan Perda No. 33 tahun 20003 dan SK Bupati Banyuwangi No. 28 Tahun 2004 bahwa retribusi pelelangan ikan sebesar 4% dari nilai hasil tangkapan/lelang. Ada beberapa kendala tidak terselenggaranya pelelangan ikan secara efektif yakni: (a) sarana dan prasarana yang memadai hanya di PPN, sementara di tiga PPI lainnya sangat minim dan tidak memenuhi syarat, (b) konflik pengelolaan PPN antara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DKP Propinsi Jawa Timur, sehingga sebagian besar fasilitas tidak bisa berfungsi dengan baik, (c) kurangnya kesadaran nelayan dan pembeli (bakul dan perusahaan) untuk memanfaatkan TPI, (d) ketergantungan produksi ikan pada musim, (e) ikan hasil tangkapan yang cepat busuk, (f) lemahnya peran dan fungsi KUD Mina Blambangan Muncar, dan (g) harga yang sangat berfluktuasi.

TPI sebagai kelengkapan pelayanan pelabuhan perikanan untuk memudahkan nelayan berhubungan dengan pedagang. Sampai sekarang, petugas pelabuhan untuk memenuhi target retribusi yang diprogramkan maka pengumpulan retribusi diperoleh dari hasil "jemputan" yang dilakukan petugas lelang ke masing-masing nelayan dan pedagang /perusahaan.

Dimensi Etik

Dilihat dari dimensi etik, ada tiga atribut utama yang berpengaruh terhadap arah keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali yakni: kearifan lokal dalam pengusahaan perikanan, pengaruh pranata sosial, dan mitigasi kerusakan habitat (lihat Gambar5.8). Etika merupakan petunjuk dasar kemanusiaan dalam berperilaku, cara berpikir, dan keyakinan.

Kearifan lokal dalam pengusahaan perikanan merupakan upaya pengaturan yang dilakukan masyarakat secara turun menurun dalam mengelola sumberdaya perikanan secara bijaksana guna mencegah potensi terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada di Selat Bali. Membangun kearifan lokal melalui kesepakatan-kesepatan masyarakat nelayan Muncar sudah pernah dilakukan sejak proyek Cofish tahun 1998-2005. Dimana proyek tersebut, selain pembangunan sarana dan prasarana perikanan juga menggarap dari sisi

83 kelembangaan, dan sosial ekonomi masyarakat pantai. Kelembagaan yang telah dibentuk adalah Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas (PSBK), Komite Konsultasi Pengelolaan Perikanan Kabupaten (KKPPK), Kelompok budidaya ikan setempat yang peduli dengan lingkungan yakni Sidorukun, Barokah Jaya, Manunggal Jaya, dan Putra Mandiri (Risjani 2004). PSBK sebagai gugus pemelihara sumberdaya yeng mempunyai ruang lingkup kegiatan : penghijauan hutan bakau, perlindungan habitat fish sanctuary di perairan Kayu Aking, pemeliharaan pelabuhan perikanan/sempadan pantai, pencemaran lingkungan,

Dokumen terkait